Rumah sepi. Hampir tidak ada suara terdengar di sana. Melia sedang menyiapkan sarapan buat Fea. Sejak Arnon pergi, nafsu makan Fea turun drastis. Dia hampir tidak makan apa-apa. Jika dipaksa, dia pasti muntah.
Melia berusaha mencari cara agar Fea tetap bisa makan. Melia memilih makanan cari saja yang dia siapkan, agar Fea tidak perlu mengunyah, begitu masuk mulut, akan langsung turun dalam perutnya.
Di dalam kamar, Fea merasa lemas dan tidak bersemangat. Dia masih belum bisa menghubungi Arnon. Ingin mencoba lagi, ada rasa takut juga. Dia tidak mau membuat Arnon semakin marah dan meledak.
"Perutku sakit." Fea mencoba duduk, bersandar ke punggung ranjang besar tempat dia tidur bersama pria kecintaannya.
Ranjang itu rasanya terlalu besar dan luas untuknya sendiri. Dia memegang perutnya yang melilit, menoleh ke sebelahnya. Kosong. Biasanya saat bangun pagi, Arnon sedang tidur meringkuk, dengan tangan memegang tangan Fea.
"Arnon, kamu di mana
Mendengar perkataan Arnon, Ardan makin emosi. Mood baik yang dia miliki hari itu melayang sudah."Aku memang culas dan jahat. Aku sangat tidak suka denganmu! Tapi aku bukan pria yang bersembunyi di balik apa yang kulakukan. Aku bukan pengecut yang tidak berani mengakui apa yang aku lakukan!" Ardan bicara dengan rasa marah.Arnon mengepalkan tangannya. Suara Ardan makin keras dia dengar di telinga."Sekali lagi aku katakan! Aku belum ada niatan bermain-main denganmu. Kalu memang ini yang terjadi, siapapun pelakunya, aku harus berterima kasih. Aku tidak perlu repot, tinggal melihat kamu menangis darah!" Ardan mengakhiri panggilan itu dengan hati panas.Arnon terdiam. Dengan tegas dan jelas, Ardan mengelak. Bukan dia yang melakukan kegilaan pada Arnon kali ini. Lalu siapa? Arnon berpikir. Dia memandang Riko yang duduk dengan tangan terlipat tak jauh darinya. Pria itu memandang pada Arnon yang terlihat kacau."Ardan tidak mengaku, Riko. Aku hampir yaki
Permintaan Arnon bisa dibilang mudah, tapi juga tidak. Riko harus bisa bergerak cepat menemukan pria yang ada di foto bersama Fea. Dia minta Arnon mengirim foto-foto itu. Lalu Riko minta waktu bicara dengan Melia. Fea sedang tidur, dia harus istirahat. Riko juga tidak ingin membuat emosi Fea tidak stabil jika harus dipusingkan soal ini. Melia mengatakan pada Riko, di mana foto Fea diambil. Untungnya Fea mengatakan semua pada Melia sehingga Melia bisa menjelaskan pada Riko. Dua tempat yang melatarbelakangi kejadian itu. Pertama di resto tempat Fea bertemu dengan Stefi, kedua, di swalayan yang tidak jauh dari rumah. Setelah semua jelas, Riko bergerak. Tugasnya bertambah. Terus berkoordinasi soal resto, juga menyingkap misteri pria di foto itu. Dia akan biarkan Arnon fokus di sisi Fea. Situasi ini, Fea sangat butuh Arnon di sampingnya. Dengan begitu Fea makin yakin, Arnon memang tidak lagi marah padanya. Yang Riko tuju pertama kali adalah Stefi. Karena Stefi ber
Jantung Arnon rasanya ingin melompat setelah membuka foto kiriman dari Briani. Di layar ponsel Arnon, terpampang foto yang membuat dia makin terkejut dan tidak percaya dengan yang dia lihat. Pria yang sama yang ada di foto bersama Fea, sedang berdiri berdampingan dengan laki-laki lain, mereka berhadapan dengan wanita yang sangat Arnon kenal, Arnella. "What!?" Dada Arnon makin beradu tak menentu. Ini sangat tidak mungkin. Pasti Briani merekayasa ini, sehingga tampak ibunya adalah biang keladi di balik kejadian Fea dan laki-laki misterius itu. Arnon segera menelpon Briani. Beberapa kali dia coba tapi tidak diangkat. Kesal, Arnon mengirim pesan. Dia minta bertemu dengan Briani untuk minta penjelasan. Jawaban pesan, Briani sedang ada meeting tidak mau diganggu. "Sial." Arnon mengumpat geram. "Sekarang kakak-kakakku yang lain juga aku perlu waspadai. Kukira dua monster itu cukup, nyatanya ..." "Maaf, Pak Arnon, Ibu Fea ingin bertemu. Dia baru saja bangun."
Tatapan tajam Arnon menghujam Briani demi mendengar apa yang dikatakan wanita itu. Tidak mungkin rasanya percaya dengan apa yang Arnon dengar. Briani tersenyum getir. "Aku paham, Arnon. Bagaimanapun juga ibu adalah ibu. Kita akan selalu berpikir dia baik, sayang kita dan menginginkan kebahagiaan kita. Ya, sangat wajar." Briani meneruskan kalimatnya. Arnon dan Irvan memandang Briani yang mengeluarkan rokok, menyulut ujungnya lalu mulai mengisapnya perlahan. "Kurasa kamu juga akan bersikap sama." Arnon masih terus menatap tajam pada Briani. "Kamu pasti pernah tahu kisah pedih anak yang dijual ibunya. Atau ibu yang tega menyiksa anaknya hingga cacat. Realistis aja, Ar, ada ibu yang kejam. Memanh sedih kalau ternyata itu adalah ibu kita." Mengatakan itu, Briani meletakkan rokok, membuka galeri di ponsel, dia kirimkan lagi foto yang lain kepada Arnon. "Cermati gambar itu. Zoom kalau perlu, simpulkan sendiri. Jangan aku." Briani kembali melempar sen
Buat Arnon, rencana Riko harus dijalankan. Dia ingin tahu pria yang sudah mempermainkan istrinya. Kalau perlu dia gampar saja sampai terjungkal. Arnon pun memastikan dia mau ikut Riko bertemu dengan Dio. Irvan melihat situasi bisa lebih runyam. Apalagi jika Arnon tidak bisa menahan diri saat dia bertemu dengan Dio. Karena itu malam itu Irvan mengajak Arnon bicara santai, sedikit mengajak bercanda agar Arnon tidak terus pada tegangan tinggi. Dengan begitu, Iravn juga berharap, Arnon akan lebih tenang menghadapi pria yang dibayar Arnella. Pagi tiba, Arnon bangun subuh. Dia langsung menghubungi Stefi dan menanyakan kondisi Fea. Stefi masih tidur sebenarnya. Telpon dari Arnon membuat dia terkejut. Ternyata Arnon hanya sekadar tanya kabar. "Fea masih tidur. Dia baik-baik saja. Kurasa sebelum makan siang, dia sudah bisa pulang, Arnon." Stefi bicara dengan suara masih serak. "Syukurlah. Thank you sudah mau temani Fea. Pagi ini aku masih ada urusan. Aku harap
Mata Dio terbelalak begitu medengar Arnon menyebut nama yang sama dengan yang dia katakan. Arnon melepas kacamata hitam dan topi yang ada di kepalanya. Seketika wajah Dio memerah. "Arnon?!" ucapnya terkejut. "Ya. Jadi kamu memang bekerja sama dengan Arnella Hendrawan, ibuku, untuk merusak kebahagiaanku dan istriku." Arnon berdiri sedikit mencondongkan badan ke arah Dio. Pandangan geram jelas terlihat di wajah Arnon. "Woww ... Aku hanya pria yang suka duit." Dio mengangkat kedua tangannya. "Kamu ..." Arnon mengangkat kepalan tangan ke arah muka Dio. "Hei, kalau kamu mau marah padaku, kamu salah alamat." Dio berdiri dan menantang Arnon. Keduanya berhadapan dan saling menatap tajam. Riko ikut berdiri. Dia harus bersiap jika kedua pria ini akhirnya makin panas, dia harus mencegah terjadi perkelahian di ruangan itu. "Kamu tanya saja sama mama kamu, kenapa dia tega melakukan ini padamu? Aku tidak ada urusan denganmu. Bisnisku dengan
Dengan langkah tergesa-gesa Arnon masuk rumah besar itu. Rumah yang lama tidak lagi dia injakkan kaki di sana. Rumah yang buatnya hanya penuh kenangan pahit. Kali ini dia datang juga karena rasa pedih dan marah."Nyonya Arnella!" Dengan suara lantang Arnon memanggil mamanya. Dia berdiri di ruang tengah, melihat ke arah kamar Arnella yang ada di lantai atas.Dua pembantu yang sedang membersihkan ruangan itu sangat terkejut. Tiba-tiba muncul Arnon dan meledak seperti itu."Maaf, Tuan Muda ..." Salah satu dari pembantu itu memberanikan diri mendekat pada Arnon."Mana nyonyamu?! Aku ingin bertemu dengannya." Arnon berkata ketus dengan rasa geram."Maaf, nyony baru saja masuk kamar dan beristirahat." Pembantu itu sedikit takut berbicara."Bagus sekali. Keadaan sudah seperti ini dia bisa tidur nyenyak," kata Arnon gusar.Arnon kembali mengangkat wajah melihat ke lantai atas."Nyonya Arnella!!" Lebih keras Arnon berteriak.Pemb
Pelayan itu maju beberapa langkah, mendekat pada Arnella. Dia berjongkok di sisi sofa sambil memandang pada Arnella yang masih menangis."Apa aku salah kalau aku ingin putraku mendapat yang lebih baik? Aku tidak mau dia dihina orang seperti yang aku alami. Aku tidak mau." Dengan tangis belum reda, suara sedikit bergetar Arnella menuangkan rasa sedihnya.Pelayan itu tidak tahu harus bicara apa. Dia hanya memandang pada Arnella yang terlihat begitu terpukul karena Arnon."Aku bantu Nyonya ke kamar, Nyonya istirahat saja di dalam." Pelayan itu memberanikan diri membujuk Arnella."Wati, kalau kamu jadi aku ... kamu pasti mau yang terbaik buat anakmu, kan?" Arnella mengusap pipinya."Iya, tentu, Nyonya." Wati menjawab sambil menganggukkan kepala."Kenapa Arnon justru membenci aku sekarang?" Dengan ucapan itu, Arnella kembali melepas tangisnya.Wati tidak menjawab. Dia sedikit memaksa membantu Arnella berdiri dan memapahnya menuju ke kamar