Pagi itu, angin berhembus lebih dingin dari biasanya, menyentuh wajah Patiwaji dengan lembut saat ia berjalan menyusuri jalan setapak yang menuju hutan. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres di dalam dirinya—sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami. Sebuah perasaan yang mendorongnya untuk mencari jawaban lebih dalam, sesuatu yang lebih dari sekadar perjanjian yang diwariskan oleh nenek moyangnya.
Hutan di sekitar pulau ini dikenal sebagai tempat yang penuh misteri. Banyak yang percaya bahwa di sana tersembunyi berbagai kekuatan lama yang mampu mengubah nasib siapa saja yang menemukannya. La Tunrung, ayahnya, pernah memperingatkannya untuk tidak terlalu sering mengunjungi tempat itu. Namun, Patiwaji merasa bahwa jawabannya, jawaban atas apa yang sedang ia cari, ada di dalam hutan itu. Ia harus pergi, meskipun ada banyak yang tidak ia pahami tentang sejarah dan perjanjian keluarganya. Patiwaji berjalan lebih cepat, mengikuti jejak-jejak kaki yang tertinggal di tanah basah. Di ujung jalan, pohon-pohon besar berdiri kokoh, seolah-olah menghalangi jalan menuju sesuatu yang lebih dalam. Namun, Patiwaji tahu bahwa ia harus melewatinya. Keberanian yang dia rasa sekarang bukan hanya datang dari dirinya sendiri, tetapi juga dari dorongan untuk menemukan jawaban yang selama ini disembunyikan. Ia tidak sendirian dalam pencariannya. Mariam mengikuti dari belakang, meskipun ia tidak sepenuhnya tahu mengapa sahabatnya begitu keras kepala untuk memasuki hutan ini. "Patiwaji," panggilnya, suaranya sedikit khawatir. "Kau yakin akan melakukan ini? Hutan ini... bukan tempat yang biasa untuk dijelajahi." Patiwaji berhenti sejenak dan menoleh ke arah Mariam, matanya penuh tekad. "Aku merasa ada sesuatu yang hilang, Mariam. Sesuatu yang selama ini disembunyikan dari kita. Aku perlu tahu apa itu." Mariam menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. "Aku mengerti, Patiwaji. Tapi hati-hati. Kekuatan yang kita hadapi tidak selalu tampak jelas." Mereka melangkah lebih jauh, memasuki hutan yang semakin gelap. Cahaya matahari hampir sepenuhnya tertutup oleh daun-daun lebat yang menggantung rendah, menciptakan suasana yang seakan terperangkap dalam waktu yang lama. Hutan ini bukanlah tempat yang ramah. Di dalamnya, Patiwaji merasa seolah-olah ada mata yang terus mengawasi setiap gerakannya. Namun, meskipun begitu, dia tidak bisa mengabaikan perasaan mendalam yang mengatakan bahwa ia harus terus maju. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakang mereka, dan Patiwaji menoleh. Seorang lelaki tua muncul dari balik pepohonan, wajahnya dipenuhi kerutan yang dalam. Patiwaji langsung mengenalinya—La Balanipa, seorang penjaga lama pulau ini yang dikenal dengan cerita-cerita mistis tentang dunia yang lebih dalam dan lebih tua dari yang bisa dipahami oleh orang biasa. "La Balanipa!" seru Patiwaji, sedikit terkejut namun juga lega. "Apa yang Kakek lakukan di sini?" La Balanipa tersenyum tipis, matanya yang tajam menatap Patiwaji dengan penuh makna. "Aku hanya mengamati. Kau sedang mencari sesuatu, anak muda. Sesuatu yang tak bisa ditemukan hanya dengan keberanian. Sesuatu yang harus dilihat dengan mata hati." Patiwaji merasa tubuhnya kaku, ada perasaan aneh yang menyelimuti dirinya. "Apa yang kau maksud, Kakek La Balanipa?" Lelaki tua itu mendekat, melangkah dengan hati-hati, seakan tahu persis arah yang harus diambil. "Ada legenda yang hilang, Nak Patiwaji. Legenda tentang kekuatan yang lebih besar daripada yang kau ketahui. Sesuatu yang tersembunyi di bawah lapisan bumi ini, jauh di dalam hutan ini. Dan kekuatan itu, anak muda, akan mengubah segalanya." Mariam, yang merasa semakin bingung, melangkah maju. "Apa maksud Kakek, Apakah kekuatan itu berhubungan dengan perjanjian yang diceritakan Paman kepada Patiwaji?" La Balanipa menatap Mariam dengan senyum misterius. "Ah, kau juga tahu tentang perjanjian itu, bukan? Memang benar, perjanjian itu adalah kunci. Tapi, itu hanya bagian dari cerita yang lebih besar. Ada sejarah yang lebih dalam, yang harus dipahami sebelum kau bisa memahami perjanjian itu." Patiwaji merasa hatinya berdebar semakin cepat. "Apa yang harus aku lakukan, Kakek La Balanipa? Mengapa aku? Aku hanya seorang anak pulau biasa." La Balanipa mengangkat tangan, memberi isyarat agar Patiwaji mendekat. "Anak muda, tidak ada yang benar-benar biasa. Setiap orang dilahirkan dengan tujuan, dengan perjalanan yang harus dijalani. Begitu juga dengan dirimu. Kau telah dipilih, Nak Patiwaji, bukan karena keberanianmu semata, tapi karena ada darah yang mengalir dalam tubuhmu—darah yang pernah mengikat pulau ini dengan legenda yang terlupakan." Patiwaji terdiam, mencoba menyerap kata-kata La Balanipa. "Apa yang Kakek katakan? Apa yang harus kulakukan untuk menemukan kebenaran?" La Balanipa menatap Patiwaji lama, matanya penuh dengan kebijaksanaan yang datang dari pengalaman hidup yang panjang. "Kau harus pergi ke tempat yang disebut Lautan Batu. Di sana, rahasia besar akan terungkap. Tapi hati-hati, Nak Patiwaji. Tidak semua yang hilang ingin ditemukan." Patiwaji merasa gemetar, dan ada rasa takut yang tiba-tiba menguasai dirinya. "Lautan Batu? Di mana itu?" La Balanipa menunjuk ke arah utara, ke sebuah bagian hutan yang jauh lebih gelap. "Di sana. Tapi ingat, perjalananmu tidak akan mudah. Akan ada banyak ujian yang menghalangi, dan bukan hanya alam yang harus kau hadapi." Mariam, yang sudah mulai merasa cemas, bertanya, "Apa maksud Kakek dengan ujian itu?" La Balanipa menatapnya dengan serius. "Ujian itu datang dari dalam dirimu sendiri. Kau harus bersiap menghadapi rasa takutmu, keraguanmu, bahkan sisi gelap dari dirimu yang selama ini tersembunyi. Hanya dengan menghadapinya, kau akan menemukan kunci untuk membuka rahasia yang telah lama terkubur." Patiwaji mengangguk pelan, meskipun perasaan takut mulai merayapi dirinya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur. "Aku akan pergi. Aku harus menemukan jawabannya." Dengan langkah mantap, Patiwaji bersama Mariam dan La Balanipa melanjutkan perjalanan mereka ke dalam hutan, menuju Lautan Batu yang dikatakan menyimpan rahasia besar tentang kekuatan yang telah lama hilang. Suara ombak yang menghantam karang semakin terasa nyata, seakan suara itu membawa pesan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang bersedia mendengarkan dengan hati. Namun, semakin mereka mendekati tempat itu, semakin terasa berat beban yang mereka bawa. Patiwaji merasakan sebuah perubahan dalam dirinya. Ada kekuatan yang mulai membangkit, kekuatan yang seakan sudah lama tertidur. Tetapi di balik itu semua, ada pertanyaan yang semakin menghantuinya: Apa yang akan terjadi jika ia menemukan apa yang ia cari? Dan apakah ia siap untuk menerima kenyataan yang akan terungkap? Lautan Batu sudah di depan mata, dan Patiwaji tahu bahwa perjalanan panjangnya baru saja dimulai. Legenda yang hilang akan segera terungkap, dan hanya waktu yang akan menentukan apakah ia mampu menghadapi kebenaran itu atau tidak. Hutan semakin gelap seiring dengan perjalanan mereka. Meskipun matahari masih terbit di langit, cahaya yang menembus pepohonan terasa semakin redup, seolah-olah menghalangi mereka untuk melihat lebih jauh ke depan. Patiwaji berjalan lebih cepat, jantungnya berdebar keras, dan pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya tersembunyi di Lautan Batu? Mengapa ia yang harus menemukannya? Dan bagaimana jika apa yang ia temukan justru lebih berbahaya daripada yang ia bayangkan? "Kake La Balanipa," Patiwaji akhirnya bertanya setelah beberapa lama terdiam, "Apa sebenarnya yang membuat Kakek begitu yakin bahwa aku bisa menemukan jawabannya? Apa yang membuatku layak menjalani perjalanan ini?" La Balanipa berhenti sejenak, menatap Patiwaji dengan pandangan yang tajam. "Nak Patiwaji, anak muda," katanya pelan, "Kau dilahirkan bukan hanya untuk mengarungi hidup biasa seperti orang lain. Kau mewarisi kekuatan yang tidak dimiliki oleh sembarang orang. Dan itu bukan hanya karena darah nenek moyangmu. Ada takdir yang lebih besar yang telah memilihmu, walau kau belum sepenuhnya menyadarinya." Patiwaji terdiam mendengar penuturan La Balanipa. Dia merasa sebuah beban yang tak bisa ia hindari. "Apakah itu artinya aku tidak punya pilihan selain mengikuti jalan ini?" Mariam yang berjalan di sampingnya menatap La Balanipa dengan curiga. "Apa yang sebenarnya terjadi pada kita, Kakek La Balanipa?" tanyanya, suara penuh keraguan. "Kenapa takdir seolah mengikat kita pada sesuatu yang lebih besar dari yang kita pahami?" La Balanipa menatap Mariam dengan tatapan penuh arti. "Kadang-kadang, apa yang kita anggap sebagai takdir hanyalah awal dari perjalanan yang lebih panjang. Tak semua rahasia terungkap dengan mudah. Tetapi, ketika kebenaran akhirnya ditemukan, kau akan tahu bahwa itu adalah sesuatu yang jauh lebih besar dari diri kalian sendiri." Patiwaji menggigit bibirnya, berusaha mencerna kata-kata lelaki tua itu. Ia merasa tak ada jalan lain selain terus berjalan maju. Kakinya terasa berat, namun ia tahu bahwa ia harus melanjutkan pencarian ini. Di hatinya, rasa takut dan harapan bertarung habis-habisan. Takdir yang disebutkan La Balanipa terasa seperti beban yang berat, namun di sisi lain, rasa penasaran semakin membakar semangatnya. Setelah beberapa waktu berjalan, mereka akhirnya sampai di pinggir Lautan Batu. Laut yang luas ini tampak seperti lautan biasa, namun ada sesuatu yang berbeda. Ombak yang menghantam batu karang tampak lebih keras dan lebih bertenaga, seolah-olah laut ini memiliki kehidupan sendiri. Suara deburan ombak itu mengiringi langkah mereka, dan Patiwaji merasa seperti ada yang mengawasi mereka dari kedalaman lautan. “Kake La Balanipa, ini… Lautan Batu?” Patiwaji bertanya, suaranya serak. La Balanipa mengangguk pelan. "Ya, ini adalah tempat yang telah lama terlupakan. Hanya sedikit orang yang tahu tentangnya. Dan lebih sedikit lagi yang berani mencari tahu apa yang ada di dalamnya." Mariam mendekat, matanya menyusuri lautan yang luas. "Tapi apa yang ada di dalam laut ini? Apakah benar ada kekuatan yang tersembunyi di sini?" La Balanipa tidak segera menjawab, malah melangkah menuju salah satu batu besar yang terletak di tepi laut. Dia memeriksa beberapa goresan yang tampak sangat kuno di permukaan batu itu, lalu berbalik kepada mereka. "Apa yang ada di dalam Lautan Batu bukanlah sesuatu yang bisa dilihat dengan mata biasa. Kekuatan yang tersembunyi di sini adalah kekuatan yang berasal dari zaman dahulu, zaman ketika pulau ini masih muda. Dulu, ada kerajaan besar yang menguasai pulau-pulau ini. Kerajaan yang telah lama terlupakan oleh sejarah." Patiwaji mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan oleh La Balanipa. "Kerajaan besar? Apakah itu yang disebutkan dalam cerita-cerita yang aku dengar dari ayahku? Tentang kekuatan yang bisa mengubah nasib pulau ini?" La Balanipa mengangguk dengan serius. "Ya, kekuatan itu berasal dari kerajaan yang telah lama hilang, yang dulu pernah ada di sini. Kerajaan yang menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia gaib. Mereka memiliki pengetahuan tentang kekuatan alam yang tidak dimiliki oleh manusia biasa. Namun, kekuatan itu juga membawa kehancuran. Akhirnya, kerajaan itu jatuh karena penyalahgunaan kekuatan mereka." "Jadi, apakah kita akan menemukan kekuatan itu?" tanya Mariam, suaranya penuh rasa takut dan keingintahuan. La Balanipa menatap laut dengan tatapan kosong, seolah mengingat sesuatu yang jauh di masa lalu. "Kekuatan itu tidak akan mudah ditemukan. Dan jika kau menemukannya, kau harus siap untuk menanggung konsekuensinya. Kadang, kita tidak tahu apa yang bisa terjadi ketika kita mengungkap rahasia yang seharusnya tetap tersembunyi." Patiwaji merasa gelisah. Dia tahu bahwa setiap kata yang keluar dari mulut La Balanipa membawa konsekuensi yang berat. Dia harus siap untuk menghadapi apa pun yang menantinya di depan, namun ia masih merasa ragu. Apa yang akan dia temukan di Lautan Batu? Apakah dia benar-benar siap untuk menghadapi kekuatan yang selama ini tertutupi? "Tapi Kakek La Balanipa," Patiwaji bertanya dengan suara yang lebih lembut, "Mengapa aku? Kenapa aku yang harus menemukan semua ini? Bukankah ada orang lain yang lebih layak?" La Balanipa menatapnya tajam. "Anak muda, dunia ini tidak berputar hanya di sekitar pilihan yang kau buat. Ada kekuatan yang lebih besar yang telah mengarahkannya. Kau dilahirkan dengan tujuan, dan kadang-kadang, tujuan itu tidak bisa kita hindari. Kau adalah keturunan dari mereka yang dulu memegang kekuatan itu. Darah yang mengalir dalam tubuhmu bukan darah sembarangan." Patiwaji terdiam, perasaan cemas dan takut semakin membebani hatinya. Ia merasa seolah-olah masa depannya telah ditentukan sejak ia dilahirkan. Semua yang ada di sekitar dirinya, termasuk kata-kata La Balanipa, seakan memberi gambaran tentang sebuah jalan yang sempit dan penuh ujian. "Apakah aku harus mengambilnya?" Patiwaji akhirnya bertanya, suaranya penuh keraguan. La Balanipa menghela napas panjang, seakan tahu betapa besar perjuangan yang akan dihadapi oleh Patiwaji. "Kekuatan itu, anak muda, hanya bisa dimiliki oleh mereka yang benar-benar siap. Jika kau memilih untuk melanjutkan perjalanan ini, maka tak ada jalan mundur. Kau harus siap untuk menghadapi diri sendiri, untuk menggali jauh ke dalam hatimu dan mencari tahu siapa sebenarnya dirimu." Mariam mendekat, meletakkan tangan di bahu Patiwaji. "Kami bersamamu, Patiwaji. Apa pun yang terjadi, kami akan mendampingimu." Patiwaji menatap Lautan Batu yang luas, suara ombak yang menghantam karang di sekelilingnya menjadi semakin keras. Ia tahu bahwa perjalanan ini akan mengubah hidupnya selamanya. Tak ada lagi jalan kembali. Ia harus menghadapinya, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depan pulau ini. "Aku akan melanjutkan perjalanan ini," kata Patiwaji, suaranya kini penuh keyakinan. "Aku akan mencari tahu apa yang tersembunyi di Lautan Batu." La Balanipa mengangguk, senyum tipis terukir di wajahnya. "Itu keputusan yang tepat, Patiwaji. Namun ingat, jangan biarkan kekuatan itu menguasaimu. Kekuatan yang besar harus selalu dijaga, karena jika salah digunakan, ia bisa menghancurkan segalanya." Dengan tekad yang semakin kuat, Patiwaji melangkah maju, menuju Lautan Batu yang penuh misteri. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi langkahnya. Rahasia yang telah lama terkubur akan segera terungkap, dan ia harus siap untuk menghadapi segala akibat dari penemuan itu.Setelah perjalanan yang melelahkan, Patiwaji dan rombongannya akhirnya sampai di sebuah desa kecil yang terletak di pinggir hutan. Desa itu tampak sederhana, namun memancarkan aura kedamaian yang jarang mereka temui di sepanjang perjalanan. Rumah-rumah terbuat dari bambu dan daun kelapa, dengan atap yang kokoh dan dinding yang rapi. Pohon kelapa berdiri tegak di sepanjang jalan, memberikan keteduhan dari teriknya matahari yang mulai tinggi. Patiwaji dan Mariam duduk di bawah sebuah pohon kelapa besar, sementara La Balanipa berbicara dengan beberapa orang desa. Suara tawa anak-anak yang bermain di dekat pantai mengalun, memberikan kesan bahwa kehidupan di desa ini berjalan dalam suasana tenang. Namun, di balik kedamaian itu, Patiwaji merasa sesuatu yang lebih besar sedang menanti di balik setiap sudut desa ini. Mariam melirik Patiwaji, yang tampak termenung, matanya menatap laut yang terhampar luas di depan mereka. "Kau tampak cemas, Patiwaji. Apa yang sedang kau pikirkan? Sebelum ka
Pagi itu, langit di pulau kecil tampak lebih cerah dari biasanya. Hembusan angin laut yang ringan menambah ketenangan suasana. Di sepanjang pantai yang berpasir putih, ombak bergulung perlahan, seolah menyanyikan sebuah lagu yang menenangkan hati. Desa yang tenang itu seakan mengingatkan Patiwaji tentang betapa singkatnya waktu mereka di sini, dan betapa besar keputusan yang harus mereka buat dalam waktu dekat. Namun, untuk saat ini, mereka hanya bisa menikmati keindahan yang ada di depan mata mereka. Mariam berjalan dengan langkah pelan di sampingnya. Mereka berdua baru saja selesai berbincang panjang dengan Tuan Haya, wanita tua yang bijaksana itu. Setelah mendengarkan kata-katanya, Patiwaji merasa ada sesuatu yang baru dalam dirinya—sesuatu yang mungkin tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Ada ketenangan yang mulai meresap ke dalam hatinya, meski kesadaran akan tantangan yang menunggu mereka di luar sana semakin jelas. “Apa yang kita cari di luar sana, Kakanda?” tanya M
Malam semakin larut, dan langit yang gelap mulai dihiasi oleh bintang-bintang yang berkelip, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang yang harus mereka hadapi. Patiwaji dan Mariam berdiri di atas sebuah bukit kecil, memandang lautan luas yang terbentang di depan mereka. Lautan yang menghampar dengan warna hitam pekat, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang lembut. Suara ombak yang menghantam batu-batu besar di tepi pantai bergema di udara, seperti suara masa lalu yang ingin mereka dengar lebih jelas.Mariam menatap laut dengan tatapan kosong, seakan menyatu dengan pemandangan yang ada di depannya. "Suara ombak ini, Patiwaji," katanya dengan suara lembut, "mereka seperti menceritakan sebuah kisah yang tak pernah selesai. Kisah tentang kehidupan, tentang perjuangan, tentang harapan dan ketakutan."Patiwaji menoleh, memandang wajah Mariam yang terbungkus dalam bayangan malam. Dia bisa melihat ke dalam matanya, seakan ada sesuatu yang dalam yang sedang bergulat di dalam hatinya.
Malam itu, angin laut berhembus lebih kencang dari biasanya, menyapu daun-daun kelapa di sekitar mereka. Patiwaji, Mariam, dan Arfan duduk di atas batu besar yang terletak di pinggir pantai, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Laut yang berdebur keras di kejauhan tampak seperti bisikan yang mengingatkan mereka pada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kehidupan sehari-hari. Suara ombak yang terus menghantam pantai itu terasa seperti sebuah cerita kuno yang terus berulang, tidak pernah selesai, namun selalu mengingatkan pada masa lalu yang penuh makna.“Pernahkah kalian merasa seperti... ada sesuatu yang lebih besar dari kita, sesuatu yang lebih dari sekadar kehidupan ini?” Patiwaji memecah keheningan, suaranya berat, seolah membawa beban yang tidak terlihat. Ia menatap jauh ke laut, mencoba menemukan jawabannya di sana, namun yang ada hanyalah luasnya samudra yang tak terbatas.Mariam menatapnya dengan penuh perhatian. “Kita semua, pada dasarnya
Pagi itu, matahari menyinari pulau dengan sinarnya yang lembut, membawa kehangatan yang menyelimuti tanah yang basah oleh embun pagi. Laut tampak lebih tenang, namun masih ada deburan ombak yang menyapu pantai, seakan mengingatkan mereka akan kekuatan alam yang selalu siap menantang. Patiwaji, Mariam, dan Arfan berkumpul di luar rumah yang sederhana, siap untuk memulai perjalanan mereka ke pulau yang telah lama menjadi misteri dalam cerita leluhur mereka.Patiwaji melihat ke sekeliling, memeriksa persiapan terakhir mereka. Ia merasa ketegangan di udara—sebuah perasaan campur aduk antara antusiasme dan ketakutan. Mereka telah memutuskan untuk berlayar pagi itu, dan meskipun mereka tahu perjalanan ini akan penuh dengan tantangan, mereka juga menyadari bahwa ini adalah langkah pertama mereka menuju sesuatu yang jauh lebih besar.“Aku rasa semuanya sudah siap,” kata Patiwaji, matanya memeriksa perahu yang terikat di dermaga. “Perjalanan ini akan memerlukan semua kekuat
Suasana di tengah hutan semakin mencekam. Udara yang berat, seolah menahan napas, memantulkan suara langkah kaki mereka yang tersebar di antara pepohonan tinggi yang memeluk tanah seperti tangan-tangan besar. Patiwaji, Mariam, dan Arfan berjalan dengan penuh kewaspadaan, mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan oleh leluhur mereka. Mereka telah melewati jalan setapak yang penuh dengan tantangan—pegunungan terjal, sungai-sungai kecil yang mengalir deras, dan hutan lebat yang hampir menutupi sinar matahari. Namun, mereka merasakan adanya sebuah daya tarik kuat, seolah alam itu sendiri ingin menunjukkan sesuatu yang lebih besar.“Perhatikan sekitar kita,” kata Patiwaji dengan suara yang lebih rendah dari biasanya. “Sepertinya alam ini tahu kita sedang dalam perjalanan penting. Tidak ada yang kebetulan di tempat ini.”Mariam menatap pepohonan yang menjulang tinggi, lalu beralih ke Arfan. “Aku merasa ada yang berbeda, seolah ada sesuatu yang hidup di dalam setiap helaian
Gua itu terasa semakin dalam dan sepi, udara yang lembap menyelimuti setiap sudutnya. Patiwaji, Mariam, dan Arfan melangkah dengan hati-hati, mata mereka menyesuaikan dengan gelapnya lorong yang semakin menciut. Suara langkah mereka terdengar menggema, tetapi tidak ada yang berani bersuara. Di hadapan mereka, lelaki tua yang tadi mengajak mereka berjalan perlahan, memimpin jalan dengan tenang.Mariam merasa terpesona dengan suasana yang begitu penuh misteri. Gua ini bukan hanya tempat yang tampaknya usang, tetapi juga menyimpan aura yang lebih dalam dari sekedar ruang kosong. Ukiran-ukiran kuno di dinding gua tampak begitu indah, meskipun sebagian besar sudah tergerus waktu, namun masih bisa dibaca—berisi simbol-simbol yang belum pernah mereka lihat sebelumnya."Ini semua adalah warisan leluhur," ujar lelaki tua itu dengan suara dalam, menghentikan langkahnya di depan salah satu ukiran yang tampaknya lebih besar daripada yang lainnya. "Ukiran-ukiran ini menceritaka
Malam telah beranjak, tetapi ketiga pemuda itu masih terdiam di dalam gua. Batu besar yang sebelumnya bersinar kini tampak redup, namun masih memancarkan aura yang sulit dijelaskan. Patiwaji, Mariam, dan Arfan saling bertukar pandang, masing-masing mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.“Jadi, apa selanjutnya?” Arfan membuka percakapan, suaranya terdengar ragu namun ada sedikit semangat yang muncul di dalamnya. “Apakah kita hanya akan berdiri di sini, menunggu sesuatu terjadi, atau kita akan mulai memanfaatkan kekuatan ini?”Patiwaji menghela napas, mencoba menyusun pikirannya yang masih kacau. “Aku tidak yakin, Arfan. Tetapi aku merasa… ada sesuatu yang harus kita lakukan. Lelaki tua itu mengatakan bahwa ini baru permulaan. Mungkin, kita harus menemukan apa tujuan dari kekuatan ini.”Mariam memandang mereka berdua dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran. “Kalian tidak merasa aneh? Ini semua seperti mimpi. Tiba-tiba kita memiliki kekuatan yang tida
Angin dingin berhembus dengan lembut, membawa aroma asing yang tidak pernah mereka cium sebelumnya. Suara gemuruh dari cahaya yang berputar itu perlahan memudar, meninggalkan keheningan yang mencekam. Ketika ketiganya membuka mata, mereka tidak lagi berada di hutan yang mereka kenal. Sebuah dunia baru terbentang di hadapan mereka—sebuah tempat dengan langit merah tua, tanah yang bersinar redup seperti bara api, dan pohon-pohon yang berwarna gelap dengan daun yang tampak seperti bayangan.Mariam memandang sekeliling dengan hati-hati, pedangnya tetap tergenggam erat di tangan. "Apa... tempat ini? Apakah kita masih di pulau?"Tammatea berjalan beberapa langkah ke depan, menginjak tanah yang terasa hangat di bawah kakinya. "Ini bukan pulau kita," katanya, nada suaranya penuh dengan ketidakpastian. "Aku rasa... ini dunia lain."Patiwaji berdiri tegak, wajahnya terlihat tegang tetapi matanya menunjukkan rasa ingin tahu yang mendalam. "Aku tidak tahu bagaimana ki
Suasana di hutan itu berubah secara perlahan, meskipun mereka berhasil mengalahkan makhluk yang mengerikan dan menghancurkan sumber kekuatannya. Namun, ketenangan yang semula terasa sejenak kini digantikan dengan perasaan yang lebih menekan. Patiwaji dan dua sahabatnya, Tammatea dan Mariam, berdiri di antara reruntuhan batu besar yang menjadi sumber kekuatan makhluk tersebut. Udara terasa semakin berat, dan meskipun ancaman fisik telah berlalu, rasa takut yang tak terlihat mulai menghinggapi mereka. "Apakah kita sudah benar-benar aman?" Mariam akhirnya mengangkat pertanyaan yang sudah menggantung di udara sejak mereka melawan makhluk itu. Wajahnya masih terlihat tegang, matanya berkeliling menelusuri hutan yang kini terasa semakin gelap, meskipun matahari belum sepenuhnya tenggelam. Patiwaji tidak segera menjawab. Matanya yang tajam memandang ke arah pohon-pohon yang berdiri tegak, seakan menunggu sesuatu yang tak terduga. Suasana semakin hening, seolah
Angin malam berhembus kencang, menerpa wajah mereka dengan udara dingin yang menambah ketegangan di antara kelompok Patiwaji. Hutan di sekitar mereka terasa hidup, seolah setiap pepohonan dan semak-semak memiliki mata yang mengawasi langkah mereka. Tidak ada suara binatang malam, hanya desiran angin dan gelegar jauh di kedalaman hutan yang terdengar seperti ombak yang mengamuk di lautan.Patiwaji mengangkat tangan, memberi isyarat agar kelompoknya berhenti. Mereka sudah memasuki area yang jauh dari desa, dan suasana semakin mencekam. Tammatea berjalan mendekat, wajahnya serius."Ada yang tidak beres," katanya dengan suara pelan. "Aku merasa seperti kita sedang diawasi."Mariam, yang berjalan di samping Tammatea, mengangguk. "Aku merasakannya juga. Semua ini terlalu sunyi, seperti jebakan yang menunggu untuk menutup."Patiwaji menatap ke arah hutan yang semakin gelap. "Kita tidak bisa mundur sekarang. Kita harus maju, menuju lokasi yang tertulis di
Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Gelombang laut yang menabrak pantai terdengar seperti sebuah peringatan yang datang dari jauh. Patiwaji berdiri di tepi pantai, matanya menatap laut yang luas, sementara angin kencang menerpa wajahnya. Ia merasakan sesuatu yang tak beres, sebuah ketegangan yang sulit dijelaskan. Laut, yang selama ini menjadi teman setia, kini tampak seperti musuh yang sedang menunggu waktu untuk menghantam mereka."Kenapa aku merasa ada sesuatu yang tidak beres?" kata Patiwaji pelan, berbicara kepada dirinya sendiri.Tammatea yang berdiri di sampingnya menatap laut dengan cermat, matanya menyipit. "Aku juga merasa seperti itu. Sepertinya ada sesuatu yang bergerak di balik ombak itu. Sesuatu yang besar."“Laut ini selalu penuh misteri,” Mariam menambahkan, matanya berbinar. "Aku rasa kita harus lebih berhati-hati."Patiwaji mengangguk. "Benar. Kita tidak bisa meremehkan apa pun di sini. Laut ini bisa menjadi teman,
Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan ujian, ancaman, dan tantangan, akhirnya Patiwaji dan rombongannya tiba kembali di desa setelah berhasil membuka pintu yang tersembunyi di dalam gua kuno itu. Patiwaji merasakan ada sesuatu yang mendalam yang menggantung di udara, seperti keheningan yang menanti untuk dihancurkan oleh sebuah pengungkapan besar. Perasaan ini semakin tajam saat mereka berjalan kembali menuju pusat desa.Tammatea, yang sejak awal sudah merasakan sesuatu yang ganjil, mendekati Patiwaji dengan langkah hati-hati. “Kau merasa ada sesuatu yang berbeda, Patiwaji?” tanyanya dengan suara pelan, seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri.Patiwaji mengangguk perlahan, matanya memandang jauh ke arah desa yang tampaknya tidak ada bedanya dengan biasanya. “Ya, aku merasa begitu. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, Tammatea. Seperti rahasia yang telah lama terkubur, menunggu untuk dibuka.”Mariam yang mengikuti dari belakang juga merasakan
Patiwaji dan kawan-kawannya melangkah lebih dalam ke dalam reruntuhan yang terlihat semakin megah meski sudah rapuh termakan waktu. Angin yang berhembus lebih dingin di sini, seolah-olah membawa kabar dari masa lalu, mengingatkan mereka bahwa mereka berada di tempat yang sakral—sebuah tempat yang telah lama terlupakan namun kini bangkit kembali, menunggu untuk mengungkapkan rahasianya.Udara di sekitar mereka terasa berat. Setiap langkah yang mereka ambil di atas tanah yang keras seakan disertai oleh bisikan-bisikan halus yang tidak mereka dengar dengan jelas, tetapi terasa sangat dekat. Suara gemerisik daun yang terhanyut angin, gema langkah mereka yang bergema di antara tembok-tembok batu besar, dan suara dentingan halus dari batu-batu yang saling bergesekan menciptakan atmosfer yang penuh ketegangan.Di depan mereka, reruntuhan itu membuka sebuah ruangan besar dengan pintu yang terbuat dari batu hitam yang kokoh. Di atas pintu tersebut terdapat ukiran-ukiran yan
Suasana di sekitar mereka semakin menegangkan. Patiwaji berdiri tegak, matanya berfokus pada sosok yang mengenakan kain hitam, yang kini mulai bergerak lebih dekat. Di balik kain itu, hanya matanya yang tampak, namun cahaya matahari yang terpantul dari batu-batu sekitar memberi kesan bahwa mereka bukan sekadar penjaga biasa. Ada sesuatu yang lebih, kekuatan yang tersembunyi di dalam diri mereka."Sebelum kalian melangkah lebih jauh," suara berat itu terdengar menggema, "kalian harus memahami apa yang sedang kalian hadapi. Kekuatan yang ada di pulau ini bukanlah untuk mereka yang tidak siap. Itu adalah warisan yang tidak bisa dipergunakan sembarangan."Patiwaji menatap mata sosok itu, mencoba menilai apakah kata-kata itu hanya peringatan atau tantangan. "Kami siap," jawabnya tegas, meskipun ada sedikit kegugupan di hatinya. "Kami telah melewati banyak ujian untuk sampai ke sini. Kami tidak akan mundur."Sosok itu terdiam sejenak, menilai Patiwaji dan rekan-
Pagi itu, matahari terbit dengan warna keemasan yang memancar di cakrawala, menyelimuti Pulau Massale dengan cahaya lembut. Kelompok Patiwaji, yang masih dihantui kejadian di terowongan malam sebelumnya, berkumpul di tepi pantai untuk merencanakan langkah mereka selanjutnya.Peta kulit kayu yang mereka temukan terhampar di atas pasir. Garis-garis kasar dan simbol-simbol kuno menggambarkan lokasi-lokasi penting di pulau itu, tetapi membaca makna sebenarnya dari peta tersebut membutuhkan usaha lebih.“Baiklah,” Patiwaji memulai, sambil menunjuk pada salah satu tanda di peta. “Menurut ini, tempat berikutnya yang harus kita kunjungi ada di sisi barat pulau. Tapi kita harus berhati-hati. Musuh mungkin masih membuntuti kita.”“Kita tidak bisa terus menghindar,” kata Tammatea dengan nada tegas. “Jika mereka ingin menghadang kita, kita harus siap melawan. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan peta ini.”“Tenang, Tam,” sela Mariam, mencoba m
Pagi di Pulau Massale terlihat seperti biasa. Matahari baru saja naik, mengintip malu-malu dari balik bukit, sementara ombak perlahan menyapa pantai berpasir putih. Namun, di hati Patiwaji dan teman-temannya, pagi ini bukan pagi yang biasa. Mereka masih mencerna apa yang mereka dengar semalam dari La Patarai.Di rumah panggung kecil tempat mereka berkumpul, suasana hening saat semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tammatea, yang biasanya penuh semangat, hanya duduk memandangi parang di tangannya. Mariam, sambil memeras kain basah, sesekali melirik ke arah Patiwaji, yang tampak tenggelam dalam pikirannya.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” Arfan akhirnya memecah keheningan. Suaranya datar, tapi nada khawatir tersirat di dalamnya.Patiwaji menghela napas, lalu menatap semua orang satu per satu. “Kita butuh rencana. La Patarai bilang bahwa kita harus mencari petunjuk, sesuatu yang bisa membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini.”