Angin laut yang menyapu permukaan pulau Bontosua terasa dingin, meskipun matahari masih menyisakan kilauan merah di ufuk barat. Laut yang tenang bergelombang pelan, menggulung perlahan dengan suara gemericik lembut yang menenangkan. Rumah-rumah panggung Bugis di sepanjang pantai tampak sepi, sebagian besar penghuni desa sudah beristirahat, menyambut malam yang akan datang. Namun, di sebuah rumah sederhana yang terletak lebih jauh dari pesisir, di kaki bukit hijau, sebuah percakapan sedang berlangsung antara seorang pemuda dan ayahnya, yang kini tengah mempersiapkan sesuatu yang besar.
Di ruang tamu yang terbuka, dengan angin yang menyusup melalui dinding bambu, La Patiwaji duduk di dekat La Tunrung, ayahnya yang sudah berumur, namun tetap tegap dan penuh semangat. Mereka berdua duduk berhadapan, dengan hanya cahaya lilin yang menerangi ruangan sempit itu, menciptakan bayang-bayang panjang di dinding. "Ayah... apakah benar ini saatnya?" La Patiwaji memulai percakapan, suaranya penuh keraguan. Dia menatap mata ayahnya dengan tatapan yang penuh arti, penuh dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab. La Tunrung menarik napas panjang, lalu menatap anaknya dengan penuh kasih sayang. "La Patiwaji, anakku, ingatlah, setiap orang memiliki takdir yang harus dijalani. Takdirmu lebih besar daripada yang pernah kita bayangkan," jawabnya, suara rendah namun tegas. "Kekuatan itu bukan hanya milikmu, tetapi juga warisan dari leluhur kita. Ini adalah perjalanan panjang yang harus kau jalani." "Perjalanan panjang... untuk apa, Ayah?" tanya La Patiwaji, masih terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. "Apa yang sebenarnya Ayah sembunyikan dariku? Aku merasa semakin banyak yang tidak aku pahami." La Tunrung menatap jauh ke arah laut yang mulai gelap. "Kekuatan yang kau miliki, anakku, adalah sesuatu yang luar biasa. Kekuatan ini tidak hanya dapat digunakan untuk kemenangan, tetapi juga untuk melindungi pulau kita, melindungi tanah ini dari ancaman yang lebih besar. Itu adalah tugas berat yang menanti." La Patiwaji mengerutkan kening, berpikir sejenak. "Tapi, Ayah, apa yang dimaksud dengan ancaman itu? Mengapa aku yang harus memikul beban ini? Apa yang terjadi jika aku gagal?" Ayahnya tersenyum lemah. "Kekuatan ini tidak bisa dimengerti hanya dengan akal sehat, Patiwaji. Kau harus merasakannya, mengalaminya, dan akhirnya memahaminya. Ingat, kekuatan itu datang bukan untuk membuat kita lebih kuat, tetapi untuk menguji sejauh mana kita bisa bertahan dan tetap menjaga kebijaksanaan." "Jadi, kekuatan itu..." La Patiwaji berhenti, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Apa yang akan terjadi jika aku tidak bisa mengendalikannya?" La Tunrung menghela napas dalam-dalam. "Jika kau gagal, maka bukan hanya dirimu yang akan menderita. Pulau ini, keluargamu, dan seluruh dunia bisa jatuh ke dalam kehancuran. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi jika kekuatan itu jatuh ke tangan yang salah." "Ayah..." La Patiwaji terdiam sejenak. "Aku takut. Aku takut dengan apa yang aku bisa lakukan dengan kekuatan ini. Aku takut jika aku tidak bisa mengendalikannya, jika aku salah menggunakannya." "Takut itu wajar, anakku," jawab La Tunrung dengan suara lembut. "Namun ingatlah, yang lebih penting dari ketakutanmu adalah pilihan yang akan kau buat. Setiap orang memiliki kekuatan, dan setiap orang harus memilih bagaimana menggunakan kekuatan itu. Tidak ada yang sempurna, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Tetapi, aku percaya padamu. Kau akan memilih dengan bijaksana." Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari luar rumah, mengganggu keheningan malam. Sitti Mariam, sahabat masa kecil La Patiwaji, yang selama ini dikenal sebagai gadis yang berani dan cerdas, masuk tanpa mengetuk pintu. "Patiwaji! Ayahmu benar-benar sedang berbicara tentang itu lagi, kan?" Sitti Mariam melangkah masuk dengan ekspresi yang tidak bisa dipastikan apakah itu kebingungan atau kekhawatiran. "Kau tahu, aku khawatir denganmu, kau tahu?" La Patiwaji tersenyum kecil dan mengangguk. "Aku tahu, Mariam. Tapi ini adalah takdir yang harus kuhadapi. Aku tidak bisa melarikan diri dari kenyataan itu." "Takdir..." Sitti Mariam melangkah lebih dekat dan duduk di sisi La Patiwaji. "Kau tahu, takdir itu memang misterius. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana kau memilih untuk menghadapinya. Kau tidak sendirian, Patiwaji. Aku di sini, bersama denganmu." "Aku tahu, Mariam. Tapi ini bukan hanya tentang aku, ini tentang seluruh pulau kita," jawab La Patiwaji dengan suara pelan. "Ini adalah pertarungan yang lebih besar daripada sekadar aku atau kau, atau siapa pun. Ini adalah tentang nasib pulau ini, tentang masa depan kita." La Tunrung mengangguk. "Benar, ini bukan hanya tentangmu. Kekuatan itu adalah warisan dari leluhur kita. Namun, bukan hanya kamu yang terlibat. Setiap orang di pulau ini harus memahami apa yang sebenarnya terjadi. Kami telah menjaga rahasia ini selama bertahun-tahun, dan saatnya tiba untuk semua orang mengetahui kebenaran." Sitti Mariam menatap La Tunrung dengan penuh perhatian. "Apa yang Paman maksud dengan rahasia itu? Apa yang sebenarnya ada di balik semua kekuatan ini?" La Tunrung menghela napas panjang, memandang ke arah bintang-bintang di langit malam. "Rahasia itu sudah lama terkubur. Kekuatan ini adalah bagian dari sejarah pulau kita, bagian dari sejarah Bugis. Kekuatan ini diturunkan dari generasi ke generasi, dan hanya mereka yang siap untuk menghadapinya yang dapat menggunakannya dengan bijaksana." "Ayah, aku tidak tahu harus bagaimana," La Patiwaji berkata dengan suara bergetar. "Aku tidak ingin menjadi penyebab kehancuran. Aku tidak ingin membawa malapetaka." "Anakku," La Tunrung berbicara dengan lembut. "Kekuatan yang kau miliki bukanlah kutukan. Itu adalah anugerah, dan hanya mereka yang memiliki hati yang murni yang dapat memanfaatkan anugerah itu. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu. Kau lebih kuat dari yang kau kira." Sitti Mariam melihat ke arah La Patiwaji dan berkata dengan lembut, "Kau tidak harus melakukannya sendirian, Patiwaji. Aku akan ada di sini untuk membantumu, apa pun yang terjadi." La Patiwaji menatap mereka berdua, merasa lega meskipun masih ada banyak ketidakpastian dalam hatinya. "Terima kasih, Mariam. Ayah... aku akan berusaha. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku berjanji untuk melakukannya dengan sebaik-baiknya." La Tunrung tersenyum. "Itu saja yang bisa aku harapkan darimu. Ingatlah, kamu bukan hanya mewarisi kekuatan ini, tetapi juga tanggung jawab yang besar. Aku tahu kamu akan memilih dengan bijaksana." Malam itu, percakapan di rumah sederhana di kaki bukit Pulau Bontosua berakhir dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Namun, satu hal yang pasti: La Patiwaji harus memilih jalan hidupnya dengan penuh kesadaran. Di tangan muda yang penuh potensi ini, kekuatan legendaris yang diwariskan oleh leluhur Bugis akan membawa dampak besar bagi dunia. Dan meskipun ketakutan itu masih menghantui, harapan akan kemenangan dan keberanian untuk menghadapi tantangan besar akan terus mengiringi langkahnya. Saat percakapan mereka semakin intens, suara langkah lembut terdengar dari arah belakang rumah. Datu Pallu, ibu La Patiwaji, muncul dari balik pintu dapur sambil membawa sebuah nampan berisi cangkir-cangkir berisi teh hangat. Cahaya lilin menyinari wajahnya yang lembut namun penuh kebijaksanaan. "Anakku, Suamiku," panggilnya dengan suara tenang. "Mungkin kalian berdua perlu berhenti sejenak dan menenangkan pikiran. Percakapan ini terlalu berat untuk dilanjutkan tanpa jeda." La Patiwaji tersenyum kecil melihat ibunya. Sosok Datu Pallu selalu menjadi pelipur lara baginya. Ia berjalan mendekat, mengambil satu cangkir, lalu duduk kembali di samping ayahnya. "Ibu," La Patiwaji memulai, "Ayah terus berbicara tentang kekuatan itu, tentang takdirku... Tapi aku masih belum mengerti sepenuhnya. Apa yang sebenarnya Ibu pikirkan tentang semua ini?" Datu Pallu menatap putranya dengan penuh kasih sayang. "Anakku, takdir bukanlah sesuatu yang selalu bisa kita pahami. Namun, ingatlah bahwa kau tidak perlu menghadapi semua ini sendirian. Kami, keluargamu, akan selalu ada untuk mendukungmu." "Tapi, Ibu..." suara La Patiwaji sedikit bergetar, "bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku tidak cukup kuat untuk melindungi pulau ini? Aku bahkan tidak tahu bagaimana kekuatan itu bekerja." Datu Pallu duduk di dekat putranya, memegang tangannya erat. "Anakku, kau mungkin merasa takut sekarang, dan itu wajar. Tapi, kau adalah anak yang cerdas dan berhati baik. Tidak ada kekuatan di dunia ini yang dapat mengalahkan keinginanmu untuk melindungi orang-orang yang kau cintai." La Tunrung menimpali dengan nada serius. "Ibumu benar. Kau harus percaya pada dirimu sendiri. Kekuatan ini memang bukan hal yang mudah untuk dipahami, tetapi itu tidak akan membebanimu tanpa alasan. Kau adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar." Sitti Mariam, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, menoleh ke arah Datu Pallu. "Bibi, apakah Bibi tidak merasa khawatir? Saya tahu ini adalah beban yang berat untuk Patiwaji." Datu Pallu menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. "Nak Mariam, sebagai seorang ibu, tentu aku merasa khawatir. Namun, aku juga percaya bahwa Patiwaji memiliki kemampuan untuk menghadapi ini. Kadang-kadang, kepercayaan adalah hal terbaik yang bisa kita berikan kepada orang yang kita cintai." La Patiwaji merasa hatinya sedikit lebih tenang mendengar kata-kata ibunya. Dia memandang wajah Datu Pallu yang penuh kehangatan, dan ia tahu, apa pun yang terjadi, ia memiliki keluarganya untuk mendukungnya. "Ibu, Ayah, terima kasih," ujar La Patiwaji dengan suara pelan tapi penuh keyakinan. "Aku tidak akan mengecewakan kalian. Aku akan berusaha memahami kekuatan ini dan menggunakannya dengan bijaksana." --- Dengan kehadiran Datu Pallu, hubungan keluarga La Patiwaji terasa lebih utuh dan emosional, menunjukkan dukungan moral yang kuat dari sosok ibu yang bijaksanaMalam di Pulau Bontosua memiliki keindahan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Bintang-bintang bersinar terang, seolah berlomba menari di langit gelap. Ombak laut yang tenang menggemakan irama malam yang penuh misteri. Di sebuah titik di tepi pantai, La Patiwaji duduk bersila, menatap laut lepas. Angin malam yang dingin membelai wajahnya, tetapi pikirannya lebih sibuk dari sebelumnya. Sitti Mariam datang mendekat, membawa seikat obor kecil untuk menerangi tempat itu. Wajahnya terlihat prihatin, tetapi dia mencoba menyembunyikannya dengan senyum tipis. "Patiwaji, kau seharusnya beristirahat," katanya sambil meletakkan obor di atas pasir. "Malam ini terlalu dingin untuk duduk lama di sini." "Aku tidak bisa tidur, Mariam," jawab La Patiwaji tanpa menoleh. "Pikiranku penuh dengan hal-hal yang belum bisa kupahami. Apa aku benar-benar bisa menghadapi semua ini?" Mariam duduk di sampingnya, menarik lututnya ke dada sambil memandang lautan yang gelap. "Aku tahu, ini tidak mudah bagimu
Pagi itu, angin berhembus lebih dingin dari biasanya, menyentuh wajah Patiwaji dengan lembut saat ia berjalan menyusuri jalan setapak yang menuju hutan. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres di dalam dirinya—sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami. Sebuah perasaan yang mendorongnya untuk mencari jawaban lebih dalam, sesuatu yang lebih dari sekadar perjanjian yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Hutan di sekitar pulau ini dikenal sebagai tempat yang penuh misteri. Banyak yang percaya bahwa di sana tersembunyi berbagai kekuatan lama yang mampu mengubah nasib siapa saja yang menemukannya. La Tunrung, ayahnya, pernah memperingatkannya untuk tidak terlalu sering mengunjungi tempat itu. Namun, Patiwaji merasa bahwa jawabannya, jawaban atas apa yang sedang ia cari, ada di dalam hutan itu. Ia harus pergi, meskipun ada banyak yang tidak ia pahami tentang sejarah dan perjanjian keluarganya. Patiwaji berjalan lebih cepat, mengikuti jejak-jejak kaki yang tertinggal di tanah basah. Di ujung jala
Setelah perjalanan yang melelahkan, Patiwaji dan rombongannya akhirnya sampai di sebuah desa kecil yang terletak di pinggir hutan. Desa itu tampak sederhana, namun memancarkan aura kedamaian yang jarang mereka temui di sepanjang perjalanan. Rumah-rumah terbuat dari bambu dan daun kelapa, dengan atap yang kokoh dan dinding yang rapi. Pohon kelapa berdiri tegak di sepanjang jalan, memberikan keteduhan dari teriknya matahari yang mulai tinggi. Patiwaji dan Mariam duduk di bawah sebuah pohon kelapa besar, sementara La Balanipa berbicara dengan beberapa orang desa. Suara tawa anak-anak yang bermain di dekat pantai mengalun, memberikan kesan bahwa kehidupan di desa ini berjalan dalam suasana tenang. Namun, di balik kedamaian itu, Patiwaji merasa sesuatu yang lebih besar sedang menanti di balik setiap sudut desa ini. Mariam melirik Patiwaji, yang tampak termenung, matanya menatap laut yang terhampar luas di depan mereka. "Kau tampak cemas, Patiwaji. Apa yang sedang kau pikirkan? Sebelum ka
Pagi itu, langit di pulau kecil tampak lebih cerah dari biasanya. Hembusan angin laut yang ringan menambah ketenangan suasana. Di sepanjang pantai yang berpasir putih, ombak bergulung perlahan, seolah menyanyikan sebuah lagu yang menenangkan hati. Desa yang tenang itu seakan mengingatkan Patiwaji tentang betapa singkatnya waktu mereka di sini, dan betapa besar keputusan yang harus mereka buat dalam waktu dekat. Namun, untuk saat ini, mereka hanya bisa menikmati keindahan yang ada di depan mata mereka. Mariam berjalan dengan langkah pelan di sampingnya. Mereka berdua baru saja selesai berbincang panjang dengan Tuan Haya, wanita tua yang bijaksana itu. Setelah mendengarkan kata-katanya, Patiwaji merasa ada sesuatu yang baru dalam dirinya—sesuatu yang mungkin tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Ada ketenangan yang mulai meresap ke dalam hatinya, meski kesadaran akan tantangan yang menunggu mereka di luar sana semakin jelas. “Apa yang kita cari di luar sana, Kakanda?” tanya M
Malam semakin larut, dan langit yang gelap mulai dihiasi oleh bintang-bintang yang berkelip, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang yang harus mereka hadapi. Patiwaji dan Mariam berdiri di atas sebuah bukit kecil, memandang lautan luas yang terbentang di depan mereka. Lautan yang menghampar dengan warna hitam pekat, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang lembut. Suara ombak yang menghantam batu-batu besar di tepi pantai bergema di udara, seperti suara masa lalu yang ingin mereka dengar lebih jelas.Mariam menatap laut dengan tatapan kosong, seakan menyatu dengan pemandangan yang ada di depannya. "Suara ombak ini, Patiwaji," katanya dengan suara lembut, "mereka seperti menceritakan sebuah kisah yang tak pernah selesai. Kisah tentang kehidupan, tentang perjuangan, tentang harapan dan ketakutan."Patiwaji menoleh, memandang wajah Mariam yang terbungkus dalam bayangan malam. Dia bisa melihat ke dalam matanya, seakan ada sesuatu yang dalam yang sedang bergulat di dalam hatinya.
Malam itu, angin laut berhembus lebih kencang dari biasanya, menyapu daun-daun kelapa di sekitar mereka. Patiwaji, Mariam, dan Arfan duduk di atas batu besar yang terletak di pinggir pantai, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Laut yang berdebur keras di kejauhan tampak seperti bisikan yang mengingatkan mereka pada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kehidupan sehari-hari. Suara ombak yang terus menghantam pantai itu terasa seperti sebuah cerita kuno yang terus berulang, tidak pernah selesai, namun selalu mengingatkan pada masa lalu yang penuh makna.“Pernahkah kalian merasa seperti... ada sesuatu yang lebih besar dari kita, sesuatu yang lebih dari sekadar kehidupan ini?” Patiwaji memecah keheningan, suaranya berat, seolah membawa beban yang tidak terlihat. Ia menatap jauh ke laut, mencoba menemukan jawabannya di sana, namun yang ada hanyalah luasnya samudra yang tak terbatas.Mariam menatapnya dengan penuh perhatian. “Kita semua, pada dasarnya
Pagi itu, matahari menyinari pulau dengan sinarnya yang lembut, membawa kehangatan yang menyelimuti tanah yang basah oleh embun pagi. Laut tampak lebih tenang, namun masih ada deburan ombak yang menyapu pantai, seakan mengingatkan mereka akan kekuatan alam yang selalu siap menantang. Patiwaji, Mariam, dan Arfan berkumpul di luar rumah yang sederhana, siap untuk memulai perjalanan mereka ke pulau yang telah lama menjadi misteri dalam cerita leluhur mereka.Patiwaji melihat ke sekeliling, memeriksa persiapan terakhir mereka. Ia merasa ketegangan di udara—sebuah perasaan campur aduk antara antusiasme dan ketakutan. Mereka telah memutuskan untuk berlayar pagi itu, dan meskipun mereka tahu perjalanan ini akan penuh dengan tantangan, mereka juga menyadari bahwa ini adalah langkah pertama mereka menuju sesuatu yang jauh lebih besar.“Aku rasa semuanya sudah siap,” kata Patiwaji, matanya memeriksa perahu yang terikat di dermaga. “Perjalanan ini akan memerlukan semua kekuat
Suasana di tengah hutan semakin mencekam. Udara yang berat, seolah menahan napas, memantulkan suara langkah kaki mereka yang tersebar di antara pepohonan tinggi yang memeluk tanah seperti tangan-tangan besar. Patiwaji, Mariam, dan Arfan berjalan dengan penuh kewaspadaan, mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan oleh leluhur mereka. Mereka telah melewati jalan setapak yang penuh dengan tantangan—pegunungan terjal, sungai-sungai kecil yang mengalir deras, dan hutan lebat yang hampir menutupi sinar matahari. Namun, mereka merasakan adanya sebuah daya tarik kuat, seolah alam itu sendiri ingin menunjukkan sesuatu yang lebih besar.“Perhatikan sekitar kita,” kata Patiwaji dengan suara yang lebih rendah dari biasanya. “Sepertinya alam ini tahu kita sedang dalam perjalanan penting. Tidak ada yang kebetulan di tempat ini.”Mariam menatap pepohonan yang menjulang tinggi, lalu beralih ke Arfan. “Aku merasa ada yang berbeda, seolah ada sesuatu yang hidup di dalam setiap helaian
Langit mulai memerah saat matahari tenggelam di balik cakrawala, memancarkan cahaya keemasan yang mencelupkan pulau ke dalam nuansa yang dramatis. Udara di sekitar mereka terasa tebal, penuh dengan kekuatan alam yang seakan meresap ke dalam setiap pori tubuh Tammatea, Mariam, dan Patiwaji. Mereka berdiri di pinggir tebing, menatap laut luas yang terbentang di depan mereka, sementara angin berhembus kencang, membawa aroma laut yang tajam.Perjalanan mereka yang panjang menuju ke titik ini akhirnya membawa mereka ke puncak sebuah penemuan yang lebih besar dari apa yang mereka bayangkan. Kekuatan yang mereka cari bukan hanya sebuah kekuatan fisik atau sihir yang tersembunyi. Ini adalah kekuatan yang lebih dalam, yang berhubungan dengan jiwa dan kehormatan, dengan takdir yang telah ditulis di luar kendali mereka.Mariam memandang Tammatea, matanya penuh kebingungan dan rasa ingin tahu. “Tammatea, kita telah melewati begitu banyak hal. Kita sudah sampai ke sini, tetapi
Tammatea menatap puncak gunung yang semakin dekat di hadapannya. Kabut tebal menyelimuti udara, memberikan kesan bahwa mereka sedang memasuki dimensi lain. Setiap langkah mereka terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang menahan tubuh mereka untuk bergerak maju. Namun, meskipun ada perasaan berat di dalam dada, semangat mereka tetap utuh."Apa yang sebenarnya kita cari?" tanya Mariam dengan suara yang agak gemetar. "Apa yang akan kita temukan di puncak gunung ini?"Tammatea menghentikan langkahnya sejenak dan menatap teman-temannya. "Kekuatan," jawabnya perlahan, matanya menatap jauh ke depan, "Kekuatan yang konon bisa mengubah segalanya. Tapi lebih dari itu, kita juga mencari jawaban untuk semua yang telah terjadi. Kenapa kita dipilih untuk datang ke sini? Kenapa kita harus menghadapi ujian ini?"Patiwaji yang berjalan di sebelahnya mengangguk. "Kita mencari lebih dari sekedar kekuatan. Kita mencari kebenaran. Kebenaran tentang dunia ini, tentang keku
Pagi yang cerah menyelimuti hutan yang sebelumnya begitu mencekam. Udara terasa segar, tetapi ada ketegangan yang tetap menggantung di antara Tammatea, Patiwaji, dan Mariam. Setelah ujian yang mereka hadapi di altar bawah tanah, mereka tahu perjalanan mereka belum berakhir. Petunjuk yang mereka temukan di dalam ruangan itu menunjukkan bahwa tujuan mereka selanjutnya adalah gunung tertinggi di wilayah tersebut—sebuah tempat yang dikenal hanya melalui legenda dan cerita lama yang diceritakan oleh orang-orang yang telah melaluinya. Gunung itu dikenal dengan nama Gunung Gelap, tempat yang konon menyimpan kekuatan alam terbesar yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia, tergantung pada siapa yang menemukannya.Mereka memulai perjalanan mereka pagi itu, memutuskan untuk menempuh jalur yang lebih tinggi ke utara, di mana Gunung Gelap berdiri megah. Setiap langkah mereka terasa semakin berat, seperti beban yang terus meningkat seiring perjalanan mereka. Tammatea mengerti bah
Malam itu, udara hutan terasa semakin berat, seakan ada kekuatan yang mengendalikan setiap helai daun dan batang pohon. Tammatea, Patiwaji, dan Mariam berdiri di tengah hutan, memperhatikan sekitar mereka dengan waspada. Setelah menghadapi ujian alam yang mengguncang batin mereka, perasaan tenang yang sempat mereka rasakan kini tergantikan oleh ketegangan yang tidak dapat dijelaskan.“Sepertinya, kita tidak sendirian di sini,” kata Tammatea dengan suara pelan, namun tegas. Matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh, entah apa, yang sedang mengintai mereka dari balik kegelapan.“Ya, aku juga merasakannya,” jawab Patiwaji, suaranya menggema dalam keheningan malam. Ia menggenggam erat pedangnya, siap jika sesuatu terjadi. “Ini bukan hanya perasaan kita saja. Alam ini sedang mengirimkan sinyal, dan kita harus berhati-hati.”Mariam menggenggam tangan Patiwaji dengan erat, matanya tidak dapat lepas dari bayangan
Matahari baru saja terbenam, menyelimuti hutan dengan cahaya redup yang semakin pudar. Udara terasa lembab, dan suara gemerisik dedaunan memberi kesan bahwa alam sekitar sedang berbisik, menyembunyikan rahasia yang belum terungkap. Patiwaji berdiri di tepi sungai, matanya terfokus pada permukaan air yang mengalir deras. Beberapa langkah di belakangnya, Tammatea dan Mariam berdiri, masing-masing tampak tidak sabar dan waspada. Ketiganya merasa ketegangan yang semakin tebal seiring berjalannya waktu, seolah alam itu sendiri juga merasakan bahaya yang mengintai.“Patiwaji, kita tidak bisa terus berdiam diri,” kata Tammatea dengan suara penuh ketegasan, langkah kakinya mendekat, tapi matanya tetap mengawasi sekitar. “Kita harus mengambil langkah konkret. Riko sudah memperingatkan kita tentang pengkhianatan yang mungkin terjadi. Waktu kita semakin sempit.”Patiwaji hanya mengangguk, pandangannya masih terfokus pada aliran sungai yang deras. Ia tahu Tammatea benar. Waktu
Langit malam yang pekat menyelimuti desa dengan kelam, hanya diterangi oleh cahaya redup dari obor yang menyala di beberapa sudut jalan setapak. Suasana yang seharusnya tenang ini malah terasa penuh ketegangan. Patiwaji, Tammatea, dan Mariam berjalan dengan langkah hati-hati, menuju tempat yang semakin familiar namun penuh dengan misteri. Pikiran mereka terbelah antara keinginan untuk terus maju dan ketakutan akan apa yang akan mereka hadapi.Setiap kata yang diucapkan oleh wanita tua itu terngiang dalam pikiran mereka. “Sahabat atau musuh,” kalimat itu berputar-putar di benak mereka. Siapa yang bisa dipercaya? Mereka telah mendalami perjalanan yang penuh dengan rahasia dan pengkhianatan, dan kini mereka harus menghadapi kenyataan bahwa musuh mereka mungkin ada di antara mereka sendiri. Jika mereka tidak berhati-hati, perjalanan ini bisa berakhir dengan cara yang lebih tragis dari yang mereka bayangkan.Patiwaji berjalan di depan, matanya tajam menatap jalan yang m
Ruang bawah tanah itu terasa semakin gelap dan dingin saat mereka melangkah lebih dalam. Cahaya biru yang memancar dari dalam tanah semakin memudar seiring mereka mendekati pusat misteri yang ada di sana. Angin yang datang dari kedalaman itu berputar-putar, membawa aroma lembap dan tanah basah yang sangat khas. Patiwaji melangkah lebih dulu, dengan pedangnya terhunus, sementara Tammatea dan Mariam mengikuti di belakangnya, mata mereka waspada, setiap langkah disertai keraguan yang semakin tumbuh.“Ada sesuatu yang tidak beres di sini,” Tammatea berbisik, matanya melirik setiap sudut yang ada. “Perasaan ini… seperti kita sedang diawasi.”Mariam mengangguk perlahan, merasakan getaran yang tidak wajar. “Aku juga merasakannya. Seperti ada sesuatu yang menyembunyikan diri di dalam bayang-bayang ini.”Ketika mereka melangkah lebih jauh, sebuah suara gemuruh tiba-tiba menggema di dalam ruangan. Suara itu bukan berasal dari alam sekitar, melainkan seperti suara ya
Ketika pintu itu tertutup di belakang mereka, Mariam, Patiwaji, dan Tammatea mendapati diri mereka berdiri di tengah-tengah ruang yang kosong dan gelap. Namun, kegelapan itu tidak terasa hampa. Sebaliknya, ruang itu dipenuhi oleh energi yang kuat dan mencekam, seolah-olah sesuatu yang besar sedang menanti mereka.“Tempat ini… sepertinya lebih dari sekadar ruang biasa,” gumam Mariam, merasa bulu kuduknya berdiri.Patiwaji mencoba meraba dinding yang tidak terlihat, tetapi tangannya hanya menyentuh udara kosong. “Apa yang sebenarnya kita hadapi di sini?”Dari dalam kegelapan, suara berat dan dalam menggema, memenuhi ruangan itu. “Selamat datang, para pencari kebenaran. Kalian telah sampai pada tahap di mana kekuatan sejati diuji, dan hati diuji dalam kejujuran tertingginya.”Tammatea segera menghunus pedangnya, bersiap menghadapi ancaman yang mungkin muncul. “Siapa kau? Tunjukkan dirimu!” serunya, suaranya menggema di seluruh ruangan.“Nama
Ruangan yang dipenuhi sinar keemasan dari dinding yang bercahaya kini menjadi sunyi, hanya suara langkah kaki mereka yang bergema. Di tengah ruangan, meja batu dengan tiga benda—pedang, buku, dan cawan kecil berisi cairan berkilauan—memancarkan aura misterius. Patiwaji, Mariam, dan Tammatea berdiri diam, mencoba memahami makna di balik ujian ini.“Pilihan ini... bukan pilihan biasa,” gumam Patiwaji, tatapannya terfokus pada ketiga benda itu. “Mereka ingin kita memilih sesuatu yang akan menentukan perjalanan kita. Tapi bagaimana kita tahu mana yang benar?”Tammatea menyilangkan tangan di dadanya, menatap tajam. “Mungkin bukan tentang mana yang benar atau salah, tapi tentang siapa diri kita. Setiap pilihan pasti mencerminkan sesuatu dalam diri kita.”Mariam mendekati meja, matanya terpaku pada buku yang terletak di tengah. "Ini seperti teka-teki, tapi apa artinya? Apakah ini ujian kecerdasan, kekuatan, atau hati?"Salah satu penjaga dari ujian sebel