Elina dan dokter Andre masuk ke dalam ruang inap Aldi yang terlihat sudah membuka mata dan tengah mengobrol dengan kedua anak kembarnya.
"Deddy kenapa sampai seperti ini? Nana sedih lihatnya." Liana memeluk lengan kekar daddy-nya sambil mengelusnya.
Aldi tersenyum dan mengusap kepala Liana, "Deddy tidak kenapa-kenapa Sayang. Hanya kecapean."
Liam menyilang kedua tangan di dada memperhatikan interaksi Liana dan deddy mereka. Liam memilih tidak bersuara.
"Liam," lirih Tamara mencoba menyapa cucu laki-laki nya itu.
Elina dan Andre memperhatikan raut wajah Liam yang dingin dan enggan untuk menjawab panggilan dari Tamara.
Dua minggu sudah berlalu, setelah kejadian itu, dimana mantan suaminya mengancam akan bunuh diri karena Elina akan segera menikah dengan dokter Andre.Elina bahkan semakin yakin bahwa dokter Andre adalah jodohnya. Ketika Aldi mengancam akan bunuh diri, bahkan dokter Andre selalu membisikkan kata-kata menenangkan kepadanya, membuat Elina bisa mengontrol emosinya.Mungkin kalau bukan dokter Andre yang akan menjadi suaminya, dan mendengar mantan suami Elina menyuruhnya berpisah, sejak beberapa detik yang lalu dokter Andre akan menerjang tubuh Aldi dan memukulnya membabi buta karena berani menyuruhnya berpisah dengan calon istrinya sendiri.“Kamu sudah siap Elina?” tanya Pelita merapikan gaun pengantin yang tengah dipakai sang pengantin wanita. Tidak terlalu te
Elina menggigit bibir bawahnya gugup. Malam ini adalah malam yang dinantikan oleh semua pengantin baru. Elina menatap pantulan dirinya di cermin. Dengan memakai piyama tertutup dan berlengan panjang, Elina menyemprotkan sedikit parfum ke tubuhnya.Beberapa menit yang lalu mereka telah melaksanakan shalat sunnah dan memanjatkan doa bersama sebelum melakukan hal itu.Namun Elina sedikit memundurkan waktunya dengan alasan ingin ke toilet. Andre tidak mempermasalahkan nya. Dengan senyuman lembut Andre mengangguk dan sekarang menunggunya di pinggir ranjang tengah memainkan ponselnya.Elina mengambil nafas panjang setelah itu keluar dari kamar mandi dengan senyuman mengembang. Elina melangkah mendekati sang suami dengan jantung berdebar dan wajah memerah.
"Oma, Bunda sama papa Andre ndak keluar kamar, ya?" tanya Liana sembari mengunyah roti yang ada di dalam mulutnya.Pelita memperhatikan pintu kamar pasutri baru itu. Tidak ada tanda-tanda mereka akan keluar kamar."Oma saja yang antar, ya?" tawar Pelita penuh harap."Ndak perlu repot-repot Oma. Dev jemput kita sebentar lagi."Pelita menghela nafas pelan. Padahal ia ingin mengantar kedua cucunya ini untuk berangkat ke sekolah. Mungkin lain waktu saja.Tiiittt. Suara klakson mobil terdengar sangat nyaring dari luar rumah. Pasti Devan yang telah datang.Liam dan Liana langsung bangkit dari
"Mama, Liam dan Liana sudah berangkat sekolah?" tanya Elina canggung bertanya kepada Pelita."Hem, biarkan Mama yang mengurus mereka. Kalian jangan khawatir. Kalian berdua menikmati waktu bersama dulu."Elina memperhatikan wajah Pelita tidak enak hati. Ia sudah bangun kesiangan dan sekarang merepotkan mertuanya. Pasti mertuanya sangat jengkel kepadanya."Hari ini terakhir Ma. Besok Pelita tidak akan merepotkan Mama lagi. Elina janji.""Tidak Nak. Kamu tidak merepotkan Mama. Justru Mama bahagia dengan kehadiran mereka. Mereka sangat menggemaskan dan juga mandiri."Andre yang mengerti perasaan istrinya langsung mengelus bahu Elina menenangkan nya.
Elina dan Andre telah menyiapkan koper mereka masing-masing. Mereka keluar dari kamar, dengan Andre yang membawa kedua koper tersebut, tidak memberikan Elina membawanya."Bunda mau kemana?" tanya Liana memeluk bundanya."Mau pergi sayang. Nana mau ikut atau di rumah sama oma?"Liana segera memutar otaknya. Menaruh jari telunjuknya di bawah bibir sembari memperhatikan wajah kedua orang tuanya."Ngak deh, Nana sama kak Liam kan sekolah. Bentar lagi mau lomba olimpiade. Kalau ikut, nanti pelajaran kita terbengkalai."Elina tersenyum mengusap kepala Liana, "Iya sayang. Kita pergi lagi pas kalian libur sekolah."
Berlin, Jerman.Brak!Beberapa dokumen dihempaskan oleh Aldi dengan wajah gelap dan rahang mengeras. Dua pegawainya yang berdiri di depannya saat ini menunduk bergetar tidak berani bersuara."Sudah dua kali, laporan ini kalian serahkan kepada saya. Kalian tidak berniat bekerja?!" bentak Aldi."Maaf Pak. Kami telah merevisinya sesuai dengan tuntunan sekretaris Bapak. Bahkan beberapa pegawai dari divisi kita bekerja lembur selama dua hari."Aldi menatap mereka dengan aura menggelap. Kedua pegawai berjenis kelamin laki-laki dan perempuan itu menunduk untuk kesekian kalinya. Tidak berani terlalu lama memperhatikan wajah atasannya itu yang terlihat menyeramkan.
Hembusan angin menerpa tubuh gadis yang tengah menunggu mobil yang telah ia pesan. Namun beberapa menit telah berlalu. Mobil tersebut tidak datang dan sekarang menyisakan dirinya yang berdiri di depan kantor yang telah sepi dengan cuaca yang sudah mulai gerimis dan sahutan petir saling bertabrakan dengan atmosfer bumi. "Mana udah mau jam sepuluh lagi. Gue pulangnya gimana?" gerutu Delia bolak balik melihat arloji yang ada di pergelangan tangan mungilnya. Tidak ingin menyerah. Delia mencoba untuk menerobos gerimis, namun ia kembali ke tempat semula setelah lima langkah, karena suara petir kembali terdengar sangat menakutkan. Delia memperhatikan ke sekelilingnya. Tidak ada karyawan yang tersisa. Hanya dirinya dan satpam yang berjarak 50 meter dari dirinya berpijak
"Pokoknya Dev ndak boleh bantu Nana!""Hem."Liana tidak ingin Devan ikut campur dan menolongnya lewat jalur dalam untuk menjadi salah satu peserta olimpiade tahun ini mewakili sekolah."Kalau Nana kalah, Nana janji ndak akan sedih.""Iya," jawab Devan kembali. Liana sangat keras kepala. Banyak anak-anak yang ingin bersahabat dengannya dan memanfaatkannya kedudukannya. Namun Liana sebaliknya. Gadis kecil suka mengemut lollipop itu menolak keras apabila ia membantunya. Karena gadis kecil itu yakin dirinya bisa dengan belajar yang rajin mengalahkan 50 peserta."Nana! Ingat kata Kakak. Tidak boleh meremehkan lawan dan juga tergesa-gesa dalam menjaw