Bab 14

Billy tidak ingat bagaimana dirinya kembali ke rumah sakit. Saat tersadar kembali, dia sudah duduk di samping ranjang pasien Siena dengan wajah dibasahi air mata.Siena yang terbaring di atas ranjang pasien memejamkan kedua matanya dan terlihat begitu tenang. Hanya dada yang masih naik turun dengan lemah itu yang dapat membuktikan bahwa dia masih hidup.

Billy menatap tampang Siena yang damai dan menangis tersedu-sedu. Dia tahu apa yang dikatakan Julia memang benar. Baik membandingkannya dengan Julia maupun Xavier, tidak ada yang menyakiti Siena lebih dalam dari dirinya sendiri.

Kenapa semuanya berubah menjadi seperti ini? Awalnya, Billy jelas-jelas sangat mencintai Siena. Kenapa dia malah melakukan begitu banyak hal yang melukai Siena?

Alangkah baiknya jika dia tidak bersama Julia pada pesta ulang tahun itu ....

Alangkah baiknya apabila dia tidak bertengkar dengan Siena waktu itu ....

Alangkah baiknya bila dia tidak meninggalkan Siena karena mengambek ketika mereka main ski hari itu ....

Keadaan di dalam kamar rawat sangat hening, yang terdengar hanyalah suara tangisan yang berusaha ditahan oleh Billy. Semua kenangan masa lalu mulai bermunculan dalam benaknya. Kenangan-kenangan itu terasa bagaikan salju yang turun dari langit, indah tetapi tak tergapai.

Billy mengeluarkan ponselnya dengan tangan gemetar dan mencoba untuk mencari jejak hidup Siena. Namun, dia tidak menemukan apa pun.

Billy pun teringat bahwa sebelumnya, Julia pernah mengatakan ponselnya rusak dan ingin meminjam ponsel Billy untuk mengambil foto. Saat itu, dia memberikan ponselnya kepada Julia tanpa ragu. Ketika menerima kembali ponselnya, dia menyadari bahwa sudah tidak ada selembar pun foto Siena di ponselnya.

Julia mengatakan bahwa dirinya tidak sengaja menekan tombol hapus. Apa yang dikatakan Billy waktu itu? Benar juga. Waktu itu, dia menjawab, “Itu bukan barang yang penting. Kalau sudah terhapus, ya sudah.”

‘Tidak! Pasti masih ada!’ seru Billy dalam hati. Dia pun membuka Facebook Siena, tetapi beranda hanya menunjukkan beberapa patah kata.

[ Akun ini sudah dihapus. ]

Billy menggenggam tangan Siena dan merasa hatinya bagaikan ditusuk oleh sesuatu. Betapa kecewanya Siena hingga dia memilih untuk menghapus akunnya dan merelakan semua masa lalu mereka?

Billy masih tidak rela dan menelepon perusahaan jaringan koneksinya. “Aku nggak peduli kalian pakai cara apa. Pokoknya, kalian harus pulihkan akun Siena! Nggak boleh ada satu pun postingan dan fotonya yang kurang! Ngerti? Kalau kalian nggak bisa melakukannya, langsung keluar saja dari perusahaanku!”

Berhubung bos sudah berbicara, para karyawan tentu saja tidak berani menyepelekan hal ini. Tidak lama kemudian, Billy pun menerima panggilan balik dari departemen teknis.

“Pak Billy, akun Bu Siena sudah dipulihkan.”

Billy pun membuka halaman Facebook Siena lagi. Terlihat foto mereka berdua yang familier sebagai gambar latar belakang akun itu. Dalam foto itu, Siena yang mengenakan topi santa sedang melingkarkan kedua tangannya di leher Billy. Senyum Siena terlihat santai dan manis.

Billy ingat foto ini diambil pada hari Natal. Tahun itu, mereka diam-diam menyiapkan kejutan untuk satu sama lain. Alhasil, pada Malam Natal, mereka malah menatap empat lembar tiket film yang sama, lalu saling berpandangan dan tertawa.

Pada saat itu, Billy dan Siena sangat kompak dan dapat langsung memahami isi hati satu sama lain tanpa harus berkomunikasi. Hanya saja, entah sejak kapan, mereka mulai menjauh.

Mungkin saja, tampang kasihan Julia pada hari itu membuat Billy teringat pada Siena. Mungkin saja, wajah Julia yang lumayan mirip dengan Siena membuatnya linglung. Namun, semuanya telah terjadi. Dia tidak dapat mengubah masa lalu, hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk menghargai masa kini.

Billy menyuruh bawahannya untuk mencetak semua foto-foto itu dan menggantungnya di kepala tempat tidur Siena.

“Nana.” Billy menggenggam tangan Siena dan berkata, “Kalau kamu sudah sadar, kita foto bareng lagi, ya. Nanti, kita ambil foto sebanyak-banyaknya. Oke?”

Siena yang tertidur lelap tidak memberikan reaksi apa pun. Namun, Billy lanjut berkata, “Aku bacakan sebuah cerita, ya? Dulu, Nana paling suka dengar aku baca cerita. Benar, ‘kan?”

Billy menunduk dan menunjukkan kelembutan yang tidak pernah ditunjukkannya sebelumnya.

“Pada zaman dahulu kala, di sebuah hutan, terdapat seekor kelinci kecil. Pada musim dingin, dia membuat manusia salju di depan rumahnya. Manusia salju itu punya hidung yang bulat dan mulut yang selalu tersenyum berseri-seri.”

“Kelinci itu pun dengan cepat berteman dekat dengan manusia salju. Setiap hari, mereka akan bernyanyi dan menari bersama. Mereka gembira banget! Suatu hari, si kelinci bertanya, ‘Manusia salju, kamu bisa temani aku pergi lihat matahari terbit?’”

“Manusia salju itu menyetujuinya. Jadi, mereka berusaha mendaki ke puncak gunung. Tidak lama kemudian, matahari pun terbit dan memancarkan sinarnya ke seluruh bumi. Pemandangannya cantik sekali!”

“Tapi, begitu matahari muncul, manusia salju malah mulai meleleh. Tubuhnya perlahan-lahan berubah menjadi genangan air dan menguap karena sinar matahari. Si kelinci sedih sekali dan berusaha memeluk manusia salju. Tapi makin dia berusaha, manusia salju malah menghilang makin cepat.”

“Pada akhirnya, manusia salju sepenuhnya menguap. Sebelum sepenuhnya hilang, dia berkata pada si kelinci ....” Suara Billy makin tercekat. Dia menunduk dan lanjut berkata sambil menangis, “Dia bilang, ‘Kelinci, jangan sedih. Ingatlah aku lewat sinar pertama matahari terbit. Kelak, setiap kamu melihat matahari terbit, akan selalu ada aku di sisimu.”

Billy menunduk dan menempelkan wajahnya di telapak tangan Siena sambil berujar dengan suara tercekat, “Nana, jangan jadi manusia salju. Jangan tinggalkan aku, ya?”

...

Beberapa hari kemudian, Billy lagi-lagi tertidur dengan berbaring di samping tempat tidur Siena. Mimpinya sangat panjang.

Dalam mimpi, Siena tidak kehilangan orang tuanya dan tentu saja tidak mengenal Billy. Dia tumbuh besar dengan gembira, mengenal orang baru, dan memiliki keluarga baru. Sementara itu, dia hanyalah seorang pengamat yang sama sekali tidak cocok untuk berada dalam hidup Siena.

Pada akhir mimpi, Billy melihat sosok Siena yang menjauh dan menyerukan namanya dengan kuat. Siena pun menghentikan langkahnya dan seperti bisa mendengar seruannya. Namun, sebelum mendengar jawaban Siena, dia sudah tiba-tiba terbangun.

“Untung cuma mimpi ....”

Hanya saja, begitu mendongak, Billy langsung tercengang. Ranjang pasien di hadapannya kosong melompong. Siena yang awalnya terbaring diam di sana sudah menghilang. Dia pun secara refleks menyentuh permukaan ranjang itu. Namun, dia hanya merasakan kedinginan tanpa sedikit pun kehangatan yang tersisa.

“Pengawal! Pengawal!”

Bola mata Billy seketika dipenuhi urat merah. Dia segera menerjang keluar, lalu meraih kerah baju pengawal yang berjaga di depan pintu sambil bertanya, “Di mana Siena? Dia pergi ke mana!”

Pengawal itu menjawab dengan kebingungan, “Pak Billy, aku berjaga di sini semalaman dan sama sekali nggak lihat Bu Siena.”

Apa dokter membawa Siena pergi melakukan pemeriksaan?

Billy masih merasa tidak rela, lalu menahan seorang perawat yang lewat dan bertanya, “Di mana pasien lain yang dirawat di kamar ini?”

Perawat itu pun terkejut dan menjawab dengan terbata-bata, “Ng ... nggak tahu. Hari ini, nggak ada seorang pun yang masuk ke kamar rawat ini.”

Billy tidak berhenti bertanya pada satu demi satu orang. Namun, tidak ada seorang pun yang tahu di mana Siena berada. Saat memandang kamar rawat yang kosong, keputusasaan dan ketakutan yang kuat segera meliputi hatinya. Apa dia akan kehilangan Siena dengan cara seperti ini?