“Mama, benarkah itu?” Mata Finnic berkaca-kaca. Dadanya naik turun mengimbangi hawa panas dalam paru-parunya.
“T-tidak, Sayang. Mama mana mungkin sejahat itu?” Melanie mulai panik. Apalagi, sang putra telah mengalihkan pandangan, enggan menatapnya lagi.
Frank tersenyum tipis melihat benih pertikaian itu. Namun, merasakan getaran pada punggung yang dirangkulnya, ia melirik ke samping. “Kara, kau baik-baik saja?”
Gadis itu mendesah samar. “Sekarang aku mengerti. Itu terjadi karena Nyonya Miller tidak merestui putranya denganku.”
Frank mengangguk tipis. Sambil mengusap-usap lengan sang kekasih, ia membawa tatapannya kepada Sophia. Namun, tepat ketika ia hendak meminta maaf dan undur diri, suara tepuk tangan datang dari arah tangga.
“Hebat! Hebat sekali!”
Isabela muncul dengan gaun merah. Tatapan sinisnya tertuju pada Kara. “Ternyata kau spesialis merebut pasangan orang, heh? Sekarang semuanya masuk akal. Frank mengatur skenario untu
“Siapa itu? Apakah mereka anak-anak Frank Harper dan Kara Martin?” “Astaga! Mereka lucu sekali! Bocah laki-laki itu terlihat seperti Frank kecil.” “Dan lihatlah mata abu-abu mereka. Indah sekali!” Mendengar seruan-seruan itu, Isabela kembali terbelalak. Tangannya terkepal erat. Mengapa ada-ada saja rintangan yang menghambat misinya? “Jeremy, apakah kameranya sudah mulai merekam?” tanya Louis, berkedip-kedip ke atas. “Sudah, Tuan Muda. Sekarang mundurlah. Katakan apa yang ingin kalian katakan tadi.” Sementara kedua balita itu kembali duduk di sofa, Kara mendesahkan senyum dan mendekatkan diri dengan kekasihnya. “Apakah kau yang merencanakan ini?” “Sama sekali tidak,” geleng Frank dengan lengkung bibir yang sama. Kemudian, sambil membiarkan Kara bersandar di pundaknya, ia ikut menyimak tayangan. Louis baru saja berdeham. “Halo, selamat malam semuanya. Aku Louis dan ini adikku, Emily. Kami berdua ingin mengklasifikasi apa yang terjadi.” “Klarifikasi, Louis,” bisik si gadis mungi
Mendengar itu, Sophia tidak bisa lagi diam. Ia sudah muak dengan keributan dalam acaranya. "Security, bawa wanita ini kembali ke kamarnya! Kalau dia menolak, pulangkan dia!" Dua orang petugas bergegas menyeret Isabela. Gadis itu memberontak, tetapi sia-sia. Ketika ia tidak lagi di dek itu perhatian kembali terpusat pada Kara. Bahkan Sophia kini menatapnya lekat-lekat. “Nona Martin, saya turut bersimpati atas apa yang telah Anda alami. Anda sudah melewati masa-masa sulit seorang diri. Saya rasa, sudah sepantasnya Tuan Harper kembali pada Anda dan anak-anaknya. Kalian pantas bersama,” tutur Sophia sebelum diam-diam melirik calon suaminya. “Terima kasih, Nona Moore. Anda sungguh baik hati. Finnic sangat beruntung bisa mendapatkan istri seperti Anda.” Kara tersenyum tulus. Tanpa terduga, Melanie mendengus. Sophia mendengar penghinaan itu. “Dan saya harap, Anda tidak dendam kepada calon mertua saya. Caranya memang tidak bisa dibenarka
"Ada alasan lain. Finnic ingin mengejekku," tutur Kara lirih. "Apakah kalian berencana menikah di kapal ini?"Frank menaikkan sebelah alis. Wajah Kara mendadak kecut. "Itu impianku dulu. Menikah di kapal pesiar sepertinya keren dan seru." "Sekarang?" Sambil memiringkan kepala, Kara kembali menarik sudut bibirnya. "Karena kamu mengajakku ke sini, aku jadi tahu. Pesta di kapal pesiar ternyata tidak seseru itu." "Lalu? Kamu mau kita menikah di mana?" Alis Kara turun sebelah.“Apa kamu punya ide? Atau mungkin, kamu punya impian ingin menikah di tempat tertentu?” Tanpa berpikir panjang, Frank mengangkat bahu. “Aku bahkan tidak berpikir untuk menikah sebelum mengenalmu. Tapi karena kau menanyakan soal ide, bagaimana kalau kita mencoba sesuatu yang berbeda? Kau suka hal baru, kan?” Kara spontan menyipitkan mata. “Apa?” “Bagaimana kalau kita menikah di bawah laut? Atau di ruang angkasa? Aku bisa me
Pertunjukan drone telah usai, tetapi Frank dan Kara masih di balkon atas. Tubuh mereka terus merapat. Di sela-sela perbincangan, mereka sesekali tertawa ringan. Banyak tamu tak bisa berhenti menyaksikan kemesraan mereka. Sebagian iri, sebagian turut berbahagia. Namun Finnic, hatinya gerah. "Ya, kami memang sudah merencanakan proyek kolaborasi antara perusahaan Miller dengan perusahaan Moore," ujar Sophia dengan senyum semringah. Ia masih belum sadar ke mana arah perhatian calon suaminya. "Rumah sakit kapal tentu akan memberi warna baru dalam dunia medis. Pasien-pasien tak perlu tertekan saat menjalani pengobatan. Itu malah akan terasa seperti liburan dan lebih efektif. Benar begitu, Finnic?" Begitu Sophia menoleh ke samping, lengkung bibirnya langsung goyah. Sang kekasih ternyata sedang melirik perempuan di balkon seberang. Namun, sebelum para tamu menyadari perubahan ekspresinya, ia mengencangkan senyum dan mengelus pipi Finnic mesra. "Sayang, apakah kamu lelah?" Pria itu
"Tidak usah berlama-lama, Fin. Apa yang mau kau bicarakan?"Kara berbalik dan melipat tangan.Mendapat tatapan sedingin itu, hati Finnic semakin berat. Ia tidak bisa memungkiri dirinya rindu senyum manis Kara."Aku tahu, kau pasti sangat marah kepadaku. Aku tidak berhak meminta maaf. Tapi, kau harus tahu bahwa aku melakukan itu karena aku terlalu mencintaimu. Bukankah besarnya rasa sakit sebanding dengan rasa cinta?"Kara tiba-tiba mendengus. Sambil mengulum senyum, ia melempar pandangan ke laut. "Percaya atau tidak, aku memaklumimu. Aku tidak benci atau marah kepadamu, tapi kecewa."Finnic mendesak dahinya naik. "Kau tidak dendam kepadaku?"Kara mengedikkan bahu. "Kalaupun aku dendam, aku bisa apa? Aku sungguh-sungguh tidak berdaya, apalagi ... ada dua anak yang harus kulindungi."Finnic menelan ludah pahit. Dadanya sesak oleh beragam emosi. "Aku memang keterlaluan.""Tidak apa-apa. Semua itu sudah berlalu. Mar
“Tidak ... tidak mungkin.” Kara mulai berdeham. Kerongkongannya terlalu sempit dan gersang. Dadanya sesak, entah karena udara yang terlalu berat atau serpihan hati yang terlampau tajam. “Frank ...” panggilnya lirih. Meskipun tidak ada seorang pun yang menjawab, Kara terus memandang ke luar pagar. Angin laut berulang kali menampar pipinya, menyadarkan kalau kapal sedang berlayar. Tidak mungkin sang kekasih masih berada di bawah sana. Namun, ia tetap berharap sang kekasih menyapanya. Sementara itu, pasangan di balik punggungnya masih terbelalak. Mulut mereka terbuka lebar, tetapi tidak mengeluarkan kata. Mereka tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan. “Hentikan kapal ....” Seruan itu menyentak kesadaran mereka. Namun, belum sempat mereka bertindak, Kara kembali berteriak, “Cepat hentikan kapal! Suruh kapten untuk berputar dan turunkan tim penyelamat!” “Baiklah, baiklah!” Sophia meraih ponselnya dengan tergesa-gesa
“Ada apa, Sean? Apa sudah ada laporan dari temanmu itu? Dia baru keluar dari sel. Tangannya pasti gatal sudah lama tidak menumpahkan darah. Jadi, perempuan itu sudah mati, kan?” tanya Rowan dengan nada santai. Sean menarik napas samar. “Maaf, Tuan. Ada kesalahan.” Seketika, raut pria tua itu menggelap. “Apa maksudmu? Perempuan itu masih hidup?” Kekakuan di leher Sean bertambah berat. “Sepertinya ... Tuan Muda berusaha melindungi perempuan itu saat penyerangan terjadi. Mereka berdua ... terjatuh dari kapal.” Rowan sontak menggebrak meja. Ia tidak lagi duduk di kursinya. “Mereka berdua? Siapa? Bicaralah yang jelas!” Matanya mulai bergurat merah dan bergetar hebat. Sean menggertakkan rahang. “Tuan Muda dan—” “Apa?” Pekikan Rowan bergema. Dalam sekejap, seluruh sarafnya menegang dan napasnya tersengal-sengal. Meski begitu, ia masih berusaha untuk bicara. “Di mana dia? Di mana cucuku sekarang?” “Dia belum ditemukan, Tuan. Tim penyelamat masih melakukan pencarian.” Pria tua itu sont
“Philip?” jawab Kara setelah menempelkan ponsel ke telinga. Selama beberapa saat, tidak ada suara yang terdengar. “Philip, apakah kau sudah mendapat kabar? Frank jatuh dari kapal. Sampai detik ini, aku masih menunggunya,” tuturnya serak. Air mata yang sempat membeku kembali berlinang. “Kara ....” Menangkap getaran samar itu, tangis sang wanita sontak tertahan. Alisnya berkerut dalam. “Frank?” desahnya tak percaya. “Ya, ini aku.” Punggung Kara sontak menegak dan matanya melebar. Kepalanya bergerak-gerak, bingung harus menangis atau tertawa. “Frank? Ini sungguh kamu? Kamu selamat?” “Ya. Philip menyelamatkanku. Sekarang, jangan menangis lagi, hmm?” Bukannya berhenti, air mata Kara malah semakin deras. Pundaknya naik turun mengimbangi desah napas yang bercampur dengan tawa. “Aku tidak bermimpi? Ini nyata? Kamu selamat?” Frank menghela napas samar. Getarannya cukup untuk menghangatkan hati Kara. “Bukankah aku sudah ber
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum