Pagi itu, langit di pulau kecil tampak lebih cerah dari biasanya. Hembusan angin laut yang ringan menambah ketenangan suasana. Di sepanjang pantai yang berpasir putih, ombak bergulung perlahan, seolah menyanyikan sebuah lagu yang menenangkan hati. Desa yang tenang itu seakan mengingatkan Patiwaji tentang betapa singkatnya waktu mereka di sini, dan betapa besar keputusan yang harus mereka buat dalam waktu dekat.
Namun, untuk saat ini, mereka hanya bisa menikmati keindahan yang ada di depan mata mereka. Mariam berjalan dengan langkah pelan di sampingnya. Mereka berdua baru saja selesai berbincang panjang dengan Tuan Haya, wanita tua yang bijaksana itu. Setelah mendengarkan kata-katanya, Patiwaji merasa ada sesuatu yang baru dalam dirinya—sesuatu yang mungkin tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Ada ketenangan yang mulai meresap ke dalam hatinya, meski kesadaran akan tantangan yang menunggu mereka di luar sana semakin jelas. “Apa yang kita cari di luar sana, Kakanda?” tanya Mariam tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh arti. Patiwaji menatapnya, kemudian mengalihkan pandangannya ke laut yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. “Aku tidak tahu, Adinda. Tapi aku tahu bahwa perjalanan ini adalah sesuatu yang harus kita jalani. Ada sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri yang sedang menunggu di depan sana. Aku bisa merasakannya dalam setiap detik kita di sini.” Mariam mengangguk perlahan. “Kita tidak bisa terus-menerus terjebak dalam pertanyaan tanpa jawaban. Aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar mencari kekuatan atau kekuasaan. Mungkin apa yang kita cari adalah kedamaian dalam diri kita, dan itu yang akan memandu kita.” Patiwaji tersenyum tipis, merasa bahwa ia tidak sendirian dalam pencariannya. “Kedamaian… Aku rasa kita harus menemukannya terlebih dahulu, sebelum kita bisa melangkah lebih jauh. Hanya dengan kedamaian dalam hati, kita bisa memahami dengan jelas apa yang harus dilakukan selanjutnya.” Mereka berjalan bersama di sepanjang pantai, membiarkan angin laut menyapu wajah mereka dengan lembut. Beberapa anak-anak desa yang baru saja selesai bermain di air berlarian di sekitar mereka, tertawa riang. Patiwaji merasa seolah-olah waktu berhenti sejenak di sini, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia bisa merasakan kedamaian yang tulus. “Kakanda, bagaimana jika yang kita cari bukanlah sesuatu yang ada di luar sana, tetapi ada di dalam diri kita?” tanya Mariam lagi, suaranya penuh pemikiran. Patiwaji menghentikan langkahnya sejenak, menatap Mariam dengan serius. “Apa maksud Adinda?” Mariam berhenti juga, menatap matahari yang mulai perlahan terbenam di balik horizon. “Mungkin kita sudah lama mencari jawaban di luar diri kita—di dunia yang luas ini, di orang-orang yang kita temui, dan dalam pencarian kita akan kekuatan atau keadilan. Tapi apakah kita sudah cukup mencari di dalam diri kita sendiri? Apakah kita sudah benar-benar memahami siapa kita sebenarnya?” Patiwaji terdiam, merenungkan kata-kata Mariam. Memang, selama ini mereka telah berfokus pada pencarian luar, pada perjalanan mereka menuju tujuan yang lebih besar. Namun, apakah mereka sudah cukup mengenal diri mereka sendiri? Apakah mereka sudah cukup siap untuk menghadapi apa yang akan datang jika mereka belum memahami potensi dalam diri mereka sendiri? “Kadang-kadang kita terlalu fokus pada tujuan besar, sehingga kita lupa untuk melihat hal-hal kecil yang bisa membawa kita menuju tujuan itu,” lanjut Mariam. “Aku merasa, sebelum kita melanjutkan perjalanan ini, kita perlu menemukan jawaban dalam diri kita sendiri.” Patiwaji menatapnya dengan penuh perhatian. “Apa yang kau maksudkan, Adinda?” “Seperti yang Tuan Haya katakan, hidup ini memiliki waktunya sendiri,” jawab Mariam. “Kita harus belajar untuk menghargai setiap momen, bukan hanya mengejar sesuatu yang lebih besar. Kedamaian, kekuatan, semuanya dimulai dari dalam diri kita.” Patiwaji mengangguk pelan, kemudian menatap laut. “Aku merasa seperti ada sesuatu yang harus aku pelajari tentang diriku sendiri. Mungkin ini adalah bagian dari perjalanan kita—untuk memahami siapa kita sebenarnya sebelum kita melangkah lebih jauh.” Malam semakin dekat, dan langit mulai berubah warna. Matahari perlahan turun ke cakrawala, memancarkan sinar keemasan yang memantul di permukaan laut. Mereka berdua duduk di atas batu besar di tepi pantai, menikmati pemandangan yang indah itu. “Ini adalah saat yang tepat untuk merenung,” kata Mariam sambil memandangi matahari yang terbenam. “Semua yang terjadi di sepanjang perjalanan kita sudah membawa kita ke sini. Mungkin sekarang kita perlu berhenti sejenak dan memahami apa yang sudah kita pelajari.” Patiwaji menatap Mariam, merasa ada sesuatu yang dalam dalam setiap kata yang ia ucapkan. “Adinda, aku merasa semakin dekat dengan jawaban yang kita cari. Tapi kadang-kadang, aku takut kalau kita tidak akan siap dengan apa yang akan datang setelah ini.” Mariam tersenyum lembut, menyandarkan kepalanya ke bahu Patiwaji. “Aku tahu Kakanda. Kita semua memiliki ketakutan. Tetapi, seperti yang kita pelajari di sini, kita tidak bisa membiarkan ketakutan itu menghentikan kita. Kita harus melangkah meskipun ketakutan itu ada. Karena hanya dengan melangkah, kita bisa tahu apakah kita siap atau tidak.” Patiwaji merasakan kehangatan dari sentuhan Mariam yang lembut, dan dalam hatinya, ia tahu bahwa kata-kata itu benar. Ketakutan adalah bagian dari perjalanan ini, tetapi itu tidak boleh menghentikan mereka untuk terus maju. Mereka harus berani mengambil langkah pertama, bahkan jika langkah itu penuh dengan ketidakpastian. Angin laut semakin bertiup kencang seiring dengan senja yang mulai merambat ke langit. Patiwaji dan Mariam berjalan perlahan, membiarkan suara deburan ombak dan angin yang berdesir menyelimuti pikiran mereka. Matahari yang memerah di cakrawala seperti menandakan berakhirnya sebuah hari yang panjang, sekaligus menjadi pengingat bahwa waktu terus berjalan. Sambil melangkah, Patiwaji mulai merenung. Begitu banyak yang telah mereka lewati, begitu banyak pertanyaan yang menggantung di udara. Namun, seperti yang sering diingatkan oleh Tuan Haya, segala sesuatu memiliki waktunya sendiri, dan mungkin kini adalah saatnya mereka merenung lebih dalam tentang arti perjalanan mereka. "Adinda" kata Patiwaji akhirnya, suaranya serius, tetapi penuh keinginan untuk memahami. "Apa yang kita cari sebenarnya?" Mariam menoleh padanya. Senyum tipis menghiasi wajahnya, meski matanya tampak jauh, terlarut dalam pikiran. "Aku rasa kita sudah mencari banyak hal, Kakanda. Kekuasaan, jawaban atas misteri yang ada di pulau ini, atau bahkan hanya untuk melanjutkan perjalanan demi perjalanan tanpa tujuan yang jelas. Tapi semakin aku berpikir, mungkin yang kita cari bukanlah jawaban atas apa yang kita temui di luar sana, tetapi sesuatu yang ada di dalam diri kita sendiri. Sesuatu yang lebih dalam, lebih lama untuk ditemukan." Patiwaji berhenti sejenak, menatap ombak yang terus datang dan menyapu pasir di pantai. Ia merasa kata-kata Mariam itu menyentuh inti dari kegelisahannya. "Jadi menurutmu, perjalanan ini bukan hanya untuk mencari jawaban, tetapi juga untuk menemukan siapa diri kita sebenarnya?" Mariam mengangguk, menatap matahari yang mulai tenggelam. "Benar. Kita tidak hanya mencari tujuan, tetapi kita harus menemukan cara untuk menjadi siapa kita sebenarnya di perjalanan ini. Kita harus menggali potensi yang ada dalam diri kita, dan itu akan memandu kita pada jalan yang benar. Jika kita tidak memahami diri kita, bagaimana kita bisa berharap untuk memahami dunia di sekitar kita?" Patiwaji menarik napas panjang, merenung tentang kata-kata Mariam. Perjalanan mereka ke pulau kecil ini sepertinya bukan hanya untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, melainkan untuk sesuatu yang jauh lebih besar. Itu bukan hanya tentang menemukan harta karun yang terpendam atau menyingkap misteri legenda, tetapi juga tentang menemukan kedamaian dalam diri mereka. Keinginan untuk memahami tak hanya datang dari luar, tetapi harus dimulai dari dalam. "Apakah kau merasa kita sudah cukup mengenal diri kita?" Patiwaji bertanya, hampir dengan suara yang lebih lembut. Pertanyaan itu seolah mengalir begitu saja dari bibirnya, tanpa rencana sebelumnya. Mariam terdiam sejenak, seakan memikirkan pertanyaan itu dengan hati-hati. “Mungkin belum sepenuhnya, Kakanda. Tapi aku percaya, kita mulai menemukan potongan-potongan itu. Setiap langkah yang kita ambil di sini, setiap keputusan yang kita buat, semuanya adalah bagian dari perjalanan untuk mengenal siapa kita sebenarnya. Ini bukan hal yang mudah, dan aku rasa perjalanan kita ini belum selesai.” Patiwaji tersenyum tipis. “Tentu saja, perjalanan ini belum selesai. Aku bisa merasakannya. Tapi mungkin, kita sudah semakin dekat dengan jawaban yang kita cari.” Mariam mengangguk, tetapi matanya masih terfokus pada matahari yang sudah hampir sepenuhnya tenggelam. Sementara langit berubah warna menjadi gelap dan bintang-bintang mulai muncul satu per satu, mereka duduk di atas sebuah batu besar di dekat tepi pantai. Patiwaji melihat Mariam, yang tampak lebih tenang dari sebelumnya, meskipun ia tahu di dalam dirinya masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. "Kau tahu," kata Mariam setelah beberapa saat, "Kadang kita terlalu fokus pada masa depan, pada apa yang akan datang, sehingga kita lupa menikmati saat-saat seperti ini. Aku tahu kita harus melanjutkan perjalanan, tapi aku merasa sangat tenang di sini, di pulau ini. Rasanya seperti semuanya berhenti sejenak." Patiwaji tersenyum. "Aku juga merasakannya. Di pulau kecil ini, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menenangkan, seperti sebuah pelajaran tentang kesabaran dan ketenangan. Mungkin, kita harus belajar lebih banyak tentang hal itu." Suasana menjadi hening, hanya terdengar suara angin laut yang seakan ikut meresapi kedalaman hati mereka. Perlahan, Patiwaji merasakan sesuatu yang lebih dalam mengalir dalam dirinya. Seperti ada pemahaman baru yang mulai berkembang—sesuatu yang lebih besar dari sekadar perjalanan mereka. Sesuatu yang mengajarkan arti sejati dari kekuatan, bukan hanya dalam pertempuran fisik atau pencarian akan kejayaan, tetapi dalam ketenangan dan kebijaksanaan untuk menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Mariam menoleh, seolah merasakan perubahan yang terjadi dalam diri Patiwaji. "Apa yang kau pikirkan, Kakanda?" Ia mengangkat wajahnya, menatap bintang-bintang yang mulai bersinar terang di langit malam. "Aku berpikir... mungkin kita tidak harus selalu mengejar sesuatu yang besar, atau melihat ke luar untuk menemukan jawaban. Mungkin, jawaban itu ada di dalam diri kita sendiri, seperti yang kau katakan tadi." Mariam tersenyum, bangkit dari batu tempat mereka duduk. "Mungkin begitu. Mungkin kita harus lebih banyak merenung dan lebih sedikit mencari jawaban di luar sana. Namun, aku yakin perjalanan ini masih memiliki banyak pelajaran yang akan datang." Patiwaji mengangguk, berdiri bersama Mariam. Mereka berjalan kembali ke desa, menyusuri pantai yang kini gelap, dengan hanya cahaya bulan yang menerangi jalan mereka. Mereka tidak tahu pasti apa yang akan datang, tetapi mereka tahu bahwa perjalanan ini telah memberikan lebih banyak daripada sekadar jawaban. Ini telah mengajarkan mereka tentang kedamaian, kebijaksanaan, dan tentang arti sejati dari perjalanan itu sendiri. "Satu hal yang aku pelajari hari ini," kata Patiwaji, sambil melangkah bersama Mariam, "adalah bahwa tidak ada perjalanan yang sia-sia. Setiap langkah yang kita ambil, setiap momen yang kita alami, semuanya berharga. Bahkan jika kita belum menemukan jawaban yang kita cari, kita telah menemukan diri kita sedikit lebih dekat." Mariam mengangguk, senyum hangat terbit di wajahnya. "Benar. Kita akan terus berjalan, tidak hanya untuk mencari jawaban, tetapi untuk memahami siapa kita dan apa yang bisa kita berikan kepada dunia ini." Malam itu, di bawah langit yang dihiasi bintang-bintang, Patiwaji dan Mariam melangkah lebih mantap. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, penuh dengan tantangan yang belum mereka hadapi. Tetapi untuk pertama kalinya, mereka merasa siap—karena mereka tidak hanya mencari sesuatu yang ada di luar sana, tetapi mereka juga telah menemukan sesuatu yang jauh lebih penting dalam diri mereka sendiri.Malam semakin larut, dan langit yang gelap mulai dihiasi oleh bintang-bintang yang berkelip, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang yang harus mereka hadapi. Patiwaji dan Mariam berdiri di atas sebuah bukit kecil, memandang lautan luas yang terbentang di depan mereka. Lautan yang menghampar dengan warna hitam pekat, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang lembut. Suara ombak yang menghantam batu-batu besar di tepi pantai bergema di udara, seperti suara masa lalu yang ingin mereka dengar lebih jelas.Mariam menatap laut dengan tatapan kosong, seakan menyatu dengan pemandangan yang ada di depannya. "Suara ombak ini, Patiwaji," katanya dengan suara lembut, "mereka seperti menceritakan sebuah kisah yang tak pernah selesai. Kisah tentang kehidupan, tentang perjuangan, tentang harapan dan ketakutan."Patiwaji menoleh, memandang wajah Mariam yang terbungkus dalam bayangan malam. Dia bisa melihat ke dalam matanya, seakan ada sesuatu yang dalam yang sedang bergulat di dalam hatinya.
Malam itu, angin laut berhembus lebih kencang dari biasanya, menyapu daun-daun kelapa di sekitar mereka. Patiwaji, Mariam, dan Arfan duduk di atas batu besar yang terletak di pinggir pantai, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Laut yang berdebur keras di kejauhan tampak seperti bisikan yang mengingatkan mereka pada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kehidupan sehari-hari. Suara ombak yang terus menghantam pantai itu terasa seperti sebuah cerita kuno yang terus berulang, tidak pernah selesai, namun selalu mengingatkan pada masa lalu yang penuh makna.“Pernahkah kalian merasa seperti... ada sesuatu yang lebih besar dari kita, sesuatu yang lebih dari sekadar kehidupan ini?” Patiwaji memecah keheningan, suaranya berat, seolah membawa beban yang tidak terlihat. Ia menatap jauh ke laut, mencoba menemukan jawabannya di sana, namun yang ada hanyalah luasnya samudra yang tak terbatas.Mariam menatapnya dengan penuh perhatian. “Kita semua, pada dasarnya
Pagi itu, matahari menyinari pulau dengan sinarnya yang lembut, membawa kehangatan yang menyelimuti tanah yang basah oleh embun pagi. Laut tampak lebih tenang, namun masih ada deburan ombak yang menyapu pantai, seakan mengingatkan mereka akan kekuatan alam yang selalu siap menantang. Patiwaji, Mariam, dan Arfan berkumpul di luar rumah yang sederhana, siap untuk memulai perjalanan mereka ke pulau yang telah lama menjadi misteri dalam cerita leluhur mereka.Patiwaji melihat ke sekeliling, memeriksa persiapan terakhir mereka. Ia merasa ketegangan di udara—sebuah perasaan campur aduk antara antusiasme dan ketakutan. Mereka telah memutuskan untuk berlayar pagi itu, dan meskipun mereka tahu perjalanan ini akan penuh dengan tantangan, mereka juga menyadari bahwa ini adalah langkah pertama mereka menuju sesuatu yang jauh lebih besar.“Aku rasa semuanya sudah siap,” kata Patiwaji, matanya memeriksa perahu yang terikat di dermaga. “Perjalanan ini akan memerlukan semua kekuat
Suasana di tengah hutan semakin mencekam. Udara yang berat, seolah menahan napas, memantulkan suara langkah kaki mereka yang tersebar di antara pepohonan tinggi yang memeluk tanah seperti tangan-tangan besar. Patiwaji, Mariam, dan Arfan berjalan dengan penuh kewaspadaan, mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan oleh leluhur mereka. Mereka telah melewati jalan setapak yang penuh dengan tantangan—pegunungan terjal, sungai-sungai kecil yang mengalir deras, dan hutan lebat yang hampir menutupi sinar matahari. Namun, mereka merasakan adanya sebuah daya tarik kuat, seolah alam itu sendiri ingin menunjukkan sesuatu yang lebih besar.“Perhatikan sekitar kita,” kata Patiwaji dengan suara yang lebih rendah dari biasanya. “Sepertinya alam ini tahu kita sedang dalam perjalanan penting. Tidak ada yang kebetulan di tempat ini.”Mariam menatap pepohonan yang menjulang tinggi, lalu beralih ke Arfan. “Aku merasa ada yang berbeda, seolah ada sesuatu yang hidup di dalam setiap helaian
Gua itu terasa semakin dalam dan sepi, udara yang lembap menyelimuti setiap sudutnya. Patiwaji, Mariam, dan Arfan melangkah dengan hati-hati, mata mereka menyesuaikan dengan gelapnya lorong yang semakin menciut. Suara langkah mereka terdengar menggema, tetapi tidak ada yang berani bersuara. Di hadapan mereka, lelaki tua yang tadi mengajak mereka berjalan perlahan, memimpin jalan dengan tenang.Mariam merasa terpesona dengan suasana yang begitu penuh misteri. Gua ini bukan hanya tempat yang tampaknya usang, tetapi juga menyimpan aura yang lebih dalam dari sekedar ruang kosong. Ukiran-ukiran kuno di dinding gua tampak begitu indah, meskipun sebagian besar sudah tergerus waktu, namun masih bisa dibaca—berisi simbol-simbol yang belum pernah mereka lihat sebelumnya."Ini semua adalah warisan leluhur," ujar lelaki tua itu dengan suara dalam, menghentikan langkahnya di depan salah satu ukiran yang tampaknya lebih besar daripada yang lainnya. "Ukiran-ukiran ini menceritaka
Malam telah beranjak, tetapi ketiga pemuda itu masih terdiam di dalam gua. Batu besar yang sebelumnya bersinar kini tampak redup, namun masih memancarkan aura yang sulit dijelaskan. Patiwaji, Mariam, dan Arfan saling bertukar pandang, masing-masing mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.“Jadi, apa selanjutnya?” Arfan membuka percakapan, suaranya terdengar ragu namun ada sedikit semangat yang muncul di dalamnya. “Apakah kita hanya akan berdiri di sini, menunggu sesuatu terjadi, atau kita akan mulai memanfaatkan kekuatan ini?”Patiwaji menghela napas, mencoba menyusun pikirannya yang masih kacau. “Aku tidak yakin, Arfan. Tetapi aku merasa… ada sesuatu yang harus kita lakukan. Lelaki tua itu mengatakan bahwa ini baru permulaan. Mungkin, kita harus menemukan apa tujuan dari kekuatan ini.”Mariam memandang mereka berdua dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran. “Kalian tidak merasa aneh? Ini semua seperti mimpi. Tiba-tiba kita memiliki kekuatan yang tida
Fajar menyingsing, menyelimuti pulau dengan cahaya keemasan yang lembut. Suara burung-burung kembali menghiasi pagi, namun suasana hati di antara Patiwaji, Arfan, dan Mariam masih diliputi kekhawatiran. Mereka duduk melingkar di pinggir pantai, menghadap lautan yang tenang."Jadi, apa yang sebenarnya terjadi semalam?" tanya Mariam, memecah keheningan. Sorot matanya memancarkan kegelisahan."Aku tidak tahu," jawab Patiwaji sambil memandang jauh ke arah ombak. "Tapi apa pun itu, aku merasa kita baru saja melewati sesuatu yang besar."Arfan menghela napas panjang. "Itu bukan sekadar pengalaman besar. Rasanya seperti mimpi, tapi anehnya aku tahu itu nyata. Batu itu... suara itu... semuanya terlalu jelas untuk diabaikan."Mariam menggigit bibirnya. "Aku takut, Patiwaji. Jika ini benar-benar tentang kekuatan dan bahaya, apakah kita benar-benar siap untuk menghadapi apa yang akan datang?"Patiwaji menoleh padanya, memberikan senyum yang mencoba menenangkan. "Kita tidak punya pilihan selain m
Pagi di Pulau Massale terlihat seperti biasa. Matahari baru saja naik, mengintip malu-malu dari balik bukit, sementara ombak perlahan menyapa pantai berpasir putih. Namun, di hati Patiwaji dan teman-temannya, pagi ini bukan pagi yang biasa. Mereka masih mencerna apa yang mereka dengar semalam dari La Patarai.Di rumah panggung kecil tempat mereka berkumpul, suasana hening saat semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tammatea, yang biasanya penuh semangat, hanya duduk memandangi parang di tangannya. Mariam, sambil memeras kain basah, sesekali melirik ke arah Patiwaji, yang tampak tenggelam dalam pikirannya.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” Arfan akhirnya memecah keheningan. Suaranya datar, tapi nada khawatir tersirat di dalamnya.Patiwaji menghela napas, lalu menatap semua orang satu per satu. “Kita butuh rencana. La Patarai bilang bahwa kita harus mencari petunjuk, sesuatu yang bisa membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini.”
Angin dingin berhembus dengan lembut, membawa aroma asing yang tidak pernah mereka cium sebelumnya. Suara gemuruh dari cahaya yang berputar itu perlahan memudar, meninggalkan keheningan yang mencekam. Ketika ketiganya membuka mata, mereka tidak lagi berada di hutan yang mereka kenal. Sebuah dunia baru terbentang di hadapan mereka—sebuah tempat dengan langit merah tua, tanah yang bersinar redup seperti bara api, dan pohon-pohon yang berwarna gelap dengan daun yang tampak seperti bayangan.Mariam memandang sekeliling dengan hati-hati, pedangnya tetap tergenggam erat di tangan. "Apa... tempat ini? Apakah kita masih di pulau?"Tammatea berjalan beberapa langkah ke depan, menginjak tanah yang terasa hangat di bawah kakinya. "Ini bukan pulau kita," katanya, nada suaranya penuh dengan ketidakpastian. "Aku rasa... ini dunia lain."Patiwaji berdiri tegak, wajahnya terlihat tegang tetapi matanya menunjukkan rasa ingin tahu yang mendalam. "Aku tidak tahu bagaimana ki
Suasana di hutan itu berubah secara perlahan, meskipun mereka berhasil mengalahkan makhluk yang mengerikan dan menghancurkan sumber kekuatannya. Namun, ketenangan yang semula terasa sejenak kini digantikan dengan perasaan yang lebih menekan. Patiwaji dan dua sahabatnya, Tammatea dan Mariam, berdiri di antara reruntuhan batu besar yang menjadi sumber kekuatan makhluk tersebut. Udara terasa semakin berat, dan meskipun ancaman fisik telah berlalu, rasa takut yang tak terlihat mulai menghinggapi mereka. "Apakah kita sudah benar-benar aman?" Mariam akhirnya mengangkat pertanyaan yang sudah menggantung di udara sejak mereka melawan makhluk itu. Wajahnya masih terlihat tegang, matanya berkeliling menelusuri hutan yang kini terasa semakin gelap, meskipun matahari belum sepenuhnya tenggelam. Patiwaji tidak segera menjawab. Matanya yang tajam memandang ke arah pohon-pohon yang berdiri tegak, seakan menunggu sesuatu yang tak terduga. Suasana semakin hening, seolah
Angin malam berhembus kencang, menerpa wajah mereka dengan udara dingin yang menambah ketegangan di antara kelompok Patiwaji. Hutan di sekitar mereka terasa hidup, seolah setiap pepohonan dan semak-semak memiliki mata yang mengawasi langkah mereka. Tidak ada suara binatang malam, hanya desiran angin dan gelegar jauh di kedalaman hutan yang terdengar seperti ombak yang mengamuk di lautan.Patiwaji mengangkat tangan, memberi isyarat agar kelompoknya berhenti. Mereka sudah memasuki area yang jauh dari desa, dan suasana semakin mencekam. Tammatea berjalan mendekat, wajahnya serius."Ada yang tidak beres," katanya dengan suara pelan. "Aku merasa seperti kita sedang diawasi."Mariam, yang berjalan di samping Tammatea, mengangguk. "Aku merasakannya juga. Semua ini terlalu sunyi, seperti jebakan yang menunggu untuk menutup."Patiwaji menatap ke arah hutan yang semakin gelap. "Kita tidak bisa mundur sekarang. Kita harus maju, menuju lokasi yang tertulis di
Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Gelombang laut yang menabrak pantai terdengar seperti sebuah peringatan yang datang dari jauh. Patiwaji berdiri di tepi pantai, matanya menatap laut yang luas, sementara angin kencang menerpa wajahnya. Ia merasakan sesuatu yang tak beres, sebuah ketegangan yang sulit dijelaskan. Laut, yang selama ini menjadi teman setia, kini tampak seperti musuh yang sedang menunggu waktu untuk menghantam mereka."Kenapa aku merasa ada sesuatu yang tidak beres?" kata Patiwaji pelan, berbicara kepada dirinya sendiri.Tammatea yang berdiri di sampingnya menatap laut dengan cermat, matanya menyipit. "Aku juga merasa seperti itu. Sepertinya ada sesuatu yang bergerak di balik ombak itu. Sesuatu yang besar."“Laut ini selalu penuh misteri,” Mariam menambahkan, matanya berbinar. "Aku rasa kita harus lebih berhati-hati."Patiwaji mengangguk. "Benar. Kita tidak bisa meremehkan apa pun di sini. Laut ini bisa menjadi teman,
Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan ujian, ancaman, dan tantangan, akhirnya Patiwaji dan rombongannya tiba kembali di desa setelah berhasil membuka pintu yang tersembunyi di dalam gua kuno itu. Patiwaji merasakan ada sesuatu yang mendalam yang menggantung di udara, seperti keheningan yang menanti untuk dihancurkan oleh sebuah pengungkapan besar. Perasaan ini semakin tajam saat mereka berjalan kembali menuju pusat desa.Tammatea, yang sejak awal sudah merasakan sesuatu yang ganjil, mendekati Patiwaji dengan langkah hati-hati. “Kau merasa ada sesuatu yang berbeda, Patiwaji?” tanyanya dengan suara pelan, seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri.Patiwaji mengangguk perlahan, matanya memandang jauh ke arah desa yang tampaknya tidak ada bedanya dengan biasanya. “Ya, aku merasa begitu. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, Tammatea. Seperti rahasia yang telah lama terkubur, menunggu untuk dibuka.”Mariam yang mengikuti dari belakang juga merasakan
Patiwaji dan kawan-kawannya melangkah lebih dalam ke dalam reruntuhan yang terlihat semakin megah meski sudah rapuh termakan waktu. Angin yang berhembus lebih dingin di sini, seolah-olah membawa kabar dari masa lalu, mengingatkan mereka bahwa mereka berada di tempat yang sakral—sebuah tempat yang telah lama terlupakan namun kini bangkit kembali, menunggu untuk mengungkapkan rahasianya.Udara di sekitar mereka terasa berat. Setiap langkah yang mereka ambil di atas tanah yang keras seakan disertai oleh bisikan-bisikan halus yang tidak mereka dengar dengan jelas, tetapi terasa sangat dekat. Suara gemerisik daun yang terhanyut angin, gema langkah mereka yang bergema di antara tembok-tembok batu besar, dan suara dentingan halus dari batu-batu yang saling bergesekan menciptakan atmosfer yang penuh ketegangan.Di depan mereka, reruntuhan itu membuka sebuah ruangan besar dengan pintu yang terbuat dari batu hitam yang kokoh. Di atas pintu tersebut terdapat ukiran-ukiran yan
Suasana di sekitar mereka semakin menegangkan. Patiwaji berdiri tegak, matanya berfokus pada sosok yang mengenakan kain hitam, yang kini mulai bergerak lebih dekat. Di balik kain itu, hanya matanya yang tampak, namun cahaya matahari yang terpantul dari batu-batu sekitar memberi kesan bahwa mereka bukan sekadar penjaga biasa. Ada sesuatu yang lebih, kekuatan yang tersembunyi di dalam diri mereka."Sebelum kalian melangkah lebih jauh," suara berat itu terdengar menggema, "kalian harus memahami apa yang sedang kalian hadapi. Kekuatan yang ada di pulau ini bukanlah untuk mereka yang tidak siap. Itu adalah warisan yang tidak bisa dipergunakan sembarangan."Patiwaji menatap mata sosok itu, mencoba menilai apakah kata-kata itu hanya peringatan atau tantangan. "Kami siap," jawabnya tegas, meskipun ada sedikit kegugupan di hatinya. "Kami telah melewati banyak ujian untuk sampai ke sini. Kami tidak akan mundur."Sosok itu terdiam sejenak, menilai Patiwaji dan rekan-
Pagi itu, matahari terbit dengan warna keemasan yang memancar di cakrawala, menyelimuti Pulau Massale dengan cahaya lembut. Kelompok Patiwaji, yang masih dihantui kejadian di terowongan malam sebelumnya, berkumpul di tepi pantai untuk merencanakan langkah mereka selanjutnya.Peta kulit kayu yang mereka temukan terhampar di atas pasir. Garis-garis kasar dan simbol-simbol kuno menggambarkan lokasi-lokasi penting di pulau itu, tetapi membaca makna sebenarnya dari peta tersebut membutuhkan usaha lebih.“Baiklah,” Patiwaji memulai, sambil menunjuk pada salah satu tanda di peta. “Menurut ini, tempat berikutnya yang harus kita kunjungi ada di sisi barat pulau. Tapi kita harus berhati-hati. Musuh mungkin masih membuntuti kita.”“Kita tidak bisa terus menghindar,” kata Tammatea dengan nada tegas. “Jika mereka ingin menghadang kita, kita harus siap melawan. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan peta ini.”“Tenang, Tam,” sela Mariam, mencoba m
Pagi di Pulau Massale terlihat seperti biasa. Matahari baru saja naik, mengintip malu-malu dari balik bukit, sementara ombak perlahan menyapa pantai berpasir putih. Namun, di hati Patiwaji dan teman-temannya, pagi ini bukan pagi yang biasa. Mereka masih mencerna apa yang mereka dengar semalam dari La Patarai.Di rumah panggung kecil tempat mereka berkumpul, suasana hening saat semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tammatea, yang biasanya penuh semangat, hanya duduk memandangi parang di tangannya. Mariam, sambil memeras kain basah, sesekali melirik ke arah Patiwaji, yang tampak tenggelam dalam pikirannya.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” Arfan akhirnya memecah keheningan. Suaranya datar, tapi nada khawatir tersirat di dalamnya.Patiwaji menghela napas, lalu menatap semua orang satu per satu. “Kita butuh rencana. La Patarai bilang bahwa kita harus mencari petunjuk, sesuatu yang bisa membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini.”