“Kenapa kau melakukan ini, Kara? Aku sangat mencintaimu. Kau memintaku menunggu sampai kita menikah. Aku terima. Tapi kau malah melakukannya dengan Rolland, sebulan sebelum pernikahan kita? Apakah kau sengaja menyakitiku? Atau kau besar kepala karena semua orang menjulukimu Nona Yang Paling Sempurna, hmm?”
Kerongkongan Kara tersekat. Hatinya hancur melihat air mata Finnic.
“Tolong ... percayalah padaku, Fin. Aku tidak tidur dengan Tuan Rolland. Aku—”
“Cukup Kara! Setiap kata dari mulutmu terasa seperti jarum yang menusuk hati. Aku tidak mau mendengar apa pun lagi darimu. Kau sudah merusak kepercayaanku, harapanku, impianku. Mulai detik ini, aku tidak ingin melihatmu di kota ini.”
“Tapi—”
“Kau akan menyesal telah menyia-nyiakan aku! Lihat saja! Ke mana pun kau pergi, akan kupastikan kau menderita. Tidak akan ada satu pun tempat yang mau menerima gadis menjijikkan sepertimu.”
Finnic menggebrak pintu lalu melangkah pergi.
“Tunggu ..., Finnic!”
Kara berusaha mengejar, tetapi lututnya masih lemah. Ia kembali membentur lantai. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah meratapi nasib.
Dalam sekejap, email pemecatan datang. Media sosialnya dibanjiri oleh hujatan. Semua orang di kantor menghina dirinya.
Secepat itu, dunia Kara berubah kelam.
Malangnya, empat setengah tahun kemudian, ia masih belum bisa bangkit. Satu-satunya alasan yang membuatnya bertahan adalah keluarga—sang ibu yang selalu setia menemaninya, dan dua malaikat cilik yang dulu tidak sanggup ia gugurkan.
“Louis! Emily! Mama kalian pulang!”
Mendengar panggilan sang nenek, mata gadis mungil yang sedang membaca pun berbinar. Kilauan abu-abunya mengalahkan bintang paling terang.
Dengan sigap, ia melepas buku dan merosot dari kasur. Sambil tertawa-tawa, ia beradu cepat dengan saudara laki-lakinya.
“Mama pulang! Mama pulang!”
Tepat setelah Kara meletakkan plastik belanjaan di atas meja, si Kembar menyergap masing-masing kakinya. Melihat wajah imut yang ceria itu, rasa lelah pun sirna. Ia tersenyum lebar dan membelai lembut kedua anaknya.
“Kenapa kalian berlari sekencang itu? Kalau jatuh, bagaimana?”
Sambil menunjukkan deretan gigi mungilnya, Louis menggeleng tegas. “Aku tidak mungkin jatuh, Ma. Kakiku ini kuat.”
“Aku juga,” celetuk Emily seraya menyibak rambut panjangnya yang lebat dan bergelombang.
Ia persis seperti replika mungil Kara. Hanya mata mereka saja yang berbeda warna dan rambut Kara baru dipotong sebahu.
Sementara Louis ... ia seratus persen replika setan bermata abu-abu itu. Meski demikian, Kara menyayangi mereka sama besarnya.
“Apa yang Mama beli?” Telunjuk mungil Louis tertuju ke arah plastik belanjaan. “Karena itukah Mama pulang terlambat?”
Keceriaan Kara sontak meredup. Ia tidak mungkin mengaku bahwa dirinya baru saja dipecat. Dendam Finnic jelas masih membara. Pekerjaan sebagai SPG saja tidak segan-segan dirampas.
Padahal, manajer yang memecat Kara saja tidak tega. Ia sampai memberikan pesangon dari tabungannya sendiri demi menebus rasa bersalah.
“Buku cerita? Bukankah Mama bilang kita harus hemat? Kenapa Mama membeli sebanyak ini?”
“Lihatlah rubik ini, Emily! Ini keluaran terbaru. Harganya pasti mahal!”
Kara terpaksa memalsukan senyum. Itu juga pemberian manajernya.
Pria baik hati itu merasa iba pada si Kembar. Sebentar lagi, mereka berusia genap empat tahun dan harus masuk TK, tetapi ibu mereka malah kehilangan pekerjaan.
Setibanya di kamar, Kara menghela napas melihat angka pada buku tabungannya. Tidak banyak yang tersisa di sana. Pesangon dari sang manajer memang cukup untuk menyambung hidup selama sebulan. Akan tetapi, bagaimana setelahnya?
“Haruskah aku mencari setan bermata abu-abu itu dan menuntut tanggung jawab? Hatinya pasti luluh saat melihat si Kembar.”
Namun, detik berikutnya, Kara mengerjap dan mengenyahkan keputusasaan dari pikirannya.
“Tidak. Laki-laki kejam itu tidak akan ragu membunuhku. Louis dan Emily bisa menjadi yatim piatu dalam sekejap, atau bahkan ... menyusulku ke surga.”
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?”
Mendengar suara Susan Martin, Kara spontan memasukkan buku tabungannya ke dalam laci.
“Ibu .... Aku baru saja menghitung pengeluaran dan pemasukan bulan ini. Aman,” angguknya seraya memalsukan senyuman. Namun, ketika mendapati sebuah kertas di tangan sang ibu, ia gagal menyembunyikan keresahan.
“Tenang. Ini bukan tagihan,” tutur Susan sembari duduk di sebelah Kara. Ekspresinya agak gugup dan diwarnai iba. “Ini ... undangan pernikahan Finnic.”
Raut wajah Kara seketika berubah muram. Nama itu tidak pernah gagal menguasai hatinya. Bahkan setelah berulang kali dijatuhkan, Kara tidak dendam. Ia hanya kecewa dan berusaha memakluminya. Ia pernah mencoba untuk membenci Finnic, tetapi gagal dalam hitungan detik.
“Dia akan menikah?” desah Kara tanpa sadar.
Sebelum ibunya menjawab, ia tertawa gersang. “Baguslah. Itu artinya, dia sudah berhasil melupakanku. Dia tidak akan mengusik hidup kita lagi, Bu.”
Susan tersenyum miris. Sambil mengelus pundak kurus putrinya, ia berbisik, “Kara, kamu tidak harus selalu tegar. Kalau kau ingin menangis, menangislah.”
“Aku tidak sedih, Bu. Untuk apa menangis? Aku justru lega. Sekarang, yang terpenting bagiku adalah si Kembar.”
Kara menyembunyikan kesedihan dengan baik di balik suara yang mantap. Akan tetapi, matanya tak bisa berpura-pura. Sang ibu ikut berkaca-kaca melihatnya.
“Mama.” Suara kecil tiba-tiba datang dari arah pintu.
Emily ternyata sedang berdiri di sana. Buku besar yang diseretnya hampir menyentuh lantai. Di sampingnya, Louis sedang asyik mengotak-atik rubik baru. “Ada tamu.”
“Tamu? Semalam ini?”
“Ya, kami mendengar suara ketukan pintu.” Louis mengangguk singkat sebelum kembali mengacak rubik agar warnanya berantakan.
Dalam sekejap, Kara dilanda kekhawatiran. Tanpa berpikir panjang, ia pergi ke pintu depan.
Saat mengintip dari jendela, Kara mendapati seorang perempuan seumuran ibunya. Penampilannya rapi dan berkharisma. Samar-samar, Kara dapat melihat kerlip mutiara pada bros di dada kirinya. Di belakang wanita itu, dua orang pengawal berdiri tegap. Raut mereka tegas dan penuh waspada, tidak tampak membahayakan tetapi tetap mencurigakan. Meski demikian, Kara memberanikan diri untuk menemui tamunya. “Selamat malam, Nona Martin. Saya Vivian Bell dari Savior Group. Apakah Anda keberatan meluangkan waktu untuk berbincang?”Kara berkedip bimbang. Tangannya enggan melepas gagang pintu.Mengamati keraguan gadis itu, Vivian pun menyodorkan kartu nama. Begitu memeriksanya, Kara tersentak.“Dia seorang komisaris? Untuk apa orang berpangkat sebesar ini menemuiku? Dan bukankah Savior Group adalah perusahaan terkenal di kota tetangga? Apakah mereka ini penipu?”“Saya sebetulnya berencana untuk menemui Anda besok siang. Sayangnya, saya harus kembali ke L City malam ini.”Menimbang tutur bicara yang
"Selamat datang di Savior Group, Nona Martin. Senang bisa melihat Anda di sini." Kara tersenyum menyambut salam Vivian. Ia kagum dengan kerendahhatian wanita itu. Sepanjang pengetahuannya, belum pernah ada komisaris yang bersedia menyambut karyawan, selain Vivian. Tidak hanya itu, Vivian juga mengajak Kara mengunjungi setiap lantai. Dari tingkat terbawah hingga tingkat teratas, semangat wanita itu tidak pernah padam.Hanya dalam waktu singkat, Kara sudah merasa akrab dengan Savior Group. Diam-diam, ia merasa bangga dapat bekerja di sana. Perusahaan barunya jauh lebih besar dari perusahaan Miller. "Dan ini adalah meja kerja Anda. Berhati-hatilah dengan kaca itu karena Tuan CEO dapat melihat Anda dari kursinya." Vivian menunjuk sekat cermin yang memisahkan ruang sekretaris dengan sang pimpinan."Itu kaca satu arah?" bisik Kara seolah takut terdengar oleh bosnya. "Benar. Kaca itu sudah memicu banyak pemecatan. Para pendahulu Anda kurang berhati-hati sehingga kesalahan mereka teramati
Frank menatap Kara lekat-lekat. Sudut bibirnya berkedut kecil. “Jadi menurutmu, aku ini kasar dan sombong?”Sebelum gadis itu sempat menjawab, ia mendengus dan menepis telunjuk lentik yang tergantung di ujung hidungnya.“Memangnya kau ini siapa? Berani-beraninya memberiku penilaian. Kau tidak punya rasa malu dan tata krama, heh?!”“Maaf, Tuan Harper.” Vivian menarik Kara mundur. “Nona Martin baru saja menandatangani kontrak dan ini hari pertama dia mengunjungi perusahaan. Dia sama sekali belum mendapat pelatihan ataupun membaca buku panduan.”“Itu bukan alasan untuk dia boleh bersikap tidak sopan kepadaku,” bantah Frank dengan suara dingin. Sedetik kemudian, kakinya melangkah maju.Sambil menyempal tangan ke dalam saku, Frank membungkuk hingga matanya sejajar dengan Kara. Ia sudah siap untuk membentak. Namun, begitu hidungnya menangkap aroma citrus yang familiar, ia mematung.“Aroma ini? Apakah dia gadis itu? Karena itukah dia berani denganku? Kalau diingat-ingat, dia memang agak miri
"Ini juga harus kita bahas. Aku sudah lelah memberi kesempatan kepada orang-orang yang Bibi rekrut. Mereka tidak becus.""Jeremy becus," sanggah Vivian sigap. Keanggunannya sedikit memudar."Nyaris becus. Masih ada satu tugas yang sampai saat ini belum dia selesaikan. Padahal, aku sudah memberinya waktu empat tahun lebih. Untung saja, dia masih orang terbaik yang kukenal. Jadi, dia masih kupertahankan."Selagi Jeremy mendesah pasrah, Kara tertunduk dalam kebingungan. "Anda jelas mengerti bahwa saya tidak akan sanggup membayar denda. Bukankah ini berarti Anda melarang saya mengundurkan diri?" gumamnya."Ya, memang. Rakyat kecil sepertimu tidak mungkin punya uang sebanyak itu."Masih dengan alis kusut, Kara berbisik, "Bukankah Anda tidak suka dengan saya? Kenapa malah menahan saya?"Frank mendengus sinis. Matanya enggan beralih dari Kara. Ia masih penasaran dengan warna asli dari mata gadis itu. "Jangan salah paham! Aku hanya ingin memberimu pelajaran bahwa ... mengambil keputusan itu
Jeremy diam-diam mengulum senyum. Ia sudah sering mengamati gelagat Frank Harper saat menghadapi wanita. Pria itu selalu menjaga jarak, sekalipun dengan Isabela.Namun, dengan Kara Martin tadi, jarak mereka terlalu dekat. Jeremy bahkan sempat mengira bahwa Frank akan mencium Kara. "Nona Martin, Tuan Harper memanggil Anda," ujar Jeremy dengan senyum lebar. Ia agak kesulitan menahan tawa karena imajinasi singkatnya itu.Melihat keramahan Jeremy, mata Kara melebar. Pria itu terlihat lebih sangar dari si Setan Cabul. Ia sempat mengira bahwa Jeremy adalah kepala pengawal. Namun ternyata, pria itu jauh lebih hangat. Dengan permintaan sesopan itu, Kara tidak perlu banyak waktu untuk mewujudkannya. Ia melangkah ringan menuju ruangan CEO.Namun, begitu melihat tampang dingin Frank, hatinya kembali berat. Sulit dipercaya bahwa dirinya akan sering bertemu mata abu-abu itu."Kau pikir aku membayarmu hanya untuk bersantai?" Nada bicara pria itu sama mengganggu dengan tatapan sinisnya."Saya memb
"Tuan!" hardik Kara tanpa terduga. Gadis itu sendiri terkejut dengan suaranya. "Tidakkah kelakuan Anda ini keterlaluan? Anda meminta saya untuk menjaga jarak, tapi Anda sendiri yang melanggarnya." Frank tertegun mendengar protes tersebut. Dengan alis berkerut, ia melirik ke arah genggamannya. Tangan Kara sedang menggeliat di sana. "Kau hendak menyerangku. Bukankah wajar jika aku membela diri?" "Anda yang memulai perkara. Kalau Anda tidak mengambil kacamata saya, mana mungkin saya menyerang? Apakah Anda diam-diam tertarik pada saya?" Bola mata Frank hampir melompat keluar. Seumur hidup, baru kali ini ada perempuan yang menuduhnya menyimpan rasa. "Kau gila? Impianmu itu ketinggian." Frank melepas Kara lalu membersihkan jari-jarinya dengan sapu tangan. "Lalu kenapa Anda tidak membiarkan saya mengundurkan diri? Anda juga bersikap seperti anak kecil yang meminta perhatian. Apakah tunangan Anda yang sempurna itu membosankan? Karena itukah Anda mencari sesuatu yang berbeda? Gadis je
Nyawa Kara hampir tercabut dari badan. Ia belum siap ditenggelamkan. Dengan gerak cepat, ia pun menarik beberapa helai tisu dan menjatuhkan lutut ke lantai. "Maafkan saya, Tuan! Maaf!" Kepanikan telah menghanyutkan akal sehat Kara. Gadis itu dengan sigap membersihkan noda. Ia sama sekali tidak sadar dengan apa yang digosoknya. Di saat yang bersamaan, Jeremy dan para pengawal menyerbu masuk. Mereka mengira sesuatu sedang membahayakan sang CEO. Frank belum pernah mengerang sekencang itu. Namun, begitu mendapati apa yang terjadi, mereka terbelalak. Kara pun tersentak dan Frank berkedip tanpa kata. "Maaf, Tuan. Kami pikir ... keadaan darurat." Jeremy memecah keheningan. Kemudian, tanpa aba-aba, ia dan para pengawal keluar dari ruangan, meninggalkan Frank dan Kara yang masih mematung dalam keterkejutan. "Kau!" hardik Frank ketika kesadarannya kembali utuh. Tanpa iba, ia menarik rambut Kara hingga gadis itu mendongak paksa. "Kau kira aku laki-laki murahan yang gampang dirayu?" Tis
“Dia orang yang memimpin perusahaan. Dia kaya dan punya kekuasaan. Aku tahu dari buku yang dibacakan Emily kemarin di perpustakaan." Mendapat jawaban serius dari Louis, alis Kara melengkung tinggi. Matanya berbinar-binar memancarkan rasa bangga sekaligus iba. Ayah si Kembar adalah CEO kaya yang disegani banyak orang, tetapi anak-anaknya harus hidup sederhana dan bahkan terancam tidak bisa masuk sekolah. "Kalian suka perpustakaan itu?" tanya Kara, memalsukan senyuman. "Ya! Buku-buku di sana lebih banyak. Ruang membacanya lebih luas dan bahkan, ada ruang seminar. Pengunjungnya juga lebih ramai. Louis beberapa kali ditegur Nenek karena mengganggu mereka." Mendengar laporan saudara kembarnya, mata Louis membulat. "Aku bukan mengganggu, hanya mengajak mereka berkenalan." "Louis, kamu tahu kalau perpustakaan adalah tempat membaca, bukan?" tanya Kara lembut. Namun, sang putra langsung ciut mendengarnya. "Baiklah. Aku tidak akan mengganggu pengunjung lagi. Aku hanya akan duduk diam sa