“Saya mohon untuk mempertimbangkannya lagi.” Ruriko membungkuk formal pada sepasang suami istri berusia tua di hadapannya. Kakek dan nenek itu saling pandang, sebelum akhirnya salah satu dari mereka angkat bicara.
“Ruriko-san. Aku mengerti perasaanmu sebagai teman dekat. Tapi, bagaimanapun ini masalah keluarga kami. Dan keputusan kami sudah bulat untuk tidak mengurusnya,” ucap pria tua itu.
“Tapi, siapa yang akan mengurusnya? Kasihan kalau bayi itu dibiarkan sendirian.” Ruriko menunduk sedih “Ia berhak memiliki keluarga, bukan?” Ucapannya dibuat menggumam.
“Untuk masalah ini, kau tak perlu cemas. Kami sudah mempertimbangkan untuk membawanya ke panti asuhan.” Kali ini sosok wanita tua yang mengenakan yukata angkat bicara. Ruriko kaget mendengarny
Kepindahan bayi itu ke panti asuhan sebentar lagi, tinggal menunggu Erina sebagai salah satu pengurus untuk mengisi data-data bayi mendiang Kasumi Shiraishi. Tak ada pihak keluarga yang datang. Hanya Ruriko sendiri yang mendampingi Erina. Itu juga karena ia kebetulan bertemu di waktu yang sama.“Namanya belum diputuskan juga ya?” Erina terlihat kebingungan berhadapan dengan salah satu petugas rumah sakit. Ia harus mengurus terlebih dahulu berkas-berkas kepindahan bayi itu ke Panti Asuhan Yurikago. Tapi, pihak keluarga belum memberikan nama pada bayi itu. Pihak rumah sakit juga sepertinya tidak memiliki wewenang untuk memberi nama. Kalau belum ada nama, pasti akan sulit mendaftarkan si bayi sebagai anggota baru.“Nama?” Sambil menggumam, Ruriko langsung teringat sesuatu. Sebelum meninggal, Kasumi sempat membocorkan nama bayi itu. Sa
Pada akhir pekan, Ruriko mengadakan kunjungan ke Panti Asuhan Yurikago. Berbekal alamat yang tertera pada kartu nama Erina, Ruriko pun pergi sendirian ke sana. Lokasinya cukup terpencil dari pusat kota. Ruriko harus menaiki kereta api selama setengah jam kemudian menaiki bus. Setelah itu, tinggal jalan sebentar sampai ke tujuan akhir. Tepat tengah hari, ia pun sudah berdiri tercenung di depan gerbang panti asuhan. Ini kunjungan pertamanya sehingga ia merasa gugup. Suasana halaman terlihat sepi. Ruriko celingak celinguk lalu memutuskan untuk masuk saja. Ia mendorong pelan gerbang, yang ternyata tak terkunci. Akhirnya, langkah kakinya pun menapaki pekarangan berpasir.Kini, ia malah berdiri mematung di depan pintu masuk. “Permisi.” Ruriko berseru karena tak menemukan ada bel di dekat pintu. Tak perlu menunggu lama, seseorang membukakan pintu. R
Keesokan harinya, Ruriko mengadakan kunjungan lagi ke panti asuhan. Ia memang sudah berjanji untuk berkunjung minimal seminggu satu kali, entah di hari sabtu, minggu, atau libur nasional. Tapi, tak ada salahnya juga berkunjung dua hari berturut-turut. Ia sedang tak ada janji bepergian, lagipula Ruriko ingin mengakrabkan diri dengan penghuni panti asuhan lainnya.Dimulai dari mendekati sosok Rio yang sedang bermain bersama teman-temannya di pekarangan. Gadis kecil itu langsung menyapa semangat saat melihat sosok familiar mendatanginya. Ruriko membalas lambaian tangannya lalu berjongkok di dekat anak itu.“Sedang apa, Rio-chan?” tanya Ruriko ramah.“Kejar-kejaran,” Rio menjawab singkat. Setelah itu ia berteriak lalu berlari saat seorang anak berusaha menangkapnya. Derai tawa mereka
Kemunculan malaikat tak pernah bisa diprediksi. Ketika Ruriko seharian berada di panti asuhan, ia tak menemukan Mirai. Tapi, saat Ruriko sedang sendirian di kamarnya, malaikat itu malah muncul. Tapi, Ruriko yang sedang galau tak sempat untuk terkejut. Ia bahkan mengabaikan kehadiran makhluk itu, lebih memilih fokus pada pemikirannya tentang kejadian sore tadi. “Tak biasanya kau terlihat murung.” Merasa diabaikan, makhluk yang berada persis di samping Ruriko pun menegurnya. Gadis yang duduk di atas ranjangnya hanya melirik singkat dengan muka masam. Setelah itu, ia kembali menerawang. Hembusan nafas malaikat itu terdengar. Sepertinya manusia di sampingnya sedang tak minat untuk diajak ngobrol. Daripada keberadaannya tak diacuhkan, lebih baik ia pergi saja. “Aku berusaha membantu malaikat itu.” Ruriko m
“Dua manusia itu ya?” Si malaikat kembali menggumam saat Ruriko mengajaknya bicara di tempat lain yang lebih sepi. Mereka menuju ke halaman belakang, dekat gudang. Tempat yang jarang dijamah orang itu rasanya cocok untuk berdiskusi. “Ya. Rio-chan ingin diadopsi, bukan? Tapi, Kazu sebenarnya tak setuju.” Ruriko berusaha menjelaskan meski ia sebenarnya yakin si malaikat pasti lebih tahu seluk beluknya. Malaikat itu bersedekap lalu mengangguk pelan. Ia menghembuskan nafasnya lamat-lamat. “Sebenarnya mereka hanya salah paham. Anak laki-laki itu cukup keras kepala untuk menemui anak perempuan itu.” Mata Ruriko memandangi si malaikat. Meski tugasnya sudah jelas untuk memperbaiki hubungan Kazu dan Rio, Ruriko sampai saat ini ia masih belum tahu ia jenis malaikat apa. Memang ada ya malaikat yang bertuga
Ranting pohon adalah kuasnya. Pekarangan adalah kanvas kosongnya. Dua media itu sudah cukup untuk menuangkan kreativitas si anak berkuncir dua.Sambil berjongkok, sepasang mata kelerengnya bersorot serius menciptakan sebuah gambar berupa dua sosok berdampingan. Tangan berupa garis lurus itu terlihat tumpang tindih, seolah mereka sedang berpegangan erat. “Rio dan Kazu.” Ia bergumam. Tak lama kemudian, ia diam. Menggunakan ranting pohon, ia langsung menghapus gambar sosok yang berperawakan lebih besar. “Kazu membenci Rio,” bisik anak itu. Sorot matanya berubah sendu. Pikirannya memutar kembali kejadian beberapa hari lalu. “Pergi saja sendiri! Aku tak akan ikut!” “Tapi, bukankah kau mau bersama Rio-chan? Mereka akan mengadopsimu juga.”
Sudah hampir tengah malam, tetapi sosok Rio belum juga ditemukan. Ruriko, Erina, serta Kazu pun mulai putus asa. Padahal, Kazu sudah mencarinya ke tempat-tempat favorit Rio yang hanya ia ketahui, tetapi hasilnya tetap saja nihil. “Apa kita lanjutkan besok saja? Ada bantuan dari pihak keamanan juga. Mereka pasti tengah mencari Rio. Kita tunggu kabar dari mereka saja, ya,” usul Erina sambil melirik arlojinya. Mereka bertiga sudah sama-sama kelelahan sehingga ingin rasanya segera pulang dan melanjutkan pencarian esok hari. Tetapi, mereka takut terjadi sesuatu yang buruk menimpa Rio kalau mereka menjeda pencarian ini. “Tapi, Rio-chan. Aku cemas,” ucap Ruriko murung. Erina langsung menyentuh tangan Ruriko lalu menggeleng pelan. Ia sebenarnya juga takut, tetapi ia tak mau berpikir macam-macam. “Semua akan b
Jika para manusia menganggap malaikat adalah makhluk superior, maka mereka salah besar. Mereka hanya sosok-sosok yang hidup untuk menjalankan tugas, soliter, bahkan tak berarti. Kehidupan mereka juga bergantung pada keberhasilan dalam melaksanakan tanggung jawab. Jika gagal, mereka akan menerima hukuman. Jika berhasil, ada tugas berikutnya yang menanti. Alur itu berulang terus sampai keberadaan sang malaikat lenyap secara perlahan tergerus oleh aliran waktu. Saat menjalani hidup sebagai malaikat, tugasnya adalah untuk menjaga ikatan manusia. Ketika manusia berselisih paham dengan manusia lain, ia berusaha untuk menyatukannya kembali. Caranya dengan mempengaruhi manusia melalui bisikan-bisikannya, yang dikenal oleh manusia sebagai nurani. Terkadang malaikat itu sering merasakan kesulitan dalam menjalankan tugasnya. Memang tidak mudah mempengaruhi p
Aturan yang pertama, malaikat harus menyelesaikan tugas yang sudah dibebankan kepadanya. Aturan kedua, tiap malaikat tak boleh sering berhubungan dengan malaikat lain, apalagi manusia. Aturan ketiga ...."Ruriko-san!"Konsentrasi Ruriko terpecah oleh sebuah seruan. Tersentak, gadis itu mengedar pandangan untuk mencari siapa yang tengah memanggilnya. Sepasang mata gadis itu tertuju pada kerubungan anak-anak panti asuhan. Tampak Kazu yang berada di luar kerumunan, menyerukan nama Ruriko sembari melambaikan kedua tangannya."Ruriko-san! Michi terluka!"Ruriko yang tadinya menyendiri di salah satu ayunan seketika bergerak mendatangi kerumunan itu. Saat sosok dewasa mendatangi mereka, kerumunan anak-anak panti asuhan mulai renggang, seolah membiarkan Ruriko melihat k
“Jadi begitu. Karena malaikat itu, kau bisa hidup kembali.” Bibir Rio sedikit mengerut saat menggumamkan kesimpulan dari cerita Ruriko. Kontras dengan Mirai, reaksinya lebih kalem. Si malaikat berwujud wanita cantik itu juga tidak langsung menghakimi perbuatan salah satu kaumnya yang sudah berani melawan garis takdir.Sambil melajukan sepedanya perlahan, Ruriko mengangguk-angguk. Pandangan matanya tak lepas dari sosok yang melangkah di sampingnya.Pertemuan mereka tak disengaja. Ruriko tengah mengendarai sepedanya kembali ke rumah setelah menyambangi minimarket untuk berbelanja. Ia melihat sebuah bulu sayap terbang di antara sepasang ibu dan anak yang berjalan di depannya. Untung saja, Ruriko sudah terbiasa dengan penampakan itu sehingga responnya lebih tenang. Ditunggunya perubahan wujud bulu itu sampai menjadi malaikat. Tak disan
Denting piano menggema di penjuru aula, sebagai intro dari lagu yang dibawakan oleh paduan suara anak-anak panti asuhan. Erina sebagai pengiring musik ikut bernyanyi sambil sesekali melirik ke jajaran anak-anak berseragam merah. Mereka tampak menghayati lagu meski penontonnya hanya sedikit.Ada orang tua angkat Rio duduk berdampingan di barisan terdepan. Rio dipangku oleh sang ibu. Di belakang mereka, terdapat para pengurus panti asuhan. Sisanya, di baris terbelakang hanyalah kursi-kursi kosong. Sebenarnya, Ruriko yang menempatinya, tetapi ia malah ditunjuk menjadi seksi dokumentasi dadakan. Sejak tadi, Ruriko berpindah-pindah tempat untuk membidik gambar dari sudut terbaik, meski ia bukanlah fotografer profesional. Yang penting momen-momen penting ini bisa terekam.Sembari menjalankan tugasnya, sesekali mata Ruriko mengedari sekitar ruangan, mencar
Jika para manusia menganggap malaikat adalah makhluk superior, maka mereka salah besar. Mereka hanya sosok-sosok yang hidup untuk menjalankan tugas, soliter, bahkan tak berarti. Kehidupan mereka juga bergantung pada keberhasilan dalam melaksanakan tanggung jawab. Jika gagal, mereka akan menerima hukuman. Jika berhasil, ada tugas berikutnya yang menanti. Alur itu berulang terus sampai keberadaan sang malaikat lenyap secara perlahan tergerus oleh aliran waktu. Saat menjalani hidup sebagai malaikat, tugasnya adalah untuk menjaga ikatan manusia. Ketika manusia berselisih paham dengan manusia lain, ia berusaha untuk menyatukannya kembali. Caranya dengan mempengaruhi manusia melalui bisikan-bisikannya, yang dikenal oleh manusia sebagai nurani. Terkadang malaikat itu sering merasakan kesulitan dalam menjalankan tugasnya. Memang tidak mudah mempengaruhi p
Sudah hampir tengah malam, tetapi sosok Rio belum juga ditemukan. Ruriko, Erina, serta Kazu pun mulai putus asa. Padahal, Kazu sudah mencarinya ke tempat-tempat favorit Rio yang hanya ia ketahui, tetapi hasilnya tetap saja nihil. “Apa kita lanjutkan besok saja? Ada bantuan dari pihak keamanan juga. Mereka pasti tengah mencari Rio. Kita tunggu kabar dari mereka saja, ya,” usul Erina sambil melirik arlojinya. Mereka bertiga sudah sama-sama kelelahan sehingga ingin rasanya segera pulang dan melanjutkan pencarian esok hari. Tetapi, mereka takut terjadi sesuatu yang buruk menimpa Rio kalau mereka menjeda pencarian ini. “Tapi, Rio-chan. Aku cemas,” ucap Ruriko murung. Erina langsung menyentuh tangan Ruriko lalu menggeleng pelan. Ia sebenarnya juga takut, tetapi ia tak mau berpikir macam-macam. “Semua akan b
Ranting pohon adalah kuasnya. Pekarangan adalah kanvas kosongnya. Dua media itu sudah cukup untuk menuangkan kreativitas si anak berkuncir dua.Sambil berjongkok, sepasang mata kelerengnya bersorot serius menciptakan sebuah gambar berupa dua sosok berdampingan. Tangan berupa garis lurus itu terlihat tumpang tindih, seolah mereka sedang berpegangan erat. “Rio dan Kazu.” Ia bergumam. Tak lama kemudian, ia diam. Menggunakan ranting pohon, ia langsung menghapus gambar sosok yang berperawakan lebih besar. “Kazu membenci Rio,” bisik anak itu. Sorot matanya berubah sendu. Pikirannya memutar kembali kejadian beberapa hari lalu. “Pergi saja sendiri! Aku tak akan ikut!” “Tapi, bukankah kau mau bersama Rio-chan? Mereka akan mengadopsimu juga.”
“Dua manusia itu ya?” Si malaikat kembali menggumam saat Ruriko mengajaknya bicara di tempat lain yang lebih sepi. Mereka menuju ke halaman belakang, dekat gudang. Tempat yang jarang dijamah orang itu rasanya cocok untuk berdiskusi. “Ya. Rio-chan ingin diadopsi, bukan? Tapi, Kazu sebenarnya tak setuju.” Ruriko berusaha menjelaskan meski ia sebenarnya yakin si malaikat pasti lebih tahu seluk beluknya. Malaikat itu bersedekap lalu mengangguk pelan. Ia menghembuskan nafasnya lamat-lamat. “Sebenarnya mereka hanya salah paham. Anak laki-laki itu cukup keras kepala untuk menemui anak perempuan itu.” Mata Ruriko memandangi si malaikat. Meski tugasnya sudah jelas untuk memperbaiki hubungan Kazu dan Rio, Ruriko sampai saat ini ia masih belum tahu ia jenis malaikat apa. Memang ada ya malaikat yang bertuga
Kemunculan malaikat tak pernah bisa diprediksi. Ketika Ruriko seharian berada di panti asuhan, ia tak menemukan Mirai. Tapi, saat Ruriko sedang sendirian di kamarnya, malaikat itu malah muncul. Tapi, Ruriko yang sedang galau tak sempat untuk terkejut. Ia bahkan mengabaikan kehadiran makhluk itu, lebih memilih fokus pada pemikirannya tentang kejadian sore tadi. “Tak biasanya kau terlihat murung.” Merasa diabaikan, makhluk yang berada persis di samping Ruriko pun menegurnya. Gadis yang duduk di atas ranjangnya hanya melirik singkat dengan muka masam. Setelah itu, ia kembali menerawang. Hembusan nafas malaikat itu terdengar. Sepertinya manusia di sampingnya sedang tak minat untuk diajak ngobrol. Daripada keberadaannya tak diacuhkan, lebih baik ia pergi saja. “Aku berusaha membantu malaikat itu.” Ruriko m
Keesokan harinya, Ruriko mengadakan kunjungan lagi ke panti asuhan. Ia memang sudah berjanji untuk berkunjung minimal seminggu satu kali, entah di hari sabtu, minggu, atau libur nasional. Tapi, tak ada salahnya juga berkunjung dua hari berturut-turut. Ia sedang tak ada janji bepergian, lagipula Ruriko ingin mengakrabkan diri dengan penghuni panti asuhan lainnya.Dimulai dari mendekati sosok Rio yang sedang bermain bersama teman-temannya di pekarangan. Gadis kecil itu langsung menyapa semangat saat melihat sosok familiar mendatanginya. Ruriko membalas lambaian tangannya lalu berjongkok di dekat anak itu.“Sedang apa, Rio-chan?” tanya Ruriko ramah.“Kejar-kejaran,” Rio menjawab singkat. Setelah itu ia berteriak lalu berlari saat seorang anak berusaha menangkapnya. Derai tawa mereka