Huufttt ....
'Apa yang harus aku lakukan sekarang? Dasar laki-laki bajingan, kenapa kamu melakukan itu, kenapa?'
Dengan napas terengah-engah juga keringat yang mengucur Maira memijat pelipis, dia juga mengacak-acak rambut panjangnya sebab rasa pening di kepala. Terlebih bayangan pria yang merobek paksa selaput daranya kembali berputar di ingatan, membuat Maira ingin mencopot kepalanya agar lupa.
Entah sampai kapan Maira bisa menyembunyikan semua ini dari orang tuanya. Sungguh, dengan peristiwa yang menimpanya dua bulan lalu saja sudah membuat mentalnya hancur, kini dia harus mengandung seorang bayi tanpa pernikahan di tengah-tengah sakit jantung bapaknya yang sering kumat.
Biasanya, Maira akan bangun di sepertiga malam, dia akan bersujud pada Sang Pencipta, akan tetapi kondisi seperti ini, situasi yang sangat memberatkan hati membuat setan seakan-akan menguasai diri.
"Apa aku masih harus salat, sedangkan Engkau seperti tidak mendengar doaku, Tuhan?"
Maira terisak melihat jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. Wanita yang sering menutup diri selain pada Khanza itu merasa hatinya hendak meledak saking sesaknya menahan ujian yang berat.
Maira benar-benar merasa frustrasi, kalau saja bukan karena masih memiliki sedikit iman di dada, pastilah dia sudah membunuh dirinya sendiri. Akan tetapi, Maira takut sebab menurutnya bunuh diri bukanlah jalan terbaik untuk keluar dari masalah. Namun, untuk beribadah rasanya dia sangat kecewa, seakan-akan Maira lupa bahwa Tuhan adalah Maha Pendengar doa.
Sebuah ide terlintas di kepala, meskipun sangat takut dan bertentangan dengan hati nurani, akan tetapi bagi Maira mungkin saja dengan cara yang terlintas di otaknya semua masalah akan selesai. Ya, meskipun dia sangat menyadari bahwa apa yang akan dilakukannya salah.
____
"Bu, Bapak mana?" tanya Maira yang sudah bersiap hendak ke kampus.
"Bapak kamu di kamar, semalam dadanya sakit lagi," jawab Bu Jaenab sembari menyiapkan sarapan.
Maira mendongak, dia sungguh khawatir dengan kondisi sang ayah, wanita itu menaruh tas di atas meja kemudian melangkah ke kamar Pak Ayub, sementara Bu Jaenab hanya melihat aksi putrinya dengan rasa haru.
"Bapak, gimana keadaannya?" tanya Maira setelah duduk di tepi ranjang sang ayah.
"Bapak baik-baik aja, cuma sesak dikit, tadi ibu kamu sudah kasih obat, kok," jawab Pak Ayub yang nampak lemah.
Melihat ayahnya, hati Maira semakin teriris. Entah, apa yang akan terjadi jika ayahnya tahu bahwa putri tunggal kesayangan yang selalu dibanggakan itu tengah mengandung seorang anak di luar pernikahan. Baru membayangkannya saja air mata Maira sudah mengalir.
"Nggak usah nangis, Bapak nggak apa-apa," ujar Pak Ayub sembari mengusap pipi mulus putrinya, membuat hati Maira kian nyeri.
"Iya, pokoknya Bapak janji harus baik-baik aja, sekarang nggak usah kerja dulu, biar nanti aku yang bilang sama Pak Amir kalau Bapak nggak bisa datang," pinta Maira.
"Nggak perlu, Nak. Kebetulan Ibu sudah kabari Pak Amir," sahut Bu Jaenab yang baru saja masuk.
"Sekarang kamu sarapan, jaga kesehatan biar nggak masuk angin kayak kemarin, ya."
Deg.
Jantung Maira berdegup kencang. Melihat ayahnya yang masih berpikir positif, hatinya semakin teriris, wanita itu semakin takut untuk berkata jujur.
Mungkin dia terkesan bodoh karena tidak memberitahu orang tua perihal musibah yang menimpanya, akan tetapi ketakutan akan hal buruk pada ayah lebih besar daripada ketakutan pribadinya.
"Iya, Bu, Pak, aku sarapan dulu habis itu berangkat, ya."
Maira keluar dari kamar kemudian menyantap makanan buatan sang ibu. Meskipun merasa sangat mual, tetapi sekuat tenaga Maira menahannya.
***
"Eh ibu-ibu, saya punya kabar baru nih," ujar Bu Suci dengan wajah khasnya saat bergosip.
"Apaan, pasti Bu Suci mau ghibahin orang to?" ledek Bu Wati yang sudah hafal betul karakter tetangganya.
"Bukan, enak aja, saya mah bukan mau ghibah, tapi mau menyampaikan informasi yang dijamin akurat," katanya dengan raut yakin, membuat ibu-ibu yang tengah berbelanja di tukang sayur langganan kian penasaran.
"Kenapa memangnya, Bu Suci?" tanya Bu Erni.
Tepat di waktu ini, Bu Jaenab baru saja tiba dan bergabung. Melihat kedatangan wanita itu, ibunya Nadin itu langsung mendelik sinis.
"Dengar-dengar di kampung kita ada gadis yang hamil di luar nikah!"
Mata Bu Suci mengerling ke arah Bu Jaenab, tetapi wanita yang tak merasa ada keluarga yang tengah hamil tanpa pernikahan itu hanya diam, dia sudah sangat hapal dengan sifat Bu Suci yang sering membicarakan orang lain.
"Hah? Siapa?" tanya Bu Erni penasaran, begitupun dengan ibu-ibu lainnya.
"Rahasia, pokoknya nanti juga tahu, setelah tahu pasti kalian semua bakalan syok," jawab Bu Suci dengan raut bangga sebab merasa anaknya jauh lebih baik dari Maira.
"Berapa totalnya, Mang?" tanya Bu Jaenab pada Mang Udin.
"35 ribu, Bu," jawab Mang Udin.
Bu Jaenab lantas membuka dompet kemudian memberikan selembar uang lima puluh ribuan. Setelah mendapat kembalian wanita berdaster merah itu bergegas pulang.
"Buru-buru amat Bu Jaenab, memang nggak penasaran sama informasi terbarunya?" tanya Bu Suci dengan raut meledek.
"Nggak perlu, Bu, terima kasih," jawab Bu Jaenab ramah. "Kalau begitu saya duluan ya, Bu," lanjut ibunya Maira sembari melangkah pergi.
Jauh dalam hati, Bu Jaenab merasa aneh dengan sikap ibunya Nadin. Bukan karena aktifitas menghibahnya, akan tetapi karena reaksi wajah yang seakan-akan ditujukan padanya.
"Astagfirullah, nggak mungkin, jauhkan dari hal-hal buruk ya Allah." Bu Jaebab menggelengkan kepala agar pikiran buruk yang melintas di benak segera hilang.
Sementara itu, di kampus Maira melakukan aktivitas seperti biasa. Hanya saja, hari ini Khanza tak masuk sebab ada acara dengan keluarganya. Ya, latar belakang keluarga dirinya dan sang sahabat sangat berbeda.
Maira hanyalah anak tukang bangunan dan ibunya buruh cuci, sedangkan Khanza berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya adalah seorang pengusaha, ibunya seorang dosen dan juga aktivis, akan tetapi persahabatan keduanya sangat erat meski mempunyai latar belakang yang berbeda.
[Ukhti Mia, afwan aku nggak bisa ikut kajian sore ini karena ada urusan mendesak]
Maira mengetik pesan yang dikirimkan pada mentor kajiannya di lembaga dakwah kampus. Wanita itu sangat murung sehingga tak mampu belajar dengan fokus, dia justru sibuk mencari obat yang bisa mengeluarkan janin tak diharapkan.
'Maafin aku ya, aku nggak bisa membesarkan kamu,' batin Maira, diam-diam wanita itu mengelus perutnya dengan rasa bersalah.
Sepulang kuliah, Maira membeli obat hasil pencarian di internet ke apotek. Meskipun ditatap dengan raut sinis dia tak lagi peduli, saat ini Maira seakan-akan telah kehilangan imannya, konflik internal dalam batinnya telah berhasil membuat wanita yang sebelumnya bak bidadari itu tak ubahnya seorang iblis.
"Maafin aku, maaf, ya."
Tangan Maira bergetar saat memasukkan obat itu ke dalam tas. Di sepanjang perjalanan pulang niatnya naik turun untuk melakukan hal gila itu. Akan tetapi, mengingat wajah ayahnya dia tak sanggup menghadapi kenyataan, hal ini telah membuatnya menjadi seorang pecundang.
Sesampainya di rumah, Maira hanya sendiri sebab Bu Jaenab tengah mengantar sang suami ke rumah sakit. Dalam keadaan sepi, batin Maira kembali berkonflik untuk mempertahankan atau mengugurkan kandungannya.
"Lakukan Maira, mumpung lagi sepi."
"Jangan! Istighfar Mai, Allah nggak akan menghukum atas kehamilan kamu, tapi Allah akan murka kalau kamu membunuh janin tidak berdosa itu!"
Maira kian frustrasi, bisikan hati kecil dan godaan setan seakan-akan terus berperang di kepala, air matanya mengalir deras karena dua hal ini adalah pilihan yang sangat sulit.
Sungguh, andai ada orang yang patut disalahkan, maka pria yang merudapaksanya lah yang bersalah. Namun, Maira tak pernah tahu siapa pria itu, di mana dia tinggal dan apakah dia menyesal telah merusak masa depan seorang gadis.
"Maafin Mama, Nak."
Dengan hati yang pedar Maira menelan obat itu, dia berharap semua masalah akan selesai dengan ini. Namun, rasa sesal seketika menguar di hati. Maira merasa menjadi orang yang sangat jahat karena membunuh darah dagingnya sendiri.
Tak perlu menunggu lama, perut Maira langsung sakit, bahkan dia merasakan nyeri yang sangat dahsyat hingga keringat dingin bercucuran.
Aaaaaaaaaakh, ssssssst.
Maira merebahkan tubuhnya di atas kasur, dia merapatkan gigi, tangannya mencakar sprey dengan kuat lantaran sakit yang hampir tak tertahankan, air matanya mengucur, kali ini dia benar-benar hancur.
"Ibuuu ... sakittt."
Maira menyumpal mulutnya dengan kain agar tak menjerit. Rasa sakit ini seperti hendak membunuhnya.
"Assalamu'alaikum."
Suara Bu Jaenab terdengar disertai dorongan pintu. Namun, Maira yang merasakan sakit luar biasa itu tak lagi menghiraukan kedatangan sang ibunda.
"Maira, kamu sudah datang, Nak?" tanya Bu Jaenab sembari membuka pintu kamar anaknya.
Namun, saat daun pintu terbuka, mata Bu Jaenab terbelalak melihat Maira tengah kesakitan.
"Maira, kamu kenapa?"
Bu Jaenab berlari mendekati sang putri, betapa terkejutnya dia saat melihat noda darah di sprey, hati wanita itu gelisah tak menentu.
Di waktu bersamaan, sebuah mobil berhenti di halaman rumah, rupanya Khanza datang membawakan oleh-oleh untuk sang sahabat. Melihat pintu terbuka, gadis berhijab hitam itu langsung masuk begitu saja.
"Ya Allah, toloooong," jerit Bu Jaenab yang panik melihat anaknya kesakitan.
'Bu Jaenab," bisik Khanza yang baru saja berdiri di teras rumah.
Gadis itu lantas berlari ke kamar, kepanikannya semakin menjadi melihat Maira tengah kesakitan.
"Khanza, alhamdulillah kamu datang, tolong Maira, Nak," pinta Bu Jaenab sembari menangis.
"Ayo, Bu, kita bawa ke rumah sakit aja," ajak Khanza, dia meraih lengan Maira lalu membantunya untuk bangkit.
"Aku nggak mau ke rumah sakit, Za," lirih Maira berusaha menolak.
"Ini bukan waktunya buat keras kepala, ayo!"
Khanza bersama Bu Jaenab bersama-sama memapah Maira. Di sepanjang perjalanan gadis itu hanya fokus berkendara, hatinya gelisah sebab dia tahu bahwa Maira mungkin berusaha mengugurkan kandungannya.
Sesampainya di rumah sakit, Maira langsung dibawa ke ruang IGD. Bu Jaenab yang tengah menunggu kabar nampak gelisah sebab kini anak serta suaminya sama-sama harus dirawat. Sementara itu, Khanza nampak gusar sebab merasa bersalah.
"Bu, sebenarnya Maira__"
Belum sempat Khanza melanjutkan ucapan, seorang dokter tiba-tiba saja menghampiri mereka.
"Permisi, di mana suami pasien?" tanya dokter.
Degup jantung Bu Jaenab seketika saja berdetak semakin kencang, matanya membulat sempurna, dia syok dengan pertanyaan aneh sang dokter.
"Suami?" gumam Bu Jaenab.
"Suaminya sedang di luar kota, kami keluarganya," sahut Khanza, sontak pernyataan itu membuat Bu Jaenab semakin kaget.
"Oh, baiklah, beruntung pasien langsung dibawa ke rumah sakit dan bayinya masih bisa diselamatkan," ucap dokter itu dengan senyuman.
"Haaah, bayi?"
Bagai tersambar petir di siang bolong, lutut Bu Jaenab langsung lemas mendengar kabar mengejutkan yang disembunyikan putrinya.
"Bu Jaenab!"Khanza menyanggah tubuh lunglai wanita paruh baya itu."Bayi? Astaghfirullah ...."Bu Jaenab bergumam sembari berpegangan pada tembok, dia sungguh tak percaya dengan apa yang baru saja diketahui. Dalam lemah wanita itu menampar pipinya sendiri, hati Bu Jaenab semakin nyeri menyadari semua bukanlah mimpi."Ayo duduk dulu, Bu."Khanza yang tak mampu menahan air mata pun memapah Bu Jaenab ke kursi tunggu, dia menatap nanar manik hitam nan keriput wanita di hadapannya."Ibu nggak ngerti, apa Maira punya pacar?" tanya Bu Jaenab sembari memijat dahi yang terasa sangat pening.Khanza menggeleng pelan. "Nggak, Bu, Maira nggak punya pacar," jawabnya dengan menahan sesak di dada."Terus? Kalau begitu siapa yang tega menghamili anakku? Apa Maira berbuat zina? Apa dia mabuk? Apa dia diam-diam melakukan perbuatan hina?"Bu Jaenab memberondong Khanza dengan pertanyaan yang membuat hatinya kian nyeri. Sebagai orang tua, dia merasa gagal mendidik anaknya.Merasa kasihan pada keluarga san
Uweeeek.Maira memegang perutnya yang tak nyaman saat baru saja keluar dari kamar, akhir-akhir ini wanita itu sering merasa mual."Maira, ayo sarapan dulu, Nak."Wajah cantik dengan balutan hijab syar'i berwarna mocca itu langsung disambut oleh senyum manis sang ibunda."Iya, sini sarapan dulu, kebetulan Bapak juga libur, jadi bisa antar kamu ke kampus," timpal ayahnya yang sudah lebih dulu sarapan."Nggak usah Bu, Pak, aku buru-buru. Lagian Khanza bilang bakal jemput aku, dia udah di jalan kayaknya."Maira bergegas pergi, saat hendak bersalaman pada kedua orang tua, dia mencium bau masakan yang membuat perutnya kembali mual. Akan tetapi, wanita muda itu berusaha menahannya sekuat mungkin."Loh, makan aja satu suap, nanti masuk angin!" pinta Bu Jaenab setengah memaksa."Tapi, Bu__"Maira hendak menolak, tetapi Bu Jaenab yang sudah memasak nasi goreng udang kesukaan putri tunggalnya sedikit memaksa, wanita berusia akhir empat puluhan itu justru semakin mendekatkan nasi goreng ke hadapa
"Apa, garis dua?"Wanita berusia dua puluh tahun itu menatap nanar tespek dalam genggaman. Air mata mengalir deras dari kedua netra, tubuhnya merosot begitu saja ke lantai kamar mandi."Ya Allah, aku harus bagaimana?" bisik Maira sembari memeluk lutut.Membayangkan hidupnya yang akan hancur, mimpinya yang akan kandas membuat wanita berkulit putih dengan hidung mancung itu semakin frustrasi.'Kenapa kamu harus hidup di rahimku, hah, kenapa?'Dengan penuh kebencian Maira memukul perutnya, berharap janin tak diharapkan itu segera pergi untuk mengakhiri mimpi buruknya.'Kenapa ya Allah, aku salah apa?'Dada Maira sesak laksana tertindih bebatuan besar, hatinya terasa nyeri seakan-akan tertusuk belati. Entah, bagaimana dia akan menghadapi dunia jika melahirkan seorang bayi tanpa tahu siapa ayah dari anaknya.Lama Maira menangisi nasibnya di sana, otak wanita itu tak mampu lagi berpikir jernih. Entah bagaimana dia harus menghadapi orang tuanya, bagaimana jika mereka bertanya siapa pria yang
"Bu Jaenab!"Khanza menyanggah tubuh lunglai wanita paruh baya itu."Bayi? Astaghfirullah ...."Bu Jaenab bergumam sembari berpegangan pada tembok, dia sungguh tak percaya dengan apa yang baru saja diketahui. Dalam lemah wanita itu menampar pipinya sendiri, hati Bu Jaenab semakin nyeri menyadari semua bukanlah mimpi."Ayo duduk dulu, Bu."Khanza yang tak mampu menahan air mata pun memapah Bu Jaenab ke kursi tunggu, dia menatap nanar manik hitam nan keriput wanita di hadapannya."Ibu nggak ngerti, apa Maira punya pacar?" tanya Bu Jaenab sembari memijat dahi yang terasa sangat pening.Khanza menggeleng pelan. "Nggak, Bu, Maira nggak punya pacar," jawabnya dengan menahan sesak di dada."Terus? Kalau begitu siapa yang tega menghamili anakku? Apa Maira berbuat zina? Apa dia mabuk? Apa dia diam-diam melakukan perbuatan hina?"Bu Jaenab memberondong Khanza dengan pertanyaan yang membuat hatinya kian nyeri. Sebagai orang tua, dia merasa gagal mendidik anaknya.Merasa kasihan pada keluarga san
Huufttt ....'Apa yang harus aku lakukan sekarang? Dasar laki-laki bajingan, kenapa kamu melakukan itu, kenapa?'Dengan napas terengah-engah juga keringat yang mengucur Maira memijat pelipis, dia juga mengacak-acak rambut panjangnya sebab rasa pening di kepala. Terlebih bayangan pria yang merobek paksa selaput daranya kembali berputar di ingatan, membuat Maira ingin mencopot kepalanya agar lupa.Entah sampai kapan Maira bisa menyembunyikan semua ini dari orang tuanya. Sungguh, dengan peristiwa yang menimpanya dua bulan lalu saja sudah membuat mentalnya hancur, kini dia harus mengandung seorang bayi tanpa pernikahan di tengah-tengah sakit jantung bapaknya yang sering kumat.Biasanya, Maira akan bangun di sepertiga malam, dia akan bersujud pada Sang Pencipta, akan tetapi kondisi seperti ini, situasi yang sangat memberatkan hati membuat setan seakan-akan menguasai diri."Apa aku masih harus salat, sedangkan Engkau seperti tidak mendengar doaku, Tuhan?"Maira terisak melihat jam dinding
"Apa, garis dua?"Wanita berusia dua puluh tahun itu menatap nanar tespek dalam genggaman. Air mata mengalir deras dari kedua netra, tubuhnya merosot begitu saja ke lantai kamar mandi."Ya Allah, aku harus bagaimana?" bisik Maira sembari memeluk lutut.Membayangkan hidupnya yang akan hancur, mimpinya yang akan kandas membuat wanita berkulit putih dengan hidung mancung itu semakin frustrasi.'Kenapa kamu harus hidup di rahimku, hah, kenapa?'Dengan penuh kebencian Maira memukul perutnya, berharap janin tak diharapkan itu segera pergi untuk mengakhiri mimpi buruknya.'Kenapa ya Allah, aku salah apa?'Dada Maira sesak laksana tertindih bebatuan besar, hatinya terasa nyeri seakan-akan tertusuk belati. Entah, bagaimana dia akan menghadapi dunia jika melahirkan seorang bayi tanpa tahu siapa ayah dari anaknya.Lama Maira menangisi nasibnya di sana, otak wanita itu tak mampu lagi berpikir jernih. Entah bagaimana dia harus menghadapi orang tuanya, bagaimana jika mereka bertanya siapa pria yang
Uweeeek.Maira memegang perutnya yang tak nyaman saat baru saja keluar dari kamar, akhir-akhir ini wanita itu sering merasa mual."Maira, ayo sarapan dulu, Nak."Wajah cantik dengan balutan hijab syar'i berwarna mocca itu langsung disambut oleh senyum manis sang ibunda."Iya, sini sarapan dulu, kebetulan Bapak juga libur, jadi bisa antar kamu ke kampus," timpal ayahnya yang sudah lebih dulu sarapan."Nggak usah Bu, Pak, aku buru-buru. Lagian Khanza bilang bakal jemput aku, dia udah di jalan kayaknya."Maira bergegas pergi, saat hendak bersalaman pada kedua orang tua, dia mencium bau masakan yang membuat perutnya kembali mual. Akan tetapi, wanita muda itu berusaha menahannya sekuat mungkin."Loh, makan aja satu suap, nanti masuk angin!" pinta Bu Jaenab setengah memaksa."Tapi, Bu__"Maira hendak menolak, tetapi Bu Jaenab yang sudah memasak nasi goreng udang kesukaan putri tunggalnya sedikit memaksa, wanita berusia akhir empat puluhan itu justru semakin mendekatkan nasi goreng ke hadapa