Share

Bab 2

Regina menatapku, lalu memandang Deon sambil tersenyum.

"Ibumu sudah pulang, jadi Tante harus pergi."

Deon duduk di lantai sambil menangis. "Suruh dia pergi. Aku mau Tante Regina tetap di sini. Aku ingin Tante Regina menjadi ibuku!"

Walau Deon baru berusia empat tahun, yang mana perkataannya tidak boleh terlalu dianggap serius, tetapi mendengarnya mengucapkan kata-kata seperti itu, hatiku terasa pedih sekali.

Regina menepuk pundakku. "Anak-anak memang seperti ini. Jangan terlalu dipikirkan."

Lionel yang berdiri di samping langsung mengangkat tubuh Deon dari lantai. Nada bicaranya sedingin es.

"Kalau kamu masih bilang begitu, kamu akan dihukum berdiri di luar selama satu jam."

Kata-kata Lionel cukup ampuh juga. Deon tidak berani merengek dan berguling-guling di lantai lagi.

Satu-satunya suara yang tersisa di ruang tamu hanyalah isak tangisnya Deon.

Aku memandang pemandangan konyol yang menutupi kedamaian di depanku. Tiba-tiba aku merasa diriku bodoh sekali karena telah ditipu oleh dua orang terdekatku.

Kalau aku tidak angkat bicara, kami masih bisa hidup damai dan menjalankan peran masing-masing.

Karier Lionel makin hari makin membaik. Aku juga bisa terus menikmati peranku sebagai istri orang kaya.

Regina masih tetap sahabat terbaikku, yang masih setia menjadi tempat curhatku.

Meski Deon tidak patuh, dia tetaplah putraku yang lahir dalam kandunganku selama sepuluh bulan. Kelak, dia pasti akan berpihak kepadaku.

Namun, namun ....

Melihat Lionel yang mendorong pintu kamar tidur, tiba-tiba terdorong keinginan untuk bersikap tegas.

"Lionel, kita cerai saja."

Aku kembali ke kampung halamanku, Hodam.

Kubilang ini kampung halamanku, tetapi sebenarnya kerabatku disini hanyalah dekan panti asuhan.

"Ivana." Dia memegang tanganku. Air matanya menetes. "Bagaimana denganmu kelak?"

Aku meletakkan tanganku di tangannya. Aku menatap genangan air hujan di depanku, lalu berkata dengan hangat, "Pasti akan menjadi lebih baik."

Bisakah?

Aku juga tidak tahu.

Suamiku, putraku, dan sahabatku. Dalam semalam, aku kehilangan tiga orang terdekatku.

Aku kembali seperti masa kecil lagi. Melewati hidup sendirian.

Dekan memelukku dan berkata, "Kalau sedih, pulanglah ke rumah."

Aku mengangguk. Saat bersiap untuk keluar, terdengar keributan di belakangku.

Seorang gadis kecil didorong ke dalam genangan air oleh beberapa anak laki-laki. Gaun putihnya langsung kotor.

Dekan menghampiri dan memarahi sekumpulan anak laki-laki itu. Aku membantu gadis kecil itu berdiri.

Dia memeluk boneka beruang kecil erat-erat. Namun karena terlalu banyak air yang terciprat, wajah beruang kecil itu juga kotor.

"Apa boneka ini penting bagimu?"

Gadis kecil itu mengangguk. Dia kemudian menggunakan jarinya untuk menyeka noda lumpur. Namun makin dia menyekanya, bonekanya malah makin kotor.

Dekan menghela napas, "Anak ini menunggu keluarganya menjemputnya di depan pintu setiap hari. Tapi keluarganya sudah nggak ada lagi."

Melalui punggung kecil itu, aku seolah-olah melihat sosok masa kecilku.

Entah kenapa, aku tiba-tiba bertanya, "Bolehkah aku mengadopsinya?"

Hari itu, bayangan yang berdiri di depan pintu berubah menjadi dua orang. Kartu keluarganya yang mulanya hanya beranggotakan satu orang pun berubah menjadi dua orang.

Aku memberi nama gadis kecil itu Alisia Tewadi.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengisi bak mandi dengan air hangat. Kemudian, memandikan Alisia dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Karena sudah berpengalaman membesarkan anak, aku masih cukup mahir dalam merawat Alisia.

Deon nakal dan manja. Dia hanya makan kalau disuapi. Dia juga pilih-pilih makanan dan sering menjatuhkan piring berisi nasi ke lantai setiap ada kesempatan.

Alisia tidak suka bicara, tetapi dia akan melahap masakan yang kubuat dengan patuh. Selesai makan, dia juga berinisiatif untuk mencuci piring.

Merawat Alisia jauh lebih mudah dan tidak menguras banyak energi dibandingkan merawat Deon.

Namun, aku selalu merasa tidak dekat dengan anak ini.

Saat pemeriksaan gigi rutin, aku baru tahu Alisia punya gigi berlubang.

Aku teringat dengan anakku sendiri. Gigi Deon tidak bagus. Jadi, aku tidak pernah membiarkan dia makan yang manis-manis.

Waktu itu, saat Deon bilang Regina akan membuatkan iga asam manis untuknya, Lionel tidak menunjukkan reaksi apa pun. Jelas, Lionel juga tidak begitu memperhatikan masalah gigi Deon.

Karena melamun terlalu lama, Alisia menepuk lenganku dengan tatapan bingung.

Aku ingin menggodanya dan berkata, "Aku pernah nonton film sebelumnya. Anak yang diadopsi oleh pemilik rumah itu ternyata seorang kurcaci dewasa. Jadi, aku harus periksa gigimu. Biar aku tahu kamu itu anak-anak atau bukan."

Untuk pertama kalinya, Alisia menunjukkan ekspresi tak berdaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status