Angin laut yang menyapu permukaan pulau Bontosua terasa dingin, meskipun matahari masih menyisakan kilauan merah di ufuk barat. Laut yang tenang bergelombang pelan, menggulung perlahan dengan suara gemericik lembut yang menenangkan. Rumah-rumah panggung Bugis di sepanjang pantai tampak sepi, sebagian besar penghuni desa sudah beristirahat, menyambut malam yang akan datang. Namun, di sebuah rumah sederhana yang terletak lebih jauh dari pesisir, di kaki bukit hijau, sebuah percakapan sedang berlangsung antara seorang pemuda dan ayahnya, yang kini tengah mempersiapkan sesuatu yang besar.
Di ruang tamu yang terbuka, dengan angin yang menyusup melalui dinding bambu, La Patiwaji duduk di dekat La Tunrung, ayahnya yang sudah berumur, namun tetap tegap dan penuh semangat. Mereka berdua duduk berhadapan, dengan hanya cahaya lilin yang menerangi ruangan sempit itu, menciptakan bayang-bayang panjang di dinding. "Ayah... apakah benar ini saatnya?" La Patiwaji memulai percakapan, suaranya penuh keraguan. Dia menatap mata ayahnya dengan tatapan yang penuh arti, penuh dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab. La Tunrung menarik napas panjang, lalu menatap anaknya dengan penuh kasih sayang. "La Patiwaji, anakku, ingatlah, setiap orang memiliki takdir yang harus dijalani. Takdirmu lebih besar daripada yang pernah kita bayangkan," jawabnya, suara rendah namun tegas. "Kekuatan itu bukan hanya milikmu, tetapi juga warisan dari leluhur kita. Ini adalah perjalanan panjang yang harus kau jalani." "Perjalanan panjang... untuk apa, Ayah?" tanya La Patiwaji, masih terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. "Apa yang sebenarnya Ayah sembunyikan dariku? Aku merasa semakin banyak yang tidak aku pahami." La Tunrung menatap jauh ke arah laut yang mulai gelap. "Kekuatan yang kau miliki, anakku, adalah sesuatu yang luar biasa. Kekuatan ini tidak hanya dapat digunakan untuk kemenangan, tetapi juga untuk melindungi pulau kita, melindungi tanah ini dari ancaman yang lebih besar. Itu adalah tugas berat yang menanti." La Patiwaji mengerutkan kening, berpikir sejenak. "Tapi, Ayah, apa yang dimaksud dengan ancaman itu? Mengapa aku yang harus memikul beban ini? Apa yang terjadi jika aku gagal?" Ayahnya tersenyum lemah. "Kekuatan ini tidak bisa dimengerti hanya dengan akal sehat, Patiwaji. Kau harus merasakannya, mengalaminya, dan akhirnya memahaminya. Ingat, kekuatan itu datang bukan untuk membuat kita lebih kuat, tetapi untuk menguji sejauh mana kita bisa bertahan dan tetap menjaga kebijaksanaan." "Jadi, kekuatan itu..." La Patiwaji berhenti, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Apa yang akan terjadi jika aku tidak bisa mengendalikannya?" La Tunrung menghela napas dalam-dalam. "Jika kau gagal, maka bukan hanya dirimu yang akan menderita. Pulau ini, keluargamu, dan seluruh dunia bisa jatuh ke dalam kehancuran. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi jika kekuatan itu jatuh ke tangan yang salah." "Ayah..." La Patiwaji terdiam sejenak. "Aku takut. Aku takut dengan apa yang aku bisa lakukan dengan kekuatan ini. Aku takut jika aku tidak bisa mengendalikannya, jika aku salah menggunakannya." "Takut itu wajar, anakku," jawab La Tunrung dengan suara lembut. "Namun ingatlah, yang lebih penting dari ketakutanmu adalah pilihan yang akan kau buat. Setiap orang memiliki kekuatan, dan setiap orang harus memilih bagaimana menggunakan kekuatan itu. Tidak ada yang sempurna, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Tetapi, aku percaya padamu. Kau akan memilih dengan bijaksana." Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari luar rumah, mengganggu keheningan malam. Sitti Mariam, sahabat masa kecil La Patiwaji, yang selama ini dikenal sebagai gadis yang berani dan cerdas, masuk tanpa mengetuk pintu. "Patiwaji! Ayahmu benar-benar sedang berbicara tentang itu lagi, kan?" Sitti Mariam melangkah masuk dengan ekspresi yang tidak bisa dipastikan apakah itu kebingungan atau kekhawatiran. "Kau tahu, aku khawatir denganmu, kau tahu?" La Patiwaji tersenyum kecil dan mengangguk. "Aku tahu, Mariam. Tapi ini adalah takdir yang harus kuhadapi. Aku tidak bisa melarikan diri dari kenyataan itu." "Takdir..." Sitti Mariam melangkah lebih dekat dan duduk di sisi La Patiwaji. "Kau tahu, takdir itu memang misterius. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana kau memilih untuk menghadapinya. Kau tidak sendirian, Patiwaji. Aku di sini, bersama denganmu." "Aku tahu, Mariam. Tapi ini bukan hanya tentang aku, ini tentang seluruh pulau kita," jawab La Patiwaji dengan suara pelan. "Ini adalah pertarungan yang lebih besar daripada sekadar aku atau kau, atau siapa pun. Ini adalah tentang nasib pulau ini, tentang masa depan kita." La Tunrung mengangguk. "Benar, ini bukan hanya tentangmu. Kekuatan itu adalah warisan dari leluhur kita. Namun, bukan hanya kamu yang terlibat. Setiap orang di pulau ini harus memahami apa yang sebenarnya terjadi. Kami telah menjaga rahasia ini selama bertahun-tahun, dan saatnya tiba untuk semua orang mengetahui kebenaran." Sitti Mariam menatap La Tunrung dengan penuh perhatian. "Apa yang Paman maksud dengan rahasia itu? Apa yang sebenarnya ada di balik semua kekuatan ini?" La Tunrung menghela napas panjang, memandang ke arah bintang-bintang di langit malam. "Rahasia itu sudah lama terkubur. Kekuatan ini adalah bagian dari sejarah pulau kita, bagian dari sejarah Bugis. Kekuatan ini diturunkan dari generasi ke generasi, dan hanya mereka yang siap untuk menghadapinya yang dapat menggunakannya dengan bijaksana." "Ayah, aku tidak tahu harus bagaimana," La Patiwaji berkata dengan suara bergetar. "Aku tidak ingin menjadi penyebab kehancuran. Aku tidak ingin membawa malapetaka." "Anakku," La Tunrung berbicara dengan lembut. "Kekuatan yang kau miliki bukanlah kutukan. Itu adalah anugerah, dan hanya mereka yang memiliki hati yang murni yang dapat memanfaatkan anugerah itu. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu. Kau lebih kuat dari yang kau kira." Sitti Mariam melihat ke arah La Patiwaji dan berkata dengan lembut, "Kau tidak harus melakukannya sendirian, Patiwaji. Aku akan ada di sini untuk membantumu, apa pun yang terjadi." La Patiwaji menatap mereka berdua, merasa lega meskipun masih ada banyak ketidakpastian dalam hatinya. "Terima kasih, Mariam. Ayah... aku akan berusaha. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku berjanji untuk melakukannya dengan sebaik-baiknya." La Tunrung tersenyum. "Itu saja yang bisa aku harapkan darimu. Ingatlah, kamu bukan hanya mewarisi kekuatan ini, tetapi juga tanggung jawab yang besar. Aku tahu kamu akan memilih dengan bijaksana." Malam itu, percakapan di rumah sederhana di kaki bukit Pulau Bontosua berakhir dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Namun, satu hal yang pasti: La Patiwaji harus memilih jalan hidupnya dengan penuh kesadaran. Di tangan muda yang penuh potensi ini, kekuatan legendaris yang diwariskan oleh leluhur Bugis akan membawa dampak besar bagi dunia. Dan meskipun ketakutan itu masih menghantui, harapan akan kemenangan dan keberanian untuk menghadapi tantangan besar akan terus mengiringi langkahnya. Saat percakapan mereka semakin intens, suara langkah lembut terdengar dari arah belakang rumah. Datu Pallu, ibu La Patiwaji, muncul dari balik pintu dapur sambil membawa sebuah nampan berisi cangkir-cangkir berisi teh hangat. Cahaya lilin menyinari wajahnya yang lembut namun penuh kebijaksanaan. "Anakku, Suamiku," panggilnya dengan suara tenang. "Mungkin kalian berdua perlu berhenti sejenak dan menenangkan pikiran. Percakapan ini terlalu berat untuk dilanjutkan tanpa jeda." La Patiwaji tersenyum kecil melihat ibunya. Sosok Datu Pallu selalu menjadi pelipur lara baginya. Ia berjalan mendekat, mengambil satu cangkir, lalu duduk kembali di samping ayahnya. "Ibu," La Patiwaji memulai, "Ayah terus berbicara tentang kekuatan itu, tentang takdirku... Tapi aku masih belum mengerti sepenuhnya. Apa yang sebenarnya Ibu pikirkan tentang semua ini?" Datu Pallu menatap putranya dengan penuh kasih sayang. "Anakku, takdir bukanlah sesuatu yang selalu bisa kita pahami. Namun, ingatlah bahwa kau tidak perlu menghadapi semua ini sendirian. Kami, keluargamu, akan selalu ada untuk mendukungmu." "Tapi, Ibu..." suara La Patiwaji sedikit bergetar, "bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku tidak cukup kuat untuk melindungi pulau ini? Aku bahkan tidak tahu bagaimana kekuatan itu bekerja." Datu Pallu duduk di dekat putranya, memegang tangannya erat. "Anakku, kau mungkin merasa takut sekarang, dan itu wajar. Tapi, kau adalah anak yang cerdas dan berhati baik. Tidak ada kekuatan di dunia ini yang dapat mengalahkan keinginanmu untuk melindungi orang-orang yang kau cintai." La Tunrung menimpali dengan nada serius. "Ibumu benar. Kau harus percaya pada dirimu sendiri. Kekuatan ini memang bukan hal yang mudah untuk dipahami, tetapi itu tidak akan membebanimu tanpa alasan. Kau adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar." Sitti Mariam, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, menoleh ke arah Datu Pallu. "Bibi, apakah Bibi tidak merasa khawatir? Saya tahu ini adalah beban yang berat untuk Patiwaji." Datu Pallu menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. "Nak Mariam, sebagai seorang ibu, tentu aku merasa khawatir. Namun, aku juga percaya bahwa Patiwaji memiliki kemampuan untuk menghadapi ini. Kadang-kadang, kepercayaan adalah hal terbaik yang bisa kita berikan kepada orang yang kita cintai." La Patiwaji merasa hatinya sedikit lebih tenang mendengar kata-kata ibunya. Dia memandang wajah Datu Pallu yang penuh kehangatan, dan ia tahu, apa pun yang terjadi, ia memiliki keluarganya untuk mendukungnya. "Ibu, Ayah, terima kasih," ujar La Patiwaji dengan suara pelan tapi penuh keyakinan. "Aku tidak akan mengecewakan kalian. Aku akan berusaha memahami kekuatan ini dan menggunakannya dengan bijaksana." --- Dengan kehadiran Datu Pallu, hubungan keluarga La Patiwaji terasa lebih utuh dan emosional, menunjukkan dukungan moral yang kuat dari sosok ibu yang bijaksanaMalam di Pulau Bontosua memiliki keindahan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Bintang-bintang bersinar terang, seolah berlomba menari di langit gelap. Ombak laut yang tenang menggemakan irama malam yang penuh misteri. Di sebuah titik di tepi pantai, La Patiwaji duduk bersila, menatap laut lepas. Angin malam yang dingin membelai wajahnya, tetapi pikirannya lebih sibuk dari sebelumnya. Sitti Mariam datang mendekat, membawa seikat obor kecil untuk menerangi tempat itu. Wajahnya terlihat prihatin, tetapi dia mencoba menyembunyikannya dengan senyum tipis. "Patiwaji, kau seharusnya beristirahat," katanya sambil meletakkan obor di atas pasir. "Malam ini terlalu dingin untuk duduk lama di sini." "Aku tidak bisa tidur, Mariam," jawab La Patiwaji tanpa menoleh. "Pikiranku penuh dengan hal-hal yang belum bisa kupahami. Apa aku benar-benar bisa menghadapi semua ini?" Mariam duduk di sampingnya, menarik lututnya ke dada sambil memandang lautan yang gelap. "Aku tahu, ini tidak mudah bagimu
Pagi itu, angin berhembus lebih dingin dari biasanya, menyentuh wajah Patiwaji dengan lembut saat ia berjalan menyusuri jalan setapak yang menuju hutan. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres di dalam dirinya—sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami. Sebuah perasaan yang mendorongnya untuk mencari jawaban lebih dalam, sesuatu yang lebih dari sekadar perjanjian yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Hutan di sekitar pulau ini dikenal sebagai tempat yang penuh misteri. Banyak yang percaya bahwa di sana tersembunyi berbagai kekuatan lama yang mampu mengubah nasib siapa saja yang menemukannya. La Tunrung, ayahnya, pernah memperingatkannya untuk tidak terlalu sering mengunjungi tempat itu. Namun, Patiwaji merasa bahwa jawabannya, jawaban atas apa yang sedang ia cari, ada di dalam hutan itu. Ia harus pergi, meskipun ada banyak yang tidak ia pahami tentang sejarah dan perjanjian keluarganya. Patiwaji berjalan lebih cepat, mengikuti jejak-jejak kaki yang tertinggal di tanah basah. Di ujung jala
Setelah perjalanan yang melelahkan, Patiwaji dan rombongannya akhirnya sampai di sebuah desa kecil yang terletak di pinggir hutan. Desa itu tampak sederhana, namun memancarkan aura kedamaian yang jarang mereka temui di sepanjang perjalanan. Rumah-rumah terbuat dari bambu dan daun kelapa, dengan atap yang kokoh dan dinding yang rapi. Pohon kelapa berdiri tegak di sepanjang jalan, memberikan keteduhan dari teriknya matahari yang mulai tinggi. Patiwaji dan Mariam duduk di bawah sebuah pohon kelapa besar, sementara La Balanipa berbicara dengan beberapa orang desa. Suara tawa anak-anak yang bermain di dekat pantai mengalun, memberikan kesan bahwa kehidupan di desa ini berjalan dalam suasana tenang. Namun, di balik kedamaian itu, Patiwaji merasa sesuatu yang lebih besar sedang menanti di balik setiap sudut desa ini. Mariam melirik Patiwaji, yang tampak termenung, matanya menatap laut yang terhampar luas di depan mereka. "Kau tampak cemas, Patiwaji. Apa yang sedang kau pikirkan? Sebelum ka
Pagi itu, langit di pulau kecil tampak lebih cerah dari biasanya. Hembusan angin laut yang ringan menambah ketenangan suasana. Di sepanjang pantai yang berpasir putih, ombak bergulung perlahan, seolah menyanyikan sebuah lagu yang menenangkan hati. Desa yang tenang itu seakan mengingatkan Patiwaji tentang betapa singkatnya waktu mereka di sini, dan betapa besar keputusan yang harus mereka buat dalam waktu dekat. Namun, untuk saat ini, mereka hanya bisa menikmati keindahan yang ada di depan mata mereka. Mariam berjalan dengan langkah pelan di sampingnya. Mereka berdua baru saja selesai berbincang panjang dengan Tuan Haya, wanita tua yang bijaksana itu. Setelah mendengarkan kata-katanya, Patiwaji merasa ada sesuatu yang baru dalam dirinya—sesuatu yang mungkin tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Ada ketenangan yang mulai meresap ke dalam hatinya, meski kesadaran akan tantangan yang menunggu mereka di luar sana semakin jelas. “Apa yang kita cari di luar sana, Kakanda?” tanya M
Malam semakin larut, dan langit yang gelap mulai dihiasi oleh bintang-bintang yang berkelip, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang yang harus mereka hadapi. Patiwaji dan Mariam berdiri di atas sebuah bukit kecil, memandang lautan luas yang terbentang di depan mereka. Lautan yang menghampar dengan warna hitam pekat, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang lembut. Suara ombak yang menghantam batu-batu besar di tepi pantai bergema di udara, seperti suara masa lalu yang ingin mereka dengar lebih jelas.Mariam menatap laut dengan tatapan kosong, seakan menyatu dengan pemandangan yang ada di depannya. "Suara ombak ini, Patiwaji," katanya dengan suara lembut, "mereka seperti menceritakan sebuah kisah yang tak pernah selesai. Kisah tentang kehidupan, tentang perjuangan, tentang harapan dan ketakutan."Patiwaji menoleh, memandang wajah Mariam yang terbungkus dalam bayangan malam. Dia bisa melihat ke dalam matanya, seakan ada sesuatu yang dalam yang sedang bergulat di dalam hatinya.
Malam itu, angin laut berhembus lebih kencang dari biasanya, menyapu daun-daun kelapa di sekitar mereka. Patiwaji, Mariam, dan Arfan duduk di atas batu besar yang terletak di pinggir pantai, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Laut yang berdebur keras di kejauhan tampak seperti bisikan yang mengingatkan mereka pada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kehidupan sehari-hari. Suara ombak yang terus menghantam pantai itu terasa seperti sebuah cerita kuno yang terus berulang, tidak pernah selesai, namun selalu mengingatkan pada masa lalu yang penuh makna.“Pernahkah kalian merasa seperti... ada sesuatu yang lebih besar dari kita, sesuatu yang lebih dari sekadar kehidupan ini?” Patiwaji memecah keheningan, suaranya berat, seolah membawa beban yang tidak terlihat. Ia menatap jauh ke laut, mencoba menemukan jawabannya di sana, namun yang ada hanyalah luasnya samudra yang tak terbatas.Mariam menatapnya dengan penuh perhatian. “Kita semua, pada dasarnya
Pagi itu, matahari menyinari pulau dengan sinarnya yang lembut, membawa kehangatan yang menyelimuti tanah yang basah oleh embun pagi. Laut tampak lebih tenang, namun masih ada deburan ombak yang menyapu pantai, seakan mengingatkan mereka akan kekuatan alam yang selalu siap menantang. Patiwaji, Mariam, dan Arfan berkumpul di luar rumah yang sederhana, siap untuk memulai perjalanan mereka ke pulau yang telah lama menjadi misteri dalam cerita leluhur mereka.Patiwaji melihat ke sekeliling, memeriksa persiapan terakhir mereka. Ia merasa ketegangan di udara—sebuah perasaan campur aduk antara antusiasme dan ketakutan. Mereka telah memutuskan untuk berlayar pagi itu, dan meskipun mereka tahu perjalanan ini akan penuh dengan tantangan, mereka juga menyadari bahwa ini adalah langkah pertama mereka menuju sesuatu yang jauh lebih besar.“Aku rasa semuanya sudah siap,” kata Patiwaji, matanya memeriksa perahu yang terikat di dermaga. “Perjalanan ini akan memerlukan semua kekuat
Suasana di tengah hutan semakin mencekam. Udara yang berat, seolah menahan napas, memantulkan suara langkah kaki mereka yang tersebar di antara pepohonan tinggi yang memeluk tanah seperti tangan-tangan besar. Patiwaji, Mariam, dan Arfan berjalan dengan penuh kewaspadaan, mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan oleh leluhur mereka. Mereka telah melewati jalan setapak yang penuh dengan tantangan—pegunungan terjal, sungai-sungai kecil yang mengalir deras, dan hutan lebat yang hampir menutupi sinar matahari. Namun, mereka merasakan adanya sebuah daya tarik kuat, seolah alam itu sendiri ingin menunjukkan sesuatu yang lebih besar.“Perhatikan sekitar kita,” kata Patiwaji dengan suara yang lebih rendah dari biasanya. “Sepertinya alam ini tahu kita sedang dalam perjalanan penting. Tidak ada yang kebetulan di tempat ini.”Mariam menatap pepohonan yang menjulang tinggi, lalu beralih ke Arfan. “Aku merasa ada yang berbeda, seolah ada sesuatu yang hidup di dalam setiap helaian
Angin dingin berhembus dengan lembut, membawa aroma asing yang tidak pernah mereka cium sebelumnya. Suara gemuruh dari cahaya yang berputar itu perlahan memudar, meninggalkan keheningan yang mencekam. Ketika ketiganya membuka mata, mereka tidak lagi berada di hutan yang mereka kenal. Sebuah dunia baru terbentang di hadapan mereka—sebuah tempat dengan langit merah tua, tanah yang bersinar redup seperti bara api, dan pohon-pohon yang berwarna gelap dengan daun yang tampak seperti bayangan.Mariam memandang sekeliling dengan hati-hati, pedangnya tetap tergenggam erat di tangan. "Apa... tempat ini? Apakah kita masih di pulau?"Tammatea berjalan beberapa langkah ke depan, menginjak tanah yang terasa hangat di bawah kakinya. "Ini bukan pulau kita," katanya, nada suaranya penuh dengan ketidakpastian. "Aku rasa... ini dunia lain."Patiwaji berdiri tegak, wajahnya terlihat tegang tetapi matanya menunjukkan rasa ingin tahu yang mendalam. "Aku tidak tahu bagaimana ki
Suasana di hutan itu berubah secara perlahan, meskipun mereka berhasil mengalahkan makhluk yang mengerikan dan menghancurkan sumber kekuatannya. Namun, ketenangan yang semula terasa sejenak kini digantikan dengan perasaan yang lebih menekan. Patiwaji dan dua sahabatnya, Tammatea dan Mariam, berdiri di antara reruntuhan batu besar yang menjadi sumber kekuatan makhluk tersebut. Udara terasa semakin berat, dan meskipun ancaman fisik telah berlalu, rasa takut yang tak terlihat mulai menghinggapi mereka. "Apakah kita sudah benar-benar aman?" Mariam akhirnya mengangkat pertanyaan yang sudah menggantung di udara sejak mereka melawan makhluk itu. Wajahnya masih terlihat tegang, matanya berkeliling menelusuri hutan yang kini terasa semakin gelap, meskipun matahari belum sepenuhnya tenggelam. Patiwaji tidak segera menjawab. Matanya yang tajam memandang ke arah pohon-pohon yang berdiri tegak, seakan menunggu sesuatu yang tak terduga. Suasana semakin hening, seolah
Angin malam berhembus kencang, menerpa wajah mereka dengan udara dingin yang menambah ketegangan di antara kelompok Patiwaji. Hutan di sekitar mereka terasa hidup, seolah setiap pepohonan dan semak-semak memiliki mata yang mengawasi langkah mereka. Tidak ada suara binatang malam, hanya desiran angin dan gelegar jauh di kedalaman hutan yang terdengar seperti ombak yang mengamuk di lautan.Patiwaji mengangkat tangan, memberi isyarat agar kelompoknya berhenti. Mereka sudah memasuki area yang jauh dari desa, dan suasana semakin mencekam. Tammatea berjalan mendekat, wajahnya serius."Ada yang tidak beres," katanya dengan suara pelan. "Aku merasa seperti kita sedang diawasi."Mariam, yang berjalan di samping Tammatea, mengangguk. "Aku merasakannya juga. Semua ini terlalu sunyi, seperti jebakan yang menunggu untuk menutup."Patiwaji menatap ke arah hutan yang semakin gelap. "Kita tidak bisa mundur sekarang. Kita harus maju, menuju lokasi yang tertulis di
Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Gelombang laut yang menabrak pantai terdengar seperti sebuah peringatan yang datang dari jauh. Patiwaji berdiri di tepi pantai, matanya menatap laut yang luas, sementara angin kencang menerpa wajahnya. Ia merasakan sesuatu yang tak beres, sebuah ketegangan yang sulit dijelaskan. Laut, yang selama ini menjadi teman setia, kini tampak seperti musuh yang sedang menunggu waktu untuk menghantam mereka."Kenapa aku merasa ada sesuatu yang tidak beres?" kata Patiwaji pelan, berbicara kepada dirinya sendiri.Tammatea yang berdiri di sampingnya menatap laut dengan cermat, matanya menyipit. "Aku juga merasa seperti itu. Sepertinya ada sesuatu yang bergerak di balik ombak itu. Sesuatu yang besar."“Laut ini selalu penuh misteri,” Mariam menambahkan, matanya berbinar. "Aku rasa kita harus lebih berhati-hati."Patiwaji mengangguk. "Benar. Kita tidak bisa meremehkan apa pun di sini. Laut ini bisa menjadi teman,
Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan ujian, ancaman, dan tantangan, akhirnya Patiwaji dan rombongannya tiba kembali di desa setelah berhasil membuka pintu yang tersembunyi di dalam gua kuno itu. Patiwaji merasakan ada sesuatu yang mendalam yang menggantung di udara, seperti keheningan yang menanti untuk dihancurkan oleh sebuah pengungkapan besar. Perasaan ini semakin tajam saat mereka berjalan kembali menuju pusat desa.Tammatea, yang sejak awal sudah merasakan sesuatu yang ganjil, mendekati Patiwaji dengan langkah hati-hati. “Kau merasa ada sesuatu yang berbeda, Patiwaji?” tanyanya dengan suara pelan, seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri.Patiwaji mengangguk perlahan, matanya memandang jauh ke arah desa yang tampaknya tidak ada bedanya dengan biasanya. “Ya, aku merasa begitu. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, Tammatea. Seperti rahasia yang telah lama terkubur, menunggu untuk dibuka.”Mariam yang mengikuti dari belakang juga merasakan
Patiwaji dan kawan-kawannya melangkah lebih dalam ke dalam reruntuhan yang terlihat semakin megah meski sudah rapuh termakan waktu. Angin yang berhembus lebih dingin di sini, seolah-olah membawa kabar dari masa lalu, mengingatkan mereka bahwa mereka berada di tempat yang sakral—sebuah tempat yang telah lama terlupakan namun kini bangkit kembali, menunggu untuk mengungkapkan rahasianya.Udara di sekitar mereka terasa berat. Setiap langkah yang mereka ambil di atas tanah yang keras seakan disertai oleh bisikan-bisikan halus yang tidak mereka dengar dengan jelas, tetapi terasa sangat dekat. Suara gemerisik daun yang terhanyut angin, gema langkah mereka yang bergema di antara tembok-tembok batu besar, dan suara dentingan halus dari batu-batu yang saling bergesekan menciptakan atmosfer yang penuh ketegangan.Di depan mereka, reruntuhan itu membuka sebuah ruangan besar dengan pintu yang terbuat dari batu hitam yang kokoh. Di atas pintu tersebut terdapat ukiran-ukiran yan
Suasana di sekitar mereka semakin menegangkan. Patiwaji berdiri tegak, matanya berfokus pada sosok yang mengenakan kain hitam, yang kini mulai bergerak lebih dekat. Di balik kain itu, hanya matanya yang tampak, namun cahaya matahari yang terpantul dari batu-batu sekitar memberi kesan bahwa mereka bukan sekadar penjaga biasa. Ada sesuatu yang lebih, kekuatan yang tersembunyi di dalam diri mereka."Sebelum kalian melangkah lebih jauh," suara berat itu terdengar menggema, "kalian harus memahami apa yang sedang kalian hadapi. Kekuatan yang ada di pulau ini bukanlah untuk mereka yang tidak siap. Itu adalah warisan yang tidak bisa dipergunakan sembarangan."Patiwaji menatap mata sosok itu, mencoba menilai apakah kata-kata itu hanya peringatan atau tantangan. "Kami siap," jawabnya tegas, meskipun ada sedikit kegugupan di hatinya. "Kami telah melewati banyak ujian untuk sampai ke sini. Kami tidak akan mundur."Sosok itu terdiam sejenak, menilai Patiwaji dan rekan-
Pagi itu, matahari terbit dengan warna keemasan yang memancar di cakrawala, menyelimuti Pulau Massale dengan cahaya lembut. Kelompok Patiwaji, yang masih dihantui kejadian di terowongan malam sebelumnya, berkumpul di tepi pantai untuk merencanakan langkah mereka selanjutnya.Peta kulit kayu yang mereka temukan terhampar di atas pasir. Garis-garis kasar dan simbol-simbol kuno menggambarkan lokasi-lokasi penting di pulau itu, tetapi membaca makna sebenarnya dari peta tersebut membutuhkan usaha lebih.“Baiklah,” Patiwaji memulai, sambil menunjuk pada salah satu tanda di peta. “Menurut ini, tempat berikutnya yang harus kita kunjungi ada di sisi barat pulau. Tapi kita harus berhati-hati. Musuh mungkin masih membuntuti kita.”“Kita tidak bisa terus menghindar,” kata Tammatea dengan nada tegas. “Jika mereka ingin menghadang kita, kita harus siap melawan. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan peta ini.”“Tenang, Tam,” sela Mariam, mencoba m
Pagi di Pulau Massale terlihat seperti biasa. Matahari baru saja naik, mengintip malu-malu dari balik bukit, sementara ombak perlahan menyapa pantai berpasir putih. Namun, di hati Patiwaji dan teman-temannya, pagi ini bukan pagi yang biasa. Mereka masih mencerna apa yang mereka dengar semalam dari La Patarai.Di rumah panggung kecil tempat mereka berkumpul, suasana hening saat semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tammatea, yang biasanya penuh semangat, hanya duduk memandangi parang di tangannya. Mariam, sambil memeras kain basah, sesekali melirik ke arah Patiwaji, yang tampak tenggelam dalam pikirannya.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” Arfan akhirnya memecah keheningan. Suaranya datar, tapi nada khawatir tersirat di dalamnya.Patiwaji menghela napas, lalu menatap semua orang satu per satu. “Kita butuh rencana. La Patarai bilang bahwa kita harus mencari petunjuk, sesuatu yang bisa membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini.”