Malam telah beranjak, tetapi ketiga pemuda itu masih terdiam di dalam gua. Batu besar yang sebelumnya bersinar kini tampak redup, namun masih memancarkan aura yang sulit dijelaskan. Patiwaji, Mariam, dan Arfan saling bertukar pandang, masing-masing mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
“Jadi, apa selanjutnya?” Arfan membuka percakapan, suaranya terdengar ragu namun ada sedikit semangat yang muncul di dalamnya. “Apakah kita hanya akan berdiri di sini, menunggu sesuatu terjadi, atau kita akan mulai memanfaatkan kekuatan ini?” Patiwaji menghela napas, mencoba menyusun pikirannya yang masih kacau. “Aku tidak yakin, Arfan. Tetapi aku merasa… ada sesuatu yang harus kita lakukan. Lelaki tua itu mengatakan bahwa ini baru permulaan. Mungkin, kita harus menemukan apa tujuan dari kekuatan ini.” Mariam memandang mereka berdua dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran. “Kalian tidak merasa aneh? Ini semua seperti mimpi. Tiba-tiba kita memiliki kekuatan yang tidak kita mengerti, tetapi juga tanggung jawab besar yang kita belum tahu apa bentuknya.” “Tanggung jawab atau tidak, kita tidak bisa mundur sekarang,” jawab Arfan, suaranya lebih tegas dari sebelumnya. “Aku tidak tahu apa yang kalian rasakan, tetapi di dalam diriku, ada sesuatu yang mendorongku untuk terus maju. Seperti panggilan untuk melakukan sesuatu yang lebih besar.” Mariam menghela napas panjang. “Ya, aku juga merasakannya, tetapi itu tidak membuatku merasa lebih tenang.” Dia mengusap lengannya, mencoba menenangkan diri. “Apa yang akan terjadi jika kita salah langkah? Bagaimana jika kekuatan ini justru membawa kehancuran?” Patiwaji melangkah mendekati Mariam dan menepuk pundaknya dengan lembut. “Kita tidak akan tahu jika kita tidak mencoba, Mariam. Semua ini memang menakutkan, tetapi kita harus menghadapi rasa takut itu. Ingat apa yang dikatakan lelaki tua itu, perjalanan ini adalah ujian. Jika kita menyerah sekarang, kita akan selamanya bertanya-tanya apa yang sebenarnya bisa kita capai.” Mariam menatap mata Patiwaji yang penuh tekad, dan perlahan, dia mengangguk. “Baiklah, Patiwaji. Aku percaya padamu. Jika kamu yakin ini jalan yang harus kita ambil, aku akan mendukungmu.” Arfan tersenyum kecil. “Akhirnya, Mariam setuju juga. Aku kira aku harus meyakinkanmu lebih lama.” Mariam memberikan tatapan tajam kepada Arfan, tetapi senyumnya perlahan muncul. “Jangan terlalu percaya diri, Arfan. Aku masih ragu, tetapi aku tidak akan meninggalkan kalian berdua begitu saja.” Patiwaji memandang ke arah pintu gua yang mulai gelap. “Baiklah, mari kita keluar dari sini. Kita harus kembali ke permukaan dan mencari tahu langkah selanjutnya. Aku yakin lelaki tua itu masih memiliki jawaban yang belum dia ungkapkan.” Ketiganya mulai berjalan menuju mulut gua, diiringi oleh gema langkah kaki mereka yang terdengar samar di dalam kegelapan. Saat mereka mencapai pintu keluar, udara malam yang dingin menyambut mereka, disertai dengan suara ombak yang menghantam karang di kejauhan. Di luar gua, lelaki tua itu sudah menunggu mereka dengan senyuman kecil di wajahnya. “Kalian telah memulainya dengan baik,” katanya, suaranya tenang dan penuh wibawa. “Tetapi ini baru awal. Kalian harus belajar mengendalikan kekuatan itu, memahami maknanya, dan menggunakan dengan bijak.” “Bagaimana kami bisa mengendalikannya?” tanya Patiwaji langsung. “Kami bahkan belum tahu apa kekuatan ini sebenarnya.” Lelaki tua itu mengangguk pelan, seolah-olah sudah menduga pertanyaan itu. “Kekuatan ini bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan kata-kata, Patiwaji. Ini adalah bagian dari jiwa kalian, bagian dari diri kalian yang tersembunyi. Untuk mengendalikannya, kalian harus memahami diri kalian sendiri, menghadapi ketakutan kalian, dan menemukan keberanian yang ada di dalam hati kalian.” “Berani? Kami sudah datang sejauh ini,” Arfan memotong. “Apakah itu belum cukup untuk menunjukkan keberanian kami?” Lelaki tua itu tersenyum tipis, tetapi tatapannya tetap tajam. “Keberanian yang sejati bukan hanya soal menghadapi bahaya, Arfan. Itu adalah tentang menghadapi kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu menyakitkan. Itu adalah tentang memilih jalan yang benar, meskipun itu jalan yang paling sulit.” Mariam menatap lelaki tua itu dengan penuh penasaran. “Apa maksudmu dengan menghadapi kebenaran? Apakah ini ada hubungannya dengan warisan yang kamu sebutkan?” Lelaki tua itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia menatap mereka satu per satu, seolah-olah menilai kesiapan mereka. “Warisan ini bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga tanggung jawab. Tanggung jawab untuk melindungi pulau ini, untuk menjaga keseimbangan alam dan kehidupan di sini. Tetapi untuk melakukannya, kalian harus menghadapi masa lalu kalian, memahami siapa kalian sebenarnya, dan menerima bagian dari diri kalian yang mungkin tidak ingin kalian lihat.” Patiwaji merasa hatinya berdegup lebih kencang. Kata-kata lelaki tua itu seolah-olah langsung menusuk ke dalam dirinya, mengungkapkan sesuatu yang dia coba sembunyikan selama ini. “Apa yang harus kami lakukan?” tanyanya dengan suara yang sedikit gemetar. “Mulailah dengan mengenal diri kalian sendiri,” jawab lelaki tua itu. “Perjalanan ini tidak hanya tentang menemukan apa yang ada di luar, tetapi juga tentang menemukan apa yang ada di dalam. Ketika kalian benar-benar mengenal diri kalian sendiri, kalian akan menemukan keberanian yang kalian butuhkan untuk menghadapi apa pun yang akan datang.” Mariam tampak bingung. “Bagaimana kami bisa melakukannya? Apa yang harus kami cari?” Lelaki tua itu tersenyum, tetapi tidak memberikan jawaban langsung. “Jawaban itu ada di dalam diri kalian, Mariam. Tetapi untuk menemukannya, kalian harus memulai perjalanan ini dengan hati yang terbuka dan tekad yang kuat.” Arfan menghela napas panjang. “Baiklah, kalau begitu, mari kita mulai. Aku tidak tahu apa yang akan kita temui, tetapi aku siap untuk menghadapi apa pun.” Patiwaji dan Mariam mengangguk setuju, meskipun mereka masih merasa cemas. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa mundur sekarang. Dengan semangat baru, mereka bersiap untuk melangkah ke depan, menghadapi apa pun yang akan datang, dan menemukan keberanian sejati yang ada di dalam diri mereka. Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, ketiga pemuda itu memulai langkah pertama mereka menuju perjalanan yang akan mengubah hidup mereka selamanya. Malam semakin larut. Di bawah sinar bintang yang memantulkan kilauan di permukaan laut, suara desiran angin terasa seperti bisikan rahasia. Patiwaji, Arfan, dan Mariam duduk melingkar di dekat lelaki tua itu. Raut wajah mereka penuh dengan campuran rasa penasaran dan kecemasan. Lelaki tua itu, yang kini mereka kenal sebagai Lamuru, tampak tenang, tetapi sorot matanya memancarkan kebijaksanaan mendalam yang membuat mereka tidak berani sembarangan bicara. Mariam memecah keheningan. “Lamuru, aku masih tidak mengerti. Mengapa harus kami? Apa alasan kekuatan ini memilih kami?” Lamuru menatap Mariam dengan penuh pengertian. “Kalian adalah bagian dari pulau ini, Mariam. Jiwa kalian terhubung dengan tanah, air, dan angin yang ada di sini. Tetapi itu bukan hanya soal takdir; ini juga soal pilihan. Pulau ini telah memberikan kepercayaannya kepada kalian, tetapi kalian juga harus memilih untuk menerima tanggung jawab itu. Tidak ada yang memaksa kalian.” “Jika tidak ada yang memaksa, lalu apa yang akan terjadi jika kami menolak?” Arfan bertanya, nada suaranya menunjukkan sedikit keberanian bercampur skeptisisme. Lamuru tersenyum tipis. “Jika kalian menolak, kekuatan ini akan kembali ke tempat asalnya, menunggu hingga ada jiwa lain yang dianggap pantas. Tetapi ingat, tanpa kalian, pulau ini akan rentan. Bahaya yang mengancam tidak akan menunggu, Arfan. Kalian bisa memilih untuk mundur, tetapi kalian juga harus siap menerima konsekuensinya.” Patiwaji menggenggam tangan, matanya menatap lurus ke depan. “Kita tidak bisa mundur sekarang. Aku tidak tahu banyak tentang kekuatan ini, tetapi aku tahu satu hal: jika pulau ini membutuhkan kita, kita harus melakukannya.” Arfan tertawa kecil, mencoba meringankan suasana. “Kau terdengar seperti seorang pahlawan dalam cerita dongeng, Patiwaji. Tapi aku setuju. Mungkin ini adalah panggilan yang selama ini kita tunggu.” Mariam mengangguk pelan. “Aku hanya berharap kita benar-benar tahu apa yang kita lakukan.” Lamuru mengangkat tangannya, meminta perhatian mereka. “Perjalanan ini bukan hanya soal mengetahui, tetapi soal merasakan. Kalian akan belajar melalui pengalaman, menghadapi tantangan yang akan menguji jiwa kalian. Tetapi ingat, keberanian bukan hanya soal melawan rasa takut. Itu adalah tentang tetap berdiri meskipun kalian merasa takut.” “Dan apa langkah pertama kami?” tanya Patiwaji, nadanya tegas. Lamuru berdiri, melipat tangan di belakang punggungnya. “Langkah pertama adalah memahami pulau ini lebih dalam. Kalian harus belajar dari sejarahnya, dari rahasia yang tersembunyi di setiap sudutnya. Hanya dengan begitu, kalian akan benar-benar mengerti kekuatan yang kalian miliki.” Arfan mengerutkan kening. “Bagaimana kami memulainya? Pulau ini cukup besar, dan kita tidak tahu di mana harus mencari.” Lamuru menunjuk ke arah hutan yang gelap di kejauhan. “Mulailah di sana, di dalam hutan. Ada sesuatu yang menunggu kalian, sesuatu yang akan membantu kalian memahami langkah selanjutnya. Tetapi hati-hati, hutan itu tidak seperti yang kalian bayangkan. Itu adalah tempat di mana jiwa kalian akan diuji.” Mariam menggigit bibirnya, jelas merasa tidak nyaman dengan ide itu. “Hutan itu... apa yang akan kami temui di sana?” Lamuru tersenyum samar, tetapi tidak memberikan jawaban. “Kalian akan tahu ketika waktunya tiba. Percayalah pada insting kalian, dan ingatlah bahwa kalian tidak sendiri. Kalian memiliki satu sama lain.” Patiwaji berdiri, menatap kedua sahabatnya. “Kalau begitu, mari kita mulai. Tidak ada gunanya menunggu lebih lama.” Arfan berdiri juga, meskipun terlihat enggan. “Baiklah, tetapi jika aku bertemu dengan sesuatu yang aneh di sana, aku akan menyalahkanmu, Patiwaji.” Mariam tersenyum lemah, lalu bangkit. “Semoga saja kita tahu apa yang kita lakukan.” --- Mereka berjalan menuju hutan yang gelap, hanya berbekal obor kecil yang mereka bawa dari rumah masing-masing. Langit malam yang dipenuhi bintang tidak mampu memberikan cukup cahaya untuk menerangi jalan mereka. “Aku tidak suka suasana ini,” gumam Arfan, suaranya hampir tenggelam oleh suara serangga malam. “Hutan ini terlalu sunyi, seperti ada sesuatu yang mengawasi kita.” “Kau terlalu banyak menonton cerita seram,” balas Patiwaji sambil terus berjalan. “Fokus saja pada langkahmu, Arfan.” Namun, Mariam tidak bisa menghilangkan perasaan aneh yang merayapi dirinya. Setiap langkah mereka terasa seperti memasuki dunia yang berbeda, dunia di mana waktu bergerak dengan cara yang tidak biasa. Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah area terbuka di tengah hutan. Di sana, mereka menemukan sebuah batu besar dengan ukiran yang tampak kuno. Ukiran itu menggambarkan pola-pola yang rumit, seolah-olah menceritakan sebuah cerita yang terlupakan oleh waktu. “Ini apa?” tanya Arfan, mendekati batu itu dengan hati-hati. Patiwaji menyentuh ukiran itu, merasakan teksturnya di bawah jari-jarinya. “Aku tidak tahu, tetapi ini jelas bukan sesuatu yang biasa.” Mariam memperhatikan dengan seksama, mencoba mencari petunjuk. “Apakah ini ada hubungannya dengan kekuatan yang kita miliki?” Sebelum ada yang bisa menjawab, ukiran itu mulai bersinar, memancarkan cahaya biru yang lembut. Ketiganya melangkah mundur dengan terkejut, tetapi mereka tidak bisa mengalihkan pandangan mereka dari batu itu. Dari cahaya itu, sebuah suara terdengar. Suara yang dalam dan bergema, seperti berasal dari masa lalu yang jauh. “Kalian telah memasuki wilayah para leluhur. Apa yang kalian cari di sini?” Patiwaji mencoba menjawab, meskipun suaranya sedikit gemetar. “Kami mencari jawaban. Kami ingin memahami kekuatan yang kami miliki dan bagaimana kami bisa menggunakannya untuk melindungi pulau ini.” Suara itu terdiam sejenak, seolah-olah sedang mempertimbangkan jawaban Patiwaji. “Untuk memahami kekuatan, kalian harus memahami diri kalian sendiri. Setiap langkah yang kalian ambil akan membawa kalian lebih dekat ke kebenaran, tetapi juga lebih dekat ke bahaya. Apakah kalian siap untuk menghadapi apa yang akan datang?” Patiwaji mengangguk tegas. “Kami siap.” Arfan dan Mariam saling bertukar pandang, lalu mengikuti langkah Patiwaji. “Kami juga siap,” kata Mariam, meskipun ada sedikit keraguan di suaranya. Cahaya biru itu semakin terang, dan mereka merasa seperti ditarik ke dalam dunia yang berbeda. Tiba-tiba, mereka berada di sebuah tempat yang tidak mereka kenali, sebuah tempat yang dipenuhi dengan cahaya dan bayangan yang bergerak seperti ombak. “Di sinilah perjalanan kalian benar-benar dimulai,” suara itu berkata. “Temukan keberanian di dalam hati kalian, dan gunakan kekuatan itu untuk menghadapi apa yang akan datang.” Ketika cahaya itu memudar, mereka kembali berada di hutan, tetapi sesuatu telah berubah. Mereka tidak bisa menjelaskan apa yang baru saja terjadi, tetapi mereka tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Mariam menggenggam tangan Patiwaji dengan erat. “Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapi ini bersama.” Patiwaji tersenyum padanya. “Ya, bersama-sama. Karena hanya dengan bersatu, kita bisa menghadapi apa pun.” Arfan mengangguk, meskipun dia tidak mengatakan apa-apa. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa perjalanan ini akan mengubah mereka selamanya.Fajar menyingsing, menyelimuti pulau dengan cahaya keemasan yang lembut. Suara burung-burung kembali menghiasi pagi, namun suasana hati di antara Patiwaji, Arfan, dan Mariam masih diliputi kekhawatiran. Mereka duduk melingkar di pinggir pantai, menghadap lautan yang tenang."Jadi, apa yang sebenarnya terjadi semalam?" tanya Mariam, memecah keheningan. Sorot matanya memancarkan kegelisahan."Aku tidak tahu," jawab Patiwaji sambil memandang jauh ke arah ombak. "Tapi apa pun itu, aku merasa kita baru saja melewati sesuatu yang besar."Arfan menghela napas panjang. "Itu bukan sekadar pengalaman besar. Rasanya seperti mimpi, tapi anehnya aku tahu itu nyata. Batu itu... suara itu... semuanya terlalu jelas untuk diabaikan."Mariam menggigit bibirnya. "Aku takut, Patiwaji. Jika ini benar-benar tentang kekuatan dan bahaya, apakah kita benar-benar siap untuk menghadapi apa yang akan datang?"Patiwaji menoleh padanya, memberikan senyum yang mencoba menenangkan. "Kita tidak punya pilihan selain m
Pagi di Pulau Massale terlihat seperti biasa. Matahari baru saja naik, mengintip malu-malu dari balik bukit, sementara ombak perlahan menyapa pantai berpasir putih. Namun, di hati Patiwaji dan teman-temannya, pagi ini bukan pagi yang biasa. Mereka masih mencerna apa yang mereka dengar semalam dari La Patarai.Di rumah panggung kecil tempat mereka berkumpul, suasana hening saat semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tammatea, yang biasanya penuh semangat, hanya duduk memandangi parang di tangannya. Mariam, sambil memeras kain basah, sesekali melirik ke arah Patiwaji, yang tampak tenggelam dalam pikirannya.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” Arfan akhirnya memecah keheningan. Suaranya datar, tapi nada khawatir tersirat di dalamnya.Patiwaji menghela napas, lalu menatap semua orang satu per satu. “Kita butuh rencana. La Patarai bilang bahwa kita harus mencari petunjuk, sesuatu yang bisa membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini.”
Pagi itu, matahari terbit dengan warna keemasan yang memancar di cakrawala, menyelimuti Pulau Massale dengan cahaya lembut. Kelompok Patiwaji, yang masih dihantui kejadian di terowongan malam sebelumnya, berkumpul di tepi pantai untuk merencanakan langkah mereka selanjutnya.Peta kulit kayu yang mereka temukan terhampar di atas pasir. Garis-garis kasar dan simbol-simbol kuno menggambarkan lokasi-lokasi penting di pulau itu, tetapi membaca makna sebenarnya dari peta tersebut membutuhkan usaha lebih.“Baiklah,” Patiwaji memulai, sambil menunjuk pada salah satu tanda di peta. “Menurut ini, tempat berikutnya yang harus kita kunjungi ada di sisi barat pulau. Tapi kita harus berhati-hati. Musuh mungkin masih membuntuti kita.”“Kita tidak bisa terus menghindar,” kata Tammatea dengan nada tegas. “Jika mereka ingin menghadang kita, kita harus siap melawan. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan peta ini.”“Tenang, Tam,” sela Mariam, mencoba m
Suasana di sekitar mereka semakin menegangkan. Patiwaji berdiri tegak, matanya berfokus pada sosok yang mengenakan kain hitam, yang kini mulai bergerak lebih dekat. Di balik kain itu, hanya matanya yang tampak, namun cahaya matahari yang terpantul dari batu-batu sekitar memberi kesan bahwa mereka bukan sekadar penjaga biasa. Ada sesuatu yang lebih, kekuatan yang tersembunyi di dalam diri mereka."Sebelum kalian melangkah lebih jauh," suara berat itu terdengar menggema, "kalian harus memahami apa yang sedang kalian hadapi. Kekuatan yang ada di pulau ini bukanlah untuk mereka yang tidak siap. Itu adalah warisan yang tidak bisa dipergunakan sembarangan."Patiwaji menatap mata sosok itu, mencoba menilai apakah kata-kata itu hanya peringatan atau tantangan. "Kami siap," jawabnya tegas, meskipun ada sedikit kegugupan di hatinya. "Kami telah melewati banyak ujian untuk sampai ke sini. Kami tidak akan mundur."Sosok itu terdiam sejenak, menilai Patiwaji dan rekan-
Patiwaji dan kawan-kawannya melangkah lebih dalam ke dalam reruntuhan yang terlihat semakin megah meski sudah rapuh termakan waktu. Angin yang berhembus lebih dingin di sini, seolah-olah membawa kabar dari masa lalu, mengingatkan mereka bahwa mereka berada di tempat yang sakral—sebuah tempat yang telah lama terlupakan namun kini bangkit kembali, menunggu untuk mengungkapkan rahasianya.Udara di sekitar mereka terasa berat. Setiap langkah yang mereka ambil di atas tanah yang keras seakan disertai oleh bisikan-bisikan halus yang tidak mereka dengar dengan jelas, tetapi terasa sangat dekat. Suara gemerisik daun yang terhanyut angin, gema langkah mereka yang bergema di antara tembok-tembok batu besar, dan suara dentingan halus dari batu-batu yang saling bergesekan menciptakan atmosfer yang penuh ketegangan.Di depan mereka, reruntuhan itu membuka sebuah ruangan besar dengan pintu yang terbuat dari batu hitam yang kokoh. Di atas pintu tersebut terdapat ukiran-ukiran yan
Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan ujian, ancaman, dan tantangan, akhirnya Patiwaji dan rombongannya tiba kembali di desa setelah berhasil membuka pintu yang tersembunyi di dalam gua kuno itu. Patiwaji merasakan ada sesuatu yang mendalam yang menggantung di udara, seperti keheningan yang menanti untuk dihancurkan oleh sebuah pengungkapan besar. Perasaan ini semakin tajam saat mereka berjalan kembali menuju pusat desa.Tammatea, yang sejak awal sudah merasakan sesuatu yang ganjil, mendekati Patiwaji dengan langkah hati-hati. “Kau merasa ada sesuatu yang berbeda, Patiwaji?” tanyanya dengan suara pelan, seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri.Patiwaji mengangguk perlahan, matanya memandang jauh ke arah desa yang tampaknya tidak ada bedanya dengan biasanya. “Ya, aku merasa begitu. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, Tammatea. Seperti rahasia yang telah lama terkubur, menunggu untuk dibuka.”Mariam yang mengikuti dari belakang juga merasakan
Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Gelombang laut yang menabrak pantai terdengar seperti sebuah peringatan yang datang dari jauh. Patiwaji berdiri di tepi pantai, matanya menatap laut yang luas, sementara angin kencang menerpa wajahnya. Ia merasakan sesuatu yang tak beres, sebuah ketegangan yang sulit dijelaskan. Laut, yang selama ini menjadi teman setia, kini tampak seperti musuh yang sedang menunggu waktu untuk menghantam mereka."Kenapa aku merasa ada sesuatu yang tidak beres?" kata Patiwaji pelan, berbicara kepada dirinya sendiri.Tammatea yang berdiri di sampingnya menatap laut dengan cermat, matanya menyipit. "Aku juga merasa seperti itu. Sepertinya ada sesuatu yang bergerak di balik ombak itu. Sesuatu yang besar."“Laut ini selalu penuh misteri,” Mariam menambahkan, matanya berbinar. "Aku rasa kita harus lebih berhati-hati."Patiwaji mengangguk. "Benar. Kita tidak bisa meremehkan apa pun di sini. Laut ini bisa menjadi teman,
Angin malam berhembus kencang, menerpa wajah mereka dengan udara dingin yang menambah ketegangan di antara kelompok Patiwaji. Hutan di sekitar mereka terasa hidup, seolah setiap pepohonan dan semak-semak memiliki mata yang mengawasi langkah mereka. Tidak ada suara binatang malam, hanya desiran angin dan gelegar jauh di kedalaman hutan yang terdengar seperti ombak yang mengamuk di lautan.Patiwaji mengangkat tangan, memberi isyarat agar kelompoknya berhenti. Mereka sudah memasuki area yang jauh dari desa, dan suasana semakin mencekam. Tammatea berjalan mendekat, wajahnya serius."Ada yang tidak beres," katanya dengan suara pelan. "Aku merasa seperti kita sedang diawasi."Mariam, yang berjalan di samping Tammatea, mengangguk. "Aku merasakannya juga. Semua ini terlalu sunyi, seperti jebakan yang menunggu untuk menutup."Patiwaji menatap ke arah hutan yang semakin gelap. "Kita tidak bisa mundur sekarang. Kita harus maju, menuju lokasi yang tertulis di
Angin dingin berhembus dengan lembut, membawa aroma asing yang tidak pernah mereka cium sebelumnya. Suara gemuruh dari cahaya yang berputar itu perlahan memudar, meninggalkan keheningan yang mencekam. Ketika ketiganya membuka mata, mereka tidak lagi berada di hutan yang mereka kenal. Sebuah dunia baru terbentang di hadapan mereka—sebuah tempat dengan langit merah tua, tanah yang bersinar redup seperti bara api, dan pohon-pohon yang berwarna gelap dengan daun yang tampak seperti bayangan.Mariam memandang sekeliling dengan hati-hati, pedangnya tetap tergenggam erat di tangan. "Apa... tempat ini? Apakah kita masih di pulau?"Tammatea berjalan beberapa langkah ke depan, menginjak tanah yang terasa hangat di bawah kakinya. "Ini bukan pulau kita," katanya, nada suaranya penuh dengan ketidakpastian. "Aku rasa... ini dunia lain."Patiwaji berdiri tegak, wajahnya terlihat tegang tetapi matanya menunjukkan rasa ingin tahu yang mendalam. "Aku tidak tahu bagaimana ki
Suasana di hutan itu berubah secara perlahan, meskipun mereka berhasil mengalahkan makhluk yang mengerikan dan menghancurkan sumber kekuatannya. Namun, ketenangan yang semula terasa sejenak kini digantikan dengan perasaan yang lebih menekan. Patiwaji dan dua sahabatnya, Tammatea dan Mariam, berdiri di antara reruntuhan batu besar yang menjadi sumber kekuatan makhluk tersebut. Udara terasa semakin berat, dan meskipun ancaman fisik telah berlalu, rasa takut yang tak terlihat mulai menghinggapi mereka. "Apakah kita sudah benar-benar aman?" Mariam akhirnya mengangkat pertanyaan yang sudah menggantung di udara sejak mereka melawan makhluk itu. Wajahnya masih terlihat tegang, matanya berkeliling menelusuri hutan yang kini terasa semakin gelap, meskipun matahari belum sepenuhnya tenggelam. Patiwaji tidak segera menjawab. Matanya yang tajam memandang ke arah pohon-pohon yang berdiri tegak, seakan menunggu sesuatu yang tak terduga. Suasana semakin hening, seolah
Angin malam berhembus kencang, menerpa wajah mereka dengan udara dingin yang menambah ketegangan di antara kelompok Patiwaji. Hutan di sekitar mereka terasa hidup, seolah setiap pepohonan dan semak-semak memiliki mata yang mengawasi langkah mereka. Tidak ada suara binatang malam, hanya desiran angin dan gelegar jauh di kedalaman hutan yang terdengar seperti ombak yang mengamuk di lautan.Patiwaji mengangkat tangan, memberi isyarat agar kelompoknya berhenti. Mereka sudah memasuki area yang jauh dari desa, dan suasana semakin mencekam. Tammatea berjalan mendekat, wajahnya serius."Ada yang tidak beres," katanya dengan suara pelan. "Aku merasa seperti kita sedang diawasi."Mariam, yang berjalan di samping Tammatea, mengangguk. "Aku merasakannya juga. Semua ini terlalu sunyi, seperti jebakan yang menunggu untuk menutup."Patiwaji menatap ke arah hutan yang semakin gelap. "Kita tidak bisa mundur sekarang. Kita harus maju, menuju lokasi yang tertulis di
Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Gelombang laut yang menabrak pantai terdengar seperti sebuah peringatan yang datang dari jauh. Patiwaji berdiri di tepi pantai, matanya menatap laut yang luas, sementara angin kencang menerpa wajahnya. Ia merasakan sesuatu yang tak beres, sebuah ketegangan yang sulit dijelaskan. Laut, yang selama ini menjadi teman setia, kini tampak seperti musuh yang sedang menunggu waktu untuk menghantam mereka."Kenapa aku merasa ada sesuatu yang tidak beres?" kata Patiwaji pelan, berbicara kepada dirinya sendiri.Tammatea yang berdiri di sampingnya menatap laut dengan cermat, matanya menyipit. "Aku juga merasa seperti itu. Sepertinya ada sesuatu yang bergerak di balik ombak itu. Sesuatu yang besar."“Laut ini selalu penuh misteri,” Mariam menambahkan, matanya berbinar. "Aku rasa kita harus lebih berhati-hati."Patiwaji mengangguk. "Benar. Kita tidak bisa meremehkan apa pun di sini. Laut ini bisa menjadi teman,
Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan ujian, ancaman, dan tantangan, akhirnya Patiwaji dan rombongannya tiba kembali di desa setelah berhasil membuka pintu yang tersembunyi di dalam gua kuno itu. Patiwaji merasakan ada sesuatu yang mendalam yang menggantung di udara, seperti keheningan yang menanti untuk dihancurkan oleh sebuah pengungkapan besar. Perasaan ini semakin tajam saat mereka berjalan kembali menuju pusat desa.Tammatea, yang sejak awal sudah merasakan sesuatu yang ganjil, mendekati Patiwaji dengan langkah hati-hati. “Kau merasa ada sesuatu yang berbeda, Patiwaji?” tanyanya dengan suara pelan, seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri.Patiwaji mengangguk perlahan, matanya memandang jauh ke arah desa yang tampaknya tidak ada bedanya dengan biasanya. “Ya, aku merasa begitu. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, Tammatea. Seperti rahasia yang telah lama terkubur, menunggu untuk dibuka.”Mariam yang mengikuti dari belakang juga merasakan
Patiwaji dan kawan-kawannya melangkah lebih dalam ke dalam reruntuhan yang terlihat semakin megah meski sudah rapuh termakan waktu. Angin yang berhembus lebih dingin di sini, seolah-olah membawa kabar dari masa lalu, mengingatkan mereka bahwa mereka berada di tempat yang sakral—sebuah tempat yang telah lama terlupakan namun kini bangkit kembali, menunggu untuk mengungkapkan rahasianya.Udara di sekitar mereka terasa berat. Setiap langkah yang mereka ambil di atas tanah yang keras seakan disertai oleh bisikan-bisikan halus yang tidak mereka dengar dengan jelas, tetapi terasa sangat dekat. Suara gemerisik daun yang terhanyut angin, gema langkah mereka yang bergema di antara tembok-tembok batu besar, dan suara dentingan halus dari batu-batu yang saling bergesekan menciptakan atmosfer yang penuh ketegangan.Di depan mereka, reruntuhan itu membuka sebuah ruangan besar dengan pintu yang terbuat dari batu hitam yang kokoh. Di atas pintu tersebut terdapat ukiran-ukiran yan
Suasana di sekitar mereka semakin menegangkan. Patiwaji berdiri tegak, matanya berfokus pada sosok yang mengenakan kain hitam, yang kini mulai bergerak lebih dekat. Di balik kain itu, hanya matanya yang tampak, namun cahaya matahari yang terpantul dari batu-batu sekitar memberi kesan bahwa mereka bukan sekadar penjaga biasa. Ada sesuatu yang lebih, kekuatan yang tersembunyi di dalam diri mereka."Sebelum kalian melangkah lebih jauh," suara berat itu terdengar menggema, "kalian harus memahami apa yang sedang kalian hadapi. Kekuatan yang ada di pulau ini bukanlah untuk mereka yang tidak siap. Itu adalah warisan yang tidak bisa dipergunakan sembarangan."Patiwaji menatap mata sosok itu, mencoba menilai apakah kata-kata itu hanya peringatan atau tantangan. "Kami siap," jawabnya tegas, meskipun ada sedikit kegugupan di hatinya. "Kami telah melewati banyak ujian untuk sampai ke sini. Kami tidak akan mundur."Sosok itu terdiam sejenak, menilai Patiwaji dan rekan-
Pagi itu, matahari terbit dengan warna keemasan yang memancar di cakrawala, menyelimuti Pulau Massale dengan cahaya lembut. Kelompok Patiwaji, yang masih dihantui kejadian di terowongan malam sebelumnya, berkumpul di tepi pantai untuk merencanakan langkah mereka selanjutnya.Peta kulit kayu yang mereka temukan terhampar di atas pasir. Garis-garis kasar dan simbol-simbol kuno menggambarkan lokasi-lokasi penting di pulau itu, tetapi membaca makna sebenarnya dari peta tersebut membutuhkan usaha lebih.“Baiklah,” Patiwaji memulai, sambil menunjuk pada salah satu tanda di peta. “Menurut ini, tempat berikutnya yang harus kita kunjungi ada di sisi barat pulau. Tapi kita harus berhati-hati. Musuh mungkin masih membuntuti kita.”“Kita tidak bisa terus menghindar,” kata Tammatea dengan nada tegas. “Jika mereka ingin menghadang kita, kita harus siap melawan. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan peta ini.”“Tenang, Tam,” sela Mariam, mencoba m
Pagi di Pulau Massale terlihat seperti biasa. Matahari baru saja naik, mengintip malu-malu dari balik bukit, sementara ombak perlahan menyapa pantai berpasir putih. Namun, di hati Patiwaji dan teman-temannya, pagi ini bukan pagi yang biasa. Mereka masih mencerna apa yang mereka dengar semalam dari La Patarai.Di rumah panggung kecil tempat mereka berkumpul, suasana hening saat semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tammatea, yang biasanya penuh semangat, hanya duduk memandangi parang di tangannya. Mariam, sambil memeras kain basah, sesekali melirik ke arah Patiwaji, yang tampak tenggelam dalam pikirannya.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” Arfan akhirnya memecah keheningan. Suaranya datar, tapi nada khawatir tersirat di dalamnya.Patiwaji menghela napas, lalu menatap semua orang satu per satu. “Kita butuh rencana. La Patarai bilang bahwa kita harus mencari petunjuk, sesuatu yang bisa membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini.”