Share

Bab 7 Jejak Para Leluhur

Author: mahmud23
last update Last Updated: 2024-12-03 11:24:09

Malam itu, angin laut berhembus lebih kencang dari biasanya, menyapu daun-daun kelapa di sekitar mereka. Patiwaji, Mariam, dan Arfan duduk di atas batu besar yang terletak di pinggir pantai, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Laut yang berdebur keras di kejauhan tampak seperti bisikan yang mengingatkan mereka pada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kehidupan sehari-hari. Suara ombak yang terus menghantam pantai itu terasa seperti sebuah cerita kuno yang terus berulang, tidak pernah selesai, namun selalu mengingatkan pada masa lalu yang penuh makna.

“Pernahkah kalian merasa seperti... ada sesuatu yang lebih besar dari kita, sesuatu yang lebih dari sekadar kehidupan ini?” Patiwaji memecah keheningan, suaranya berat, seolah membawa beban yang tidak terlihat. Ia menatap jauh ke laut, mencoba menemukan jawabannya di sana, namun yang ada hanyalah luasnya samudra yang tak terbatas.

Mariam menatapnya dengan penuh perhatian. “Kita semua, pada dasarnya, hanyalah bagian kecil dari sebuah kisah besar yang sudah ada jauh sebelum kita lahir. Laut ini, tanah ini, bahkan setiap angin yang berhembus—semuanya memiliki cerita yang sudah dimulai sejak lama. Para leluhur kita, mereka meninggalkan jejak-jejak yang membentuk siapa kita sekarang.”

“Jejak para leluhur,” ulang Arfan dengan suara yang rendah. “Aku selalu merasa ada sesuatu yang menarik di balik kata-kata itu. Seperti ada kekuatan yang tidak bisa kita lihat, namun tetap terasa dalam setiap langkah kita.”

Mariam tersenyum lembut. “Itulah yang membuat kita berhubungan dengan tanah ini, dengan laut ini, dengan segala yang ada di sekitar kita. Para leluhur kita tidak hanya meninggalkan jejak di bumi ini, tetapi juga dalam diri kita—dalam darah kita, dalam cerita yang diwariskan, dalam cara kita melihat dunia.”

Patiwaji menggigit bibirnya, merasakan berat kata-kata Mariam. “Tapi kadang aku merasa seperti kita sedang kehilangan sesuatu. Seperti kita terlalu sibuk mencari jati diri kita sendiri, hingga kita lupa untuk melihat jejak yang telah ditinggalkan oleh mereka. Kadang aku merasa kita tidak cukup menghargai warisan itu.”

Arfan menoleh ke arah Patiwaji, matanya tajam. “Kehilangan itu bukan sesuatu yang bisa kita hindari, Patiwaji. Kita semua pasti mengalami kehilangan. Tapi yang penting adalah bagaimana kita bangkit dari kehilangan itu dan menemukan kembali apa yang hilang. Jejak para leluhur itu bukan hanya sesuatu yang harus kita ingat, tetapi juga sesuatu yang harus kita hidupkan kembali.”

Mariam mengangguk, merasakan kedalaman dari apa yang dikatakan Arfan. “Betul. Jejak para leluhur bukan sekadar benda atau tempat yang bisa dilihat, tapi juga nilai-nilai yang mereka wariskan. Kekuatan mereka tidak hilang meskipun tubuh mereka sudah lama tiada. Mereka ada di dalam kita, dalam setiap pilihan yang kita buat, dalam setiap langkah yang kita ambil.”

Patiwaji menatap laut yang gelap, lalu kembali memandang kedua temannya. “Tapi apakah kita benar-benar tahu apa yang mereka inginkan dari kita? Apakah kita tahu tujuan sebenarnya dari semua ini? Terkadang, aku merasa kebingungan dengan apa yang harus kita lakukan untuk menghormati mereka.”

Mariam mendekat, menyentuh bahu Patiwaji dengan lembut. “Itulah yang harus kita temukan. Tujuan itu tidak selalu jelas di depan mata. Kadang kita harus berjalan tanpa tahu pasti ke mana kita akan menuju, tetapi selama kita memiliki niat yang baik dan hati yang tulus, kita akan menemukan jalan itu. Para leluhur kita pasti tahu bahwa kita akan sampai pada titik ini, dan mereka mempercayakan kita untuk melanjutkan apa yang telah mereka mulai.”

Arfan bergeser sedikit, menatap ke arah pulau yang terlihat samar di kejauhan. “Aku sering berpikir tentang apa yang terjadi di pulau itu. Di sana, di tanah tempat para leluhur kita pertama kali berdiri, terdapat banyak misteri yang belum terpecahkan. Aku rasa ada sesuatu yang kita cari di sana—sesuatu yang bisa menghubungkan kita dengan mereka.”

Patiwaji terkejut mendengar kata-kata Arfan. “Pulau itu? Apa yang kau maksud?”

Arfan menatap Patiwaji dengan mata yang penuh teka-teki. “Aku mendengar cerita tentang sebuah batu besar yang terletak di tengah pulau itu. Konon, batu itu adalah tempat terakhir para leluhur kita berkumpul sebelum mereka menghilang. Tidak banyak yang tahu tentangnya, tetapi aku merasa itu adalah tempat yang sangat penting. Mungkin di sanalah kita bisa menemukan jawaban atas banyak pertanyaan kita.”

Mariam mendengarkan dengan seksama, matanya terpejam sejenak, seolah merenungkan kata-kata Arfan. “Batu besar itu... Aku pernah mendengar cerita yang sama dari nenekku. Dia pernah mengatakan bahwa para leluhur kita meninggalkan sebuah petunjuk di sana, petunjuk yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang siap untuk melangkah lebih jauh. Aku rasa itu adalah perjalanan yang harus kita tempuh.”

Patiwaji mengangkat alisnya, merasakan sensasi yang aneh di dalam dadanya. “Jadi, kita harus pergi ke pulau itu? Untuk mencari batu besar itu?”

Arfan mengangguk. “Aku rasa itu satu-satunya cara untuk benar-benar memahami apa yang diinginkan oleh para leluhur kita. Pulau itu, dengan segala misterinya, menyimpan lebih banyak daripada sekadar cerita-cerita tua. Kita harus pergi dan menemukan apa yang tersembunyi di sana.”

Patiwaji terdiam, membiarkan kata-kata Arfan mengalir dalam pikirannya. Ia merasa ada panggilan yang kuat dari dalam dirinya, seolah laut yang besar ini sudah mengarahkan mereka untuk mencari sesuatu yang lebih. “Jika kita harus pergi, kita akan pergi bersama. Tidak ada yang bisa menempuh jalan ini sendirian.”

Mariam tersenyum, matanya penuh keyakinan. “Kita akan menemui banyak hal yang tidak kita duga. Namun, jika kita berjalan bersama, kita akan lebih kuat. Jejak-jejak para leluhur ini harus kita bawa ke dalam perjalanan kita. Dan siapa tahu, mungkin di sana kita akan menemukan kekuatan yang selama ini kita cari.”

Angin laut semakin kencang, seolah mendukung keputusan mereka. Suara ombak yang bergulung, terdengar lebih jelas, membawa pesan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang benar-benar siap untuk mendengarnya. Patiwaji menatap laut yang luas, merasakan panggilan itu semakin kuat dalam dirinya.

“Kita akan pergi,” kata Patiwaji dengan suara penuh tekad. “Tidak ada yang bisa menghentikan kita sekarang.”

Arfan dan Mariam saling berpandangan, lalu mengangguk. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi tantangan yang berat, tetapi juga jalan yang harus mereka lalui untuk menemukan jawaban atas segala pencarian mereka.

Kehidupan mereka tidak lagi hanya tentang bertahan, tetapi tentang menemukan makna yang lebih dalam, tentang menggali sejarah dan kebijaksanaan yang telah ditinggalkan oleh para leluhur mereka. Dengan langkah yang penuh keyakinan, mereka siap untuk menapaki jejak-jejak yang telah lama tertinggal, dan bersama-sama, mereka akan mencari jawaban yang selama ini mereka cari.

Malam itu semakin larut, dan meskipun angin laut terus bertiup kencang, suasana di sekitar mereka terasa semakin hening. Patiwaji, Mariam, dan Arfan masih duduk di atas batu besar di pinggir pantai, menatap laut yang gelap. Namun, ada sebuah rasa yang mengalir dalam setiap helaan napas mereka—sebuah perasaan tak terelakkan bahwa perjalanan yang akan mereka jalani akan mengubah hidup mereka selamanya. Seperti ombak yang tak pernah berhenti bergulung, mereka pun merasa ada sesuatu yang terus mendorong mereka maju, meskipun ketidakpastian dan bahaya menanti di depan.

“Pernahkah kalian merasa, kadang-kadang kita tidak memilih jalan kita sendiri, tetapi jalan itu memilih kita?” Patiwaji bertanya dengan suara pelan, hampir terhanyut oleh angin malam. Ia memandang jauh ke arah laut, mencoba menangkap makna dari setiap kata yang baru saja diucapkannya.

Mariam memutar tubuhnya, menghadapkan wajahnya ke arah Patiwaji. “Aku mengerti apa yang kau maksud,” jawabnya, nada suaranya tenang, namun penuh makna. “Ada kalanya kita merasa seperti hanya mengikuti arus, tanpa benar-benar memilih arah. Tapi mungkin memang seperti itu jalan yang harus kita tempuh. Para leluhur kita pun mungkin merasakannya. Mereka tidak tahu persis apa yang akan mereka temui, tetapi mereka tahu bahwa jalan yang mereka pilih adalah jalan yang harus dilalui.”

Arfan mengangguk, wajahnya serius. “Kita semua terhubung dengan sejarah mereka, bahkan jika kita tidak menyadarinya. Setiap langkah kita, setiap keputusan yang kita buat, tidak lepas dari pengaruh mereka. Mereka yang telah pergi, mereka yang telah menempuh jalan ini sebelum kita, selalu ada dalam jejak yang mereka tinggalkan.”

Mariam merenung, seolah-olah mengingat sesuatu yang jauh di dalam dirinya. “Jejak itu lebih dari sekadar fisik—lebih dari sekadar batu besar atau tempat-tempat yang mereka tinggalkan. Jejak itu ada di dalam kita. Kita mewarisi nilai-nilai mereka, kebijaksanaan mereka. Mungkin itu yang mereka harapkan: agar kita tetap berjalan di jalan yang telah mereka tunjukkan, bahkan saat mereka tidak lagi ada.”

Patiwaji menarik napas panjang. “Lalu, bagaimana kita tahu kalau kita berjalan di jalan yang benar? Bagaimana kita tahu bahwa batu besar yang Arfan sebutkan itu benar-benar bisa membawa kita kepada jawaban yang kita cari?”

“Kadang-kadang, jawabannya bukan tentang mencari sesuatu yang pasti,” kata Arfan, matanya berbinar, penuh keyakinan. “Terkadang, jawabannya ada dalam prosesnya. Kita mungkin tidak akan tahu apa yang kita cari sebelum kita menemukannya, tapi kita akan tahu saat kita sampai di sana.”

Mariam menoleh ke arah Arfan, matanya menyiratkan kebijaksanaan yang dalam. “Itulah yang aku rasakan juga. Batu besar itu bukan hanya sekadar batu. Itu adalah simbol. Itu adalah titik yang menghubungkan kita dengan sejarah kita, dengan para leluhur kita. Kita harus mencari lebih dalam dari sekadar apa yang tampak di permukaan. Kita harus menggali dan memahami makna di baliknya.”

Patiwaji terdiam, merenungkan kata-kata mereka. Ia merasa ada sesuatu yang menggelitik dalam dirinya—sesuatu yang selama ini terpendam dalam jiwanya, namun baru kini mulai muncul. Ia merasa seolah-olah ia terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, dengan perjalanan yang jauh lebih panjang dari apa yang bisa dipahami oleh akalnya.

“Aku rasa aku mengerti,” kata Patiwaji akhirnya. “Kita bukan hanya mencari batu besar itu. Kita sedang mencari diri kita sendiri. Kita sedang mencari apa yang hilang dalam sejarah kita, dalam darah kita, dalam perjalanan kita.”

Mariam tersenyum, senyum yang penuh pemahaman. “Betul sekali. Kita sedang mencari jejak yang tersembunyi dalam diri kita sendiri, yang sudah ada sejak nenek moyang kita pertama kali menapakkan kaki di tanah ini. Hanya dengan memahami itu, kita bisa melanjutkan perjalanan ini dengan penuh keyakinan.”

Arfan berdiri, menatap ke arah pulau yang masih terlihat samar di kejauhan. “Pulau itu bukan hanya tempat fisik. Itu adalah simbol dari perjalanan spiritual kita. Batu besar itu adalah tempat di mana kita akan menemui diri kita sendiri, tempat di mana kita akan mengungkap segala misteri yang selama ini tersembunyi.”

Patiwaji mengikuti pandangan Arfan, matanya menyapu seluruh hamparan laut yang terhampar di depan mereka. Di balik kegelapan malam, ia bisa merasakan panggilan itu, panggilan yang datang dari kedalaman laut, dari setiap deburan ombak yang menyapu pantai. Ia tahu bahwa mereka harus melanjutkan perjalanan ini—meskipun jalan itu penuh dengan ketidakpastian.

“Kita akan pergi ke sana besok,” kata Patiwaji, suaranya penuh ketegasan. “Tidak ada yang bisa menghentikan kita sekarang.”

Mariam dan Arfan saling berpandangan, lalu mengangguk, setuju dengan keputusan Patiwaji. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa berbalik lagi. Sebuah tujuan besar menanti di depan mereka, dan mereka harus menapaki jalan itu bersama-sama.

Malam semakin larut, dan mereka bertiga berdiri dari tempat mereka duduk. Angin laut semakin kencang, seolah mendukung keputusan mereka untuk melanjutkan perjalanan ini. Mereka berjalan perlahan menuju perkampungan mereka, namun langkah mereka penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Di balik gelapnya malam, di balik samudra yang luas, mereka tahu bahwa mereka telah memilih jalan mereka. Jalan yang akan membawa mereka kepada jawaban yang selama ini mereka cari.

Saat mereka tiba di rumah masing-masing, masing-masing terbenam dalam pikirannya sendiri. Namun, dalam hati mereka, ada keyakinan yang tumbuh—bahwa perjalanan ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Sesuatu yang akan mengubah hidup mereka selamanya. Mereka tidak hanya sedang mencari jejak para leluhur, tetapi juga sedang menemukan kembali jati diri mereka. Dan di dalam perjalanan itu, mereka akan menemukan kekuatan yang selama ini terpendam dalam diri mereka.

Esok, mereka akan berlayar menuju pulau itu—pulau yang konon menyimpan jejak para leluhur mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka temui di sana, namun mereka siap menghadapi apa pun yang ada di depan mereka. Karena di balik ombak yang terus bergulung, ada suara yang memanggil mereka untuk melangkah lebih jauh—untuk menggali lebih dalam, untuk menemukan lebih banyak dari sekadar apa yang tampak di permukaan.

Related chapters

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 8 Pembelajaran Awal

    Pagi itu, matahari menyinari pulau dengan sinarnya yang lembut, membawa kehangatan yang menyelimuti tanah yang basah oleh embun pagi. Laut tampak lebih tenang, namun masih ada deburan ombak yang menyapu pantai, seakan mengingatkan mereka akan kekuatan alam yang selalu siap menantang. Patiwaji, Mariam, dan Arfan berkumpul di luar rumah yang sederhana, siap untuk memulai perjalanan mereka ke pulau yang telah lama menjadi misteri dalam cerita leluhur mereka.Patiwaji melihat ke sekeliling, memeriksa persiapan terakhir mereka. Ia merasa ketegangan di udara—sebuah perasaan campur aduk antara antusiasme dan ketakutan. Mereka telah memutuskan untuk berlayar pagi itu, dan meskipun mereka tahu perjalanan ini akan penuh dengan tantangan, mereka juga menyadari bahwa ini adalah langkah pertama mereka menuju sesuatu yang jauh lebih besar.“Aku rasa semuanya sudah siap,” kata Patiwaji, matanya memeriksa perahu yang terikat di dermaga. “Perjalanan ini akan memerlukan semua kekuat

    Last Updated : 2024-12-04
  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 9 Keajaiban Alam

    Suasana di tengah hutan semakin mencekam. Udara yang berat, seolah menahan napas, memantulkan suara langkah kaki mereka yang tersebar di antara pepohonan tinggi yang memeluk tanah seperti tangan-tangan besar. Patiwaji, Mariam, dan Arfan berjalan dengan penuh kewaspadaan, mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan oleh leluhur mereka. Mereka telah melewati jalan setapak yang penuh dengan tantangan—pegunungan terjal, sungai-sungai kecil yang mengalir deras, dan hutan lebat yang hampir menutupi sinar matahari. Namun, mereka merasakan adanya sebuah daya tarik kuat, seolah alam itu sendiri ingin menunjukkan sesuatu yang lebih besar.“Perhatikan sekitar kita,” kata Patiwaji dengan suara yang lebih rendah dari biasanya. “Sepertinya alam ini tahu kita sedang dalam perjalanan penting. Tidak ada yang kebetulan di tempat ini.”Mariam menatap pepohonan yang menjulang tinggi, lalu beralih ke Arfan. “Aku merasa ada yang berbeda, seolah ada sesuatu yang hidup di dalam setiap helaian

    Last Updated : 2024-12-05
  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 10 Warisan Tersembunyi

    Gua itu terasa semakin dalam dan sepi, udara yang lembap menyelimuti setiap sudutnya. Patiwaji, Mariam, dan Arfan melangkah dengan hati-hati, mata mereka menyesuaikan dengan gelapnya lorong yang semakin menciut. Suara langkah mereka terdengar menggema, tetapi tidak ada yang berani bersuara. Di hadapan mereka, lelaki tua yang tadi mengajak mereka berjalan perlahan, memimpin jalan dengan tenang.Mariam merasa terpesona dengan suasana yang begitu penuh misteri. Gua ini bukan hanya tempat yang tampaknya usang, tetapi juga menyimpan aura yang lebih dalam dari sekedar ruang kosong. Ukiran-ukiran kuno di dinding gua tampak begitu indah, meskipun sebagian besar sudah tergerus waktu, namun masih bisa dibaca—berisi simbol-simbol yang belum pernah mereka lihat sebelumnya."Ini semua adalah warisan leluhur," ujar lelaki tua itu dengan suara dalam, menghentikan langkahnya di depan salah satu ukiran yang tampaknya lebih besar daripada yang lainnya. "Ukiran-ukiran ini menceritaka

    Last Updated : 2024-12-06
  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 11 Keberanian Yang Muncul

    Malam telah beranjak, tetapi ketiga pemuda itu masih terdiam di dalam gua. Batu besar yang sebelumnya bersinar kini tampak redup, namun masih memancarkan aura yang sulit dijelaskan. Patiwaji, Mariam, dan Arfan saling bertukar pandang, masing-masing mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.“Jadi, apa selanjutnya?” Arfan membuka percakapan, suaranya terdengar ragu namun ada sedikit semangat yang muncul di dalamnya. “Apakah kita hanya akan berdiri di sini, menunggu sesuatu terjadi, atau kita akan mulai memanfaatkan kekuatan ini?”Patiwaji menghela napas, mencoba menyusun pikirannya yang masih kacau. “Aku tidak yakin, Arfan. Tetapi aku merasa… ada sesuatu yang harus kita lakukan. Lelaki tua itu mengatakan bahwa ini baru permulaan. Mungkin, kita harus menemukan apa tujuan dari kekuatan ini.”Mariam memandang mereka berdua dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran. “Kalian tidak merasa aneh? Ini semua seperti mimpi. Tiba-tiba kita memiliki kekuatan yang tida

    Last Updated : 2024-12-07
  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 12 Teman dan Musuh

    Fajar menyingsing, menyelimuti pulau dengan cahaya keemasan yang lembut. Suara burung-burung kembali menghiasi pagi, namun suasana hati di antara Patiwaji, Arfan, dan Mariam masih diliputi kekhawatiran. Mereka duduk melingkar di pinggir pantai, menghadap lautan yang tenang."Jadi, apa yang sebenarnya terjadi semalam?" tanya Mariam, memecah keheningan. Sorot matanya memancarkan kegelisahan."Aku tidak tahu," jawab Patiwaji sambil memandang jauh ke arah ombak. "Tapi apa pun itu, aku merasa kita baru saja melewati sesuatu yang besar."Arfan menghela napas panjang. "Itu bukan sekadar pengalaman besar. Rasanya seperti mimpi, tapi anehnya aku tahu itu nyata. Batu itu... suara itu... semuanya terlalu jelas untuk diabaikan."Mariam menggigit bibirnya. "Aku takut, Patiwaji. Jika ini benar-benar tentang kekuatan dan bahaya, apakah kita benar-benar siap untuk menghadapi apa yang akan datang?"Patiwaji menoleh padanya, memberikan senyum yang mencoba menenangkan. "Kita tidak punya pilihan selain m

    Last Updated : 2024-12-09
  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 13 Petunjuk Pertama

    Pagi di Pulau Massale terlihat seperti biasa. Matahari baru saja naik, mengintip malu-malu dari balik bukit, sementara ombak perlahan menyapa pantai berpasir putih. Namun, di hati Patiwaji dan teman-temannya, pagi ini bukan pagi yang biasa. Mereka masih mencerna apa yang mereka dengar semalam dari La Patarai.Di rumah panggung kecil tempat mereka berkumpul, suasana hening saat semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tammatea, yang biasanya penuh semangat, hanya duduk memandangi parang di tangannya. Mariam, sambil memeras kain basah, sesekali melirik ke arah Patiwaji, yang tampak tenggelam dalam pikirannya.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” Arfan akhirnya memecah keheningan. Suaranya datar, tapi nada khawatir tersirat di dalamnya.Patiwaji menghela napas, lalu menatap semua orang satu per satu. “Kita butuh rencana. La Patarai bilang bahwa kita harus mencari petunjuk, sesuatu yang bisa membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini.”

    Last Updated : 2024-12-10
  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 14 Menyusuri Pulau

    Pagi itu, matahari terbit dengan warna keemasan yang memancar di cakrawala, menyelimuti Pulau Massale dengan cahaya lembut. Kelompok Patiwaji, yang masih dihantui kejadian di terowongan malam sebelumnya, berkumpul di tepi pantai untuk merencanakan langkah mereka selanjutnya.Peta kulit kayu yang mereka temukan terhampar di atas pasir. Garis-garis kasar dan simbol-simbol kuno menggambarkan lokasi-lokasi penting di pulau itu, tetapi membaca makna sebenarnya dari peta tersebut membutuhkan usaha lebih.“Baiklah,” Patiwaji memulai, sambil menunjuk pada salah satu tanda di peta. “Menurut ini, tempat berikutnya yang harus kita kunjungi ada di sisi barat pulau. Tapi kita harus berhati-hati. Musuh mungkin masih membuntuti kita.”“Kita tidak bisa terus menghindar,” kata Tammatea dengan nada tegas. “Jika mereka ingin menghadang kita, kita harus siap melawan. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan peta ini.”“Tenang, Tam,” sela Mariam, mencoba m

    Last Updated : 2024-12-11
  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 15 Tanda-Tanda Kekuatan

    Suasana di sekitar mereka semakin menegangkan. Patiwaji berdiri tegak, matanya berfokus pada sosok yang mengenakan kain hitam, yang kini mulai bergerak lebih dekat. Di balik kain itu, hanya matanya yang tampak, namun cahaya matahari yang terpantul dari batu-batu sekitar memberi kesan bahwa mereka bukan sekadar penjaga biasa. Ada sesuatu yang lebih, kekuatan yang tersembunyi di dalam diri mereka."Sebelum kalian melangkah lebih jauh," suara berat itu terdengar menggema, "kalian harus memahami apa yang sedang kalian hadapi. Kekuatan yang ada di pulau ini bukanlah untuk mereka yang tidak siap. Itu adalah warisan yang tidak bisa dipergunakan sembarangan."Patiwaji menatap mata sosok itu, mencoba menilai apakah kata-kata itu hanya peringatan atau tantangan. "Kami siap," jawabnya tegas, meskipun ada sedikit kegugupan di hatinya. "Kami telah melewati banyak ujian untuk sampai ke sini. Kami tidak akan mundur."Sosok itu terdiam sejenak, menilai Patiwaji dan rekan-

    Last Updated : 2024-12-12

Latest chapter

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 21 Menyusuri Dunia Lain

    Angin dingin berhembus dengan lembut, membawa aroma asing yang tidak pernah mereka cium sebelumnya. Suara gemuruh dari cahaya yang berputar itu perlahan memudar, meninggalkan keheningan yang mencekam. Ketika ketiganya membuka mata, mereka tidak lagi berada di hutan yang mereka kenal. Sebuah dunia baru terbentang di hadapan mereka—sebuah tempat dengan langit merah tua, tanah yang bersinar redup seperti bara api, dan pohon-pohon yang berwarna gelap dengan daun yang tampak seperti bayangan.Mariam memandang sekeliling dengan hati-hati, pedangnya tetap tergenggam erat di tangan. "Apa... tempat ini? Apakah kita masih di pulau?"Tammatea berjalan beberapa langkah ke depan, menginjak tanah yang terasa hangat di bawah kakinya. "Ini bukan pulau kita," katanya, nada suaranya penuh dengan ketidakpastian. "Aku rasa... ini dunia lain."Patiwaji berdiri tegak, wajahnya terlihat tegang tetapi matanya menunjukkan rasa ingin tahu yang mendalam. "Aku tidak tahu bagaimana ki

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 20 Rasa Takut Yang Menghantui

    Suasana di hutan itu berubah secara perlahan, meskipun mereka berhasil mengalahkan makhluk yang mengerikan dan menghancurkan sumber kekuatannya. Namun, ketenangan yang semula terasa sejenak kini digantikan dengan perasaan yang lebih menekan. Patiwaji dan dua sahabatnya, Tammatea dan Mariam, berdiri di antara reruntuhan batu besar yang menjadi sumber kekuatan makhluk tersebut. Udara terasa semakin berat, dan meskipun ancaman fisik telah berlalu, rasa takut yang tak terlihat mulai menghinggapi mereka. "Apakah kita sudah benar-benar aman?" Mariam akhirnya mengangkat pertanyaan yang sudah menggantung di udara sejak mereka melawan makhluk itu. Wajahnya masih terlihat tegang, matanya berkeliling menelusuri hutan yang kini terasa semakin gelap, meskipun matahari belum sepenuhnya tenggelam. Patiwaji tidak segera menjawab. Matanya yang tajam memandang ke arah pohon-pohon yang berdiri tegak, seakan menunggu sesuatu yang tak terduga. Suasana semakin hening, seolah

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 19 Pertarungan di Hutan

    Angin malam berhembus kencang, menerpa wajah mereka dengan udara dingin yang menambah ketegangan di antara kelompok Patiwaji. Hutan di sekitar mereka terasa hidup, seolah setiap pepohonan dan semak-semak memiliki mata yang mengawasi langkah mereka. Tidak ada suara binatang malam, hanya desiran angin dan gelegar jauh di kedalaman hutan yang terdengar seperti ombak yang mengamuk di lautan.Patiwaji mengangkat tangan, memberi isyarat agar kelompoknya berhenti. Mereka sudah memasuki area yang jauh dari desa, dan suasana semakin mencekam. Tammatea berjalan mendekat, wajahnya serius."Ada yang tidak beres," katanya dengan suara pelan. "Aku merasa seperti kita sedang diawasi."Mariam, yang berjalan di samping Tammatea, mengangguk. "Aku merasakannya juga. Semua ini terlalu sunyi, seperti jebakan yang menunggu untuk menutup."Patiwaji menatap ke arah hutan yang semakin gelap. "Kita tidak bisa mundur sekarang. Kita harus maju, menuju lokasi yang tertulis di

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 18 Ancaman Dari Laut

    Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Gelombang laut yang menabrak pantai terdengar seperti sebuah peringatan yang datang dari jauh. Patiwaji berdiri di tepi pantai, matanya menatap laut yang luas, sementara angin kencang menerpa wajahnya. Ia merasakan sesuatu yang tak beres, sebuah ketegangan yang sulit dijelaskan. Laut, yang selama ini menjadi teman setia, kini tampak seperti musuh yang sedang menunggu waktu untuk menghantam mereka."Kenapa aku merasa ada sesuatu yang tidak beres?" kata Patiwaji pelan, berbicara kepada dirinya sendiri.Tammatea yang berdiri di sampingnya menatap laut dengan cermat, matanya menyipit. "Aku juga merasa seperti itu. Sepertinya ada sesuatu yang bergerak di balik ombak itu. Sesuatu yang besar."“Laut ini selalu penuh misteri,” Mariam menambahkan, matanya berbinar. "Aku rasa kita harus lebih berhati-hati."Patiwaji mengangguk. "Benar. Kita tidak bisa meremehkan apa pun di sini. Laut ini bisa menjadi teman,

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 17 Rahasia Yang Terungkap

    Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan ujian, ancaman, dan tantangan, akhirnya Patiwaji dan rombongannya tiba kembali di desa setelah berhasil membuka pintu yang tersembunyi di dalam gua kuno itu. Patiwaji merasakan ada sesuatu yang mendalam yang menggantung di udara, seperti keheningan yang menanti untuk dihancurkan oleh sebuah pengungkapan besar. Perasaan ini semakin tajam saat mereka berjalan kembali menuju pusat desa.Tammatea, yang sejak awal sudah merasakan sesuatu yang ganjil, mendekati Patiwaji dengan langkah hati-hati. “Kau merasa ada sesuatu yang berbeda, Patiwaji?” tanyanya dengan suara pelan, seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri.Patiwaji mengangguk perlahan, matanya memandang jauh ke arah desa yang tampaknya tidak ada bedanya dengan biasanya. “Ya, aku merasa begitu. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, Tammatea. Seperti rahasia yang telah lama terkubur, menunggu untuk dibuka.”Mariam yang mengikuti dari belakang juga merasakan

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 16 Ujian Awal

    Patiwaji dan kawan-kawannya melangkah lebih dalam ke dalam reruntuhan yang terlihat semakin megah meski sudah rapuh termakan waktu. Angin yang berhembus lebih dingin di sini, seolah-olah membawa kabar dari masa lalu, mengingatkan mereka bahwa mereka berada di tempat yang sakral—sebuah tempat yang telah lama terlupakan namun kini bangkit kembali, menunggu untuk mengungkapkan rahasianya.Udara di sekitar mereka terasa berat. Setiap langkah yang mereka ambil di atas tanah yang keras seakan disertai oleh bisikan-bisikan halus yang tidak mereka dengar dengan jelas, tetapi terasa sangat dekat. Suara gemerisik daun yang terhanyut angin, gema langkah mereka yang bergema di antara tembok-tembok batu besar, dan suara dentingan halus dari batu-batu yang saling bergesekan menciptakan atmosfer yang penuh ketegangan.Di depan mereka, reruntuhan itu membuka sebuah ruangan besar dengan pintu yang terbuat dari batu hitam yang kokoh. Di atas pintu tersebut terdapat ukiran-ukiran yan

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 15 Tanda-Tanda Kekuatan

    Suasana di sekitar mereka semakin menegangkan. Patiwaji berdiri tegak, matanya berfokus pada sosok yang mengenakan kain hitam, yang kini mulai bergerak lebih dekat. Di balik kain itu, hanya matanya yang tampak, namun cahaya matahari yang terpantul dari batu-batu sekitar memberi kesan bahwa mereka bukan sekadar penjaga biasa. Ada sesuatu yang lebih, kekuatan yang tersembunyi di dalam diri mereka."Sebelum kalian melangkah lebih jauh," suara berat itu terdengar menggema, "kalian harus memahami apa yang sedang kalian hadapi. Kekuatan yang ada di pulau ini bukanlah untuk mereka yang tidak siap. Itu adalah warisan yang tidak bisa dipergunakan sembarangan."Patiwaji menatap mata sosok itu, mencoba menilai apakah kata-kata itu hanya peringatan atau tantangan. "Kami siap," jawabnya tegas, meskipun ada sedikit kegugupan di hatinya. "Kami telah melewati banyak ujian untuk sampai ke sini. Kami tidak akan mundur."Sosok itu terdiam sejenak, menilai Patiwaji dan rekan-

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 14 Menyusuri Pulau

    Pagi itu, matahari terbit dengan warna keemasan yang memancar di cakrawala, menyelimuti Pulau Massale dengan cahaya lembut. Kelompok Patiwaji, yang masih dihantui kejadian di terowongan malam sebelumnya, berkumpul di tepi pantai untuk merencanakan langkah mereka selanjutnya.Peta kulit kayu yang mereka temukan terhampar di atas pasir. Garis-garis kasar dan simbol-simbol kuno menggambarkan lokasi-lokasi penting di pulau itu, tetapi membaca makna sebenarnya dari peta tersebut membutuhkan usaha lebih.“Baiklah,” Patiwaji memulai, sambil menunjuk pada salah satu tanda di peta. “Menurut ini, tempat berikutnya yang harus kita kunjungi ada di sisi barat pulau. Tapi kita harus berhati-hati. Musuh mungkin masih membuntuti kita.”“Kita tidak bisa terus menghindar,” kata Tammatea dengan nada tegas. “Jika mereka ingin menghadang kita, kita harus siap melawan. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan peta ini.”“Tenang, Tam,” sela Mariam, mencoba m

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 13 Petunjuk Pertama

    Pagi di Pulau Massale terlihat seperti biasa. Matahari baru saja naik, mengintip malu-malu dari balik bukit, sementara ombak perlahan menyapa pantai berpasir putih. Namun, di hati Patiwaji dan teman-temannya, pagi ini bukan pagi yang biasa. Mereka masih mencerna apa yang mereka dengar semalam dari La Patarai.Di rumah panggung kecil tempat mereka berkumpul, suasana hening saat semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tammatea, yang biasanya penuh semangat, hanya duduk memandangi parang di tangannya. Mariam, sambil memeras kain basah, sesekali melirik ke arah Patiwaji, yang tampak tenggelam dalam pikirannya.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” Arfan akhirnya memecah keheningan. Suaranya datar, tapi nada khawatir tersirat di dalamnya.Patiwaji menghela napas, lalu menatap semua orang satu per satu. “Kita butuh rencana. La Patarai bilang bahwa kita harus mencari petunjuk, sesuatu yang bisa membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini.”

DMCA.com Protection Status