Pelayan itu maju beberapa langkah, mendekat pada Arnella. Dia berjongkok di sisi sofa sambil memandang pada Arnella yang masih menangis.
"Apa aku salah kalau aku ingin putraku mendapat yang lebih baik? Aku tidak mau dia dihina orang seperti yang aku alami. Aku tidak mau." Dengan tangis belum reda, suara sedikit bergetar Arnella menuangkan rasa sedihnya.
Pelayan itu tidak tahu harus bicara apa. Dia hanya memandang pada Arnella yang terlihat begitu terpukul karena Arnon.
"Aku bantu Nyonya ke kamar, Nyonya istirahat saja di dalam." Pelayan itu memberanikan diri membujuk Arnella.
"Wati, kalau kamu jadi aku ... kamu pasti mau yang terbaik buat anakmu, kan?" Arnella mengusap pipinya.
"Iya, tentu, Nyonya." Wati menjawab sambil menganggukkan kepala.
"Kenapa Arnon justru membenci aku sekarang?" Dengan ucapan itu, Arnella kembali melepas tangisnya.
Wati tidak menjawab. Dia sedikit memaksa membantu Arnella berdiri dan memapahnya menuju ke kamar
Dengan tergesa Arnon masuk ke dalam rumah. Dia ingin segera melihat Fea. Di saat seperti ini dia harus sesering mungkin di sisi istrinya. Hati Fea sangat sedih karena harus kehilangan bayinya. Kondisi fisiknya pun tidak bisa dengan cepat pulih. Di dalam kamar, Fea berbaring. Dia memejamkan mata tetapi tidak sedang tidur. Fea memaksa diri agar terlelap sehingga lupa sejenak semua kepedihannya. Sayangnya, tidur pun begitu sulit. Dan yang membuat Fea semakin sedih, dia baru mendengar kabar Rania melahirkan bayinya, seorang anak perempuan yang mungil dan cantik. Dada Fea terasa sesak jika mengingat itu. Seharusnya beberapa bulan lagi dia juga akan menggendong bayinya. Kenyataan bicara lain. Fea tidak bisa menjaga buah hatinya dan terpaksa harus kehilangan di awal-awal kehamilan. Sakit sekali rasanya. "Sayang ..." Arnon mengecup kepala Fea. Dia tahu Fea belum tidur. Fea membuka matanya. Dengan tatapan sayu dia memandang Arnon. Perlahan dia bangun, duduk di
Perjalanan Fea dan Arnon berlanjut. Sebisa mungkin keduanya menyisihkan situasi yang mengganjal karena kedatangan Arnella. Arnon bertingkah seceria mungkin selama perjalanan. Dia terus mengajak Fea bercanda, tidak memberi dia kesempatan bertanya apapun tentang Arnella.Fea tahu, Arnon menghindar dari masalah yang dia hadapi dengan mamanya. Fea juga tidak mau memaksa Arnon bicara. Lebih baik dia menikmati perjalanan itu sambil mencari waktu yang tepat dia bisa mengajak Arnon bicara. Bagaimanapun orang tua adalah orang tua. Seorang anak harus menghormati orang tuanya. Itu yang Fea mau Arnon mengerti.Tiba di kediaman Lukman, pria itu dengan senyum lebar menyambut Arnon dan Fea. Pelukan hangat hadir menyapa keduanya, membuat suasana hati yang sedikit terganggu menjadi lebih nyaman."Akhirnya, Fea ... senang sekali bisa menyambut kamu di rumahku. Sherlita sudah menunggu, tidak sabar." Lukman menoleh pada wanita yang usianya tidak begitu jauh dengan Fea.Sherl
Mata Arnon yang sedikit sipit itu melebar, memandang Fea yang berdiri tegak mematung, dengan wajah tegang. Dengan cepat Arnon menghampiri Fea dan meraih kedua tangannya. "Aku tidak salah dengar, Ar? Semua yang terjadi karena Nyonya Arnella?" Senyum Fea yang tadinya cerah lenyap sudah. Dia meminta penjelasan pembicaraan yang dia dengar antara Arnon dan Lukman adalah benar. "Sayang, ga usah dipikir, ya? Kita jalan, yuk. Ke taman belakang, ke makam Tante Lovina." Arnon tidak mau memperpanjang karena Fea akan kembali bersusah hati. Lebih baik Arnon alihkan saja pada hal yang lain. "Arnon!" Fea menolak beranjak. Dia ingin Arnon tidak menghindar lagi. "Katakan saja semua padaku." Lukman masih tetap di posisinya. Dia memperhatikan Fea dan Arnon dengan rasa gundah. Kebahagiaan keduanya selalu saja ada yang mengganggu. Yang menyedihkan, justru dari orang terdekat yang seharusnya mendukung mereka. "Sayang ..." Arnon makin erat menggenggam tangan Fea. "B
Wati memanggil Arnella yang ada di dalam kamarnya. Makan malam sudah siap tetapi Arnella belum juga ke ruang makan. Di dalam kamar Arnella duduk termenung menatap keluar jendela yang menghadap gerbang rumah besar itu. Wajah sendu belum pergi darinya.Sejak Arnon datang dan marah besar hari itu, Arnella tidak bisa tersenyum. Matanya kuyuh, wajahnya tidak menyiratkan aura gembira yang biasanya terlihat. Bahkan ketika Ardiansyah pulang juga tidak terlalu berarti untuknya. Padahal Arnella selalu bersemangat jika suaminya datang dan mau tinggal beberapa hari bersamanya."Nyonya, makan malam ...""Aku tidak lapar, Wati. Kalian saja yang makan." Dengan cepat Arnella menyahut."Tapi, Nyonya ..." Wati menjadi gundah. Tidak seperti biasanya Arnella menunjukkan sikap kuat dan tegar menghadapi apapun. Dia selalu bisa berdiri dan mencari cara mengatasi kemelut yang harus dia selesaikan."Sedikit saja. Saya antar ke sini saja, jika Nyonya tidak ingin kelua
Agak aneh rasanya Wati menghubungi Arnon. Apakah ada sesuatu? Fea menajamkan pendengaran, ingin tahu apa yang akan Wati katakan. "Ada apa, Mbak?" tanya Fea. Dia mendekati ranjang besar di tengah kamar itu dan duduk di tepinya. "Fea, Nyonya Arnella. Dia sakit." Suara Wati sedikit gemetar. Masih ada rasa takut jika Fea akan menolak bicara setelah yang Arnella lakukan padanya. "Nyonya sakit?" Fea mengulang perkataan Wati. Kenapa dia Arnella sakit harus merepotkan Arnon. Keluarga Hendrawan punya dokter handal, dokter kelas satu di kota itu. Arnella pasti akan dapat perawatan terbaik. "Fea, Nyonya ... dia kena stroke. Dia terlalu sedih ..." "Apa, Mbak?" Fea menyahut tidak menunggu Wati selesai bicara. "Ya, setelah Tuan Muda ngamuk ke rumah siang itu, nyonya sangat sedih. Dan berhari-hari tidak ada keinginan makan. Dia makin lemah, lalu ..." "Sayang! Aku pakai kaos yang mana, nih?!" Terdengar Arnon bicara dengan keras. Dia sudah kelu
Panas rasanya telinga Arnon mendengar yang Fea katakan. Mengapa Fea bicara soal Arnella? Fea jelas tahu kalau Arnon tidak mau peduli dengan wanita itu lagi. Arnon melangkah menjauh, dia membuka pintu menuju ke balkon kamar. Fea memandang Arnon dengan rasa sangat tidak nyaman. Ini yang dia tidak mau, bertengkar dengan Arnon. Hubungan mereka baru pulih setelah masa berat yang mereka lalui karena Arnella. Arnon begitu senang melihat istrinya bisa lebar tersenyum bahkan tertawa lagi. Lalu tiba-tiba harus bersitegang dan itu gara-gara orang yang sama, Arnella. "Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" batin Fea bergejolak. Buatnya ini juga bukan hal mudah. Setiap ingat Arnella, yang muncul di pikiran Fea, wanita itu tidak suka dengannya, dia berusaha menghancurkan pernikahannya dengan Arnon. Perlahan, Fea bangkit, berjalan mendekati Arnon yang berdiri menatap perbukitan di kegelapan, karena hari memang sudah malam. Fea memeluk pinggang Arnon
Arnella memandang nanar keluar kamar. Dia mengarahkan pandangan pada gerbang utama. Dia berharap mobil Arnon akan muncul, putranya akan datang melihat dia. Ingin sekali Arnella kembali bertemu Arnon dan mengucapkan maaf. Dia tidak mau Arnon meninggalkan dia seperti itu. "Nyonya ..." Suara Wati yang masuk ke dalam ruangan itu seolah tidak dia dengar. Pikiran Arnella terbawa pada hari saat Arnon meninggalkannya di depan rumah. Dengan marah, tetapi tangannya menggandeng Fea mesra, Arnon pergi. Hati Arnella begitu pahit rasanya. Arnon lebih cinta wanita itu, bukan dirinya, ibu yang melahirkannya. "Arnon ... pulang ..." ucapnya lirih dengan mata basah. Kemudian ingatannya beralih pada sore harinya, saat Arnella menghadiri acara keluarga salah satu rekan sosialitanya. Tidak dia sangka, Ardan ada di sana. Entah apa urusan anak sulung Ardiansyah itu. Yang jelas, ucapan pria angkuh itu menusuk Arnella. "Aku harus berterima kasih padamu, Istri ketiga Tu
Ardiansyah memukul meja dengan geram. Arnon terang-terangan sekarang menolak dan melawannya. Ardiansyah tidak mengira sama sekali. Setelah Ardan, putra sulungnya, Arnon adalah anak laki-laki yang dia miliki. Sekalipun anak-anak perempuannya juga punya ketrampilan kepeimpinan dan mampu diserahi sebuah perusahaan, tetap punya Arnon adalah sesuatu yang membanggakan. Ardiansyah mengembuskan nafas berat, berpikir keras harus bertindak apa. Arnon sama dengan dirinya, jika punya kemauan akan gigih berpegang pada itu dan akan mengejarnya hingga terwujud. Tapi melepas seorang anak, dia tidak mau mengakuinya sebagai orang tua, ini tidak masuk akal! "Apa yang ada di pikiran Arnon!?" Ardiansyah benar-benar kesal. Tidak mungkin dia akan mengijinkan Arnon mengganti nama belakangnya. Mau berulang kali dia berubah nama, darah Hendrawan tetap ada di dalam dirinya, tidak ada gunanya merubah identitas. Bagaimana dia bisa melunakkan hati Arnon itu yang Ardiansyah pikirkan.
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b