"Calief, Dia.."
"Anak rekan bisnis papah, pak Ariz?" Lanjut Carlina menganga tak percaya dengan pengakuan putrinya tersebut."Iya, mah. Hiks.. maafin Allen." Ucap Allen di sela-sela isak tangisannya."Dengar! papah akan buat perhitungan sama dia, Dan papah akan buat dia bertanggung jawab, atas apa yang telah dia lakukan sama kamu!" Tegas Aldric dengan sedikit membentak, yang kemudian bangkit dari sofa, dan berjalan keluar meninggalkan ruang tamu.Namun langkahnya harus terhenti, ketika sebelah kaki kanannya di peluk erat oleh seseorang. Yang ternyata itu adalah, Allen. Putri kesayangannya.Melihat apa yang di lakukan oleh putrinya, membuat Aldric tak tega dan segera melepaskan pelukan erat Allen pada kakinya lalu membantunya berdiri dan kini bergantian, dialah yang memeluknya dengan erat."Hiks.. pah.. maaf.. tolong maafin Allen pah. Ini semua salah Allen pah... tolong maafin Allen.." histeris Allen di dalam dekapan Aldric yang dia panggil papah itu.Aldric melepaskan pelukannya, kemudian menangkup wajah putrinya tersebut. Menatap mata hazelnya."Nggak sayang, ini semua bukan salah kamu.. ini semua salah papah yang nggak bisa jagain kamu... papah yang nggak becus ngedidik kamu dengan baik." Ujar Aldric dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Jika satu kedipan saja terjadi, maka air mata itu akan jatuh membasahi pipinya.Allen terharu akan ucapan sang ayah tersebut. sungguh, ia tidak tau harus berkata seperti apa lagi?! Dia merasa seperti anak yang tak berguna bagi ke dua orang tuanya.Seorang anak yang hanya bisa mempermalukan ke dua orang tuanya, dan juga seorang anak yang hanya bisa menyusahkan kedua orang tuanya."Maaf pah, tolong maafin Allen. hiks.. Allen ikhlas kalau papah mau Allen pergi dari sini. Allen akan pergi pah." Ujar Allen sesenggukan di sela-sela isak tangisannya."Ssttt..." Aldric meletakkan jari telunjuknya di bibir Allen, mengisyaratkannya untuk diam."Kamu ngomong apa sih, sayang? Kamu itu anak papah sama mamah. mana mungkin kami tega ngusir kamu dari sini? Sedangkan kamu itu anak kami." Ucap Aldric menarik kembali tubuh Allen ke dalam pelukannya, dengan sebelah tangannya yang terus mengusap lembut surai hitam panjang milik allen."Tapi pah..""Ssttt.. cukup! papah emang kecewa sama kamu llen, sangat kecewa! Tapi mau bagaimana lagi? Semuanya udah terjadi!! Nasi sudah menjadi bubur. Lagi pula, seburuk apa pun kamu, kamu masih tetap anak kami! Iya kan, mah?" Tanyanya yang langsung di jawab anggukkan kepala dari sang istri."Maaf."Lagi, dan lagi. Hanya itu yang bisa Allen ucapkan. Dia terus mengucapkan beribu kata 'maaf' tanpa henti.Mengingat betapa besarnya perjuangan kedua orang tuanya dalam membesarkan dan merawatnya.Terutama, pada sang ibu. Yang telah mengandung dan melahirkannya dengan penuh perjuangan.Bahkan, nyawanya lah yang jadi taruhannya!"Sekali lagi, tolong maafin Allen mah, pah. Allen mohon sama papah dan mamah, tolong jangan kasih tau hal ini ke dia." Mohonnya."Kamu ngomong apa sih, sayang? Kamu mau anak kamu lahir tanpa seorang ayah? Apa Kamu mau hidup dengan membesarkannya sendiri tanpa seorang suami?"Jleb!Rasanya benar benar sakit, teramat sangat sakit! Andai ibunya tau, bahwa tanpa di beritahu pun laki laki itu sudah tau.Bagaimana jika ibunya tau bahwa ayah dari anak yang ada di dalam kandungannya pun sama sekali tak menginginkan dan mengharapkan nya, sedikit pun.Bahkan laki laki itu pun dengan teganya menyuruhnya untuk membunuh darah dagingnya sendiri.Sakit? Tentu! Bahkan rasanya jika dapat di gambarkan saja pun tidak cukup.Bagaimanakah perasaan kalian jika kalian berada di posisinya?Marah? Iya!Kecewa? Sangat!Sakit hati? Tentu.Atau kah kalian akan melakukan hal semacam, seperti...Bunuh diri?Dan, ya...Menggugurkannya?Oh no! jika hal tersebut terjadi dalam kehidupan kalian, please! jangan pernah lakukan itu.Jangan kalian bunuh seorang bayi yang tak berdosa, seorang bayi yang bahkan tak tau apa-apa, seorang bayi yang tentu saja tak mengerti bagaimana dan kenapa dia bisa hadir kedunia!Allen pun hanya mampu menundukkan kepala dalam dekapan Aldric, sang ayah.Saat mendengar pertanyaan dari ibunya yang mampu membuat hatinya sedikit mencelos karena pertanyaannya."Bukan gitu mah.." Allen bingung bagaimana harus mengatakannya."Terus maksud dari ucapan kamu tadi itu apa?" Tanya Carlina dengan sedikit mendesak Allen agar dia mau mengatakan yang sebenarnya.Allen pun segera melepaskan pelukannya dengan sang ayah dan menundukkan kepalanya karena tak berani menatap mata ke dua orang tuanya.Dengan gugup dan terbata-bata Allen pun mengatakannya."Ka-kalo dia sampai tau kandungan ini gak di gugurkan, di-dia akan.. ""Dia, akan?" Tanya Carlina dengan sebelah alisnya yang terangkat dan rasa penasarannya yang membuncah."Di- dia, akan.. tau. Dan.." jeda Allen dengan menarik nafasnya dalam dalam untuk menguatkan hatinya. Lalu menghembuskan nya secara perlahan-lahan.'Ayo llen, bilang. kamu pasti bisa! kamu harus bisa. Ayo, kamu pasti bisa!' Batinnya menyemangati diri sendiri."Dan.. dia sendirilah yang akan membunuhnya." Tuturnya dalam satu tarikan nafas, masih dengan kepala yang menunduk ke bawah."A-pa..?"To Be Continue.Carlina terkejut bukan main ketika mendengar pengakuan dari putrinya tersebut.Bagaimana mungkin, seorang laki laki yang terlihat baik baik saja bisa seperti itu yang tega menyuruh putrinya untuk membunuh darah dagingnya sendiri?!What the hell!Benar-benar lelaki brengsek!"Ja- jadi..." ucap Carlina pelan yang masih dapat di dengar dengan jelas, dengan mulut yang menganga lebar dan mata yang membelalak sempurna.Allen pun lantas menganggukkan kepalanya pelan, membenarkan semua perkataannya barusan yang memang benar adalah fakta."Help me, please....""Tolong, Allen nggak mau menggugurkan janin ini. Allen nggak mau membunuhnya! Bayi ini nggak bersalah.. dia nggak tau apa-apa. Allen nggak mau jadi seorang pembunuh yang tega melenyapkan darah dagingnya sendiri. Kalau mamah sama papah nggak setuju dengan keputusan Allen.. It's okay, Allen akan pergi dari sini. Allen juga nggak mau semakin buat kalian merasa malu karena semu
Setengah jam kemudian..Tok!Tok!Tok!"Ya, masuk." Ucap Allen ketika pintu ruangannya di ketuk kembali.Masuklah Widya, sekertaris Allen yang sudah membawa beberapa jumlah berkas yang telah disiapkan olehnya tadi untuk meeting mendadak tersebut."Permis, mrs. Berkas-berkasnya sudah saya siapkan. Dan meetingnya sebentar lagi akan segera di mulai." Ujar Widya sopan seraya menyerahkan berkas-berkas tersebut pada Allen."Ok, sebentar lagi. Saya sedang menunggu sepupu saya untuk menjaga Vani ketika saya meeting nanti."Tak lama setelah Allen mengatakan hal tersebut, pintu pun akhirnya kembali diketuk oleh seseorang. Yang tak lain adalah Elva, adik sepupu Allen yang baru saja tiba dari ke pulangannya, Los Angeles, USA kemarin malam."Ah, maaf kak aku sedikit terlambat. Jakarta sangat macet. And see.. Aku jadinya sekarang terlambat. Sorry.." Ujarnya dengan wajah yang terlihat sedikit merasa bersalah.
Huft! Akhirnya meeting kali ini selesai juga. Rasanya aku ingin cepat-cepat bertemu dengan Vani. Sedang apa ya anak itu..? batin Allen bertanya-tanya.Ibu satu anak itu terus saja merasa gelisah sejak mulai memasuki ruang tempat meeting itu berlangsung tadi. Bukan apa, ia cukup terkejut tadi ketika mengetahui bahwa lelaki itu ada dan hadir dipertemuan meeting kerja sama perusahaan kali ini.Pasalnya, laki-laki tersebut biasanya pasti akan mengutus seseorang untuk menjadi perwakilan kerja sama dari perusahaan besarnya. Tapi kali ini? ia juga belum ada persiapan untuk menghadapinya jikalau nanti seandainya semua tak sesuai rencananya.Maka itu akan merugikannya!Tapi bukan itu yang paling Allen pikirkan, melainkan Vani. Allen jauh lebih khawatir dengan putrinya itu. Bagaimana.. bagaimana jika semuanya terbongkar saat ini juga?!Allen ingat betul bahwa Vani masih ada bersama Elva diperusahaan ini, diruangannya.Astaga.. semoga saja
"Calief?!"Elva mematung di tempat kala melihat siapa yang berdiri dihadapannya, ia tahu betul kalau seseorang yang tengah berdiri dihadapannya saat ini adalah sosok yang paling sangat dibenci oleh dirinya dan juga kakaknya.Calief merasa geram dan bahkan ingin memarahi orang yang tadi menabraknya. Tapi begitu ia melihat siapa orang yang menabraknya tadi, seketika itu juga ia mengurungkan niatnya. Ia terkejut kala melihat seorang anak kecil yang terlihat cukup mirip dengannya, dan.. Tunggu!"Kenapa anak ini terlihat mirip.. denganku?" Calief menyadari suatu hal, tapi sebelum itu ia harus memastikannya lebih dulu dengan benar."Ekhem!" Ia berdeham untuk menetralkan suasana yang cukup terasa sedikit tegang. "Elva." Panggilnya dengan suara berat yang menyapa pendengaran Elva. Membuat Elva terlihat bingung sekaligus merasa canggung."I-iya?" jawab Elva gugup. Gadis cantik itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Pa, Ma… Allen hamil.” Alena terkejut melihat sang adik kembar tiba-tiba bersujud dan menangis keras di depan orangtuanya. Setelah hampir dua tahun Allen, adik kembarnya, memutuskan untuk hidup mandiri, ia tiba-tiba saja kembali siang ini dalam keadaan kacau. Alena tidak menyangka kalau Allen mengucapkan pengakuan yang begitu menggegerkan isi rumah. Ponselnya terjatuh lepas dari genggaman tangannya ke lantai. "Apa ..? Hamil ..." gumam Alena tidak percaya. “Kamu… gak bercanda kan?” Allen tidak menjawab, tapi suara tangisannya menjadi lebih keras. Bahkan sampai meraung-raung. Elina, mamanya, jatuh pingsan setelah mendengar pengakuan Allen. Dan ayahnya, Bryan, langsung menarik Allen berdiri. Mata besarnya menatap tajam Allen, lalu dengan geram berseru, "Katakan, siapa yang sudah menghamilimu?!" Tekannya menuntut penjelasan. Allen tampak ketakutan karena baru kali ini ia melihat sisi ayahnya yang seperti ini, sama seperti Alena. Ia bahkan tidak bisa membela adiknya itu, dan hanya i
Alena pulang cepat dari kantor pada sore hari ini. Sebelum kembali, dia mampir terlebih dahulu ke salah satu restoran milik keluarganya. Ia baru saja keluar dari toilet wanita dengan setelan kantor lengkap, serta masker warna hitam yang menutupi setengah wajahnya. Ketika berjalan keluar menuju pintu masuk restoran dirinya sedang tidak fokus. Sehingga menyebabkan orang lain menabrak tubuhnya dari arah yang berlawanan. Alena terjatuh, seseorang itu merasa panik dan segera membantu dirinya untuk berdiri kembali. "Maaf, maaf. Saya tidak sengaja. Sekali lagi saya minta maaf." Sesal orang tersebut. Alena mendongak, menatap wajah sang pelaku. Rupanya itu adalah dia. Pria yang telah merusak kehidupan saudari kembarnya. Ia mengenali muka Calief dari galeri ponsel Allen. Ya, Calief Atharizz Franklyn. Pria bajingan yang sekaligus merupakan ayah kandung dari putrinya, Alesie. Alena hanya mengangguk pelan, ia kemudian melenggang pergi begitu saja. Tetapi saat langkahnya sudah mencapai pintu, C
"Calief?!"Elva mematung di tempat kala melihat siapa yang berdiri dihadapannya, ia tahu betul kalau seseorang yang tengah berdiri dihadapannya saat ini adalah sosok yang paling sangat dibenci oleh dirinya dan juga kakaknya.Calief merasa geram dan bahkan ingin memarahi orang yang tadi menabraknya. Tapi begitu ia melihat siapa orang yang menabraknya tadi, seketika itu juga ia mengurungkan niatnya. Ia terkejut kala melihat seorang anak kecil yang terlihat cukup mirip dengannya, dan.. Tunggu!"Kenapa anak ini terlihat mirip.. denganku?" Calief menyadari suatu hal, tapi sebelum itu ia harus memastikannya lebih dulu dengan benar."Ekhem!" Ia berdeham untuk menetralkan suasana yang cukup terasa sedikit tegang. "Elva." Panggilnya dengan suara berat yang menyapa pendengaran Elva. Membuat Elva terlihat bingung sekaligus merasa canggung."I-iya?" jawab Elva gugup. Gadis cantik itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Huft! Akhirnya meeting kali ini selesai juga. Rasanya aku ingin cepat-cepat bertemu dengan Vani. Sedang apa ya anak itu..? batin Allen bertanya-tanya.Ibu satu anak itu terus saja merasa gelisah sejak mulai memasuki ruang tempat meeting itu berlangsung tadi. Bukan apa, ia cukup terkejut tadi ketika mengetahui bahwa lelaki itu ada dan hadir dipertemuan meeting kerja sama perusahaan kali ini.Pasalnya, laki-laki tersebut biasanya pasti akan mengutus seseorang untuk menjadi perwakilan kerja sama dari perusahaan besarnya. Tapi kali ini? ia juga belum ada persiapan untuk menghadapinya jikalau nanti seandainya semua tak sesuai rencananya.Maka itu akan merugikannya!Tapi bukan itu yang paling Allen pikirkan, melainkan Vani. Allen jauh lebih khawatir dengan putrinya itu. Bagaimana.. bagaimana jika semuanya terbongkar saat ini juga?!Allen ingat betul bahwa Vani masih ada bersama Elva diperusahaan ini, diruangannya.Astaga.. semoga saja
Setengah jam kemudian..Tok!Tok!Tok!"Ya, masuk." Ucap Allen ketika pintu ruangannya di ketuk kembali.Masuklah Widya, sekertaris Allen yang sudah membawa beberapa jumlah berkas yang telah disiapkan olehnya tadi untuk meeting mendadak tersebut."Permis, mrs. Berkas-berkasnya sudah saya siapkan. Dan meetingnya sebentar lagi akan segera di mulai." Ujar Widya sopan seraya menyerahkan berkas-berkas tersebut pada Allen."Ok, sebentar lagi. Saya sedang menunggu sepupu saya untuk menjaga Vani ketika saya meeting nanti."Tak lama setelah Allen mengatakan hal tersebut, pintu pun akhirnya kembali diketuk oleh seseorang. Yang tak lain adalah Elva, adik sepupu Allen yang baru saja tiba dari ke pulangannya, Los Angeles, USA kemarin malam."Ah, maaf kak aku sedikit terlambat. Jakarta sangat macet. And see.. Aku jadinya sekarang terlambat. Sorry.." Ujarnya dengan wajah yang terlihat sedikit merasa bersalah.
Carlina terkejut bukan main ketika mendengar pengakuan dari putrinya tersebut.Bagaimana mungkin, seorang laki laki yang terlihat baik baik saja bisa seperti itu yang tega menyuruh putrinya untuk membunuh darah dagingnya sendiri?!What the hell!Benar-benar lelaki brengsek!"Ja- jadi..." ucap Carlina pelan yang masih dapat di dengar dengan jelas, dengan mulut yang menganga lebar dan mata yang membelalak sempurna.Allen pun lantas menganggukkan kepalanya pelan, membenarkan semua perkataannya barusan yang memang benar adalah fakta."Help me, please....""Tolong, Allen nggak mau menggugurkan janin ini. Allen nggak mau membunuhnya! Bayi ini nggak bersalah.. dia nggak tau apa-apa. Allen nggak mau jadi seorang pembunuh yang tega melenyapkan darah dagingnya sendiri. Kalau mamah sama papah nggak setuju dengan keputusan Allen.. It's okay, Allen akan pergi dari sini. Allen juga nggak mau semakin buat kalian merasa malu karena semu
"Calief, Dia..""Anak rekan bisnis papah, pak Ariz?" Lanjut Carlina menganga tak percaya dengan pengakuan putrinya tersebut."Iya, mah. Hiks.. maafin Allen." Ucap Allen di sela-sela isak tangisannya."Dengar! papah akan buat perhitungan sama dia, Dan papah akan buat dia bertanggung jawab, atas apa yang telah dia lakukan sama kamu!" Tegas Aldric dengan sedikit membentak, yang kemudian bangkit dari sofa, dan berjalan keluar meninggalkan ruang tamu.Namun langkahnya harus terhenti, ketika sebelah kaki kanannya di peluk erat oleh seseorang. Yang ternyata itu adalah, Allen. Putri kesayangannya. Melihat apa yang di lakukan oleh putrinya, membuat Aldric tak tega dan segera melepaskan pelukan erat Allen pada kakinya lalu membantunya berdiri dan kini bergantian, dialah yang memeluknya dengan erat."Hiks.. pah.. maaf.. tolong maafin Allen pah. Ini semua salah Allen pah... tolong maafin Allen.." histeris Allen di dalam dekapan Aldric yang
Alena pulang cepat dari kantor pada sore hari ini. Sebelum kembali, dia mampir terlebih dahulu ke salah satu restoran milik keluarganya. Ia baru saja keluar dari toilet wanita dengan setelan kantor lengkap, serta masker warna hitam yang menutupi setengah wajahnya. Ketika berjalan keluar menuju pintu masuk restoran dirinya sedang tidak fokus. Sehingga menyebabkan orang lain menabrak tubuhnya dari arah yang berlawanan. Alena terjatuh, seseorang itu merasa panik dan segera membantu dirinya untuk berdiri kembali. "Maaf, maaf. Saya tidak sengaja. Sekali lagi saya minta maaf." Sesal orang tersebut. Alena mendongak, menatap wajah sang pelaku. Rupanya itu adalah dia. Pria yang telah merusak kehidupan saudari kembarnya. Ia mengenali muka Calief dari galeri ponsel Allen. Ya, Calief Atharizz Franklyn. Pria bajingan yang sekaligus merupakan ayah kandung dari putrinya, Alesie. Alena hanya mengangguk pelan, ia kemudian melenggang pergi begitu saja. Tetapi saat langkahnya sudah mencapai pintu, C
“Pa, Ma… Allen hamil.” Alena terkejut melihat sang adik kembar tiba-tiba bersujud dan menangis keras di depan orangtuanya. Setelah hampir dua tahun Allen, adik kembarnya, memutuskan untuk hidup mandiri, ia tiba-tiba saja kembali siang ini dalam keadaan kacau. Alena tidak menyangka kalau Allen mengucapkan pengakuan yang begitu menggegerkan isi rumah. Ponselnya terjatuh lepas dari genggaman tangannya ke lantai. "Apa ..? Hamil ..." gumam Alena tidak percaya. “Kamu… gak bercanda kan?” Allen tidak menjawab, tapi suara tangisannya menjadi lebih keras. Bahkan sampai meraung-raung. Elina, mamanya, jatuh pingsan setelah mendengar pengakuan Allen. Dan ayahnya, Bryan, langsung menarik Allen berdiri. Mata besarnya menatap tajam Allen, lalu dengan geram berseru, "Katakan, siapa yang sudah menghamilimu?!" Tekannya menuntut penjelasan. Allen tampak ketakutan karena baru kali ini ia melihat sisi ayahnya yang seperti ini, sama seperti Alena. Ia bahkan tidak bisa membela adiknya itu, dan hanya i