Dengan rasa kesal yang setinggi gunung, Fea masuk ke rumah. Dengan cepat dia menuju dapur, meletakkan belanjaan lalu segera pergi mandi. Dia cuci mukanya lama-lama, bekas kecupan pria aneh yang dia temui.
"Ahh ... kenapa bisa aku ketemu laki-laki geje itu!?" Fea terus membersihkan mukanya. "Aku harus kasih tahu Arnon, ada orang ga beres nguntit aku."
Itu yang Fea pikir akhirnya. Aneh saja, dua kali dia ketemu Dio, dua kali kejadian menyebalkan terjadi. Fea hampir yakin itu bukan kebetulan. Dia harus lebih hati-hati kalau mau pergi. Sangat mungkin Dio akan datang lagi, tiba-tiba. Entah kapan, waktu Fea sedang di mana.
Selesai mandi, Fea kembali ke dapur, memulai memasak. Melia mendampingi Fea, agar menu yang Fea mau sajikan pada Arnon menjadi sempurna. Sambil memasak Fea bercerita tentang Dio dan kecurigaan Fea jika ada sesuatu dengan laki-laki itu.
"Hati-hati, Fe. Jangan pergi sendirian. Kamu ini bagaimanapun juga dikenal karena jadi istri Arnon. Mung
Tubuh Fea rasanya melayang. Arnon menuduh dia berselingkuh bahkan meragukan bayi dalam perut Fea? Dia tatap Arnon dengan mata berkaca-kaca. "Aku pergi. Aku tidak mau tinggal serumah dengan wanita yang ternyata tidak setia padaku!" Arnon berbalik dan melangkah menjauh. Fea menguatkan hati dan mengejar Arnon. Dia menarik lengan Arnon, menahan langkah suaminya. "Arnon! Jangan begini! Kita bisa bicara. Kamu harus percaya sama aku. Ini semua tidak benar!" Fea memandang Arnon dengan wajah memelas. Arnon menyentakkan tangan Fea. Matanya menyala karena ledakan emosi dari dalam dirinya. "Aku manusia bebas, Fea. Aku akan melakukan apa yang aku kamu. Aku Arnon, dan aku tidak mau terus dipermainkan. Cukup sandiwara kamu!" Arnon sama sekali tidak mau mendengar. Yang Arnon pikir, dia akan tunjukkan pada Fea seperti apa Arnon yang sebenarnya. Dia tidak mau lagi peduli semua yang Fea bilang selama ini sebagai kebaikan hidup, sebagai aturan Tuhan agar hi
Tidak punya pilihan, Riko dan sekretaris serta asisten Arnon harus meneruskan urusan kantor. Riko mengatakan pada yang lain Arnon kurang sehat sehingga tidak mungkin datang. Meeting tetap berjalan dengan lancar. Untungnya Arnon sudah mengatakan semua hal pada Riko dan asistennya sehingga mereka tahu apa yang harus diputuskan setelah pertemuan.Usai meeting, Riko menghubungi Fea. Saat bicara di telpon, Fea menahan sedih dan tangis, tidak banyak bicara. Riko segera meluncur menuju rumah Arnon. Dia perlu tahu semua yang terjadi. Arnon bisa berantakan kalau begini. Dan Riko tidak akan tinggal diam."Fea ..." Riko menatap wanita yang sedang hamil muda di depannya.Wajah Fea kuyuh dan lesu. Matanya sembab. Riko maju beberapa langkah, dia rentangkan tangan pada Fea. Tangan terbuka itu, membuat Fea punya satu bahu lagi untuk menangis. Fea menjatuhkan badannya dalam pelukan Riko.Riko benar-benar seperti ayah yang Fea tidak punya lagi. Fea bi
Rumah sepi. Hampir tidak ada suara terdengar di sana. Melia sedang menyiapkan sarapan buat Fea. Sejak Arnon pergi, nafsu makan Fea turun drastis. Dia hampir tidak makan apa-apa. Jika dipaksa, dia pasti muntah. Melia berusaha mencari cara agar Fea tetap bisa makan. Melia memilih makanan cari saja yang dia siapkan, agar Fea tidak perlu mengunyah, begitu masuk mulut, akan langsung turun dalam perutnya. Di dalam kamar, Fea merasa lemas dan tidak bersemangat. Dia masih belum bisa menghubungi Arnon. Ingin mencoba lagi, ada rasa takut juga. Dia tidak mau membuat Arnon semakin marah dan meledak. "Perutku sakit." Fea mencoba duduk, bersandar ke punggung ranjang besar tempat dia tidur bersama pria kecintaannya. Ranjang itu rasanya terlalu besar dan luas untuknya sendiri. Dia memegang perutnya yang melilit, menoleh ke sebelahnya. Kosong. Biasanya saat bangun pagi, Arnon sedang tidur meringkuk, dengan tangan memegang tangan Fea. "Arnon, kamu di mana
Mendengar perkataan Arnon, Ardan makin emosi. Mood baik yang dia miliki hari itu melayang sudah."Aku memang culas dan jahat. Aku sangat tidak suka denganmu! Tapi aku bukan pria yang bersembunyi di balik apa yang kulakukan. Aku bukan pengecut yang tidak berani mengakui apa yang aku lakukan!" Ardan bicara dengan rasa marah.Arnon mengepalkan tangannya. Suara Ardan makin keras dia dengar di telinga."Sekali lagi aku katakan! Aku belum ada niatan bermain-main denganmu. Kalu memang ini yang terjadi, siapapun pelakunya, aku harus berterima kasih. Aku tidak perlu repot, tinggal melihat kamu menangis darah!" Ardan mengakhiri panggilan itu dengan hati panas.Arnon terdiam. Dengan tegas dan jelas, Ardan mengelak. Bukan dia yang melakukan kegilaan pada Arnon kali ini. Lalu siapa? Arnon berpikir. Dia memandang Riko yang duduk dengan tangan terlipat tak jauh darinya. Pria itu memandang pada Arnon yang terlihat kacau."Ardan tidak mengaku, Riko. Aku hampir yaki
Permintaan Arnon bisa dibilang mudah, tapi juga tidak. Riko harus bisa bergerak cepat menemukan pria yang ada di foto bersama Fea. Dia minta Arnon mengirim foto-foto itu. Lalu Riko minta waktu bicara dengan Melia. Fea sedang tidur, dia harus istirahat. Riko juga tidak ingin membuat emosi Fea tidak stabil jika harus dipusingkan soal ini. Melia mengatakan pada Riko, di mana foto Fea diambil. Untungnya Fea mengatakan semua pada Melia sehingga Melia bisa menjelaskan pada Riko. Dua tempat yang melatarbelakangi kejadian itu. Pertama di resto tempat Fea bertemu dengan Stefi, kedua, di swalayan yang tidak jauh dari rumah. Setelah semua jelas, Riko bergerak. Tugasnya bertambah. Terus berkoordinasi soal resto, juga menyingkap misteri pria di foto itu. Dia akan biarkan Arnon fokus di sisi Fea. Situasi ini, Fea sangat butuh Arnon di sampingnya. Dengan begitu Fea makin yakin, Arnon memang tidak lagi marah padanya. Yang Riko tuju pertama kali adalah Stefi. Karena Stefi ber
Jantung Arnon rasanya ingin melompat setelah membuka foto kiriman dari Briani. Di layar ponsel Arnon, terpampang foto yang membuat dia makin terkejut dan tidak percaya dengan yang dia lihat. Pria yang sama yang ada di foto bersama Fea, sedang berdiri berdampingan dengan laki-laki lain, mereka berhadapan dengan wanita yang sangat Arnon kenal, Arnella. "What!?" Dada Arnon makin beradu tak menentu. Ini sangat tidak mungkin. Pasti Briani merekayasa ini, sehingga tampak ibunya adalah biang keladi di balik kejadian Fea dan laki-laki misterius itu. Arnon segera menelpon Briani. Beberapa kali dia coba tapi tidak diangkat. Kesal, Arnon mengirim pesan. Dia minta bertemu dengan Briani untuk minta penjelasan. Jawaban pesan, Briani sedang ada meeting tidak mau diganggu. "Sial." Arnon mengumpat geram. "Sekarang kakak-kakakku yang lain juga aku perlu waspadai. Kukira dua monster itu cukup, nyatanya ..." "Maaf, Pak Arnon, Ibu Fea ingin bertemu. Dia baru saja bangun."
Tatapan tajam Arnon menghujam Briani demi mendengar apa yang dikatakan wanita itu. Tidak mungkin rasanya percaya dengan apa yang Arnon dengar. Briani tersenyum getir. "Aku paham, Arnon. Bagaimanapun juga ibu adalah ibu. Kita akan selalu berpikir dia baik, sayang kita dan menginginkan kebahagiaan kita. Ya, sangat wajar." Briani meneruskan kalimatnya. Arnon dan Irvan memandang Briani yang mengeluarkan rokok, menyulut ujungnya lalu mulai mengisapnya perlahan. "Kurasa kamu juga akan bersikap sama." Arnon masih terus menatap tajam pada Briani. "Kamu pasti pernah tahu kisah pedih anak yang dijual ibunya. Atau ibu yang tega menyiksa anaknya hingga cacat. Realistis aja, Ar, ada ibu yang kejam. Memanh sedih kalau ternyata itu adalah ibu kita." Mengatakan itu, Briani meletakkan rokok, membuka galeri di ponsel, dia kirimkan lagi foto yang lain kepada Arnon. "Cermati gambar itu. Zoom kalau perlu, simpulkan sendiri. Jangan aku." Briani kembali melempar sen
Buat Arnon, rencana Riko harus dijalankan. Dia ingin tahu pria yang sudah mempermainkan istrinya. Kalau perlu dia gampar saja sampai terjungkal. Arnon pun memastikan dia mau ikut Riko bertemu dengan Dio. Irvan melihat situasi bisa lebih runyam. Apalagi jika Arnon tidak bisa menahan diri saat dia bertemu dengan Dio. Karena itu malam itu Irvan mengajak Arnon bicara santai, sedikit mengajak bercanda agar Arnon tidak terus pada tegangan tinggi. Dengan begitu, Iravn juga berharap, Arnon akan lebih tenang menghadapi pria yang dibayar Arnella. Pagi tiba, Arnon bangun subuh. Dia langsung menghubungi Stefi dan menanyakan kondisi Fea. Stefi masih tidur sebenarnya. Telpon dari Arnon membuat dia terkejut. Ternyata Arnon hanya sekadar tanya kabar. "Fea masih tidur. Dia baik-baik saja. Kurasa sebelum makan siang, dia sudah bisa pulang, Arnon." Stefi bicara dengan suara masih serak. "Syukurlah. Thank you sudah mau temani Fea. Pagi ini aku masih ada urusan. Aku harap
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b