Share

Bab 6 Suara Lautan

Penulis: mahmud23
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-02 11:07:25

Malam semakin larut, dan langit yang gelap mulai dihiasi oleh bintang-bintang yang berkelip, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang yang harus mereka hadapi. Patiwaji dan Mariam berdiri di atas sebuah bukit kecil, memandang lautan luas yang terbentang di depan mereka. Lautan yang menghampar dengan warna hitam pekat, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang lembut. Suara ombak yang menghantam batu-batu besar di tepi pantai bergema di udara, seperti suara masa lalu yang ingin mereka dengar lebih jelas.

Mariam menatap laut dengan tatapan kosong, seakan menyatu dengan pemandangan yang ada di depannya. "Suara ombak ini, Patiwaji," katanya dengan suara lembut, "mereka seperti menceritakan sebuah kisah yang tak pernah selesai. Kisah tentang kehidupan, tentang perjuangan, tentang harapan dan ketakutan."

Patiwaji menoleh, memandang wajah Mariam yang terbungkus dalam bayangan malam. Dia bisa melihat ke dalam matanya, seakan ada sesuatu yang dalam yang sedang bergulat di dalam hatinya. "Kau merasa seperti itu juga?" tanyanya.

Mariam mengangguk, suaranya kini penuh dengan kekhusyukan. "Setiap ombak yang datang, membawa cerita-cerita lama yang belum terungkap. Laut ini, seperti hidup kita. Berkelok-kelok, penuh dengan arus yang tak bisa kita kendalikan, tapi kita terus berlayar tanpa tahu apa yang akan datang."

Patiwaji berdiri di sampingnya, menatap lautan yang tak berujung itu. "Aku sering berpikir, apakah kita hanya seperti perahu kecil yang terombang-ambing di atas lautan ini? Tanpa arah, tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti arus yang ada."

Mariam menoleh padanya, matanya menyiratkan pemahaman. "Itu mungkin benar. Tapi bukankah kita yang memilih perahu kita? Kita yang memilih untuk melayari laut ini, untuk mencari apa yang kita cari. Tak ada yang benar-benar bisa mengendalikan ombak, tetapi kita bisa memilih bagaimana kita menghadapi mereka."

Patiwaji merenung sejenak, menyadari ada kebenaran dalam kata-kata Mariam. "Jadi, kita harus belajar untuk menerima kenyataan bahwa perjalanan ini mungkin penuh dengan ketidakpastian?"

"Ya," jawab Mariam, suara yang dalam dan penuh dengan ketenangan. "Kita tidak bisa memprediksi apa yang akan datang. Tapi kita bisa memilih bagaimana cara kita merespons setiap gelombang yang datang. Itu yang penting."

Angin yang berhembus sejuk menggoyangkan rambut mereka, sementara suara ombak yang menghantam pantai semakin keras. Sepertinya alam semesta itu sendiri tengah berbicara kepada mereka, memberi mereka waktu untuk merenung dan mengerti lebih dalam tentang arti perjalanan mereka.

"Apakah kau pernah merasa takut, Mariam?" Patiwaji tiba-tiba bertanya, suaranya lebih dalam daripada sebelumnya. "Takut akan perjalanan ini? Takut akan apa yang mungkin kita temui?"

Mariam menoleh padanya, melihat ekspresi serius di wajah Patiwaji. Ia diam sejenak, seolah menimbang-nimbang jawabannya. "Tentu, aku merasa takut. Takut akan hal-hal yang tidak kita ketahui. Takut akan kemungkinan kegagalan, takut akan kehilangan arah. Tetapi aku juga percaya bahwa rasa takut itu bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Rasa takut adalah bagian dari perjalanan ini, bagian dari apa yang akan membentuk kita."

Patiwaji mencerna kata-kata Mariam itu dengan seksama. Ia selalu berpikir bahwa ketakutan adalah sesuatu yang harus diatasi, dihindari, atau bahkan diabaikan. Tetapi kata-kata Mariam membuka perspektif baru. "Jadi, kau tidak takut pada perjalanan ini? Tidak takut pada apa yang mungkin kita hadapi di depan?"

Mariam tersenyum lembut. "Aku takut, Patiwaji. Aku takut akan banyak hal. Tapi aku tahu bahwa ketakutan itu tidak boleh menghentikan langkah kita. Justru, kita harus menghadapinya. Kita harus berjalan, meskipun kita merasa takut. Karena jika kita berhenti hanya karena takut, kita tidak akan pernah sampai ke tujuan kita."

Patiwaji terdiam, meresapi setiap kata yang keluar dari bibir Mariam. Terkadang, ketakutan memang bisa menjadi hambatan terbesar dalam perjalanan hidup seseorang. Namun, jika ketakutan itu dikelola dengan bijaksana, ia justru bisa menjadi kekuatan yang memandu mereka melewati segala rintangan.

"Apa yang sebenarnya kita cari di sini, Mariam?" tanya Patiwaji, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu yang mendalam. "Apakah kita hanya mencari kekuatan atau tujuan? Atau ada sesuatu yang lebih dari itu?"

Mariam memandangi laut untuk beberapa saat, sebelum menjawab dengan lembut, "Aku rasa, kita sedang mencari kedamaian, Patiwaji. Kedamaian yang hanya bisa kita temukan ketika kita menerima segala yang ada di sekitar kita—termasuk ketakutan kita, masa lalu kita, dan segala ketidakpastian yang ada di masa depan. Kita mencari tempat yang aman di dalam diri kita, tempat di mana kita bisa berdamai dengan siapa kita sebenarnya."

Patiwaji merasa ada sebuah kelegaan dalam kata-kata itu. Seperti ada sesuatu yang berat terangkat dari pundaknya. "Mungkin itulah yang selama ini kita cari, tanpa kita sadari. Kedamaian dalam diri kita sendiri."

Mariam mengangguk pelan. "Kita sering kali terjebak dalam pencarian yang tak ada ujungnya, Patiwaji. Kita ingin menemukan sesuatu yang besar, sesuatu yang luar biasa, tapi kita lupa bahwa kedamaian itu tidak harus ditemukan di tempat yang jauh. Kadang, kedamaian itu ada di dalam diri kita sendiri, jika kita mau mencarinya dengan cara yang tepat."

Malam semakin larut, dan suara ombak yang terus bergulung menjadi satu-satunya teman yang menemani mereka. Suasana di sekitar mereka sangat sunyi, hanya ada kedamaian yang mengalir pelan-pelan. Namun, di dalam hati Patiwaji, ada gelombang perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Rasa ingin tahu, keinginan untuk memahami lebih dalam, dan perasaan takut yang tak kunjung hilang. Tetapi, kata-kata Mariam membawa ketenangan yang luar biasa.

"Kau tahu, Mariam," kata Patiwaji akhirnya, "kadang aku merasa bahwa perjalanan ini lebih dari sekadar pencarian luar biasa atau pencapaian besar. Mungkin ini adalah perjalanan untuk memahami diri kita sendiri. Untuk benar-benar mengetahui siapa kita."

Mariam menatapnya, ada kilauan kebijaksanaan di matanya. "Mungkin kita harus melanjutkan perjalanan ini dengan cara yang berbeda. Bukan hanya mencari tujuan yang jelas, tapi juga belajar dari setiap langkah yang kita ambil. Mungkin kita tidak akan pernah menemukan semua jawabannya, tetapi kita akan selalu belajar, dan itu adalah perjalanan yang tak ternilai harganya."

Patiwaji tersenyum, merasa sebuah pemahaman baru mulai tumbuh dalam dirinya. "Aku rasa, perjalanan ini adalah tentang lebih dari sekadar tujuan. Ini adalah tentang bagaimana kita menghadapi setiap langkah, setiap ombak, dan setiap tantangan. Mungkin, kita sudah menemukan apa yang kita cari."

Dengan kata-kata itu, mereka berdua terdiam, menikmati suara laut yang mengalun di malam itu. Dalam heningnya malam, mereka tahu bahwa perjalanan ini—meskipun penuh dengan ketidakpastian dan ketakutan—adalah perjalanan yang sangat berarti.

Malam semakin gelap, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang malu-malu menyinari permukaan laut yang berkilauan. Patiwaji dan Mariam masih berdiri di atas bukit kecil, di tempat yang sama, namun sekarang perasaan mereka terasa berbeda. Tidak ada lagi percakapan yang terburu-buru, hanya ada ketenangan yang mengisi setiap ruang antara mereka. Laut yang terus bergulung di bawah sana, menyuarakan sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mendengarkan dengan hati.

Patiwaji mengambil napas dalam-dalam, mencoba meresapi ketenangan yang ada di sekelilingnya. Namun, di dalam dirinya, banyak hal yang masih bergolak. Teringat kembali kata-kata Mariam sebelumnya—tentang mencari kedamaian dalam diri, tentang menerima ketakutan dan segala ketidakpastian yang ada. Semua itu mengendap dalam pikirannya, dan ia tahu bahwa perjalanan ini—meskipun penuh dengan kegelisahan—adalah perjalanan yang lebih besar dari sekadar pencapaian luar biasa.

“Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” tanya Patiwaji setelah beberapa lama diam, suaranya menggema di tengah malam yang hening.

Mariam memalingkan wajahnya ke arah laut, memperhatikan ombak yang tak henti-hentinya datang. “Aku tidak tahu. Terkadang, aku merasa seperti ombak itu. Mereka datang tanpa bisa dihentikan, tanpa bisa diprediksi, dan meskipun ada batu-batu besar yang menghadang, mereka tetap menghantam dengan kekuatan yang sama.”

Patiwaji mengangguk, menyadari perasaan itu. “Aku merasa begitu juga. Kita terombang-ambing dalam arus yang tidak kita kendalikan. Kita tidak tahu apa yang akan datang setelah ini, apa yang akan menanti di depan.”

Mariam tersenyum lembut, tatapannya tetap tertuju pada ombak yang datang satu demi satu. “Tapi bukankah itu yang membuat kita terus maju? Ketidakpastian itu? Ketika kita merasa tidak ada yang pasti, kita justru belajar untuk bertahan. Mungkin, di situlah kekuatan kita ditemukan—di dalam ketidakpastian itu.”

Patiwaji merenung. Mariam selalu tahu bagaimana cara berbicara tentang hal-hal yang paling sulit dipahami, seolah memberikan pemahaman tanpa perlu menjelaskan semuanya secara detail. Dalam banyak hal, dia merasa seperti sebuah teka-teki yang sulit dipecahkan, namun dalam cara yang menyenangkan.

“Jadi, kita harus menerima ketidakpastian itu? Menerima bahwa kita tidak akan selalu tahu apa yang akan datang, tapi tetap berjalan?” tanya Patiwaji, mencoba menangkap makna dari setiap kata yang keluar dari bibir Mariam.

“Ya,” jawab Mariam dengan suara yang penuh ketenangan. “Kita tidak bisa menghindari ketidakpastian. Itu adalah bagian dari kehidupan. Yang bisa kita lakukan adalah menerima ketidakpastian itu, dan belajar bagaimana menavigasi perjalanan ini dengan hati yang terbuka. Mungkin kita tidak selalu tahu ke mana arah kita, tapi selama kita berusaha dengan sepenuh hati, kita akan sampai di tempat yang tepat.”

Patiwaji memandang Mariam dengan tatapan yang dalam. Ia merasa seolah ada sesuatu yang besar dan penting yang sedang dipahami oleh dirinya, namun sulit untuk mengungkapkannya dengan kata-kata. “Kau selalu tahu bagaimana membuat segala sesuatunya terdengar begitu sederhana, Mariam.”

Mariam tersenyum kecil. “Sederhana bukan berarti mudah, Patiwaji. Seringkali, yang sederhana itulah yang paling sulit diterima. Kita terbiasa mencari jawaban yang kompleks, padahal jawaban sebenarnya ada dalam diri kita sendiri. Ketika kita bisa berdamai dengan ketidakpastian itu, kita akan menemukan kedamaian yang sesungguhnya.”

Perkataan Mariam menyentuh hati Patiwaji. Terkadang, ia merasa terjebak dalam pencariannya yang tidak ada ujungnya. Namun, seiring berjalannya waktu, kata-kata Mariam memberikan perspektif yang berbeda. Seolah, untuk mencapai kedamaian, ia tidak perlu terus mencari, tetapi justru harus berhenti sejenak, menerima keadaan, dan melangkah dengan hati yang lapang.

Pemandangan di sekitar mereka semakin indah dengan cahaya bulan yang semakin terang. Lautan di bawah sana masih bergulung dengan tenang, seolah mendengarkan percakapan mereka, membiarkan mereka melangkah maju dalam pemahaman baru yang terbuka di hadapan mereka.

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Patiwaji dan Mariam menoleh, dan melihat seorang pria yang berjalan menuju mereka. Di belakangnya, beberapa orang tampak ikut mengikuti. Patiwaji mengenali pria itu—Ia adalah Arfan, salah satu pemuda di desa yang dikenal dengan ketekunan dan kecerdasannya.

“Patiwaji, Mariam,” sapa Arfan dengan suara yang hangat namun penuh makna. “Kalian masih di sini?”

Mariam tersenyum kecil. “Kami sedang menikmati malam, Arfan. Laut ini memberikan banyak pemikiran.”

Arfan tersenyum dan berjalan lebih dekat. “Aku juga sering mendengar suara laut ini. Terkadang, aku merasa ada sesuatu yang besar dan kuno yang dipendam di dalamnya. Suara itu bukan sekadar ombak, tetapi bisikan dari masa lalu yang mengajarkan kita banyak hal.”

Patiwaji mengangguk, seolah memahami apa yang dimaksud Arfan. “Kadang aku merasa ombak ini menceritakan sebuah cerita yang belum selesai. Sebuah cerita yang kita belum bisa mengerti sepenuhnya.”

Arfan berdiri di samping mereka, lalu memandang laut yang terbentang luas. “Laut itu memang misterius. Tapi kita sebagai manusia harus belajar mendengarnya. Bukan hanya dengan telinga, tetapi juga dengan hati.”

Suasana menjadi hening sejenak, sementara mereka bertiga menatap ke arah laut. Angin malam yang sejuk berhembus lembut, membawa aroma asin dari laut yang jauh di bawah sana. Setiap hembusan angin membawa ketenangan, namun juga membangkitkan perasaan tidak menentu—perasaan bahwa ada sesuatu yang besar dan tak terungkap yang mengintai di luar jangkauan mereka.

Arfan kemudian melanjutkan kata-katanya, “Patiwaji, Mariam, kita akan menghadapi perjalanan yang lebih panjang lagi. Perjalanan ini bukan hanya soal mencari kekuatan atau tujuan. Tetapi tentang bagaimana kita bisa bertahan dan berkembang dalam ketidakpastian yang ada.”

Mariam mengangguk, meresapi kata-kata Arfan. “Kita harus siap untuk apa yang datang, apa pun itu. Kita tidak tahu apa yang akan dihadapi di depan, tetapi kita bisa memilih untuk tetap berdiri tegak meskipun ombak datang menghantam.”

“Betul,” jawab Arfan, “dan dalam perjalanan ini, kita akan menemukan kekuatan kita bukan hanya dalam diri kita sendiri, tetapi juga dalam hubungan kita dengan orang lain. Kita akan saling menguatkan, saling mendukung, untuk melewati setiap gelombang yang datang.”

Patiwaji menatap ke arah Arfan, merasa ada kehangatan dalam kata-katanya. Ia tahu bahwa meskipun perjalanan ini penuh dengan ketidakpastian, mereka tidak akan pernah sendirian. Ada orang-orang yang siap berjalan bersamanya, menghadapi setiap ombak yang datang dengan hati yang teguh.

Dengan hati yang lebih tenang, mereka bertiga tetap berdiri di sana, menyaksikan ombak yang datang tanpa henti, menikmati malam yang semakin larut. Suara lautan itu—meskipun tak terucapkan—memberikan mereka kekuatan dan pengertian baru.

Bab terkait

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 7 Jejak Para Leluhur

    Malam itu, angin laut berhembus lebih kencang dari biasanya, menyapu daun-daun kelapa di sekitar mereka. Patiwaji, Mariam, dan Arfan duduk di atas batu besar yang terletak di pinggir pantai, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Laut yang berdebur keras di kejauhan tampak seperti bisikan yang mengingatkan mereka pada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kehidupan sehari-hari. Suara ombak yang terus menghantam pantai itu terasa seperti sebuah cerita kuno yang terus berulang, tidak pernah selesai, namun selalu mengingatkan pada masa lalu yang penuh makna.“Pernahkah kalian merasa seperti... ada sesuatu yang lebih besar dari kita, sesuatu yang lebih dari sekadar kehidupan ini?” Patiwaji memecah keheningan, suaranya berat, seolah membawa beban yang tidak terlihat. Ia menatap jauh ke laut, mencoba menemukan jawabannya di sana, namun yang ada hanyalah luasnya samudra yang tak terbatas.Mariam menatapnya dengan penuh perhatian. “Kita semua, pada dasarnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 8 Pembelajaran Awal

    Pagi itu, matahari menyinari pulau dengan sinarnya yang lembut, membawa kehangatan yang menyelimuti tanah yang basah oleh embun pagi. Laut tampak lebih tenang, namun masih ada deburan ombak yang menyapu pantai, seakan mengingatkan mereka akan kekuatan alam yang selalu siap menantang. Patiwaji, Mariam, dan Arfan berkumpul di luar rumah yang sederhana, siap untuk memulai perjalanan mereka ke pulau yang telah lama menjadi misteri dalam cerita leluhur mereka.Patiwaji melihat ke sekeliling, memeriksa persiapan terakhir mereka. Ia merasa ketegangan di udara—sebuah perasaan campur aduk antara antusiasme dan ketakutan. Mereka telah memutuskan untuk berlayar pagi itu, dan meskipun mereka tahu perjalanan ini akan penuh dengan tantangan, mereka juga menyadari bahwa ini adalah langkah pertama mereka menuju sesuatu yang jauh lebih besar.“Aku rasa semuanya sudah siap,” kata Patiwaji, matanya memeriksa perahu yang terikat di dermaga. “Perjalanan ini akan memerlukan semua kekuat

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 9 Keajaiban Alam

    Suasana di tengah hutan semakin mencekam. Udara yang berat, seolah menahan napas, memantulkan suara langkah kaki mereka yang tersebar di antara pepohonan tinggi yang memeluk tanah seperti tangan-tangan besar. Patiwaji, Mariam, dan Arfan berjalan dengan penuh kewaspadaan, mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan oleh leluhur mereka. Mereka telah melewati jalan setapak yang penuh dengan tantangan—pegunungan terjal, sungai-sungai kecil yang mengalir deras, dan hutan lebat yang hampir menutupi sinar matahari. Namun, mereka merasakan adanya sebuah daya tarik kuat, seolah alam itu sendiri ingin menunjukkan sesuatu yang lebih besar.“Perhatikan sekitar kita,” kata Patiwaji dengan suara yang lebih rendah dari biasanya. “Sepertinya alam ini tahu kita sedang dalam perjalanan penting. Tidak ada yang kebetulan di tempat ini.”Mariam menatap pepohonan yang menjulang tinggi, lalu beralih ke Arfan. “Aku merasa ada yang berbeda, seolah ada sesuatu yang hidup di dalam setiap helaian

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 10 Warisan Tersembunyi

    Gua itu terasa semakin dalam dan sepi, udara yang lembap menyelimuti setiap sudutnya. Patiwaji, Mariam, dan Arfan melangkah dengan hati-hati, mata mereka menyesuaikan dengan gelapnya lorong yang semakin menciut. Suara langkah mereka terdengar menggema, tetapi tidak ada yang berani bersuara. Di hadapan mereka, lelaki tua yang tadi mengajak mereka berjalan perlahan, memimpin jalan dengan tenang.Mariam merasa terpesona dengan suasana yang begitu penuh misteri. Gua ini bukan hanya tempat yang tampaknya usang, tetapi juga menyimpan aura yang lebih dalam dari sekedar ruang kosong. Ukiran-ukiran kuno di dinding gua tampak begitu indah, meskipun sebagian besar sudah tergerus waktu, namun masih bisa dibaca—berisi simbol-simbol yang belum pernah mereka lihat sebelumnya."Ini semua adalah warisan leluhur," ujar lelaki tua itu dengan suara dalam, menghentikan langkahnya di depan salah satu ukiran yang tampaknya lebih besar daripada yang lainnya. "Ukiran-ukiran ini menceritaka

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 11 Keberanian Yang Muncul

    Malam telah beranjak, tetapi ketiga pemuda itu masih terdiam di dalam gua. Batu besar yang sebelumnya bersinar kini tampak redup, namun masih memancarkan aura yang sulit dijelaskan. Patiwaji, Mariam, dan Arfan saling bertukar pandang, masing-masing mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.“Jadi, apa selanjutnya?” Arfan membuka percakapan, suaranya terdengar ragu namun ada sedikit semangat yang muncul di dalamnya. “Apakah kita hanya akan berdiri di sini, menunggu sesuatu terjadi, atau kita akan mulai memanfaatkan kekuatan ini?”Patiwaji menghela napas, mencoba menyusun pikirannya yang masih kacau. “Aku tidak yakin, Arfan. Tetapi aku merasa… ada sesuatu yang harus kita lakukan. Lelaki tua itu mengatakan bahwa ini baru permulaan. Mungkin, kita harus menemukan apa tujuan dari kekuatan ini.”Mariam memandang mereka berdua dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran. “Kalian tidak merasa aneh? Ini semua seperti mimpi. Tiba-tiba kita memiliki kekuatan yang tida

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 12 Teman dan Musuh

    Fajar menyingsing, menyelimuti pulau dengan cahaya keemasan yang lembut. Suara burung-burung kembali menghiasi pagi, namun suasana hati di antara Patiwaji, Arfan, dan Mariam masih diliputi kekhawatiran. Mereka duduk melingkar di pinggir pantai, menghadap lautan yang tenang."Jadi, apa yang sebenarnya terjadi semalam?" tanya Mariam, memecah keheningan. Sorot matanya memancarkan kegelisahan."Aku tidak tahu," jawab Patiwaji sambil memandang jauh ke arah ombak. "Tapi apa pun itu, aku merasa kita baru saja melewati sesuatu yang besar."Arfan menghela napas panjang. "Itu bukan sekadar pengalaman besar. Rasanya seperti mimpi, tapi anehnya aku tahu itu nyata. Batu itu... suara itu... semuanya terlalu jelas untuk diabaikan."Mariam menggigit bibirnya. "Aku takut, Patiwaji. Jika ini benar-benar tentang kekuatan dan bahaya, apakah kita benar-benar siap untuk menghadapi apa yang akan datang?"Patiwaji menoleh padanya, memberikan senyum yang mencoba menenangkan. "Kita tidak punya pilihan selain m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 13 Petunjuk Pertama

    Pagi di Pulau Massale terlihat seperti biasa. Matahari baru saja naik, mengintip malu-malu dari balik bukit, sementara ombak perlahan menyapa pantai berpasir putih. Namun, di hati Patiwaji dan teman-temannya, pagi ini bukan pagi yang biasa. Mereka masih mencerna apa yang mereka dengar semalam dari La Patarai.Di rumah panggung kecil tempat mereka berkumpul, suasana hening saat semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tammatea, yang biasanya penuh semangat, hanya duduk memandangi parang di tangannya. Mariam, sambil memeras kain basah, sesekali melirik ke arah Patiwaji, yang tampak tenggelam dalam pikirannya.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” Arfan akhirnya memecah keheningan. Suaranya datar, tapi nada khawatir tersirat di dalamnya.Patiwaji menghela napas, lalu menatap semua orang satu per satu. “Kita butuh rencana. La Patarai bilang bahwa kita harus mencari petunjuk, sesuatu yang bisa membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini.”

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 14 Menyusuri Pulau

    Pagi itu, matahari terbit dengan warna keemasan yang memancar di cakrawala, menyelimuti Pulau Massale dengan cahaya lembut. Kelompok Patiwaji, yang masih dihantui kejadian di terowongan malam sebelumnya, berkumpul di tepi pantai untuk merencanakan langkah mereka selanjutnya.Peta kulit kayu yang mereka temukan terhampar di atas pasir. Garis-garis kasar dan simbol-simbol kuno menggambarkan lokasi-lokasi penting di pulau itu, tetapi membaca makna sebenarnya dari peta tersebut membutuhkan usaha lebih.“Baiklah,” Patiwaji memulai, sambil menunjuk pada salah satu tanda di peta. “Menurut ini, tempat berikutnya yang harus kita kunjungi ada di sisi barat pulau. Tapi kita harus berhati-hati. Musuh mungkin masih membuntuti kita.”“Kita tidak bisa terus menghindar,” kata Tammatea dengan nada tegas. “Jika mereka ingin menghadang kita, kita harus siap melawan. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan peta ini.”“Tenang, Tam,” sela Mariam, mencoba m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11

Bab terbaru

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 21 Menyusuri Dunia Lain

    Angin dingin berhembus dengan lembut, membawa aroma asing yang tidak pernah mereka cium sebelumnya. Suara gemuruh dari cahaya yang berputar itu perlahan memudar, meninggalkan keheningan yang mencekam. Ketika ketiganya membuka mata, mereka tidak lagi berada di hutan yang mereka kenal. Sebuah dunia baru terbentang di hadapan mereka—sebuah tempat dengan langit merah tua, tanah yang bersinar redup seperti bara api, dan pohon-pohon yang berwarna gelap dengan daun yang tampak seperti bayangan.Mariam memandang sekeliling dengan hati-hati, pedangnya tetap tergenggam erat di tangan. "Apa... tempat ini? Apakah kita masih di pulau?"Tammatea berjalan beberapa langkah ke depan, menginjak tanah yang terasa hangat di bawah kakinya. "Ini bukan pulau kita," katanya, nada suaranya penuh dengan ketidakpastian. "Aku rasa... ini dunia lain."Patiwaji berdiri tegak, wajahnya terlihat tegang tetapi matanya menunjukkan rasa ingin tahu yang mendalam. "Aku tidak tahu bagaimana ki

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 20 Rasa Takut Yang Menghantui

    Suasana di hutan itu berubah secara perlahan, meskipun mereka berhasil mengalahkan makhluk yang mengerikan dan menghancurkan sumber kekuatannya. Namun, ketenangan yang semula terasa sejenak kini digantikan dengan perasaan yang lebih menekan. Patiwaji dan dua sahabatnya, Tammatea dan Mariam, berdiri di antara reruntuhan batu besar yang menjadi sumber kekuatan makhluk tersebut. Udara terasa semakin berat, dan meskipun ancaman fisik telah berlalu, rasa takut yang tak terlihat mulai menghinggapi mereka. "Apakah kita sudah benar-benar aman?" Mariam akhirnya mengangkat pertanyaan yang sudah menggantung di udara sejak mereka melawan makhluk itu. Wajahnya masih terlihat tegang, matanya berkeliling menelusuri hutan yang kini terasa semakin gelap, meskipun matahari belum sepenuhnya tenggelam. Patiwaji tidak segera menjawab. Matanya yang tajam memandang ke arah pohon-pohon yang berdiri tegak, seakan menunggu sesuatu yang tak terduga. Suasana semakin hening, seolah

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 19 Pertarungan di Hutan

    Angin malam berhembus kencang, menerpa wajah mereka dengan udara dingin yang menambah ketegangan di antara kelompok Patiwaji. Hutan di sekitar mereka terasa hidup, seolah setiap pepohonan dan semak-semak memiliki mata yang mengawasi langkah mereka. Tidak ada suara binatang malam, hanya desiran angin dan gelegar jauh di kedalaman hutan yang terdengar seperti ombak yang mengamuk di lautan.Patiwaji mengangkat tangan, memberi isyarat agar kelompoknya berhenti. Mereka sudah memasuki area yang jauh dari desa, dan suasana semakin mencekam. Tammatea berjalan mendekat, wajahnya serius."Ada yang tidak beres," katanya dengan suara pelan. "Aku merasa seperti kita sedang diawasi."Mariam, yang berjalan di samping Tammatea, mengangguk. "Aku merasakannya juga. Semua ini terlalu sunyi, seperti jebakan yang menunggu untuk menutup."Patiwaji menatap ke arah hutan yang semakin gelap. "Kita tidak bisa mundur sekarang. Kita harus maju, menuju lokasi yang tertulis di

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 18 Ancaman Dari Laut

    Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Gelombang laut yang menabrak pantai terdengar seperti sebuah peringatan yang datang dari jauh. Patiwaji berdiri di tepi pantai, matanya menatap laut yang luas, sementara angin kencang menerpa wajahnya. Ia merasakan sesuatu yang tak beres, sebuah ketegangan yang sulit dijelaskan. Laut, yang selama ini menjadi teman setia, kini tampak seperti musuh yang sedang menunggu waktu untuk menghantam mereka."Kenapa aku merasa ada sesuatu yang tidak beres?" kata Patiwaji pelan, berbicara kepada dirinya sendiri.Tammatea yang berdiri di sampingnya menatap laut dengan cermat, matanya menyipit. "Aku juga merasa seperti itu. Sepertinya ada sesuatu yang bergerak di balik ombak itu. Sesuatu yang besar."“Laut ini selalu penuh misteri,” Mariam menambahkan, matanya berbinar. "Aku rasa kita harus lebih berhati-hati."Patiwaji mengangguk. "Benar. Kita tidak bisa meremehkan apa pun di sini. Laut ini bisa menjadi teman,

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 17 Rahasia Yang Terungkap

    Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan ujian, ancaman, dan tantangan, akhirnya Patiwaji dan rombongannya tiba kembali di desa setelah berhasil membuka pintu yang tersembunyi di dalam gua kuno itu. Patiwaji merasakan ada sesuatu yang mendalam yang menggantung di udara, seperti keheningan yang menanti untuk dihancurkan oleh sebuah pengungkapan besar. Perasaan ini semakin tajam saat mereka berjalan kembali menuju pusat desa.Tammatea, yang sejak awal sudah merasakan sesuatu yang ganjil, mendekati Patiwaji dengan langkah hati-hati. “Kau merasa ada sesuatu yang berbeda, Patiwaji?” tanyanya dengan suara pelan, seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri.Patiwaji mengangguk perlahan, matanya memandang jauh ke arah desa yang tampaknya tidak ada bedanya dengan biasanya. “Ya, aku merasa begitu. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, Tammatea. Seperti rahasia yang telah lama terkubur, menunggu untuk dibuka.”Mariam yang mengikuti dari belakang juga merasakan

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 16 Ujian Awal

    Patiwaji dan kawan-kawannya melangkah lebih dalam ke dalam reruntuhan yang terlihat semakin megah meski sudah rapuh termakan waktu. Angin yang berhembus lebih dingin di sini, seolah-olah membawa kabar dari masa lalu, mengingatkan mereka bahwa mereka berada di tempat yang sakral—sebuah tempat yang telah lama terlupakan namun kini bangkit kembali, menunggu untuk mengungkapkan rahasianya.Udara di sekitar mereka terasa berat. Setiap langkah yang mereka ambil di atas tanah yang keras seakan disertai oleh bisikan-bisikan halus yang tidak mereka dengar dengan jelas, tetapi terasa sangat dekat. Suara gemerisik daun yang terhanyut angin, gema langkah mereka yang bergema di antara tembok-tembok batu besar, dan suara dentingan halus dari batu-batu yang saling bergesekan menciptakan atmosfer yang penuh ketegangan.Di depan mereka, reruntuhan itu membuka sebuah ruangan besar dengan pintu yang terbuat dari batu hitam yang kokoh. Di atas pintu tersebut terdapat ukiran-ukiran yan

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 15 Tanda-Tanda Kekuatan

    Suasana di sekitar mereka semakin menegangkan. Patiwaji berdiri tegak, matanya berfokus pada sosok yang mengenakan kain hitam, yang kini mulai bergerak lebih dekat. Di balik kain itu, hanya matanya yang tampak, namun cahaya matahari yang terpantul dari batu-batu sekitar memberi kesan bahwa mereka bukan sekadar penjaga biasa. Ada sesuatu yang lebih, kekuatan yang tersembunyi di dalam diri mereka."Sebelum kalian melangkah lebih jauh," suara berat itu terdengar menggema, "kalian harus memahami apa yang sedang kalian hadapi. Kekuatan yang ada di pulau ini bukanlah untuk mereka yang tidak siap. Itu adalah warisan yang tidak bisa dipergunakan sembarangan."Patiwaji menatap mata sosok itu, mencoba menilai apakah kata-kata itu hanya peringatan atau tantangan. "Kami siap," jawabnya tegas, meskipun ada sedikit kegugupan di hatinya. "Kami telah melewati banyak ujian untuk sampai ke sini. Kami tidak akan mundur."Sosok itu terdiam sejenak, menilai Patiwaji dan rekan-

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 14 Menyusuri Pulau

    Pagi itu, matahari terbit dengan warna keemasan yang memancar di cakrawala, menyelimuti Pulau Massale dengan cahaya lembut. Kelompok Patiwaji, yang masih dihantui kejadian di terowongan malam sebelumnya, berkumpul di tepi pantai untuk merencanakan langkah mereka selanjutnya.Peta kulit kayu yang mereka temukan terhampar di atas pasir. Garis-garis kasar dan simbol-simbol kuno menggambarkan lokasi-lokasi penting di pulau itu, tetapi membaca makna sebenarnya dari peta tersebut membutuhkan usaha lebih.“Baiklah,” Patiwaji memulai, sambil menunjuk pada salah satu tanda di peta. “Menurut ini, tempat berikutnya yang harus kita kunjungi ada di sisi barat pulau. Tapi kita harus berhati-hati. Musuh mungkin masih membuntuti kita.”“Kita tidak bisa terus menghindar,” kata Tammatea dengan nada tegas. “Jika mereka ingin menghadang kita, kita harus siap melawan. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan peta ini.”“Tenang, Tam,” sela Mariam, mencoba m

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 13 Petunjuk Pertama

    Pagi di Pulau Massale terlihat seperti biasa. Matahari baru saja naik, mengintip malu-malu dari balik bukit, sementara ombak perlahan menyapa pantai berpasir putih. Namun, di hati Patiwaji dan teman-temannya, pagi ini bukan pagi yang biasa. Mereka masih mencerna apa yang mereka dengar semalam dari La Patarai.Di rumah panggung kecil tempat mereka berkumpul, suasana hening saat semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tammatea, yang biasanya penuh semangat, hanya duduk memandangi parang di tangannya. Mariam, sambil memeras kain basah, sesekali melirik ke arah Patiwaji, yang tampak tenggelam dalam pikirannya.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” Arfan akhirnya memecah keheningan. Suaranya datar, tapi nada khawatir tersirat di dalamnya.Patiwaji menghela napas, lalu menatap semua orang satu per satu. “Kita butuh rencana. La Patarai bilang bahwa kita harus mencari petunjuk, sesuatu yang bisa membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini.”

DMCA.com Protection Status