“Sepertinya Bu Keysha hanya tinggal menunggu kehancurannya,” ucap Albert yang sore itu masih menemani Evan di kantor. Evan harus lembur agar besok bisa izin menemani Renata ke rumah sakit. “Itu salahnya yang sudah serakah. Andai dia menerima saja apa yang dimiliki, dia tidak akan mungkin mendapat masalah seperti sekarang,” balas Evan sambil mengecek berkas di meja. “Ya, apalagi dia terus mengusik Anda. Padahal sebelumnya sudah dilepaskan,” timpal Albert lagi mengingat. Evan melirik asistennya itu, beberapa hari ini sang asisten mendadak cerewet. “Apa kamu sedang ada masalah?” tanya Evan kini memandang Albert. Albert terkejut mendengar pertanyaan Evan, lantas menatap atasannya yang menunggu jawaban darinya. “Ada apa?” tanya Evan lagi. “Tidak, Pak. Tidak ada apa-apa. Memangnya saya bilang kalau ada masalah?” tanya Albert balik tidak mau mengakui. “Bukan kamu bilang kalau ada masalah, tapi apa kamu sadar jika sikapmu beberapa hari ini aneh.” Evan memperhatikan asistennya yang ter
“Aku tidak sabar ingin melihat denyut jantungnya,” ucap Evan sambil mengusap perut Renata yang mulai sedikit besar.“Aku juga,” balas Renata sambil tersenyum. Tidak ada hal yang membahagiakan selain melihat suaminya menanti calon buah hati mereka.Albert menoleh ke Evan dan Renata yang terlihat bahagia. Lantas dia menoleh istrinya yang masih murung dan sedih.“Pak, Anda ini keterlaluan sekali.” Albert protes karena Evan malah mengumbar kebahagiaan akan kehamilan Renata.Renata dan Evan menoleh, melihat Albert yang memasang wajah masam.Istri Albert sendiri memukul lengan pria itu pelan, memberi isyarat jika dia tidak apa-apa.“Maaf.” Renata meminta maaf ke Albert dan istri karena memang tidak bermaksud menyinggung.Perawat memanggil Albert dan istrinya karena memang didahulukan oleh Evan. Keduanya pun masuk untuk menjalani pemeriksaan, sedangkan Evan dan Renata menunggu.“Kasihan istrinya,” ucap Renata merasa iba.Terkadang ada wanita yang tidak mengharapkan anak tapi malah memiliki a
Renata terlihat senang melihat suaminya mau menghabiskan makanan miliknya. Dia terus menatap Evan yang sedang makan. Evan sendiri terpaksa menghabiskan makanan Renata karena sang istri merengek jika makanan itu harus habis dan tidak boleh disia-siakan. Dia memaksa makanan masuk lambung, meski perutnya terasa sudah penuh. “Enak, kan? Kapan-kapan makan di sini lagi, ya.” Renata terlihat senang makanan di piring habis. Evan hampir tersedak mendengar ucapan Renata. Jangan sampai ke sana lagi, yang ada nanti dia diminta menghabiskan makanan milik Renata lagi. “Tiba-tiba aku rindu desa,” ujar Renata sambil membayangkan asrinya lingkungan di desa, juga ramahnya orang-orang di lingkungan yang pernah ditinggali. Evan baru saja minum air saat mendengar ucapan Renata, hingga memandang sang istri yang terlihat sedang begitu rindu. “Kamu mau liburan ke sana?” tanya Evan yang tidak bisa melihat istrinya sedih atau kecewa. Renata langsung memandang Evan, hingga senyum terbit di wajahnya. “Mem
“Dhira, masih marah?”Dharu mencoba membujuk Dhira yang marah sejak tadi.Renata dan Evan saling pandang, sebelum kemudian memandang Dhira yang bersedekap dada karena sedang merajuk.“Dharu lebih suka sama anak-anak itu daripada Dhira! Dhira dicueki, Dhira kesal!” amuk Dhira sambil memalingkan wajah dari Dharu.Mereka sedang berada di restoran karena Dhira mengajak makan di luar.Dharu menatap Dhira yang memalingkan wajah, sedangkan Renata dan Evan memilih diam untuk melihat apa yang akan dilakukan Dharu untuk membujuk sang adik.“Bukan dicueki, Dhira. Tadi sudah Dharu ajak, tapi Dhira ga mau deketin,” ujar Dharu mencoba membela diri.Dhira lantas menoleh ke Dharu, terlihat jelas jika sangat marah dengan sikap sang kakak yang dianggap mengabaikan dirinya.“Siapa yang ga mau? Tadi tuh, Dhira sudah deket. Eh, didorong ga boleh deket-deket. Dhira kesel!” Dhira menggelembungkan pipi sampai kedua mata menyipit.“Dharu ga lihat. Ya, maaf kalau tadi kamu didorong,” ujar Dharu mencoba mengala
Pagi itu Evan baru saja selesai berpakaian. Dia harus ke perusahaan setelah mengambil cuti sehari kemarin.“Biar aku ikatkan.” Renata mendekat ke Evan yang sedang ingin mengikat dasi.Evan menoleh dan melihat sang istri yang sedang menghampirinya. Dia tersenyum dan terlihat senang karena Renata sekarang semakin rajin memperhatikan dirinya.Renata mengambil dasi dari tangan Evan, lantas mengikat perlahan sambil tersenyum.“Kamu tahu?” tanya Evan sambil memperhatikan wajah Renata.“Hm … apa?” tanya Renta balik tanpa menatap Evan karena sedang sibuk mengikat dasi.“Aku sangat bahagia bisa setiap hari mendapat perhatian darimu.” Evan bicara tanpa mengalihkan pandangn dari sang istri.Renata mendongak dan menatap Evan saat mendengar ucapan suaminya. Dia baru saja selesai mengikat dasi dan kini mengangsurkan jemarinya di permukaan dasi Evan.“Jangan menggombal, ini masih pagi,” balas Renata yang tidak memperlihatkan kalau dia sedang tersanjung karena ucapan suaminya.Evan gemas dengan sikap
“Kalian tidak bisa melakukan ini kepadaku!” Keysha menatap satu persatu pemegang saham yang kini berada di ruang rapat.Keysha sampai berdiri dan menggebrak meja karena tidak setuju dengan keputusan para pemegang saham yang memintanya mundur dari jabatan.Para pemegang saham saling tatap, tampaknya keputusan mereka sudah bulat dan tidak bisa diganggu-gugat.“Tindakanmu sangat tidak bermoral, sekarang saham perusahaan terus mengalami penurunan. Banyak kesepakatan kerjasama dibatalkan sebelum tandatangan kontrak, setelah mereka mengetahui skandal yang menjeratmu. Apa kamu pikir bisa memperbaiki ini?” Salah satu pemegang saham angkat suara.“Meski kamu sudah melakukan klarifikasi, tapi tetap saja semua itu tidak mengubah apa pun.”Keysha menatap satu persatu para pemegang saham itu dengan wajah penuh amarah.“Jalan satu-satunya kamu mundur dari jabatanmu. Dengan adanya kamu sebagai direktur utama di sini, aku yakin perusahaan ini akan semakin terpuruk.”Keysha benar-benar geram, para pri
“Mau mama bantu ngupas buah?” tanya Margaret ketika melihat Renata sedang sibuk di dapur.Renata menoleh dan tersenyum ke mertuanya itu.“Tidak usah, Ma. Ini juga sudah mau selesai,” jawab Renata sambil menggerakkan pisau mengupas kulit apel.Margaret memilih duduk di samping Renata, memperhatikan menantunya itu mengupas.“Sini, mama bantu nyuci biar kamu ga usah berdiri-duduk.” Margaret mengambil piring berisi buah yang sudah dikupas, lantas mencucinya di wastafel.Renata ingin menolak, tapi Margaret sudah lebih dulu mengambil piring itu, membuatnya hanya diam memperhatikan.“Ini.” Margaret meletakkan piring berisi buah yang sudah dicuci di hadapan Renata.“Terima kasih, Ma.” Renata pun memotong buah itu agar siap santap.Margaret memperhatikan Renata, hingga terlihat ada yang ingin disampaikan tapi takut mengatakan.“Re.”Renata langsung menoleh ke Margaret begitu mendengar panggilan mertuanya itu.“Iya, Ma.”“Setelah melahirkan nanti, apa kalian akan pindah rumah?” tanya Margaret h
“Berita apa?” Evan terkejut mendengar ucapan Albert, hingga langsung meraih remote televisi dan mencari saluran berita. Renata pun memperhatikan saat melihat Evan terkejut. Dia tidak berani bertanya dulu karena Evan masih bicara dengan Albert. “Lihatlah sendiri, Pak.” Suara Albert terdengar dari seberang panggilan. Evan sudah mendapatkan saluran berita di televisi, hingga melihat berita yang sedang ditayangkan. Renata langsung menutup permukaan bibir begitu melihat berita yang disiarkan. “Ya, aku sudah melihatnya. Apa itu perampokan?” tanya Evan sambil melihat televisi yang sedang menayangkan berita penemuan mayat Henry yang tergeletak di jalan. Berita itu memberi informasi jika dugaan meninggalnya Henry karena perampokan, tapi tentu saja informasi itu belum valid, apalagi mobil dan barang berharga pria itu masih utuh. “Menurut saya, ini sepertinya ada hubungannya dengan pembicaraan kita siang tadi, Pak.” Albert kembali bicara. Evan terdiam sejenak, hingga kemudian bergumam, “A