Malam di Pulau Bontosua memiliki keindahan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Bintang-bintang bersinar terang, seolah berlomba menari di langit gelap. Ombak laut yang tenang menggemakan irama malam yang penuh misteri. Di sebuah titik di tepi pantai, La Patiwaji duduk bersila, menatap laut lepas. Angin malam yang dingin membelai wajahnya, tetapi pikirannya lebih sibuk dari sebelumnya.
Sitti Mariam datang mendekat, membawa seikat obor kecil untuk menerangi tempat itu. Wajahnya terlihat prihatin, tetapi dia mencoba menyembunyikannya dengan senyum tipis. "Patiwaji, kau seharusnya beristirahat," katanya sambil meletakkan obor di atas pasir. "Malam ini terlalu dingin untuk duduk lama di sini." "Aku tidak bisa tidur, Mariam," jawab La Patiwaji tanpa menoleh. "Pikiranku penuh dengan hal-hal yang belum bisa kupahami. Apa aku benar-benar bisa menghadapi semua ini?" Mariam duduk di sampingnya, menarik lututnya ke dada sambil memandang lautan yang gelap. "Aku tahu, ini tidak mudah bagimu. Tapi, apakah kau benar-benar ingin melewati semuanya sendirian? Kau tahu aku selalu ada di sini untukmu." Patiwaji tersenyum samar. "Aku tahu, dan aku bersyukur untuk itu. Tapi, Mariam, aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Ayah dan Ibu tahu sesuatu yang tidak mereka katakan padaku. Rahasia yang lebih dalam dari sekadar kekuatan ini." Mariam mengangguk pelan. "Aku juga merasakannya. Mereka selalu berbicara dengan bahasa yang penuh teka-teki, seolah-olah ingin melindungimu dari sesuatu. Tapi, Patiwaji, bukankah itu artinya mereka percaya padamu? Bahwa suatu saat kau akan mampu memahami semuanya?" La Patiwaji menghela napas panjang. "Aku berharap bisa memiliki keyakinan seperti mereka. Tapi bagaimana jika aku tidak cukup kuat, Mariam? Bagaimana jika aku gagal?" "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri," jawab Mariam dengan nada lembut. "Tidak ada yang meminta kesempurnaan darimu, Patiwaji. Bahkan Ayahmu tahu, kekuatan ini hanya akan tumbuh jika kau belajar dari perjalananmu." Mereka terdiam sejenak, membiarkan suara deburan ombak menjadi pengisi ruang kosong di antara mereka. Namun, keheningan itu segera pecah ketika suara langkah mendekat. La Tunrung muncul dari kegelapan, membawa tongkat panjang yang biasa digunakannya untuk berjalan di malam hari. "Anakku," panggilnya dengan nada serius. "Aku tahu kau ada di sini. Kau terlalu gelisah untuk tetap di rumah, bukan?" La Patiwaji menoleh, sedikit terkejut, tetapi segera berdiri untuk menyambut ayahnya. "Ayah, aku hanya butuh waktu untuk berpikir." La Tunrung mengangguk, lalu memandang ke arah laut. "Aku mengerti. Kadang-kadang, pikiran menjadi lebih jernih saat kita dekat dengan alam." Dia duduk di pasir, menatap jauh ke cakrawala. Mariam mengangguk hormat, lalu berkata, "Paman, apa paman ingin saya meninggalkan kalian berdua?" "Tidak, Mariam," jawab La Tunrung dengan suara ramah. "Kau adalah sahabat Patiwaji, dan aku tahu kau peduli padanya. Tetaplah di sini. Pembicaraan ini mungkin juga berguna untukmu." Mariam tetap di tempatnya, sementara La Patiwaji duduk kembali di samping ayahnya. "Anakku," La Tunrung memulai, "kau pasti merasa beban ini terlalu berat untuk kau pikul sendiri. Aku tidak bisa menyalahkanmu untuk itu. Namun, ada sesuatu yang perlu kau ketahui, sesuatu yang selama ini aku simpan karena belum waktunya." La Patiwaji mengerutkan kening. "Apa maksud Ayah? Apa ada hal lain yang belum Ayah katakan?" La Tunrung menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Kekuatan yang ada padamu, anakku, bukan hanya warisan dari leluhur kita. Ia juga merupakan bagian dari perjanjian lama yang dibuat oleh nenek moyang kita. Perjanjian itu mengikat kita dengan kekuatan alam, kekuatan laut, dan kekuatan langit. Dan kau, anakku, adalah penerus yang dipilih untuk menjaga perjanjian itu." "Perjanjian?" Patiwaji terkejut. "Apa maksud Ayah? Mengapa aku tidak pernah mendengar tentang ini sebelumnya?" "Ada alasan mengapa aku menyembunyikannya," jawab La Tunrung. "Perjanjian ini hanya bisa dipahami oleh mereka yang siap menerima tanggung jawab besar. Jika kau mengetahui semuanya terlalu cepat, aku khawatir kau akan terbebani oleh ketakutan." Mariam yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Paman, apa sebenarnya perjanjian itu? Apa yang membuatnya begitu penting sehingga harus dirahasiakan?" La Tunrung menatap Mariam sejenak, lalu kembali menatap Patiwaji. "Perjanjian itu dibuat untuk melindungi pulau-pulau kita dari ancaman luar. Nenek moyang kita menyerahkan kekuatan mereka kepada generasi penerus, tetapi dengan syarat bahwa kekuatan itu hanya boleh digunakan untuk kebaikan." "Tapi, Ayah," Patiwaji menyela, "apa yang terjadi jika aku gagal menjaga perjanjian itu?" La Tunrung terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada serius. "Jika kau gagal, anakku, maka kekuatan itu akan menjadi liar dan tak terkendali. Bukan hanya kau yang akan menderita, tetapi seluruh pulau ini bisa hancur. Itu sebabnya aku selalu mengingatkanmu untuk berhati-hati dalam memilih jalanmu." Patiwaji merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Namun, ia juga merasa ada sesuatu yang lebih besar dari rasa takutnya. Sebuah tanggung jawab yang harus ia hadapi, tidak peduli betapa beratnya. "Ayah, aku akan mencoba," katanya akhirnya. "Aku tidak tahu apakah aku bisa, tapi aku akan berusaha." La Tunrung tersenyum tipis, lalu menepuk bahu anaknya. "Itu adalah awal yang baik, Anakku. Ingatlah, kau tidak sendirian. Keluarga kita, sahabatmu, dan seluruh pulau ini ada di belakangmu." Mariam menambahkan dengan nada penuh semangat, "Dan jangan lupa, aku juga ada di sini. Apa pun yang terjadi, kau selalu bisa mengandalkanku." Malam itu, percakapan mereka di tepi pantai membawa sedikit kelegaan bagi La Patiwaji. Namun, ia tahu bahwa ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang menantinya. Di balik ombak yang tenang, ada badai besar yang sedang menunggu, dan ia harus siap menghadapi semuanya. Malam itu, La Patiwaji duduk memandangi laut lebih lama dari biasanya. Percakapan dengan ayahnya menyisakan banyak pertanyaan di benaknya. Apa sebenarnya perjanjian itu? Dan mengapa ia yang dipilih untuk melanjutkannya? Mariam, yang tetap duduk di sampingnya, merasakan kegelisahan sahabatnya. "Patiwaji," katanya pelan, "aku tahu ini sulit, tapi aku percaya kau akan menemukan jalanmu. Kau hanya perlu waktu." Patiwaji mengangguk, tetapi pikirannya masih dipenuhi kebingungan. "Kau tahu, Mariam, aku selalu berpikir hidup ini sederhana. Aku lahir di pulau ini, besar di sini, dan kelak aku akan mati di sini. Tapi sekarang, semua itu terasa seperti ilusi. Seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar yang menungguku, sesuatu yang aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menghadapinya." Mariam tersenyum kecil. "Itu mungkin benar. Tapi, tidakkah kau berpikir bahwa kau diberi kekuatan ini karena kau mampu mengembannya? Ayahmu pasti melihat sesuatu dalam dirimu yang belum kau lihat sendiri." Patiwaji menghela napas panjang. "Mungkin kau benar, Mariam. Tapi entah kenapa, aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang harus aku ketahui sebelum aku bisa benar-benar menerima semua ini." Percakapan mereka terhenti sejenak ketika angin malam bertiup lebih kencang, membawa suara ombak yang menghantam karang di kejauhan. Patiwaji memejamkan mata, mencoba merasakan ketenangan yang biasanya ia dapatkan dari suara laut. Namun, kali ini, ketenangan itu tidak datang. Sementara itu, La Tunrung berdiri di dekat rumahnya, memandang laut dengan ekspresi yang sulit dibaca. Di sampingnya, Datu Pallu keluar dari dalam rumah, membawa selendang untuk melindungi diri dari dinginnya malam. "Anak kita sedang gelisah, Suamiku," kata Datu Pallu dengan nada lembut. "Kau tahu ini akan terjadi, bukan?" La Tunrung mengangguk pelan. "Aku tahu. Tapi aku tidak pernah membayangkan akan seberat ini. Patiwaji masih terlalu muda untuk memahami semuanya." Datu Pallu menyentuh lengan suaminya, memberikan dorongan yang diam-diam. "Kau juga pernah muda, Suamiku. Dan kau pernah merasa hal yang sama ketika ayahmu mengatakan hal serupa padamu." "Tapi aku tidak sepertinya," jawab La Tunrung dengan nada tegas. "Aku menerima tanggung jawab itu dengan kebanggaan, sementara Patiwaji masih ragu pada dirinya sendiri." "Karena kau memaksakan tanggung jawab itu terlalu cepat," balas Datu Pallu dengan lembut tapi tajam. "Dia butuh waktu, Suamiku. Kau tidak bisa membandingkan dia dengan dirimu sendiri. Setiap orang memiliki cara mereka sendiri untuk memahami jalan hidup mereka." La Tunrung terdiam, membiarkan kata-kata istrinya meresap. Dalam hatinya, ia tahu Datu Pallu benar. Namun, sebagai seorang ayah, ia merasa sulit untuk melihat anaknya terjebak dalam keraguan. "Aku hanya ingin dia siap," kata La Tunrung akhirnya. "Dunia di luar sana tidak sebaik pulau ini, Istriku. Jika dia tidak siap, dia akan hancur." "Dan jika kau terus mendorongnya tanpa memberinya waktu untuk tumbuh, kau akan menghancurkannya lebih cepat," balas Datu Pallu. La Tunrung tidak menjawab. Ia hanya memandang ke arah laut, di mana ia bisa melihat bayangan anaknya yang duduk bersama Mariam di kejauhan. Di tepi laut, Patiwaji akhirnya memecah kesunyian. "Mariam," katanya pelan, "kau tahu apa yang paling kutakutkan?" Mariam menatapnya, menunggu. "Aku takut mengecewakan mereka. Ayah, Ibu, bahkan kau. Semua orang tampaknya percaya padaku, tapi aku tidak yakin aku bisa memenuhi harapan itu." Mariam menggelengkan kepala. "Patiwaji, harapan itu bukan beban. Itu adalah kepercayaan. Mereka percaya bahwa kau mampu, dan aku percaya juga. Jangan pikirkan kegagalan. Fokuslah pada apa yang bisa kau lakukan sekarang." "Tapi bagaimana jika aku tidak cukup kuat?" tanya Patiwaji. "Kau tidak harus kuat sendirian," jawab Mariam dengan tegas. "Itulah gunanya keluarga, sahabat, dan orang-orang yang peduli padamu. Kami ada di sini untuk mendukungmu." Patiwaji terdiam, tetapi kata-kata Mariam membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Mariam melanjutkan, "Kau tahu, Patiwaji, aku pernah mendengar cerita dari nenekku. Dia mengatakan bahwa kekuatan terbesar seorang pemimpin bukanlah otot atau sihir, tetapi hatinya. Hati yang mampu mendengarkan, memahami, dan mencintai. Dan kau memiliki hati itu, Patiwaji." Patiwaji tersenyum kecil. "Kau selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik, Mariam." "Itu karena aku peduli padamu," jawab Mariam dengan senyum lebar. Malam itu, ketika Patiwaji dan Mariam kembali ke rumah, La Tunrung sudah menunggu mereka di ruang tengah. Wajahnya serius, tetapi ada kelembutan dalam tatapannya. "Anakku," katanya, "ada sesuatu yang perlu kau ketahui malam ini. Sesuatu yang sudah terlalu lama kusimpan darimu." Patiwaji merasa jantungnya berdebar. "Apa itu, Ayah?" La Tunrung menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. "Kekuatan yang ada padamu bukan hanya hasil dari perjanjian nenek moyang kita. Itu juga adalah kutukan." "Kutukan?" Patiwaji terkejut. "Ya," jawab La Tunrung. "Ketika nenek moyang kita membuat perjanjian dengan kekuatan alam, mereka juga membuat kesalahan besar. Mereka melanggar aturan yang ditetapkan oleh para penjaga kekuatan itu, dan akibatnya, kekuatan itu menjadi tidak stabil. Setiap generasi penerus harus menanggung beban itu, mencoba menjaga keseimbangan antara kekuatan dan kehancuran." Patiwaji merasa lemas mendengar penjelasan itu. "Jadi, aku tidak hanya harus menjaga perjanjian itu, tetapi juga menanggung kesalahan mereka?" "Benar," kata La Tunrung. "Tapi kau tidak sendirian, Anakku. Kau memiliki kami, keluargamu, dan semua orang di pulau ini yang percaya padamu." Datu Pallu, yang berdiri di samping La Tunrung, berkata dengan lembut, "Anakku, kami tahu ini tidak adil bagimu. Tapi hidup jarang kali adil. Yang bisa kita lakukan adalah menghadapi apa yang diberikan kepada kita dengan keberanian." Mariam menambahkan, "Dan kau punya keberanian itu, Patiwaji. Aku sudah melihatnya sejak kita masih kecil." Malam itu, Patiwaji merasa sedikit lebih kuat, meskipun beban di pundaknya masih berat. Ia tahu perjalanannya baru saja dimulai, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan. ---Pagi itu, angin berhembus lebih dingin dari biasanya, menyentuh wajah Patiwaji dengan lembut saat ia berjalan menyusuri jalan setapak yang menuju hutan. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres di dalam dirinya—sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami. Sebuah perasaan yang mendorongnya untuk mencari jawaban lebih dalam, sesuatu yang lebih dari sekadar perjanjian yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Hutan di sekitar pulau ini dikenal sebagai tempat yang penuh misteri. Banyak yang percaya bahwa di sana tersembunyi berbagai kekuatan lama yang mampu mengubah nasib siapa saja yang menemukannya. La Tunrung, ayahnya, pernah memperingatkannya untuk tidak terlalu sering mengunjungi tempat itu. Namun, Patiwaji merasa bahwa jawabannya, jawaban atas apa yang sedang ia cari, ada di dalam hutan itu. Ia harus pergi, meskipun ada banyak yang tidak ia pahami tentang sejarah dan perjanjian keluarganya. Patiwaji berjalan lebih cepat, mengikuti jejak-jejak kaki yang tertinggal di tanah basah. Di ujung jala
Setelah perjalanan yang melelahkan, Patiwaji dan rombongannya akhirnya sampai di sebuah desa kecil yang terletak di pinggir hutan. Desa itu tampak sederhana, namun memancarkan aura kedamaian yang jarang mereka temui di sepanjang perjalanan. Rumah-rumah terbuat dari bambu dan daun kelapa, dengan atap yang kokoh dan dinding yang rapi. Pohon kelapa berdiri tegak di sepanjang jalan, memberikan keteduhan dari teriknya matahari yang mulai tinggi. Patiwaji dan Mariam duduk di bawah sebuah pohon kelapa besar, sementara La Balanipa berbicara dengan beberapa orang desa. Suara tawa anak-anak yang bermain di dekat pantai mengalun, memberikan kesan bahwa kehidupan di desa ini berjalan dalam suasana tenang. Namun, di balik kedamaian itu, Patiwaji merasa sesuatu yang lebih besar sedang menanti di balik setiap sudut desa ini. Mariam melirik Patiwaji, yang tampak termenung, matanya menatap laut yang terhampar luas di depan mereka. "Kau tampak cemas, Patiwaji. Apa yang sedang kau pikirkan? Sebelum ka
Pagi itu, langit di pulau kecil tampak lebih cerah dari biasanya. Hembusan angin laut yang ringan menambah ketenangan suasana. Di sepanjang pantai yang berpasir putih, ombak bergulung perlahan, seolah menyanyikan sebuah lagu yang menenangkan hati. Desa yang tenang itu seakan mengingatkan Patiwaji tentang betapa singkatnya waktu mereka di sini, dan betapa besar keputusan yang harus mereka buat dalam waktu dekat. Namun, untuk saat ini, mereka hanya bisa menikmati keindahan yang ada di depan mata mereka. Mariam berjalan dengan langkah pelan di sampingnya. Mereka berdua baru saja selesai berbincang panjang dengan Tuan Haya, wanita tua yang bijaksana itu. Setelah mendengarkan kata-katanya, Patiwaji merasa ada sesuatu yang baru dalam dirinya—sesuatu yang mungkin tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Ada ketenangan yang mulai meresap ke dalam hatinya, meski kesadaran akan tantangan yang menunggu mereka di luar sana semakin jelas. “Apa yang kita cari di luar sana, Kakanda?” tanya M
Malam semakin larut, dan langit yang gelap mulai dihiasi oleh bintang-bintang yang berkelip, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang yang harus mereka hadapi. Patiwaji dan Mariam berdiri di atas sebuah bukit kecil, memandang lautan luas yang terbentang di depan mereka. Lautan yang menghampar dengan warna hitam pekat, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang lembut. Suara ombak yang menghantam batu-batu besar di tepi pantai bergema di udara, seperti suara masa lalu yang ingin mereka dengar lebih jelas.Mariam menatap laut dengan tatapan kosong, seakan menyatu dengan pemandangan yang ada di depannya. "Suara ombak ini, Patiwaji," katanya dengan suara lembut, "mereka seperti menceritakan sebuah kisah yang tak pernah selesai. Kisah tentang kehidupan, tentang perjuangan, tentang harapan dan ketakutan."Patiwaji menoleh, memandang wajah Mariam yang terbungkus dalam bayangan malam. Dia bisa melihat ke dalam matanya, seakan ada sesuatu yang dalam yang sedang bergulat di dalam hatinya.
Malam itu, angin laut berhembus lebih kencang dari biasanya, menyapu daun-daun kelapa di sekitar mereka. Patiwaji, Mariam, dan Arfan duduk di atas batu besar yang terletak di pinggir pantai, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Laut yang berdebur keras di kejauhan tampak seperti bisikan yang mengingatkan mereka pada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kehidupan sehari-hari. Suara ombak yang terus menghantam pantai itu terasa seperti sebuah cerita kuno yang terus berulang, tidak pernah selesai, namun selalu mengingatkan pada masa lalu yang penuh makna.“Pernahkah kalian merasa seperti... ada sesuatu yang lebih besar dari kita, sesuatu yang lebih dari sekadar kehidupan ini?” Patiwaji memecah keheningan, suaranya berat, seolah membawa beban yang tidak terlihat. Ia menatap jauh ke laut, mencoba menemukan jawabannya di sana, namun yang ada hanyalah luasnya samudra yang tak terbatas.Mariam menatapnya dengan penuh perhatian. “Kita semua, pada dasarnya
Pagi itu, matahari menyinari pulau dengan sinarnya yang lembut, membawa kehangatan yang menyelimuti tanah yang basah oleh embun pagi. Laut tampak lebih tenang, namun masih ada deburan ombak yang menyapu pantai, seakan mengingatkan mereka akan kekuatan alam yang selalu siap menantang. Patiwaji, Mariam, dan Arfan berkumpul di luar rumah yang sederhana, siap untuk memulai perjalanan mereka ke pulau yang telah lama menjadi misteri dalam cerita leluhur mereka.Patiwaji melihat ke sekeliling, memeriksa persiapan terakhir mereka. Ia merasa ketegangan di udara—sebuah perasaan campur aduk antara antusiasme dan ketakutan. Mereka telah memutuskan untuk berlayar pagi itu, dan meskipun mereka tahu perjalanan ini akan penuh dengan tantangan, mereka juga menyadari bahwa ini adalah langkah pertama mereka menuju sesuatu yang jauh lebih besar.“Aku rasa semuanya sudah siap,” kata Patiwaji, matanya memeriksa perahu yang terikat di dermaga. “Perjalanan ini akan memerlukan semua kekuat
Suasana di tengah hutan semakin mencekam. Udara yang berat, seolah menahan napas, memantulkan suara langkah kaki mereka yang tersebar di antara pepohonan tinggi yang memeluk tanah seperti tangan-tangan besar. Patiwaji, Mariam, dan Arfan berjalan dengan penuh kewaspadaan, mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan oleh leluhur mereka. Mereka telah melewati jalan setapak yang penuh dengan tantangan—pegunungan terjal, sungai-sungai kecil yang mengalir deras, dan hutan lebat yang hampir menutupi sinar matahari. Namun, mereka merasakan adanya sebuah daya tarik kuat, seolah alam itu sendiri ingin menunjukkan sesuatu yang lebih besar.“Perhatikan sekitar kita,” kata Patiwaji dengan suara yang lebih rendah dari biasanya. “Sepertinya alam ini tahu kita sedang dalam perjalanan penting. Tidak ada yang kebetulan di tempat ini.”Mariam menatap pepohonan yang menjulang tinggi, lalu beralih ke Arfan. “Aku merasa ada yang berbeda, seolah ada sesuatu yang hidup di dalam setiap helaian
Gua itu terasa semakin dalam dan sepi, udara yang lembap menyelimuti setiap sudutnya. Patiwaji, Mariam, dan Arfan melangkah dengan hati-hati, mata mereka menyesuaikan dengan gelapnya lorong yang semakin menciut. Suara langkah mereka terdengar menggema, tetapi tidak ada yang berani bersuara. Di hadapan mereka, lelaki tua yang tadi mengajak mereka berjalan perlahan, memimpin jalan dengan tenang.Mariam merasa terpesona dengan suasana yang begitu penuh misteri. Gua ini bukan hanya tempat yang tampaknya usang, tetapi juga menyimpan aura yang lebih dalam dari sekedar ruang kosong. Ukiran-ukiran kuno di dinding gua tampak begitu indah, meskipun sebagian besar sudah tergerus waktu, namun masih bisa dibaca—berisi simbol-simbol yang belum pernah mereka lihat sebelumnya."Ini semua adalah warisan leluhur," ujar lelaki tua itu dengan suara dalam, menghentikan langkahnya di depan salah satu ukiran yang tampaknya lebih besar daripada yang lainnya. "Ukiran-ukiran ini menceritaka
Angin dingin berhembus dengan lembut, membawa aroma asing yang tidak pernah mereka cium sebelumnya. Suara gemuruh dari cahaya yang berputar itu perlahan memudar, meninggalkan keheningan yang mencekam. Ketika ketiganya membuka mata, mereka tidak lagi berada di hutan yang mereka kenal. Sebuah dunia baru terbentang di hadapan mereka—sebuah tempat dengan langit merah tua, tanah yang bersinar redup seperti bara api, dan pohon-pohon yang berwarna gelap dengan daun yang tampak seperti bayangan.Mariam memandang sekeliling dengan hati-hati, pedangnya tetap tergenggam erat di tangan. "Apa... tempat ini? Apakah kita masih di pulau?"Tammatea berjalan beberapa langkah ke depan, menginjak tanah yang terasa hangat di bawah kakinya. "Ini bukan pulau kita," katanya, nada suaranya penuh dengan ketidakpastian. "Aku rasa... ini dunia lain."Patiwaji berdiri tegak, wajahnya terlihat tegang tetapi matanya menunjukkan rasa ingin tahu yang mendalam. "Aku tidak tahu bagaimana ki
Suasana di hutan itu berubah secara perlahan, meskipun mereka berhasil mengalahkan makhluk yang mengerikan dan menghancurkan sumber kekuatannya. Namun, ketenangan yang semula terasa sejenak kini digantikan dengan perasaan yang lebih menekan. Patiwaji dan dua sahabatnya, Tammatea dan Mariam, berdiri di antara reruntuhan batu besar yang menjadi sumber kekuatan makhluk tersebut. Udara terasa semakin berat, dan meskipun ancaman fisik telah berlalu, rasa takut yang tak terlihat mulai menghinggapi mereka. "Apakah kita sudah benar-benar aman?" Mariam akhirnya mengangkat pertanyaan yang sudah menggantung di udara sejak mereka melawan makhluk itu. Wajahnya masih terlihat tegang, matanya berkeliling menelusuri hutan yang kini terasa semakin gelap, meskipun matahari belum sepenuhnya tenggelam. Patiwaji tidak segera menjawab. Matanya yang tajam memandang ke arah pohon-pohon yang berdiri tegak, seakan menunggu sesuatu yang tak terduga. Suasana semakin hening, seolah
Angin malam berhembus kencang, menerpa wajah mereka dengan udara dingin yang menambah ketegangan di antara kelompok Patiwaji. Hutan di sekitar mereka terasa hidup, seolah setiap pepohonan dan semak-semak memiliki mata yang mengawasi langkah mereka. Tidak ada suara binatang malam, hanya desiran angin dan gelegar jauh di kedalaman hutan yang terdengar seperti ombak yang mengamuk di lautan.Patiwaji mengangkat tangan, memberi isyarat agar kelompoknya berhenti. Mereka sudah memasuki area yang jauh dari desa, dan suasana semakin mencekam. Tammatea berjalan mendekat, wajahnya serius."Ada yang tidak beres," katanya dengan suara pelan. "Aku merasa seperti kita sedang diawasi."Mariam, yang berjalan di samping Tammatea, mengangguk. "Aku merasakannya juga. Semua ini terlalu sunyi, seperti jebakan yang menunggu untuk menutup."Patiwaji menatap ke arah hutan yang semakin gelap. "Kita tidak bisa mundur sekarang. Kita harus maju, menuju lokasi yang tertulis di
Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Gelombang laut yang menabrak pantai terdengar seperti sebuah peringatan yang datang dari jauh. Patiwaji berdiri di tepi pantai, matanya menatap laut yang luas, sementara angin kencang menerpa wajahnya. Ia merasakan sesuatu yang tak beres, sebuah ketegangan yang sulit dijelaskan. Laut, yang selama ini menjadi teman setia, kini tampak seperti musuh yang sedang menunggu waktu untuk menghantam mereka."Kenapa aku merasa ada sesuatu yang tidak beres?" kata Patiwaji pelan, berbicara kepada dirinya sendiri.Tammatea yang berdiri di sampingnya menatap laut dengan cermat, matanya menyipit. "Aku juga merasa seperti itu. Sepertinya ada sesuatu yang bergerak di balik ombak itu. Sesuatu yang besar."“Laut ini selalu penuh misteri,” Mariam menambahkan, matanya berbinar. "Aku rasa kita harus lebih berhati-hati."Patiwaji mengangguk. "Benar. Kita tidak bisa meremehkan apa pun di sini. Laut ini bisa menjadi teman,
Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan ujian, ancaman, dan tantangan, akhirnya Patiwaji dan rombongannya tiba kembali di desa setelah berhasil membuka pintu yang tersembunyi di dalam gua kuno itu. Patiwaji merasakan ada sesuatu yang mendalam yang menggantung di udara, seperti keheningan yang menanti untuk dihancurkan oleh sebuah pengungkapan besar. Perasaan ini semakin tajam saat mereka berjalan kembali menuju pusat desa.Tammatea, yang sejak awal sudah merasakan sesuatu yang ganjil, mendekati Patiwaji dengan langkah hati-hati. “Kau merasa ada sesuatu yang berbeda, Patiwaji?” tanyanya dengan suara pelan, seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri.Patiwaji mengangguk perlahan, matanya memandang jauh ke arah desa yang tampaknya tidak ada bedanya dengan biasanya. “Ya, aku merasa begitu. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, Tammatea. Seperti rahasia yang telah lama terkubur, menunggu untuk dibuka.”Mariam yang mengikuti dari belakang juga merasakan
Patiwaji dan kawan-kawannya melangkah lebih dalam ke dalam reruntuhan yang terlihat semakin megah meski sudah rapuh termakan waktu. Angin yang berhembus lebih dingin di sini, seolah-olah membawa kabar dari masa lalu, mengingatkan mereka bahwa mereka berada di tempat yang sakral—sebuah tempat yang telah lama terlupakan namun kini bangkit kembali, menunggu untuk mengungkapkan rahasianya.Udara di sekitar mereka terasa berat. Setiap langkah yang mereka ambil di atas tanah yang keras seakan disertai oleh bisikan-bisikan halus yang tidak mereka dengar dengan jelas, tetapi terasa sangat dekat. Suara gemerisik daun yang terhanyut angin, gema langkah mereka yang bergema di antara tembok-tembok batu besar, dan suara dentingan halus dari batu-batu yang saling bergesekan menciptakan atmosfer yang penuh ketegangan.Di depan mereka, reruntuhan itu membuka sebuah ruangan besar dengan pintu yang terbuat dari batu hitam yang kokoh. Di atas pintu tersebut terdapat ukiran-ukiran yan
Suasana di sekitar mereka semakin menegangkan. Patiwaji berdiri tegak, matanya berfokus pada sosok yang mengenakan kain hitam, yang kini mulai bergerak lebih dekat. Di balik kain itu, hanya matanya yang tampak, namun cahaya matahari yang terpantul dari batu-batu sekitar memberi kesan bahwa mereka bukan sekadar penjaga biasa. Ada sesuatu yang lebih, kekuatan yang tersembunyi di dalam diri mereka."Sebelum kalian melangkah lebih jauh," suara berat itu terdengar menggema, "kalian harus memahami apa yang sedang kalian hadapi. Kekuatan yang ada di pulau ini bukanlah untuk mereka yang tidak siap. Itu adalah warisan yang tidak bisa dipergunakan sembarangan."Patiwaji menatap mata sosok itu, mencoba menilai apakah kata-kata itu hanya peringatan atau tantangan. "Kami siap," jawabnya tegas, meskipun ada sedikit kegugupan di hatinya. "Kami telah melewati banyak ujian untuk sampai ke sini. Kami tidak akan mundur."Sosok itu terdiam sejenak, menilai Patiwaji dan rekan-
Pagi itu, matahari terbit dengan warna keemasan yang memancar di cakrawala, menyelimuti Pulau Massale dengan cahaya lembut. Kelompok Patiwaji, yang masih dihantui kejadian di terowongan malam sebelumnya, berkumpul di tepi pantai untuk merencanakan langkah mereka selanjutnya.Peta kulit kayu yang mereka temukan terhampar di atas pasir. Garis-garis kasar dan simbol-simbol kuno menggambarkan lokasi-lokasi penting di pulau itu, tetapi membaca makna sebenarnya dari peta tersebut membutuhkan usaha lebih.“Baiklah,” Patiwaji memulai, sambil menunjuk pada salah satu tanda di peta. “Menurut ini, tempat berikutnya yang harus kita kunjungi ada di sisi barat pulau. Tapi kita harus berhati-hati. Musuh mungkin masih membuntuti kita.”“Kita tidak bisa terus menghindar,” kata Tammatea dengan nada tegas. “Jika mereka ingin menghadang kita, kita harus siap melawan. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan peta ini.”“Tenang, Tam,” sela Mariam, mencoba m
Pagi di Pulau Massale terlihat seperti biasa. Matahari baru saja naik, mengintip malu-malu dari balik bukit, sementara ombak perlahan menyapa pantai berpasir putih. Namun, di hati Patiwaji dan teman-temannya, pagi ini bukan pagi yang biasa. Mereka masih mencerna apa yang mereka dengar semalam dari La Patarai.Di rumah panggung kecil tempat mereka berkumpul, suasana hening saat semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tammatea, yang biasanya penuh semangat, hanya duduk memandangi parang di tangannya. Mariam, sambil memeras kain basah, sesekali melirik ke arah Patiwaji, yang tampak tenggelam dalam pikirannya.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” Arfan akhirnya memecah keheningan. Suaranya datar, tapi nada khawatir tersirat di dalamnya.Patiwaji menghela napas, lalu menatap semua orang satu per satu. “Kita butuh rencana. La Patarai bilang bahwa kita harus mencari petunjuk, sesuatu yang bisa membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini.”