"Calief?!"
Elva mematung di tempat kala melihat siapa yang berdiri dihadapannya, ia tahu betul kalau seseorang yang tengah berdiri dihadapannya saat ini adalah sosok yang paling sangat dibenci oleh dirinya dan juga kakaknya.Calief merasa geram dan bahkan ingin memarahi orang yang tadi menabraknya. Tapi begitu ia melihat siapa orang yang menabraknya tadi, seketika itu juga ia mengurungkan niatnya. Ia terkejut kala melihat seorang anak kecil yang terlihat cukup mirip dengannya, dan.. Tunggu!"Kenapa anak ini terlihat mirip.. denganku?" Calief menyadari suatu hal, tapi sebelum itu ia harus memastikannya lebih dulu dengan benar."Ekhem!" Ia berdeham untuk menetralkan suasana yang cukup terasa sedikit tegang. "Elva." Panggilnya dengan suara berat yang menyapa pendengaran Elva. Membuat Elva terlihat bingung sekaligus merasa canggung."I-iya?" jawab Elva gugup. Gadis cantik itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal.Sial! kenapa aku harus gugup? Ya tuhan Elva, Batinnya gelisah."Aku ingin bertanya padamu." Belum sempat Elva menjawab, Calief sudah lebih dulu menanyakan sebuah pertanyaan. "Anak siapa ini?"Ya tuhan.."Em.. itu.. siapa!? Anak.. siapa?" Oke, aku benar-benar bodoh kali ini!Makinya dalam hati pada dirinya sendiri.Elva membawa Vani sedikit menjauh ke belakang punggungnya dari iblis yang berada dihadapannya tersebut."Ck, itu! Anak kecil yang berdiri dibelakangmu dan yang tadi menabrakku." Decaknya sinis seraya menunjuk ke arah Vani yang menatapnya sedikit takut karena tatapan tajamnya."Ah, ini." Ada jeda sebelum melanjutkannya, "Em, kenalin.. ini Vani. Anak dari temanku. Haha!" Ucapnya yang diakhiri dengan tawa renyah."Ha-halo.. om." Sapa Vani, anak kecil itu tersenyum kaku sambil mengulurkan tangannya seperti yang biasa ia lakukan ketika bertemu dengan seseorang yang lebih tua untuk menyalami tangannya.Calief tak menanggapi keduanya dan langsung meninggalkan mereka berdua, ntah pergi kemana...Elva dan Vani lega karena orang 'itu' sudah pergi. Orang itu tak seperti yang dipikirkan Elva. Berbeda dengan Vani yang terus memandangi orang 'itu' dengan tatapan kecewanya.Calief menyunggingkan senyumnya membelakangi mereka sambil terus berjalan. Seraya berkata, "kau dalam pengawasanku ... Vani."•••Allen sengaja menyelesaikan tugasnya hari ini dengan cepat, supaya ia bisa pulang lebih awal.Rasanya hari ini cukup melelahkan untuknya. Selain harus bertemu dengan orang yang sangat di bencinya, ia juga harus meninggalkan putri kecilnya yang sangat ia cintai.Kira-kira sedang apa ya, putri kecilnya itu? Ah, iya. Dia melupakan jika putrinya itu sedang bersama sepupunya elva.Lebih baik aku telepon sekarang.•••"Vani suka es krim nya?" Tanya Elva yang di balas dengan anggukan kepala dari Vani."Kak, Vani boleh pesen satu es krim lagi, nggak?" Ucap Vani sambil menghabiskan es krim yang berada di tangannya itu."Oh, Vani mau pesen satu es krim lagi? Boleh dong. Apa sih yang nggak buat vani?! Adik sepupunya kak Elva yang paling cantik dan manis sedunia! Hehe.." ucap Elva mencubit gemas kedua pipi keponakannya itu."Ya udah deh kak, Vani pesen dulu ya." Ucapnya kemudian melenggang pergi meninggalkan Elva.Seperginya Vani, handphone Elva pun bergetar. Yang menandakan bahwa ada telepon masuk, dari seseorang yang ternyata itu adalah kakak sepupunya, Allen."Halo." Ucap seseorang di sebrang sana."Iya kak, kenapa?""Kamu lagi di mana sekarang?""Di mall nih sama Vani. Emangnya kenapa kak? Udah selesai meetingnya?""Udah. Vani udah makan siang?""Udah nih kak, barusan aja. sekarang malah aku sama Vani lagi makan es krim nih di sini.""Oh, iya udah. Kalo gitu kakak ke sana sekarang..""Iya, kak."Tut.Sambungan telepon pun terputus, bersamaan dengan itu Vani datang memegang dua cup es krim di tangannya."Kak, tadi itu.. telepon dari bunda?" Tanya Vani setelah mendudukan dirinya kembali dikursi, sembari memakan es krim ditangannya."Iya, kok kamu bisa tau sih? Oh iya, tadi katanya kamu cuman mau pesen satu aja, kok sekarang jadi nya dua?"Vani cengengesan, lalu berkata, "Hehe.. habis es krimnya enak kak, lagi pula Vani juga jarang makan es krim. Apalagi sekalinya makan es krim sama bunda nggak boleh banyak-banyak.." adu gadis kecil itu pada kakak sepupunya dengan wajah yang dibuatbcemberut. Elva yang melihat itu justru malah dibuat gemas sendiri oleh tingkahnya"Ututu~ kaciannya adik kakak satu ini. Ya udah, karena sekarang Vani lagi sama kak Elva, jadi Vani bisa makan es krim se-puasnya!!" Pernyataan dari Elva itu membuat Vani antusias mendengarnya."Beneran, kak?" Ucap Vani senang."Iya, tapi jangan banyak-banyak banget juga ya. Soalnya gak baik buat kesehatan kamu juga. Apalagi kalo kamu sampai sakit, Duh! Bisa habis kakak yang ada nanti sama bunda kamu!" Curhat Elva bergidik ngeri mengingat ekspresi marah kakak sepupunya itu yang terlihat menyeramkan baginya."Masa sih, kak? Bunda tuh gak galak tau. Buktinya, Vani aja gak pernah dimarahin sama bunda." Pancing Vani agar kakak sepupunya itu mau menceritakan tentang bundanya yang kebetulan saat ini tengah berdiri dibelakangnya sambil bersedekap dada."Ck, ya itu karena kamu anaknya. Coba kalo kayak kak Elva atau orang lain gitu?! Lagian bunda kamu tuh kalo udah marah, serem banget!! Apalagi kalo udah kecewa.." cerita Elva tanpa sadar, berdecak pelan dam menggeleng-gelengkan kepalanya."Emangnya kalo bunda kecewa kenapa, kak?""Gini nih ya, Vani. bunda kamu tuh kalo udah kecewa, beuh!! Sadis banget! Bisa-bisa nanti kamu direbus, dicincang, atau mungkin nanti—" ucapnya terpotong ketika sebuah suara berhasil menyelanya."Atau mungkin nanti?"Suara itu..Mampus!Membalikkan badan, betapa terkejutnya Elva mendapati bahwa Allen kini sedang berdiri sambil bersedekap dada dengan tatapan tajamnya."Eh, ada kak Allen. Hehe.. kakak sampainya kapan? Kok a-aku nggak tau? Hehe.." cengir Elva gelagapan, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sementara itu, Vani yang melihatnya hanya cekikikan karena merasa puas telah berhasil mengerjai kakak sepupunya itu."Kenapa? Emangnya kakak harus laporan dulu gitu sama kamu? Kalo kakak gak ngomong juga kamu gak bakalan berhenti ngejelekin kakak di depan anak kakak sendiri!" Sinis Allen menyindir yang membuat Elva tidak berani membalasnya.Allen kemudian menghampiri putri kesayangannya itu dengan senyuman manisnya yang merekah."Vani sayang, kamu ke mall kok gak nungguin bunda sih? Bunda nyariin kamu tau.." rajuk Allen dengan wajah yang dibuat secemberut mungkin.Ia mengelus lembut rambut putrinya itu."Maaf bunda, tadi Vani sama kak Elva pergi duluan gak nungguin bunda. Tapi tadi katanya kak Elva udah kasih tau bunda.." jelas Vani merasa bersalah.Allen tersenyum menanggapinya, sebenarnya ia tidak marah sama sekali, hanya saja ingin tau seperti apa reaksi putrinya tersebut."Iya sayang, udah gak apa-apa. Oh iya, tadi kata kak Elva, Vani lagi makan es krim ya? Vani senang?" Tanyanya yang dibalas anggukan antusias dari sang putri."Senang banget bunda! Apalagi Vani juga udah makan tiga es krim." ceritanya polos seraya menunjukkan tiga jari."Tiga es krim?" Tanyanya mengulangi.Kini tatapan tajam mengarah ke Elva. Mendapati tatapan maut seperti itu tentu saja membuat Elva salah tingkah. Dalam hatinya Elva merutuki keponakannya itu yang senang melihatnya dimarahi oleh Allen.Mampus gua! Dasar keponakan laknat! Batin Elva merutuki."Hehe.. tapi tadi itu Vani yang mau kok. Iya kan, Van?" Cengir Elva, bermaksud untuk mengalihkan suasana dari amarah Allen yang siap meledak kapan saja."Iya bunda.. soalnya kak Elva sendiri yang bilang 'karena sekarang Vani lagi sama kak Elva, jadinya Vani bisa makan es krim sepuasnya!!' Bener kan, kak Elva?" Sahut Vani sambil mengulangi perkataan Elva tadi yang membuat perempuan itu semakin mengutuknya berulang kali."Hehe.. iya Van." Sial! Dasar bocah kematian! Lanjutnya dalam hati.Saat sedang asik berbicara, seseorang tiba-tiba saja datang menghampiri mereka.Dengan setelan formalnya dan pandangan yang sulit diartikan."Allen."To Be Continue.“Pa, Ma… Allen hamil.” Alena terkejut melihat sang adik kembar tiba-tiba bersujud dan menangis keras di depan orangtuanya. Setelah hampir dua tahun Allen, adik kembarnya, memutuskan untuk hidup mandiri, ia tiba-tiba saja kembali siang ini dalam keadaan kacau. Alena tidak menyangka kalau Allen mengucapkan pengakuan yang begitu menggegerkan isi rumah. Ponselnya terjatuh lepas dari genggaman tangannya ke lantai. "Apa ..? Hamil ..." gumam Alena tidak percaya. “Kamu… gak bercanda kan?” Allen tidak menjawab, tapi suara tangisannya menjadi lebih keras. Bahkan sampai meraung-raung. Elina, mamanya, jatuh pingsan setelah mendengar pengakuan Allen. Dan ayahnya, Bryan, langsung menarik Allen berdiri. Mata besarnya menatap tajam Allen, lalu dengan geram berseru, "Katakan, siapa yang sudah menghamilimu?!" Tekannya menuntut penjelasan. Allen tampak ketakutan karena baru kali ini ia melihat sisi ayahnya yang seperti ini, sama seperti Alena. Ia bahkan tidak bisa membela adiknya itu, dan hanya i
Alena pulang cepat dari kantor pada sore hari ini. Sebelum kembali, dia mampir terlebih dahulu ke salah satu restoran milik keluarganya. Ia baru saja keluar dari toilet wanita dengan setelan kantor lengkap, serta masker warna hitam yang menutupi setengah wajahnya. Ketika berjalan keluar menuju pintu masuk restoran dirinya sedang tidak fokus. Sehingga menyebabkan orang lain menabrak tubuhnya dari arah yang berlawanan. Alena terjatuh, seseorang itu merasa panik dan segera membantu dirinya untuk berdiri kembali. "Maaf, maaf. Saya tidak sengaja. Sekali lagi saya minta maaf." Sesal orang tersebut. Alena mendongak, menatap wajah sang pelaku. Rupanya itu adalah dia. Pria yang telah merusak kehidupan saudari kembarnya. Ia mengenali muka Calief dari galeri ponsel Allen. Ya, Calief Atharizz Franklyn. Pria bajingan yang sekaligus merupakan ayah kandung dari putrinya, Alesie. Alena hanya mengangguk pelan, ia kemudian melenggang pergi begitu saja. Tetapi saat langkahnya sudah mencapai pintu, C
"Calief, Dia..""Anak rekan bisnis papah, pak Ariz?" Lanjut Carlina menganga tak percaya dengan pengakuan putrinya tersebut."Iya, mah. Hiks.. maafin Allen." Ucap Allen di sela-sela isak tangisannya."Dengar! papah akan buat perhitungan sama dia, Dan papah akan buat dia bertanggung jawab, atas apa yang telah dia lakukan sama kamu!" Tegas Aldric dengan sedikit membentak, yang kemudian bangkit dari sofa, dan berjalan keluar meninggalkan ruang tamu.Namun langkahnya harus terhenti, ketika sebelah kaki kanannya di peluk erat oleh seseorang. Yang ternyata itu adalah, Allen. Putri kesayangannya. Melihat apa yang di lakukan oleh putrinya, membuat Aldric tak tega dan segera melepaskan pelukan erat Allen pada kakinya lalu membantunya berdiri dan kini bergantian, dialah yang memeluknya dengan erat."Hiks.. pah.. maaf.. tolong maafin Allen pah. Ini semua salah Allen pah... tolong maafin Allen.." histeris Allen di dalam dekapan Aldric yang
Carlina terkejut bukan main ketika mendengar pengakuan dari putrinya tersebut.Bagaimana mungkin, seorang laki laki yang terlihat baik baik saja bisa seperti itu yang tega menyuruh putrinya untuk membunuh darah dagingnya sendiri?!What the hell!Benar-benar lelaki brengsek!"Ja- jadi..." ucap Carlina pelan yang masih dapat di dengar dengan jelas, dengan mulut yang menganga lebar dan mata yang membelalak sempurna.Allen pun lantas menganggukkan kepalanya pelan, membenarkan semua perkataannya barusan yang memang benar adalah fakta."Help me, please....""Tolong, Allen nggak mau menggugurkan janin ini. Allen nggak mau membunuhnya! Bayi ini nggak bersalah.. dia nggak tau apa-apa. Allen nggak mau jadi seorang pembunuh yang tega melenyapkan darah dagingnya sendiri. Kalau mamah sama papah nggak setuju dengan keputusan Allen.. It's okay, Allen akan pergi dari sini. Allen juga nggak mau semakin buat kalian merasa malu karena semu
Setengah jam kemudian..Tok!Tok!Tok!"Ya, masuk." Ucap Allen ketika pintu ruangannya di ketuk kembali.Masuklah Widya, sekertaris Allen yang sudah membawa beberapa jumlah berkas yang telah disiapkan olehnya tadi untuk meeting mendadak tersebut."Permis, mrs. Berkas-berkasnya sudah saya siapkan. Dan meetingnya sebentar lagi akan segera di mulai." Ujar Widya sopan seraya menyerahkan berkas-berkas tersebut pada Allen."Ok, sebentar lagi. Saya sedang menunggu sepupu saya untuk menjaga Vani ketika saya meeting nanti."Tak lama setelah Allen mengatakan hal tersebut, pintu pun akhirnya kembali diketuk oleh seseorang. Yang tak lain adalah Elva, adik sepupu Allen yang baru saja tiba dari ke pulangannya, Los Angeles, USA kemarin malam."Ah, maaf kak aku sedikit terlambat. Jakarta sangat macet. And see.. Aku jadinya sekarang terlambat. Sorry.." Ujarnya dengan wajah yang terlihat sedikit merasa bersalah.
Huft! Akhirnya meeting kali ini selesai juga. Rasanya aku ingin cepat-cepat bertemu dengan Vani. Sedang apa ya anak itu..? batin Allen bertanya-tanya.Ibu satu anak itu terus saja merasa gelisah sejak mulai memasuki ruang tempat meeting itu berlangsung tadi. Bukan apa, ia cukup terkejut tadi ketika mengetahui bahwa lelaki itu ada dan hadir dipertemuan meeting kerja sama perusahaan kali ini.Pasalnya, laki-laki tersebut biasanya pasti akan mengutus seseorang untuk menjadi perwakilan kerja sama dari perusahaan besarnya. Tapi kali ini? ia juga belum ada persiapan untuk menghadapinya jikalau nanti seandainya semua tak sesuai rencananya.Maka itu akan merugikannya!Tapi bukan itu yang paling Allen pikirkan, melainkan Vani. Allen jauh lebih khawatir dengan putrinya itu. Bagaimana.. bagaimana jika semuanya terbongkar saat ini juga?!Allen ingat betul bahwa Vani masih ada bersama Elva diperusahaan ini, diruangannya.Astaga.. semoga saja
"Calief?!"Elva mematung di tempat kala melihat siapa yang berdiri dihadapannya, ia tahu betul kalau seseorang yang tengah berdiri dihadapannya saat ini adalah sosok yang paling sangat dibenci oleh dirinya dan juga kakaknya.Calief merasa geram dan bahkan ingin memarahi orang yang tadi menabraknya. Tapi begitu ia melihat siapa orang yang menabraknya tadi, seketika itu juga ia mengurungkan niatnya. Ia terkejut kala melihat seorang anak kecil yang terlihat cukup mirip dengannya, dan.. Tunggu!"Kenapa anak ini terlihat mirip.. denganku?" Calief menyadari suatu hal, tapi sebelum itu ia harus memastikannya lebih dulu dengan benar."Ekhem!" Ia berdeham untuk menetralkan suasana yang cukup terasa sedikit tegang. "Elva." Panggilnya dengan suara berat yang menyapa pendengaran Elva. Membuat Elva terlihat bingung sekaligus merasa canggung."I-iya?" jawab Elva gugup. Gadis cantik itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Huft! Akhirnya meeting kali ini selesai juga. Rasanya aku ingin cepat-cepat bertemu dengan Vani. Sedang apa ya anak itu..? batin Allen bertanya-tanya.Ibu satu anak itu terus saja merasa gelisah sejak mulai memasuki ruang tempat meeting itu berlangsung tadi. Bukan apa, ia cukup terkejut tadi ketika mengetahui bahwa lelaki itu ada dan hadir dipertemuan meeting kerja sama perusahaan kali ini.Pasalnya, laki-laki tersebut biasanya pasti akan mengutus seseorang untuk menjadi perwakilan kerja sama dari perusahaan besarnya. Tapi kali ini? ia juga belum ada persiapan untuk menghadapinya jikalau nanti seandainya semua tak sesuai rencananya.Maka itu akan merugikannya!Tapi bukan itu yang paling Allen pikirkan, melainkan Vani. Allen jauh lebih khawatir dengan putrinya itu. Bagaimana.. bagaimana jika semuanya terbongkar saat ini juga?!Allen ingat betul bahwa Vani masih ada bersama Elva diperusahaan ini, diruangannya.Astaga.. semoga saja
Setengah jam kemudian..Tok!Tok!Tok!"Ya, masuk." Ucap Allen ketika pintu ruangannya di ketuk kembali.Masuklah Widya, sekertaris Allen yang sudah membawa beberapa jumlah berkas yang telah disiapkan olehnya tadi untuk meeting mendadak tersebut."Permis, mrs. Berkas-berkasnya sudah saya siapkan. Dan meetingnya sebentar lagi akan segera di mulai." Ujar Widya sopan seraya menyerahkan berkas-berkas tersebut pada Allen."Ok, sebentar lagi. Saya sedang menunggu sepupu saya untuk menjaga Vani ketika saya meeting nanti."Tak lama setelah Allen mengatakan hal tersebut, pintu pun akhirnya kembali diketuk oleh seseorang. Yang tak lain adalah Elva, adik sepupu Allen yang baru saja tiba dari ke pulangannya, Los Angeles, USA kemarin malam."Ah, maaf kak aku sedikit terlambat. Jakarta sangat macet. And see.. Aku jadinya sekarang terlambat. Sorry.." Ujarnya dengan wajah yang terlihat sedikit merasa bersalah.
Carlina terkejut bukan main ketika mendengar pengakuan dari putrinya tersebut.Bagaimana mungkin, seorang laki laki yang terlihat baik baik saja bisa seperti itu yang tega menyuruh putrinya untuk membunuh darah dagingnya sendiri?!What the hell!Benar-benar lelaki brengsek!"Ja- jadi..." ucap Carlina pelan yang masih dapat di dengar dengan jelas, dengan mulut yang menganga lebar dan mata yang membelalak sempurna.Allen pun lantas menganggukkan kepalanya pelan, membenarkan semua perkataannya barusan yang memang benar adalah fakta."Help me, please....""Tolong, Allen nggak mau menggugurkan janin ini. Allen nggak mau membunuhnya! Bayi ini nggak bersalah.. dia nggak tau apa-apa. Allen nggak mau jadi seorang pembunuh yang tega melenyapkan darah dagingnya sendiri. Kalau mamah sama papah nggak setuju dengan keputusan Allen.. It's okay, Allen akan pergi dari sini. Allen juga nggak mau semakin buat kalian merasa malu karena semu
"Calief, Dia..""Anak rekan bisnis papah, pak Ariz?" Lanjut Carlina menganga tak percaya dengan pengakuan putrinya tersebut."Iya, mah. Hiks.. maafin Allen." Ucap Allen di sela-sela isak tangisannya."Dengar! papah akan buat perhitungan sama dia, Dan papah akan buat dia bertanggung jawab, atas apa yang telah dia lakukan sama kamu!" Tegas Aldric dengan sedikit membentak, yang kemudian bangkit dari sofa, dan berjalan keluar meninggalkan ruang tamu.Namun langkahnya harus terhenti, ketika sebelah kaki kanannya di peluk erat oleh seseorang. Yang ternyata itu adalah, Allen. Putri kesayangannya. Melihat apa yang di lakukan oleh putrinya, membuat Aldric tak tega dan segera melepaskan pelukan erat Allen pada kakinya lalu membantunya berdiri dan kini bergantian, dialah yang memeluknya dengan erat."Hiks.. pah.. maaf.. tolong maafin Allen pah. Ini semua salah Allen pah... tolong maafin Allen.." histeris Allen di dalam dekapan Aldric yang
Alena pulang cepat dari kantor pada sore hari ini. Sebelum kembali, dia mampir terlebih dahulu ke salah satu restoran milik keluarganya. Ia baru saja keluar dari toilet wanita dengan setelan kantor lengkap, serta masker warna hitam yang menutupi setengah wajahnya. Ketika berjalan keluar menuju pintu masuk restoran dirinya sedang tidak fokus. Sehingga menyebabkan orang lain menabrak tubuhnya dari arah yang berlawanan. Alena terjatuh, seseorang itu merasa panik dan segera membantu dirinya untuk berdiri kembali. "Maaf, maaf. Saya tidak sengaja. Sekali lagi saya minta maaf." Sesal orang tersebut. Alena mendongak, menatap wajah sang pelaku. Rupanya itu adalah dia. Pria yang telah merusak kehidupan saudari kembarnya. Ia mengenali muka Calief dari galeri ponsel Allen. Ya, Calief Atharizz Franklyn. Pria bajingan yang sekaligus merupakan ayah kandung dari putrinya, Alesie. Alena hanya mengangguk pelan, ia kemudian melenggang pergi begitu saja. Tetapi saat langkahnya sudah mencapai pintu, C
“Pa, Ma… Allen hamil.” Alena terkejut melihat sang adik kembar tiba-tiba bersujud dan menangis keras di depan orangtuanya. Setelah hampir dua tahun Allen, adik kembarnya, memutuskan untuk hidup mandiri, ia tiba-tiba saja kembali siang ini dalam keadaan kacau. Alena tidak menyangka kalau Allen mengucapkan pengakuan yang begitu menggegerkan isi rumah. Ponselnya terjatuh lepas dari genggaman tangannya ke lantai. "Apa ..? Hamil ..." gumam Alena tidak percaya. “Kamu… gak bercanda kan?” Allen tidak menjawab, tapi suara tangisannya menjadi lebih keras. Bahkan sampai meraung-raung. Elina, mamanya, jatuh pingsan setelah mendengar pengakuan Allen. Dan ayahnya, Bryan, langsung menarik Allen berdiri. Mata besarnya menatap tajam Allen, lalu dengan geram berseru, "Katakan, siapa yang sudah menghamilimu?!" Tekannya menuntut penjelasan. Allen tampak ketakutan karena baru kali ini ia melihat sisi ayahnya yang seperti ini, sama seperti Alena. Ia bahkan tidak bisa membela adiknya itu, dan hanya i