Uweeeek.
Maira memegang perutnya yang tak nyaman saat baru saja keluar dari kamar, akhir-akhir ini wanita itu sering merasa mual.
"Maira, ayo sarapan dulu, Nak."
Wajah cantik dengan balutan hijab syar'i berwarna mocca itu langsung disambut oleh senyum manis sang ibunda.
"Iya, sini sarapan dulu, kebetulan Bapak juga libur, jadi bisa antar kamu ke kampus," timpal ayahnya yang sudah lebih dulu sarapan.
"Nggak usah Bu, Pak, aku buru-buru. Lagian Khanza bilang bakal jemput aku, dia udah di jalan kayaknya."
Maira bergegas pergi, saat hendak bersalaman pada kedua orang tua, dia mencium bau masakan yang membuat perutnya kembali mual. Akan tetapi, wanita muda itu berusaha menahannya sekuat mungkin.
"Loh, makan aja satu suap, nanti masuk angin!" pinta Bu Jaenab setengah memaksa.
"Tapi, Bu__"
Maira hendak menolak, tetapi Bu Jaenab yang sudah memasak nasi goreng udang kesukaan putri tunggalnya sedikit memaksa, wanita berusia akhir empat puluhan itu justru semakin mendekatkan nasi goreng ke hadapan sang putri yang membuat Maira tak mampu menahan baunya.
Huweeek.
Maira tak hanya mual, tetapi sungguh-sungguh ingin memuntahkan isi perut, dia lantas berlari ke kamar mandi, sementara itu kedua orang tuanya mengerutkan kening bersamaan lalu saling berpandangan.
"Kenapa Maira, Bu?" tanya Pak Ayub pada istrinya.
"Nggak tahu." Bu Jaenab menggelengkan kepala sembari mengendikan bahu.
Pak Ayub terdiam sejenak, tetapi sedetik kemudian pria itu kembali menyuap nasi ke mulutnya. "Mungkin dia masuk angin, semalam Bapak lihat dia ngerjain tugas sampai larut malam," katanya.
"Mungkin," sahut Bu Jaenab.
Namun, jauh dalam hati wanita bergelar ibu itu merasa sedikit keanehan sebab mual sang putri sangat berbeda dengan orang yang tengah masuk angin. Hanya saja, dia segera menepis semua pikiran buruk, baginya mustahil terjadi sesuatu pada Maira sebab anaknya sangat terjaga.
Sementara itu, di kamar mandi Maira memuntahkan semua isi perut yang membuatnya tak nyaman. Bahkan pagi ini wanita itu belum memakan apapun, air matanya kembali mengalir mengingat kekhawatirannya, bagaimana jika mual disebabkan tumbuhnya kehidupan baru di dalam rahim yang bahkan dia sendiri pun tidak mengenal pria yang sudah merenggut kehormatannya.
'Sampai kapan aku bisa menyembunyikan ini dari mereka?' Maira membatin dalam gusar.
"Assalamu'alaikum, Maira ...."
Suara Khanza di luar rumah membuat Maira tersentak, dia segera menyeka wajahnya dan merapikan pakaian, untuk saat ini tak ada pilihan lain selain menghadapinya.
"Waalaikumsalam."
Terdengar suara Bu Jaenab menyahut, rumah yang ditempati berukuran kecil, sehingga suara dan pergerakan di sana terdengar jelas oleh siapapun yang berada di dalam.
"Bu, Maira ada?" tanya Khanza pada Bu Jaenab setelah pintu terbuka.
"Ada, dia lagi di kamar mandi, sebentar Ibu panggil dulu, ya. Oh, ya, kamu sudah sarapan?" tanya Bu Jaenab pada Khanza yang sudah seperti anak sendiri.
"Sudah, Bu," jawab Khanza tersenyum.
Bu Jaenab mengayunkan langkah ke kamar mandi kemudian mengetuk pintunya.
"Maira, kamu baik-baik aja?" tanya Bu Jaenab di depan kamar mandi.
"Iya, Bu."
Maira keluar dan tersenyum pada Khanza, gadis yang menjadi sahabatnya semasa SMP itu sudah sangat akrab dengan keluarganya.
"Ayo Mai, nanti telat lagi," ajak Khanza.
"Ayo."
Setelah bersalaman dengan orang tuanya, Maira bergegas pergi. Di sepanjang perjalanan wanita itu terus murung.
"Khanza, aku mau ngomong sesuatu," kata Maira.
"Apaan?" tanya Khanza yang sedang fokus mengemudikan sepeda motor. Suara obrolan mereka nyaris tak terdengar jelas karena berkejaran dengan angin.
"Khanza, apa menggugurkan kandungan itu dosa?"
"Jelas lah, kamu udah tahu kalau menggugurkan kandungan itu sama aja membunuh orang, kan. Kenapa memang?" tanya Khanza.
"Nggak, kok," jawab Maira.
Tanpa bertanya pun Maira sudah tahu hukumnya, meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren, tetapi Maira mengikuti berbagai organisasi keislaman di universitas, kini dia tergabung dalam lembaga dakwah kampus, circle pertemanannya rata-rata para ukhti yang sangat mengerti hukum agama.
Khanza yang tiba-tiba terusik dengan pertanyaan Maira pun menghentikan laju motornya. Wanita itu menoleh ke arah sang sahabat yang duduk membonceng.
"Kenapa Mai, siapa yang hamil?" tanya Khanza penasaran, wanita itu enggan menuduh sebab tak mempunyai bukti.
"Nggak, tadi pagi aku baca berita di sosial media ada orang yang menggugurkan kandungan," jawab Maira berbohong.
"Oh."
Khanza hanya menganggukkan kepala kemudian kembali melajukan kendaraannya.
Sesampainya di kampus, Maira bersiap-siap hendak presentasi. Akan tetapi, baru saja dia hendak berbicara di depan dosen dan teman sekelasnya, tiba-tiba saja perut wanita itu kembali mual lantaran mencium bau parfum temannya yang menyengat.
"Permisi Pak, izin ke toilet sebentar," kata Maira setengah berlari. Melihat sikap aneh sang sahabat, Khanza yang tengah mengoperasikan laptop pun mengerutkan kening.
Setelah memuntahkan semua isi perut, Maira kembali ke kelas dan melakukan presentasi dengan sangat baik. Wanita itu merasa tenang saat jam kuliah berakhir.
Wajah Maira sangat pucat, dia meraih sebotol air kemudian meminumnya. Namun, perutnya kembali bergejolak saat air mineral itu masuk ke tenggorokan.
"Za, aku mau ke toilet lagi," kata Maira sembari belari.
Melihat sahabatnya, Khanza yang penasaran lantas mengekor, lagi pula kelas sedang kosong sebab dosen di mata kuliah selanjutnya akan terlambat datang.
"Mai, kamu kenapa, sakit?" tanya Khanza sembari mengetuk pintu toilet.
"Aku nggak tahu, Za," jawab Maira sembari membuka daun pintu, wajahnya kian pucat.
"Kamu pucat banget tahu Mai, kita ke klinik yuk," ajak Khanza yang khawatir, gadis itu menarik lengan sang sahabat, akan tetapi dihalau oleh Maira.
"Za, sebenarnya aku khawatir akan sesuatu," ujar Maira dengan raut gusar.
"Kenapa?" tanya Khanza, sedetik kemudian mata gadis itu melebar, ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tak ada orang lain di sana, "jangan bilang kamu belum haid sejak kejadian itu?"
Maira mengusap wajahnya dengan perasaan frustrasi. Selama ini hanya Khanza saja yang tahu tentang musibah yang menimpanya hampir dua bulan yang lalu, gadis itu pula lah yang membantunya bangkit dari rasa trauma.
"Iya, bulan kemarin aku haid, tapi ternyata cuma flek aja, bulan ini aku belum dapat menstruasi sama sekali," jawab Maira dengan suara tertahan.
"Astaghfirullah, Khumaira, jangan-jangaaaan ...."
Kedua sahabat itu saling pandang, degup jantung mereka berdetak tak beraturan mengingat hal yang tak diinginkan mungkin terjadi.
"Ya Allah, gimana ini Za?"
Wajah Maira yang pucat semakin pias, raut ketakutan terpancar jelas di sana, ia sangat gusar sebab khawatir hal yang selama ini ditakutkan terjadi.
"Kamu tenang aja, kita coba pastikan, ya," ujar Khanza berusaha menenangkan sang sahabat.
"Kalau ternyata benar gimana, Za?" Maira tak lagi bisa berpikir jernih.
"Aku yakin pasti ada jalan keluarnya, kamu tenang, ya."
Setelah jam kuliah selesai, Maira ditemani oleh Khanza membeli alat tes kehamilan secara diam-diam. Wanita itu sangat malu sebab membeli barang yang tidak patut dibeli oleh seorang perempuan yang belum pernah menikah. Setelah mendapatkannya, Maira pergi ke toilet dan mengaplikasikannya sesuai dengan keterangan yang ada.
Dengan degup jantung tak beraturan Maira menunggu hasil, begitupun dengan Khanza, selain mengawasi situasi di luar, dia juga sangat gelisah menanti hasil tes sahabatnya, Khanza berdoa semoga hal yang tidak diinginkan itu tak terjadi. Sudah cukup Maira merasa sedih beberapa waktu lalu, dia ingin sahabatnya kembali ceria seperti sediakala.
Namun, bagai tersambar petir di siang bolong, takdir memang tak pernah ada yang tahu, mata Maira terbelalak saat melihat garis dua di benda berbentuk stik itu. Entah, bagaimana mungkin dia akan melahirkan seorang anak yang bahkan dirinya pun tak tahu siapa ayahnya.
Bersambung.
"Apa, garis dua?"Wanita berusia dua puluh tahun itu menatap nanar tespek dalam genggaman. Air mata mengalir deras dari kedua netra, tubuhnya merosot begitu saja ke lantai kamar mandi."Ya Allah, aku harus bagaimana?" bisik Maira sembari memeluk lutut.Membayangkan hidupnya yang akan hancur, mimpinya yang akan kandas membuat wanita berkulit putih dengan hidung mancung itu semakin frustrasi.'Kenapa kamu harus hidup di rahimku, hah, kenapa?'Dengan penuh kebencian Maira memukul perutnya, berharap janin tak diharapkan itu segera pergi untuk mengakhiri mimpi buruknya.'Kenapa ya Allah, aku salah apa?'Dada Maira sesak laksana tertindih bebatuan besar, hatinya terasa nyeri seakan-akan tertusuk belati. Entah, bagaimana dia akan menghadapi dunia jika melahirkan seorang bayi tanpa tahu siapa ayah dari anaknya.Lama Maira menangisi nasibnya di sana, otak wanita itu tak mampu lagi berpikir jernih. Entah bagaimana dia harus menghadapi orang tuanya, bagaimana jika mereka bertanya siapa pria yang
Huufttt ....'Apa yang harus aku lakukan sekarang? Dasar laki-laki bajingan, kenapa kamu melakukan itu, kenapa?'Dengan napas terengah-engah juga keringat yang mengucur Maira memijat pelipis, dia juga mengacak-acak rambut panjangnya sebab rasa pening di kepala. Terlebih bayangan pria yang merobek paksa selaput daranya kembali berputar di ingatan, membuat Maira ingin mencopot kepalanya agar lupa.Entah sampai kapan Maira bisa menyembunyikan semua ini dari orang tuanya. Sungguh, dengan peristiwa yang menimpanya dua bulan lalu saja sudah membuat mentalnya hancur, kini dia harus mengandung seorang bayi tanpa pernikahan di tengah-tengah sakit jantung bapaknya yang sering kumat.Biasanya, Maira akan bangun di sepertiga malam, dia akan bersujud pada Sang Pencipta, akan tetapi kondisi seperti ini, situasi yang sangat memberatkan hati membuat setan seakan-akan menguasai diri."Apa aku masih harus salat, sedangkan Engkau seperti tidak mendengar doaku, Tuhan?"Maira terisak melihat jam dinding
"Bu Jaenab!"Khanza menyanggah tubuh lunglai wanita paruh baya itu."Bayi? Astaghfirullah ...."Bu Jaenab bergumam sembari berpegangan pada tembok, dia sungguh tak percaya dengan apa yang baru saja diketahui. Dalam lemah wanita itu menampar pipinya sendiri, hati Bu Jaenab semakin nyeri menyadari semua bukanlah mimpi."Ayo duduk dulu, Bu."Khanza yang tak mampu menahan air mata pun memapah Bu Jaenab ke kursi tunggu, dia menatap nanar manik hitam nan keriput wanita di hadapannya."Ibu nggak ngerti, apa Maira punya pacar?" tanya Bu Jaenab sembari memijat dahi yang terasa sangat pening.Khanza menggeleng pelan. "Nggak, Bu, Maira nggak punya pacar," jawabnya dengan menahan sesak di dada."Terus? Kalau begitu siapa yang tega menghamili anakku? Apa Maira berbuat zina? Apa dia mabuk? Apa dia diam-diam melakukan perbuatan hina?"Bu Jaenab memberondong Khanza dengan pertanyaan yang membuat hatinya kian nyeri. Sebagai orang tua, dia merasa gagal mendidik anaknya.Merasa kasihan pada keluarga san