Elina dan Andre telah menyiapkan koper mereka masing-masing. Mereka keluar dari kamar, dengan Andre yang membawa kedua koper tersebut, tidak memberikan Elina membawanya.
"Bunda mau kemana?" tanya Liana memeluk bundanya.
"Mau pergi sayang. Nana mau ikut atau di rumah sama oma?"
Liana segera memutar otaknya. Menaruh jari telunjuknya di bawah bibir sembari memperhatikan wajah kedua orang tuanya.
"Ngak deh, Nana sama kak Liam kan sekolah. Bentar lagi mau lomba olimpiade. Kalau ikut, nanti pelajaran kita terbengkalai."
Elina tersenyum mengusap kepala Liana, "Iya sayang. Kita pergi lagi pas kalian libur sekolah."
Berlin, Jerman.Brak!Beberapa dokumen dihempaskan oleh Aldi dengan wajah gelap dan rahang mengeras. Dua pegawainya yang berdiri di depannya saat ini menunduk bergetar tidak berani bersuara."Sudah dua kali, laporan ini kalian serahkan kepada saya. Kalian tidak berniat bekerja?!" bentak Aldi."Maaf Pak. Kami telah merevisinya sesuai dengan tuntunan sekretaris Bapak. Bahkan beberapa pegawai dari divisi kita bekerja lembur selama dua hari."Aldi menatap mereka dengan aura menggelap. Kedua pegawai berjenis kelamin laki-laki dan perempuan itu menunduk untuk kesekian kalinya. Tidak berani terlalu lama memperhatikan wajah atasannya itu yang terlihat menyeramkan.
Hembusan angin menerpa tubuh gadis yang tengah menunggu mobil yang telah ia pesan. Namun beberapa menit telah berlalu. Mobil tersebut tidak datang dan sekarang menyisakan dirinya yang berdiri di depan kantor yang telah sepi dengan cuaca yang sudah mulai gerimis dan sahutan petir saling bertabrakan dengan atmosfer bumi. "Mana udah mau jam sepuluh lagi. Gue pulangnya gimana?" gerutu Delia bolak balik melihat arloji yang ada di pergelangan tangan mungilnya. Tidak ingin menyerah. Delia mencoba untuk menerobos gerimis, namun ia kembali ke tempat semula setelah lima langkah, karena suara petir kembali terdengar sangat menakutkan. Delia memperhatikan ke sekelilingnya. Tidak ada karyawan yang tersisa. Hanya dirinya dan satpam yang berjarak 50 meter dari dirinya berpijak
"Pokoknya Dev ndak boleh bantu Nana!""Hem."Liana tidak ingin Devan ikut campur dan menolongnya lewat jalur dalam untuk menjadi salah satu peserta olimpiade tahun ini mewakili sekolah."Kalau Nana kalah, Nana janji ndak akan sedih.""Iya," jawab Devan kembali. Liana sangat keras kepala. Banyak anak-anak yang ingin bersahabat dengannya dan memanfaatkannya kedudukannya. Namun Liana sebaliknya. Gadis kecil suka mengemut lollipop itu menolak keras apabila ia membantunya. Karena gadis kecil itu yakin dirinya bisa dengan belajar yang rajin mengalahkan 50 peserta."Nana! Ingat kata Kakak. Tidak boleh meremehkan lawan dan juga tergesa-gesa dalam menjaw
Elina tersenyum dan memejamkan matanya menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya dari atas balkon. Rambut indah itu terurai dan berterbangan karena angin, menambah kesan kecantikan Elina. Elina terlihat sangat awet muda walaupun sudah memiliki dua orang anak.Tidak ada yang menyangka Elina telah menikah untuk kedua kalinya. Para pegawai hotel menyambutnya dengan sangat ramah dan istimewa. Mereka tidak menyangka akan bertemu secara langsung dengan Elina, di hotel tempat mereka bekerja.Elina bahkan jauh lebih cantik, ketika berhadapan secara langsung. Dari pada hanya melihatnya di sosial media.“Mas, aku ingin menceritakan sesuatu kepadamu.” Elina menatap sang suami yang ada di sampingnya. Andre sedari tadi memperhatikannya, membuat Elina merona.
Elina memandang bangunan di depannya dengan wajah tegar dan tatapan sendu. Ia mengeratkan pegangannya di koper yang tengah ia bawa. Keputusannya sudah bulat. Walaupun hatinya bagai tertusuk ribuan duri, entah kalau bisa dijabarkan, mungkin sekarang hatinya tengah berdarah dan sakit.“Elina,” panggil Surya kepada Elina, yang sudah berada di dalam mobil menunggu Elina.Elina menoleh dan terisak. Dadanya sesak. Air mata menetes dari pelupuk matanya tiada henti. Surya mengerti akan posisi menantunya sekarang. Tangannya terkepal. Ia berjanji tidak akan merestui kembali hubungan Elina dengan Aldi esok apabila Aldi telah menyesali perbuatannya dan ingin rujuk kembali.Elina mencoba menguatkan diri dan menghapus air matanya sampai bersih. Ia kembali berbalik melihat kedi
Tok! Tok! Shanika dengan malas mengetuk pintu kamar Elina beberapa kali. Kalau tidak disuruh oleh suaminya. Shanika tidak akan sudi melakukannya. "Elina! Kau belum juga bangun?! Istri macam apa, belum bangun sampai jam segini," cibir Shanika di depan pintu kamar Elina. "Kenapa Sayang?" tanya Aldi menghampiri Shanika yang terlihat kesal dan cemberut. Shanika menoleh, "Ini loh, Mas. Elina belum juga mau bangun." Aldi kembali mengetuk pintu kamar Elina. Jauh lebih keras. Bahkan banyak pasang mata yang melihatnya, karena mendengar gedoran terdengar nyaring. "Kasihan ya, No
Berlin, Jerman, 2013Setelah dokter memberikan kabar baik kepada Elina, wanita hamil itu tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaan bahagianya sekarang. Ia bersandar di sofa sambil menonton acara televisi dengan menikmati secangkir kopi.“Huek!” elina segera berlari ke kamar mandi yang berada di lantai bawah. Dengan wajah pucat dan perut yang bergejolak, Elina memuntahkan cairan kental dan bening. Kepalanya kembali pusing seperti pertama kali dirinya muntah karena kehamilannya.Elina membasuh wajahnya dengan air dan menatap dirinya di cermin. Entah angin apa, Elina terisak merasakan sakit di dadanya. Elina menghapus air matanya sembari mengingat kembali kebersamaanya dengan mantan suami.Elina harus m
Liana mengelilingi halaman rumahnya sendiri, dengan mengayuh sepeda. Ia tersenyum sembari menaruh boneka sapi berukuran sedang di ranjang sepeda sebagai temannya bermain.Kakaknya sedang belajar di dalam kamarnya, untuk persiapan olimpiade antar sekolah. Kedua anak laki-laki seperti Liam dan Devan mengambil mata pelajaran matematika dalam satu kelompok, yang sudah disaring dan dipilih.“Nana main sama Vivi, saja.” Nama boneka sapi berwarna pink dan putih itu adalah Vivi.Liana mengayuh sepedanya dekat dengan gerbang. Liana menatap aneh ke arah seorang wanita yang membelakanginya berada di luar gerbang. Penjagaan di rumah Andre, tidak seketat seperti dimension Syahreza. Bahkan satpamnya, entah pergi kemana.“Bunda!” Liana memanggil wanita itu