Kali ini bukan Aldi yang membuat janji. Namun Elina sendiri yang tengah menunggu Aldi di taman tempat mereka sering bertemu dahulu, ketika masih menjalin kasih dan berjanji akan tetap bersama selamanya. Namun kini jalan mereka telah berbeda.
Elina menguatkan hatinya untuk memutuskan sesuatu yang besar dalam hidupnya. Aldi adalah bagian dari masa lalunya dan Aldi berhak mengetahui nya.
"Kamu telah lama menunggu Elina?" tanya Aldi. Wajah Aldi terlihat kusut dan suram tidak seperti biasanya. Kerah bajunya berantakan dan terdapat banyak keringat di bahunya. Bahkan hal sekecil itu Elina masih bisa menaruh perhatiannya.
Elina sebenarnya ingin tidak lagi peduli dengan mantan suaminya, namun bukan rasa sayang dan cinta seperti dulu. Lebih ke rasa teman dan orang tua kedua anak kemba
"Bunda cantik seperti Nana." Liana memperhatikan wajah bundanya yang sudah dipoles tipis dengan makeup."Cantikan Bunda," kata Liam membuat Liana kesal dan memukul punggung kakaknya dengan pelan.Hari ini, keluarga dokter Andre akan membawa seserahan ke kediaman keluarga Syahreza. Elina tersenyum walaupun jantungnya berdetak dengan kencang sedari tadi. Elina mencoba menetralkan tubuhnya yang kaku dan juga berkeringat dingin.Liana menghapus keringat di dahi bundanya dengan lembut, agar makeup bundanya tidak luntur."Kok Bunda keringetan?""Jangan banyak bertanya. Urusan orang dewasa," peringat Liam, membuat Liana bungkam tidak lagi b
Aldi menggeram frustasi. Leo sengaja mengunggah foto keluarga Syahreza dengan keluarga dokter Andre yang tengah memasang cincin pertunangan.Aldi mencengkeram stir mobil dan melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, mewakili rasa kalut, dan sakit hatinya.Aldi mengingat kenangan mereka dahulu ketika Elina menatapnya dengan penuh cinta ketika dirinya tengah melamarnya, walaupun anggota keluarga nya tidak ada yang datang waktu itu."Mama sama adek Mas, tidak datang?" bisik Elina di telinga Aldi."Maaf. Mereka sibuk katanya. Hanya papa yang bisa datang. Kamu tidak marah, kan?"Elina menggeleng dan mengerti. Mungkin mereka semua tidak sudi menghadiri aca
Elina dan dokter Andre masuk ke dalam ruang inap Aldi yang terlihat sudah membuka mata dan tengah mengobrol dengan kedua anak kembarnya."Deddy kenapa sampai seperti ini? Nana sedih lihatnya." Liana memeluk lengan kekar daddy-nya sambil mengelusnya.Aldi tersenyum dan mengusap kepala Liana, "Deddy tidak kenapa-kenapa Sayang. Hanya kecapean."Liam menyilang kedua tangan di dada memperhatikan interaksi Liana dan deddy mereka. Liam memilih tidak bersuara."Liam," lirih Tamara mencoba menyapa cucu laki-laki nya itu.Elina dan Andre memperhatikan raut wajah Liam yang dingin dan enggan untuk menjawab panggilan dari Tamara.
Dua minggu sudah berlalu, setelah kejadian itu, dimana mantan suaminya mengancam akan bunuh diri karena Elina akan segera menikah dengan dokter Andre.Elina bahkan semakin yakin bahwa dokter Andre adalah jodohnya. Ketika Aldi mengancam akan bunuh diri, bahkan dokter Andre selalu membisikkan kata-kata menenangkan kepadanya, membuat Elina bisa mengontrol emosinya.Mungkin kalau bukan dokter Andre yang akan menjadi suaminya, dan mendengar mantan suami Elina menyuruhnya berpisah, sejak beberapa detik yang lalu dokter Andre akan menerjang tubuh Aldi dan memukulnya membabi buta karena berani menyuruhnya berpisah dengan calon istrinya sendiri.“Kamu sudah siap Elina?” tanya Pelita merapikan gaun pengantin yang tengah dipakai sang pengantin wanita. Tidak terlalu te
Elina menggigit bibir bawahnya gugup. Malam ini adalah malam yang dinantikan oleh semua pengantin baru. Elina menatap pantulan dirinya di cermin. Dengan memakai piyama tertutup dan berlengan panjang, Elina menyemprotkan sedikit parfum ke tubuhnya.Beberapa menit yang lalu mereka telah melaksanakan shalat sunnah dan memanjatkan doa bersama sebelum melakukan hal itu.Namun Elina sedikit memundurkan waktunya dengan alasan ingin ke toilet. Andre tidak mempermasalahkan nya. Dengan senyuman lembut Andre mengangguk dan sekarang menunggunya di pinggir ranjang tengah memainkan ponselnya.Elina mengambil nafas panjang setelah itu keluar dari kamar mandi dengan senyuman mengembang. Elina melangkah mendekati sang suami dengan jantung berdebar dan wajah memerah.
"Oma, Bunda sama papa Andre ndak keluar kamar, ya?" tanya Liana sembari mengunyah roti yang ada di dalam mulutnya.Pelita memperhatikan pintu kamar pasutri baru itu. Tidak ada tanda-tanda mereka akan keluar kamar."Oma saja yang antar, ya?" tawar Pelita penuh harap."Ndak perlu repot-repot Oma. Dev jemput kita sebentar lagi."Pelita menghela nafas pelan. Padahal ia ingin mengantar kedua cucunya ini untuk berangkat ke sekolah. Mungkin lain waktu saja.Tiiittt. Suara klakson mobil terdengar sangat nyaring dari luar rumah. Pasti Devan yang telah datang.Liam dan Liana langsung bangkit dari
"Mama, Liam dan Liana sudah berangkat sekolah?" tanya Elina canggung bertanya kepada Pelita."Hem, biarkan Mama yang mengurus mereka. Kalian jangan khawatir. Kalian berdua menikmati waktu bersama dulu."Elina memperhatikan wajah Pelita tidak enak hati. Ia sudah bangun kesiangan dan sekarang merepotkan mertuanya. Pasti mertuanya sangat jengkel kepadanya."Hari ini terakhir Ma. Besok Pelita tidak akan merepotkan Mama lagi. Elina janji.""Tidak Nak. Kamu tidak merepotkan Mama. Justru Mama bahagia dengan kehadiran mereka. Mereka sangat menggemaskan dan juga mandiri."Andre yang mengerti perasaan istrinya langsung mengelus bahu Elina menenangkan nya.
Elina dan Andre telah menyiapkan koper mereka masing-masing. Mereka keluar dari kamar, dengan Andre yang membawa kedua koper tersebut, tidak memberikan Elina membawanya."Bunda mau kemana?" tanya Liana memeluk bundanya."Mau pergi sayang. Nana mau ikut atau di rumah sama oma?"Liana segera memutar otaknya. Menaruh jari telunjuknya di bawah bibir sembari memperhatikan wajah kedua orang tuanya."Ngak deh, Nana sama kak Liam kan sekolah. Bentar lagi mau lomba olimpiade. Kalau ikut, nanti pelajaran kita terbengkalai."Elina tersenyum mengusap kepala Liana, "Iya sayang. Kita pergi lagi pas kalian libur sekolah."