“Kenapa Anda terus memanggil nama saya?” Tatapan Frank tertuju kepada Melanie.
Bukannya merasa gentar, Nyonya Miller malah tertawa formal. “Selamat malam, Tuan Harper. Maaf, bukan maksud saya untuk menyinggung Anda. Tapi perempuan ini lucu sekali. Dia mencuri undangan Anda, lalu mengaku sebagai kekasih Anda. Bukankah dia sungguh kurang ajar?”
Frank dan Kara sontak bertatapan. Tidak ada kata-kata yang terucap, tetapi mereka seolah bisa mendengarkan satu sama lain.
“Apakah benar begitu? Nyonya Miller menuduhmu mencuri undanganku? Dan kamu mengaku sebagai kekasihku?” tanya Frank sembari menaikkan sebelah alis. Rautnya tetap serius.
Kara mengangguk kaku. “Ya.”
Jawaban itu mengejutkan semua orang. Bahkan kepala Melanie tertekan mundur, dan Sophia menajamkan pendengaran. Hanya Finnic yang tertunduk lebih dalam, enggan mendengar kelanjutannya.
“Nyonya Miller juga mengusir kita. Dia bilang kita merusak acara.”
Letupan hebat terdengar d
“Mama, benarkah itu?” Mata Finnic berkaca-kaca. Dadanya naik turun mengimbangi hawa panas dalam paru-parunya. “T-tidak, Sayang. Mama mana mungkin sejahat itu?” Melanie mulai panik. Apalagi, sang putra telah mengalihkan pandangan, enggan menatapnya lagi. Frank tersenyum tipis melihat benih pertikaian itu. Namun, merasakan getaran pada punggung yang dirangkulnya, ia melirik ke samping. “Kara, kau baik-baik saja?” Gadis itu mendesah samar. “Sekarang aku mengerti. Itu terjadi karena Nyonya Miller tidak merestui putranya denganku.” Frank mengangguk tipis. Sambil mengusap-usap lengan sang kekasih, ia membawa tatapannya kepada Sophia. Namun, tepat ketika ia hendak meminta maaf dan undur diri, suara tepuk tangan datang dari arah tangga. “Hebat! Hebat sekali!” Isabela muncul dengan gaun merah. Tatapan sinisnya tertuju pada Kara. “Ternyata kau spesialis merebut pasangan orang, heh? Sekarang semuanya masuk akal. Frank mengatur skenario untu
“Siapa itu? Apakah mereka anak-anak Frank Harper dan Kara Martin?” “Astaga! Mereka lucu sekali! Bocah laki-laki itu terlihat seperti Frank kecil.” “Dan lihatlah mata abu-abu mereka. Indah sekali!” Mendengar seruan-seruan itu, Isabela kembali terbelalak. Tangannya terkepal erat. Mengapa ada-ada saja rintangan yang menghambat misinya? “Jeremy, apakah kameranya sudah mulai merekam?” tanya Louis, berkedip-kedip ke atas. “Sudah, Tuan Muda. Sekarang mundurlah. Katakan apa yang ingin kalian katakan tadi.” Sementara kedua balita itu kembali duduk di sofa, Kara mendesahkan senyum dan mendekatkan diri dengan kekasihnya. “Apakah kau yang merencanakan ini?” “Sama sekali tidak,” geleng Frank dengan lengkung bibir yang sama. Kemudian, sambil membiarkan Kara bersandar di pundaknya, ia ikut menyimak tayangan. Louis baru saja berdeham. “Halo, selamat malam semuanya. Aku Louis dan ini adikku, Emily. Kami berdua ingin mengklasifikasi apa yang terjadi.” “Klarifikasi, Louis,” bisik si gadis mungi
Mendengar itu, Sophia tidak bisa lagi diam. Ia sudah muak dengan keributan dalam acaranya. "Security, bawa wanita ini kembali ke kamarnya! Kalau dia menolak, pulangkan dia!" Dua orang petugas bergegas menyeret Isabela. Gadis itu memberontak, tetapi sia-sia. Ketika ia tidak lagi di dek itu perhatian kembali terpusat pada Kara. Bahkan Sophia kini menatapnya lekat-lekat. “Nona Martin, saya turut bersimpati atas apa yang telah Anda alami. Anda sudah melewati masa-masa sulit seorang diri. Saya rasa, sudah sepantasnya Tuan Harper kembali pada Anda dan anak-anaknya. Kalian pantas bersama,” tutur Sophia sebelum diam-diam melirik calon suaminya. “Terima kasih, Nona Moore. Anda sungguh baik hati. Finnic sangat beruntung bisa mendapatkan istri seperti Anda.” Kara tersenyum tulus. Tanpa terduga, Melanie mendengus. Sophia mendengar penghinaan itu. “Dan saya harap, Anda tidak dendam kepada calon mertua saya. Caranya memang tidak bisa dibenarka
"Ada alasan lain. Finnic ingin mengejekku," tutur Kara lirih. "Apakah kalian berencana menikah di kapal ini?"Frank menaikkan sebelah alis. Wajah Kara mendadak kecut. "Itu impianku dulu. Menikah di kapal pesiar sepertinya keren dan seru." "Sekarang?" Sambil memiringkan kepala, Kara kembali menarik sudut bibirnya. "Karena kamu mengajakku ke sini, aku jadi tahu. Pesta di kapal pesiar ternyata tidak seseru itu." "Lalu? Kamu mau kita menikah di mana?" Alis Kara turun sebelah.“Apa kamu punya ide? Atau mungkin, kamu punya impian ingin menikah di tempat tertentu?” Tanpa berpikir panjang, Frank mengangkat bahu. “Aku bahkan tidak berpikir untuk menikah sebelum mengenalmu. Tapi karena kau menanyakan soal ide, bagaimana kalau kita mencoba sesuatu yang berbeda? Kau suka hal baru, kan?” Kara spontan menyipitkan mata. “Apa?” “Bagaimana kalau kita menikah di bawah laut? Atau di ruang angkasa? Aku bisa me
Pertunjukan drone telah usai, tetapi Frank dan Kara masih di balkon atas. Tubuh mereka terus merapat. Di sela-sela perbincangan, mereka sesekali tertawa ringan. Banyak tamu tak bisa berhenti menyaksikan kemesraan mereka. Sebagian iri, sebagian turut berbahagia. Namun Finnic, hatinya gerah. "Ya, kami memang sudah merencanakan proyek kolaborasi antara perusahaan Miller dengan perusahaan Moore," ujar Sophia dengan senyum semringah. Ia masih belum sadar ke mana arah perhatian calon suaminya. "Rumah sakit kapal tentu akan memberi warna baru dalam dunia medis. Pasien-pasien tak perlu tertekan saat menjalani pengobatan. Itu malah akan terasa seperti liburan dan lebih efektif. Benar begitu, Finnic?" Begitu Sophia menoleh ke samping, lengkung bibirnya langsung goyah. Sang kekasih ternyata sedang melirik perempuan di balkon seberang. Namun, sebelum para tamu menyadari perubahan ekspresinya, ia mengencangkan senyum dan mengelus pipi Finnic mesra. "Sayang, apakah kamu lelah?" Pria itu
"Tidak usah berlama-lama, Fin. Apa yang mau kau bicarakan?"Kara berbalik dan melipat tangan.Mendapat tatapan sedingin itu, hati Finnic semakin berat. Ia tidak bisa memungkiri dirinya rindu senyum manis Kara."Aku tahu, kau pasti sangat marah kepadaku. Aku tidak berhak meminta maaf. Tapi, kau harus tahu bahwa aku melakukan itu karena aku terlalu mencintaimu. Bukankah besarnya rasa sakit sebanding dengan rasa cinta?"Kara tiba-tiba mendengus. Sambil mengulum senyum, ia melempar pandangan ke laut. "Percaya atau tidak, aku memaklumimu. Aku tidak benci atau marah kepadamu, tapi kecewa."Finnic mendesak dahinya naik. "Kau tidak dendam kepadaku?"Kara mengedikkan bahu. "Kalaupun aku dendam, aku bisa apa? Aku sungguh-sungguh tidak berdaya, apalagi ... ada dua anak yang harus kulindungi."Finnic menelan ludah pahit. Dadanya sesak oleh beragam emosi. "Aku memang keterlaluan.""Tidak apa-apa. Semua itu sudah berlalu. Mar
“Tidak ... tidak mungkin.” Kara mulai berdeham. Kerongkongannya terlalu sempit dan gersang. Dadanya sesak, entah karena udara yang terlalu berat atau serpihan hati yang terlampau tajam. “Frank ...” panggilnya lirih. Meskipun tidak ada seorang pun yang menjawab, Kara terus memandang ke luar pagar. Angin laut berulang kali menampar pipinya, menyadarkan kalau kapal sedang berlayar. Tidak mungkin sang kekasih masih berada di bawah sana. Namun, ia tetap berharap sang kekasih menyapanya. Sementara itu, pasangan di balik punggungnya masih terbelalak. Mulut mereka terbuka lebar, tetapi tidak mengeluarkan kata. Mereka tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan. “Hentikan kapal ....” Seruan itu menyentak kesadaran mereka. Namun, belum sempat mereka bertindak, Kara kembali berteriak, “Cepat hentikan kapal! Suruh kapten untuk berputar dan turunkan tim penyelamat!” “Baiklah, baiklah!” Sophia meraih ponselnya dengan tergesa-gesa
“Ada apa, Sean? Apa sudah ada laporan dari temanmu itu? Dia baru keluar dari sel. Tangannya pasti gatal sudah lama tidak menumpahkan darah. Jadi, perempuan itu sudah mati, kan?” tanya Rowan dengan nada santai. Sean menarik napas samar. “Maaf, Tuan. Ada kesalahan.” Seketika, raut pria tua itu menggelap. “Apa maksudmu? Perempuan itu masih hidup?” Kekakuan di leher Sean bertambah berat. “Sepertinya ... Tuan Muda berusaha melindungi perempuan itu saat penyerangan terjadi. Mereka berdua ... terjatuh dari kapal.” Rowan sontak menggebrak meja. Ia tidak lagi duduk di kursinya. “Mereka berdua? Siapa? Bicaralah yang jelas!” Matanya mulai bergurat merah dan bergetar hebat. Sean menggertakkan rahang. “Tuan Muda dan—” “Apa?” Pekikan Rowan bergema. Dalam sekejap, seluruh sarafnya menegang dan napasnya tersengal-sengal. Meski begitu, ia masih berusaha untuk bicara. “Di mana dia? Di mana cucuku sekarang?” “Dia belum ditemukan, Tuan. Tim penyelamat masih melakukan pencarian.” Pria tua itu sont