"Apa, garis dua?"
Wanita berusia dua puluh tahun itu menatap nanar tespek dalam genggaman. Air mata mengalir deras dari kedua netra, tubuhnya merosot begitu saja ke lantai kamar mandi.
"Ya Allah, aku harus bagaimana?" bisik Maira sembari memeluk lutut.
Membayangkan hidupnya yang akan hancur, mimpinya yang akan kandas membuat wanita berkulit putih dengan hidung mancung itu semakin frustrasi.
'Kenapa kamu harus hidup di rahimku, hah, kenapa?'
Dengan penuh kebencian Maira memukul perutnya, berharap janin tak diharapkan itu segera pergi untuk mengakhiri mimpi buruknya.
'Kenapa ya Allah, aku salah apa?'
Dada Maira sesak laksana tertindih bebatuan besar, hatinya terasa nyeri seakan-akan tertusuk belati. Entah, bagaimana dia akan menghadapi dunia jika melahirkan seorang bayi tanpa tahu siapa ayah dari anaknya.
Lama Maira menangisi nasibnya di sana, otak wanita itu tak mampu lagi berpikir jernih. Entah bagaimana dia harus menghadapi orang tuanya, bagaimana jika mereka bertanya siapa pria yang menghamilinya, matilah dia dimarahi oleh pria bergelar bapak.
Di tengah kegalauannya, pintu kamar mandi diketuk. Saking kalut pikiran, dia hampir melupakan ada Khanza yang menunggunya di luar, sekuat tenaga Maira menyeret tubuhnya yang lunglai untuk bangkit.
"Khanza ...."
Maira membuka pintu sembari mengusap air mata yang bercucuran, dia menghela napas dalam untuk mengatur rasa sesak di dada.
"Maira, gimana?"
Melihat Maira menangis, Khanza langsung mendorong sang sahabat kembali ke kamar mandi, gadis berhijab lebar itu juga mengunci pintu agar tak ada yang masuk dan mendengar obrolan mereka.
"Ini ...."
Maira yang masih merasa hancur pun memberikan tespek dengan garis dua pada Khanza. Tangannya bergetar sebab rasa takut menghadapi kehidupan selanjutnya.
"Hah?"
Khanza menutup mulut yang hampir menganga, dia tak percaya kalau apa yang selama ini ditakutkan rupanya menjadi nyata.
"Aku nggak siap jadi ibu, Za, aku takut," bisik Maira sambil terisak.
Khanza lantas memeluk sang sahabat, dia tahu ini sangat berat untuk Maira.
"Mai, kita usut aja kasusnya, seenggaknya kita bisa tahu siapa bapak dari anak itu."
Khanza memberi usul, sejak awal kejadian dua bulan lalu, gadis itu memang meminta Maira membawa musibah yang menimpanya ke jalur hukum, akan tetapi Maira merasa malu sebab dia takut di-cap buruk oleh orang lain, dia juga takut akan dikucilkan jika banyak yang tahu tentangnya. Lebih buruk dari itu, dia takut terjadi sesuatu pada sang ayah yang mempunyai penyakit jantung.
"Aku udah pernah bilang sama kamu Za, aku takut, aku juga malu, lagi pula kejadiannya begitu cepat, aku bahkan nggak punya saksi, aku takut mereka nggak percaya sama aku," keluh Maira.
Wanita itu gamang, setitik sesal hinggap di hati lantaran tak langsung membawa peristiwa itu ke ranah hukum, akan tetapi di lain sisi Maira sangat takut dikucilkan andai ada orang yang tahu bahwa dirinya sudah tidak lagi suci--terlepas dari bagaimana caranya keperawanan itu hilang.
Khanza hanya menganggukkan kepala, dia sungguh mengerti dengan sagala kegelisahan sahabatnya.
"Tapi lama-lama perut kamu juga akan membesar Mai, nggak mungkin selamanya bisa ditutupi," kata Khanza dengan perasaan gamang.
Maira semakin frustrasi. Bisikan setan terus menghantui, mengembuskan godaan agar dirinya berbuat zalim.
"Apa aku gugurkan aja, ya?" tanya Maira lirih, dia seakan-akan tak mempunyai jalan keluar. Bukan tak memiliki iman, justru baginya ini adalah godaan ketakwaan yang benar-benar dahsyat.
"Astaghfirullah Mai, istighfar kamu!"
Khanza memelototi temannya, meskipun mengerti dengan penderitaan Maira, akan tetapi gadis lulusan pesantren itu tidak ingin sang sahabat melakukan perbuatan dosa, terlebih menggugurkan kandungan sama saja dengan membunuh.
"Astaghfirullah," lirih Maira.
Lantaran kalut keduanya sampai lupa menyebut nama Tuhan di kamar mandi, padahal mereka tahu bahwa tak boleh menyebut-Nya di tempat itu.
"Kamu tenang ya, Mai, menurutku kamu mendingan jujur sama orang tua, jelasin semuanya kalau kehamilan ini bukan karena perbuatan asusila."
"Tapi aku takut, Za," lirih Maira yang tak yakin untuk mengungkapkan semuanya, dia sungguh khawatir dengan kondisi sang ayah yang penyakitnya sering kumat.
"Kamu masih punya waktu, yang penting jangan pernah mempunyai niat buruk, ya, apapun yang terjadi aku janji akan selalu ada di samping kamu."
Khanza memeluk Maira erat, kedua sahabat itu menangis bersama-sama. Bagi Khanza, Maira adalah separuh hidupnya, sahabat yang sudah dianggap seperti saudara.
"Iya, tapi untuk sekarang tolong rahasiakan ini, aku janji akan segera memberitahu ibu sama bapak," kata Maira, dia benar-benar tak ada pilihan lain.
Sementara, di luar pintu kamar mandi, Nadin yang melihat gerak-gerik mencurigakan dari Maira dan Khanza lantas menguping.
"Belum siap jadi ibu, jangan ... jangan?"
Nadin bergumam dengan mata melebar, dia ingat betul bagaimana Maira mual saat presentasi di kelas. Teman satu kampung Maira itu semakin menempelkan telinga pada pintu, akan tetapi mereka berbicara dengan suara berbisik sehingga Nadin tak mampu mendengar semua percakapan.
Gadis dengan rambut panjang itu bergegas pergi begitu menyadari Maira dan Khanza keluar, dia sudah tak sabar ingin menyebarkan berita pada semua orang. Meskipun Maira tak pernah mengusik hidupnya, tetapi Nadin sangat membenci wanita itu lantaran selalu dipuji-puji oleh seluruh tetangga.
"Guys, gue punya berita hot nih," ujar Nadin pada teman geng nya di kantin.
"Apaan?" tanya Jessika yang tengah menikmati Thai tea.
"Lo ingat nggak tadi Maira mual di kelas?" tanya Nadin dengan wajah yang dibuat serius ala-ala tukang gosip.
"Masuk angin kali," sahut Riana, temannya yang berbeda kelas.
"Bisa iya, bisa juga bukan," jawab Jessika. "Tapi seinget gue dia sampai bolak-balik kamar mandi, gue rasa mualnya mirip sama kakak yang lagi ngidam," lanjut Jessica polos.
"Nah itu dia, gue curiga kalau dia itu sebenarnya hamil!" sahut Nadin lagi dengan penuh rasa puas.
"Haaaaaaaah?"
Mata empat gadis tak berhijab itu membulat, mereka saling berpandangan lantaran tak percaya.
"Masa sih? Nggak mungkin ah!" sanggah Riana.
"Iya, kayaknya mustahil, lo tahu sendiri dia itu ukhti yang pakai kerudungnya aja lebar," timpal Mita.
"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini, siapa tahu dia cuma kerdus. Bilangnya anti pacaran tahunya hamil duluan, haa ... haa."
Nadin tertawa terbahak-bahak disusul oleh Jessika dan Mita yang sama-sama tak suka pada Maira, akan tetapi Riana hanya diam, rasanya dia tak percaya sebab tahu bagaimana kepribadian Maira.
***
Malam kian larut, Maira baru saja memejamkan mata saat mendapati sebuah mimpi. Di bunga tidurnya dia tengah berkemah dengan teman-teman dari himpunan mahasiswa, Maira yang mengambil jurusan Biologi membuatnya sering pergi ke alam untuk berbagai kegiatan dan penelitian. Lebih dari itu, dia sangat menyukai alam bebas seperti pegunungan.
Maira tengah berjalan, tetapi tiba-tiba saja dia berpisah dengan temannya. Saat wanita itu tengah berjalan mencari jalan pulang, tiba-tiba saja seorang pria asing dengan wajah tampan menghampirinya, pria itu nampak tengah mabuk dan berusaha menggodanya.
"Jangan! Tolong ... tolong!"
Secepat kilat Maira membuka mata, adegan saat pria itu merengkuh lalu menarik tubuhnya ke semak-semak membuat wanita itu terbangun. Semuanya seperti dejavu. Keringat dingin bercucuran di dahi, Maira kembali menangis dan seluruh tubuhnya gemetar hebat.
"Astagfirullahalazim ...."
Maira beristighfar lirih. Trauma kembali hinggap di jiwanya, dia sangat takut, segenap rasa di hati wanita itu kian menyiksa, bayang-bayang wajah pria yang sama sekali tak dikenalnya kembali berkelindan di kepala.
Huufttt ....'Apa yang harus aku lakukan sekarang? Dasar laki-laki bajingan, kenapa kamu melakukan itu, kenapa?'Dengan napas terengah-engah juga keringat yang mengucur Maira memijat pelipis, dia juga mengacak-acak rambut panjangnya sebab rasa pening di kepala. Terlebih bayangan pria yang merobek paksa selaput daranya kembali berputar di ingatan, membuat Maira ingin mencopot kepalanya agar lupa.Entah sampai kapan Maira bisa menyembunyikan semua ini dari orang tuanya. Sungguh, dengan peristiwa yang menimpanya dua bulan lalu saja sudah membuat mentalnya hancur, kini dia harus mengandung seorang bayi tanpa pernikahan di tengah-tengah sakit jantung bapaknya yang sering kumat.Biasanya, Maira akan bangun di sepertiga malam, dia akan bersujud pada Sang Pencipta, akan tetapi kondisi seperti ini, situasi yang sangat memberatkan hati membuat setan seakan-akan menguasai diri."Apa aku masih harus salat, sedangkan Engkau seperti tidak mendengar doaku, Tuhan?"Maira terisak melihat jam dinding
"Bu Jaenab!"Khanza menyanggah tubuh lunglai wanita paruh baya itu."Bayi? Astaghfirullah ...."Bu Jaenab bergumam sembari berpegangan pada tembok, dia sungguh tak percaya dengan apa yang baru saja diketahui. Dalam lemah wanita itu menampar pipinya sendiri, hati Bu Jaenab semakin nyeri menyadari semua bukanlah mimpi."Ayo duduk dulu, Bu."Khanza yang tak mampu menahan air mata pun memapah Bu Jaenab ke kursi tunggu, dia menatap nanar manik hitam nan keriput wanita di hadapannya."Ibu nggak ngerti, apa Maira punya pacar?" tanya Bu Jaenab sembari memijat dahi yang terasa sangat pening.Khanza menggeleng pelan. "Nggak, Bu, Maira nggak punya pacar," jawabnya dengan menahan sesak di dada."Terus? Kalau begitu siapa yang tega menghamili anakku? Apa Maira berbuat zina? Apa dia mabuk? Apa dia diam-diam melakukan perbuatan hina?"Bu Jaenab memberondong Khanza dengan pertanyaan yang membuat hatinya kian nyeri. Sebagai orang tua, dia merasa gagal mendidik anaknya.Merasa kasihan pada keluarga san
Uweeeek.Maira memegang perutnya yang tak nyaman saat baru saja keluar dari kamar, akhir-akhir ini wanita itu sering merasa mual."Maira, ayo sarapan dulu, Nak."Wajah cantik dengan balutan hijab syar'i berwarna mocca itu langsung disambut oleh senyum manis sang ibunda."Iya, sini sarapan dulu, kebetulan Bapak juga libur, jadi bisa antar kamu ke kampus," timpal ayahnya yang sudah lebih dulu sarapan."Nggak usah Bu, Pak, aku buru-buru. Lagian Khanza bilang bakal jemput aku, dia udah di jalan kayaknya."Maira bergegas pergi, saat hendak bersalaman pada kedua orang tua, dia mencium bau masakan yang membuat perutnya kembali mual. Akan tetapi, wanita muda itu berusaha menahannya sekuat mungkin."Loh, makan aja satu suap, nanti masuk angin!" pinta Bu Jaenab setengah memaksa."Tapi, Bu__"Maira hendak menolak, tetapi Bu Jaenab yang sudah memasak nasi goreng udang kesukaan putri tunggalnya sedikit memaksa, wanita berusia akhir empat puluhan itu justru semakin mendekatkan nasi goreng ke hadapa