Share

2. Gadis Menjijikkan

“Kenapa kau melakukan ini, Kara? Aku sangat mencintaimu. Kau memintaku menunggu sampai kita menikah. Aku terima. Tapi kau malah melakukannya dengan Rolland, sebulan sebelum pernikahan kita? Apakah kau sengaja menyakitiku? Atau kau besar kepala karena semua orang menjulukimu Nona Yang Paling Sempurna, hmm?”

Kerongkongan Kara tersekat. Hatinya hancur melihat air mata Finnic.

“Tolong ... percayalah padaku, Fin. Aku tidak tidur dengan Tuan Rolland. Aku—”

“Cukup Kara! Setiap kata dari mulutmu terasa seperti jarum yang menusuk hati. Aku tidak mau mendengar apa pun lagi darimu. Kau sudah merusak kepercayaanku, harapanku, impianku. Mulai detik ini, aku tidak ingin melihatmu di kota ini.”

 “Tapi—”

“Kau akan menyesal telah menyia-nyiakan aku! Lihat saja! Ke mana pun kau pergi, akan kupastikan kau menderita. Tidak akan ada satu pun tempat yang mau menerima gadis menjijikkan sepertimu.”

Finnic menggebrak pintu lalu melangkah pergi.

“Tunggu ..., Finnic!”

Kara berusaha mengejar, tetapi lututnya masih lemah. Ia kembali membentur lantai. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah meratapi nasib.

Dalam sekejap, email pemecatan datang. Media sosialnya dibanjiri oleh hujatan. Semua orang di kantor menghina dirinya.

Secepat itu, dunia Kara berubah kelam.

Malangnya, empat setengah tahun kemudian, ia masih belum bisa bangkit. Satu-satunya alasan yang membuatnya bertahan adalah keluarga—sang ibu yang selalu setia menemaninya, dan dua malaikat cilik yang dulu tidak sanggup ia gugurkan.

“Louis! Emily! Mama kalian pulang!”

Mendengar panggilan sang nenek, mata gadis mungil yang sedang membaca pun berbinar. Kilauan abu-abunya mengalahkan bintang paling terang.

Dengan sigap, ia melepas buku dan merosot dari kasur. Sambil tertawa-tawa, ia beradu cepat dengan saudara laki-lakinya.

“Mama pulang! Mama pulang!”

Tepat setelah Kara meletakkan plastik belanjaan di atas meja, si Kembar menyergap masing-masing kakinya. Melihat wajah imut yang ceria itu, rasa lelah pun sirna. Ia tersenyum lebar dan membelai lembut kedua anaknya.

“Kenapa kalian berlari sekencang itu? Kalau jatuh, bagaimana?”

Sambil menunjukkan deretan gigi mungilnya, Louis menggeleng tegas. “Aku tidak mungkin jatuh, Ma. Kakiku ini kuat.”

“Aku juga,” celetuk Emily seraya menyibak rambut panjangnya yang lebat dan bergelombang.

Ia persis seperti replika mungil Kara. Hanya mata mereka saja yang berbeda warna dan rambut Kara baru dipotong sebahu.

Sementara Louis ... ia seratus persen replika setan bermata abu-abu itu. Meski demikian, Kara menyayangi mereka sama besarnya.

“Apa yang Mama beli?” Telunjuk mungil Louis tertuju ke arah plastik belanjaan. “Karena itukah Mama pulang terlambat?”  

Keceriaan Kara sontak meredup. Ia tidak mungkin mengaku bahwa dirinya baru saja dipecat. Dendam Finnic jelas masih membara. Pekerjaan sebagai SPG saja tidak segan-segan dirampas.

Padahal, manajer yang memecat Kara saja tidak tega. Ia sampai memberikan pesangon dari tabungannya sendiri demi menebus rasa bersalah.

“Buku cerita? Bukankah Mama bilang kita harus hemat? Kenapa Mama membeli sebanyak ini?”

“Lihatlah rubik ini, Emily! Ini keluaran terbaru. Harganya pasti mahal!”

Kara terpaksa memalsukan senyum. Itu juga pemberian manajernya.

Pria baik hati itu merasa iba pada si Kembar. Sebentar lagi, mereka berusia genap empat tahun dan harus masuk TK, tetapi ibu mereka malah kehilangan pekerjaan.

Setibanya di kamar, Kara menghela napas melihat angka pada buku tabungannya. Tidak banyak yang tersisa di sana. Pesangon dari sang manajer memang cukup untuk menyambung hidup selama sebulan. Akan tetapi, bagaimana setelahnya?

“Haruskah aku mencari setan bermata abu-abu itu dan menuntut tanggung jawab? Hatinya pasti luluh saat melihat si Kembar.”

Namun, detik berikutnya, Kara mengerjap dan mengenyahkan keputusasaan dari pikirannya.

“Tidak. Laki-laki kejam itu tidak akan ragu membunuhku. Louis dan Emily bisa menjadi yatim piatu dalam sekejap, atau bahkan ... menyusulku ke surga.”   

“Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?”

Mendengar suara Susan Martin, Kara spontan memasukkan buku tabungannya ke dalam laci.

“Ibu .... Aku baru saja menghitung pengeluaran dan pemasukan bulan ini. Aman,” angguknya seraya memalsukan senyuman. Namun, ketika mendapati sebuah kertas di tangan sang ibu, ia gagal menyembunyikan keresahan.

“Tenang. Ini bukan tagihan,” tutur Susan sembari duduk di sebelah Kara. Ekspresinya agak gugup dan diwarnai iba. “Ini ... undangan pernikahan Finnic.”

Raut wajah Kara seketika berubah muram. Nama itu tidak pernah gagal menguasai hatinya. Bahkan setelah berulang kali dijatuhkan, Kara tidak dendam. Ia hanya kecewa dan berusaha memakluminya. Ia pernah mencoba untuk membenci Finnic, tetapi gagal dalam hitungan detik.

“Dia akan menikah?” desah Kara tanpa sadar.

Sebelum ibunya menjawab, ia tertawa gersang. “Baguslah. Itu artinya, dia sudah berhasil melupakanku. Dia tidak akan mengusik hidup kita lagi, Bu.”

Susan tersenyum miris. Sambil mengelus pundak kurus putrinya, ia berbisik, “Kara, kamu tidak harus selalu tegar. Kalau kau ingin menangis, menangislah.”

“Aku tidak sedih, Bu. Untuk apa menangis? Aku justru lega. Sekarang, yang terpenting bagiku adalah si Kembar.”

Kara menyembunyikan kesedihan dengan baik di balik suara yang mantap. Akan tetapi, matanya tak bisa berpura-pura. Sang ibu ikut berkaca-kaca melihatnya.

“Mama.” Suara kecil tiba-tiba datang dari arah pintu.

Emily ternyata sedang berdiri di sana. Buku besar yang diseretnya hampir menyentuh lantai. Di sampingnya, Louis sedang asyik mengotak-atik rubik baru. “Ada tamu.”

“Tamu? Semalam ini?”

“Ya, kami mendengar suara ketukan pintu.” Louis mengangguk singkat sebelum kembali mengacak rubik agar warnanya berantakan.

Dalam sekejap, Kara dilanda kekhawatiran. Tanpa berpikir panjang, ia pergi ke pintu depan.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Ririn Khalimi
keren banget
goodnovel comment avatar
Musniwati Elikibasmahulette
menarik sekali ya ,karya mu thoor ...️
goodnovel comment avatar
Novitasari Sari
semngt kara jngn putus asa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status