Beranda / Romansa / Andai Semua Berbeda / 118. Arnon Kembali Meledak

Share

118. Arnon Kembali Meledak

Penulis: Ayunina Sharlyn
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Tatapan tajam Arnon menghujam Briani demi mendengar apa yang dikatakan wanita itu. Tidak mungkin rasanya percaya dengan apa yang Arnon dengar. Briani tersenyum getir.

"Aku paham, Arnon. Bagaimanapun juga ibu adalah ibu. Kita akan selalu berpikir dia baik, sayang kita dan menginginkan kebahagiaan kita. Ya, sangat wajar." Briani meneruskan kalimatnya.

Arnon dan Irvan memandang Briani yang mengeluarkan rokok, menyulut ujungnya lalu mulai mengisapnya perlahan.

"Kurasa kamu juga akan bersikap sama." Arnon masih terus menatap tajam pada Briani.

"Kamu pasti pernah tahu kisah pedih anak yang dijual ibunya. Atau ibu yang tega menyiksa anaknya hingga cacat. Realistis aja, Ar, ada ibu yang kejam. Memanh sedih kalau ternyata itu adalah ibu kita." Mengatakan itu, Briani meletakkan rokok, membuka galeri di ponsel, dia kirimkan lagi foto yang lain kepada Arnon.

"Cermati gambar itu. Zoom kalau perlu, simpulkan sendiri. Jangan aku." Briani kembali melempar sen

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Andai Semua Berbeda   119. Berhadapan dengan Pria Itu

    Buat Arnon, rencana Riko harus dijalankan. Dia ingin tahu pria yang sudah mempermainkan istrinya. Kalau perlu dia gampar saja sampai terjungkal. Arnon pun memastikan dia mau ikut Riko bertemu dengan Dio. Irvan melihat situasi bisa lebih runyam. Apalagi jika Arnon tidak bisa menahan diri saat dia bertemu dengan Dio. Karena itu malam itu Irvan mengajak Arnon bicara santai, sedikit mengajak bercanda agar Arnon tidak terus pada tegangan tinggi. Dengan begitu, Iravn juga berharap, Arnon akan lebih tenang menghadapi pria yang dibayar Arnella. Pagi tiba, Arnon bangun subuh. Dia langsung menghubungi Stefi dan menanyakan kondisi Fea. Stefi masih tidur sebenarnya. Telpon dari Arnon membuat dia terkejut. Ternyata Arnon hanya sekadar tanya kabar. "Fea masih tidur. Dia baik-baik saja. Kurasa sebelum makan siang, dia sudah bisa pulang, Arnon." Stefi bicara dengan suara masih serak. "Syukurlah. Thank you sudah mau temani Fea. Pagi ini aku masih ada urusan. Aku harap

  • Andai Semua Berbeda   120. Dia Sudah Pergi

    Mata Dio terbelalak begitu medengar Arnon menyebut nama yang sama dengan yang dia katakan. Arnon melepas kacamata hitam dan topi yang ada di kepalanya. Seketika wajah Dio memerah. "Arnon?!" ucapnya terkejut. "Ya. Jadi kamu memang bekerja sama dengan Arnella Hendrawan, ibuku, untuk merusak kebahagiaanku dan istriku." Arnon berdiri sedikit mencondongkan badan ke arah Dio. Pandangan geram jelas terlihat di wajah Arnon. "Woww ... Aku hanya pria yang suka duit." Dio mengangkat kedua tangannya. "Kamu ..." Arnon mengangkat kepalan tangan ke arah muka Dio. "Hei, kalau kamu mau marah padaku, kamu salah alamat." Dio berdiri dan menantang Arnon. Keduanya berhadapan dan saling menatap tajam. Riko ikut berdiri. Dia harus bersiap jika kedua pria ini akhirnya makin panas, dia harus mencegah terjadi perkelahian di ruangan itu. "Kamu tanya saja sama mama kamu, kenapa dia tega melakukan ini padamu? Aku tidak ada urusan denganmu. Bisnisku dengan

  • Andai Semua Berbeda   121. Aku Menyesal Menjadi Anakmu!

    Dengan langkah tergesa-gesa Arnon masuk rumah besar itu. Rumah yang lama tidak lagi dia injakkan kaki di sana. Rumah yang buatnya hanya penuh kenangan pahit. Kali ini dia datang juga karena rasa pedih dan marah."Nyonya Arnella!" Dengan suara lantang Arnon memanggil mamanya. Dia berdiri di ruang tengah, melihat ke arah kamar Arnella yang ada di lantai atas.Dua pembantu yang sedang membersihkan ruangan itu sangat terkejut. Tiba-tiba muncul Arnon dan meledak seperti itu."Maaf, Tuan Muda ..." Salah satu dari pembantu itu memberanikan diri mendekat pada Arnon."Mana nyonyamu?! Aku ingin bertemu dengannya." Arnon berkata ketus dengan rasa geram."Maaf, nyony baru saja masuk kamar dan beristirahat." Pembantu itu sedikit takut berbicara."Bagus sekali. Keadaan sudah seperti ini dia bisa tidur nyenyak," kata Arnon gusar.Arnon kembali mengangkat wajah melihat ke lantai atas."Nyonya Arnella!!" Lebih keras Arnon berteriak.Pemb

  • Andai Semua Berbeda   122. Masa Kelam yang Mengubah Seorang Arnella

    Pelayan itu maju beberapa langkah, mendekat pada Arnella. Dia berjongkok di sisi sofa sambil memandang pada Arnella yang masih menangis."Apa aku salah kalau aku ingin putraku mendapat yang lebih baik? Aku tidak mau dia dihina orang seperti yang aku alami. Aku tidak mau." Dengan tangis belum reda, suara sedikit bergetar Arnella menuangkan rasa sedihnya.Pelayan itu tidak tahu harus bicara apa. Dia hanya memandang pada Arnella yang terlihat begitu terpukul karena Arnon."Aku bantu Nyonya ke kamar, Nyonya istirahat saja di dalam." Pelayan itu memberanikan diri membujuk Arnella."Wati, kalau kamu jadi aku ... kamu pasti mau yang terbaik buat anakmu, kan?" Arnella mengusap pipinya."Iya, tentu, Nyonya." Wati menjawab sambil menganggukkan kepala."Kenapa Arnon justru membenci aku sekarang?" Dengan ucapan itu, Arnella kembali melepas tangisnya.Wati tidak menjawab. Dia sedikit memaksa membantu Arnella berdiri dan memapahnya menuju ke kamar

  • Andai Semua Berbeda   123. Jangan Pernah Temui Aku

    Dengan tergesa Arnon masuk ke dalam rumah. Dia ingin segera melihat Fea. Di saat seperti ini dia harus sesering mungkin di sisi istrinya. Hati Fea sangat sedih karena harus kehilangan bayinya. Kondisi fisiknya pun tidak bisa dengan cepat pulih. Di dalam kamar, Fea berbaring. Dia memejamkan mata tetapi tidak sedang tidur. Fea memaksa diri agar terlelap sehingga lupa sejenak semua kepedihannya. Sayangnya, tidur pun begitu sulit. Dan yang membuat Fea semakin sedih, dia baru mendengar kabar Rania melahirkan bayinya, seorang anak perempuan yang mungil dan cantik. Dada Fea terasa sesak jika mengingat itu. Seharusnya beberapa bulan lagi dia juga akan menggendong bayinya. Kenyataan bicara lain. Fea tidak bisa menjaga buah hatinya dan terpaksa harus kehilangan di awal-awal kehamilan. Sakit sekali rasanya. "Sayang ..." Arnon mengecup kepala Fea. Dia tahu Fea belum tidur. Fea membuka matanya. Dengan tatapan sayu dia memandang Arnon. Perlahan dia bangun, duduk di

  • Andai Semua Berbeda   124. Orang Tua Adalah Orang Tua

    Perjalanan Fea dan Arnon berlanjut. Sebisa mungkin keduanya menyisihkan situasi yang mengganjal karena kedatangan Arnella. Arnon bertingkah seceria mungkin selama perjalanan. Dia terus mengajak Fea bercanda, tidak memberi dia kesempatan bertanya apapun tentang Arnella.Fea tahu, Arnon menghindar dari masalah yang dia hadapi dengan mamanya. Fea juga tidak mau memaksa Arnon bicara. Lebih baik dia menikmati perjalanan itu sambil mencari waktu yang tepat dia bisa mengajak Arnon bicara. Bagaimanapun orang tua adalah orang tua. Seorang anak harus menghormati orang tuanya. Itu yang Fea mau Arnon mengerti.Tiba di kediaman Lukman, pria itu dengan senyum lebar menyambut Arnon dan Fea. Pelukan hangat hadir menyapa keduanya, membuat suasana hati yang sedikit terganggu menjadi lebih nyaman."Akhirnya, Fea ... senang sekali bisa menyambut kamu di rumahku. Sherlita sudah menunggu, tidak sabar." Lukman menoleh pada wanita yang usianya tidak begitu jauh dengan Fea.Sherl

  • Andai Semua Berbeda   125. Kenyataan Tak Mungkin Diubah

    Mata Arnon yang sedikit sipit itu melebar, memandang Fea yang berdiri tegak mematung, dengan wajah tegang. Dengan cepat Arnon menghampiri Fea dan meraih kedua tangannya. "Aku tidak salah dengar, Ar? Semua yang terjadi karena Nyonya Arnella?" Senyum Fea yang tadinya cerah lenyap sudah. Dia meminta penjelasan pembicaraan yang dia dengar antara Arnon dan Lukman adalah benar. "Sayang, ga usah dipikir, ya? Kita jalan, yuk. Ke taman belakang, ke makam Tante Lovina." Arnon tidak mau memperpanjang karena Fea akan kembali bersusah hati. Lebih baik Arnon alihkan saja pada hal yang lain. "Arnon!" Fea menolak beranjak. Dia ingin Arnon tidak menghindar lagi. "Katakan saja semua padaku." Lukman masih tetap di posisinya. Dia memperhatikan Fea dan Arnon dengan rasa gundah. Kebahagiaan keduanya selalu saja ada yang mengganggu. Yang menyedihkan, justru dari orang terdekat yang seharusnya mendukung mereka. "Sayang ..." Arnon makin erat menggenggam tangan Fea. "B

  • Andai Semua Berbeda   126. Galau Sang Nyonya Berkepanjangan

    Wati memanggil Arnella yang ada di dalam kamarnya. Makan malam sudah siap tetapi Arnella belum juga ke ruang makan. Di dalam kamar Arnella duduk termenung menatap keluar jendela yang menghadap gerbang rumah besar itu. Wajah sendu belum pergi darinya.Sejak Arnon datang dan marah besar hari itu, Arnella tidak bisa tersenyum. Matanya kuyuh, wajahnya tidak menyiratkan aura gembira yang biasanya terlihat. Bahkan ketika Ardiansyah pulang juga tidak terlalu berarti untuknya. Padahal Arnella selalu bersemangat jika suaminya datang dan mau tinggal beberapa hari bersamanya."Nyonya, makan malam ...""Aku tidak lapar, Wati. Kalian saja yang makan." Dengan cepat Arnella menyahut."Tapi, Nyonya ..." Wati menjadi gundah. Tidak seperti biasanya Arnella menunjukkan sikap kuat dan tegar menghadapi apapun. Dia selalu bisa berdiri dan mencari cara mengatasi kemelut yang harus dia selesaikan."Sedikit saja. Saya antar ke sini saja, jika Nyonya tidak ingin kelua

Bab terbaru

  • Andai Semua Berbeda   Extra Part - The Double Twins

    Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba

  • Andai Semua Berbeda   235. Andai Semua Berbeda

    Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa

  • Andai Semua Berbeda   234. Senyum Berubah Menjadi Rasa Cemas

    Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu

  • Andai Semua Berbeda   233. Jangan Lepaskan

    Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"

  • Andai Semua Berbeda   232. Tumpeng Buat Tinah

    Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.

  • Andai Semua Berbeda   231. Tak Mudah Menyelami Hati

    "Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t

  • Andai Semua Berbeda   230. Kejutan Kawan Lama

    Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di

  • Andai Semua Berbeda   229. Permohonan Maaf Herni, Kepedihan Liani

    "Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g

  • Andai Semua Berbeda   228. Bukan Seperti yang Dibayangkan

    Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b

DMCA.com Protection Status