Fic menyandarkan punggungnya di jok mobil. Menoleh pada Naila dan Ranti yang duduk tepat di sampingnya."Terimakasih sudah membantuku."Ranti tersenyum, sambil membelai rambut Naila." Tidak perlu berterima kasih mas Gilang. Sudah seharusnya. Kami harus bisa berguna. Bukan kah itu tujuan kami ikut serta?" sahut Ranti."Apa tadi itu Tuan Putri Ellena, Paman?" Naila bertanya sambil mendongak menatap Fic.Fic mengangguk. "Apa dia cantik?" mengangkat dagu Naila."Sangat cantik. Seperti Cinderella!" jawab Naila.Fic nampak tersenyum tipis, namun air matanya kembali lolos. Fic mengusap itu, menarik nafas yang begitu berat."Sabar mas Fic. Cinta, deritanya memang tiada akhir." sahut Ilham yang berada di jok depan."Kamu ini!" Ranti memukul kepala Suaminya dari belakang."Orang sedang patah hati. Sempat sempat nya." omel Ranti."Hehe, maafkan aku. Aku hanya ingin sedikit menghibur mas Gilang." balas Ilham."Mas Gilang, mas Fic. Yang benar yang mana?""Dua-duanya, Dik. Dan hanya aku yang boleh
Mobil Glen kini berhenti tepat di depan Rumah Elfa. Keduanya cepat menuruni mobil, bahkan tidak lagi memperdulikan Ayah Elfa lagi.Mereka Berjalan terburu menuju pintu di ikuti Ayah Elfa. Glen dengan rasa tidak sabar mengetuk pintu berkali-kali.Pintu dibuka seseorang, dan yang membuka adalah Ilham yang langsung melirik ke arah Ayah Elfa yang berdiri di belakang Glen.Tanpa disuruh Daniah dan Glen menyeruak masuk."Dimana Fic?" Glen bertanya saat tak menemukan Fic di dalam ruangan itu."Tuan!" Fic muncul dari arah dapur.Seketika keduanya menoleh bersamaan."Fic..!" Daniah berlari ke arah Fic dan menubruk."Fic!" Daniah memeluk Fic dengan tangisannya yang pecah seketika." Nyonya. Sudah!""Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu!" melepaskan pelukannya.Kini berganti Glen yang memeluk Fic. Setelah beberapa saat, kini mereka sudah duduk dengan tenang di ruangan tengah rumah itu.Daniah menyeka air matanya dengan sesekali masih terisak."Bagaimana kabarmu Fic? Kenapa tidak memberi ta
Percayalah pada Ayah Saat ini, Glen dan Daniah sudah kembali berada di rumah mereka. Daniahmenyeret langkah lesunya ke kamar mandi untuk mencuci muka. Sementara Glen sudah membaringkan tubuhnya dengan dua tangan bersilang di bawah kepala.Matanya menatap langit langit, dengan pikiran yang menerawang. Kini Nathan sudah mengambil keputusan untuk mengingkari surat perjanjian itu apapun resikonya.Daniah sudah selesai dengan urusannya, melangkah ke ranjang dan duduk di tepi. Matanya kini tak lepas menatap wajah sang Suami.Daniaj tersenyum, meskipun gurat tua yang sudah terlihat di wajah milik suaminya, itu tidak mengurangi ketampanan dan ketenangan wajah itu. Glen masih tetap seperti dulu, selalu terlihat tegar di depannya walau sebenarnya rapuh."Apa kamu serius dengan keputusanmu, Glen?" Dia meraih tangan suaminya dan membawanya ke pipi.Glen menoleh sambil menggulirkan senyuman."Tentu saja. Apa kamu keberatan jika nantinya kamu akan ku tinggal mendekam di Penjara?"Daniah masih ters
Ellena masih sesekali mengusap air matanya yang mengalir. Walaupun hatinya kini diliputi rasa bahagia yang tiada tara, tapi jauh di dalam sana harus menyimpan rasa sedih yang teramat besar. Mengingat begitu berat pengorbanan Fic untuknya. Lalu membayangkan saat Fic harus tinggal di pedesaan yang mungkin jauh tidak baik bila dibanding dengan rumah ini."Ya Tuhan. Terima kasih telah menjaga Fic untukku." ucapnya lirih. Ellena mendekap kembali tubuhnya sendiri. Dia berulang kaki bersyukur pada Tuhan yang telah menyelamatkan Fic dari kematian Karena dirinya. Jika saja darah Fic sama dengannya, mungkin saat ini Ellena tidak akan pernah mendapatkan kenyataan dari Ayahnya seperti ini. Ia benar benar akan kehilangan Fic untuk selamanya."Aku harus menyusul Fic!" Ucapnya pada dirinya sendiri."Tapi, bagaimana caranya aku bisa keluar dari rumah ini tanpa ada yang tau?" sama halnya dengan Ayahnya, Ellena pun memikirkan cara.Ellena nampak berpikir keras, kemudian ia bangun untuk keluar kamar. Di
"Kamu bicara apa barusan?"Elfa hanya menggeleng."Katakan Elfa. Kamu bilang Fic belum mati. Katakan yang sebenarnya apa yang kamu tau tentang Fic!""Nona." Elfa kini berlutut."Tolong jangan katakan ini pada siapapun. Aku akan digantung Ayahku." Elfa memohon.Ellena ikut berlutut kini, melempar gunting ke lantai dan kemudian memegang bahu Elfa."Katakan yang kamu tau."Elfa mendongak, menatap Ellena."Tuan Fic tidak mati. Kemarin, dia datang ke rumah dan Orang tua Nona menemuinya. Kami merahasiakan ini demi kebaikan semua."Ellena membulatkan matanya. Sebenarnya Ellena tidak terkejut, hanya berpura pura terkejut."Berarti, yang aku lihat di taman itu adalah sungguh Fic?"Elfa mengangguk,"Dia ingin melihatmu sebentar saja." ucap lirih Elfa.Ellena terisak kembali, terduduk di lantai."Fic. Kenapa dia harus menderita seperti itu?""Nona jangan bersedih lagi. Tuan Fic melakukan ini demi Nona." ucap Elfa."Aku ingin bertemu dengannya Elfa. Bantu aku.""Tuan Fic sudah pergi. Ayah Nona me
Jantung Ellena tak berhenti berdegup kencang dari pertama kali Bus yang ditumpangi itu berangkat dari Terminal. Sedikitpun gadis itu tak dapat memejamkan matanya. Bayangan Fic terus melintasi otaknya.Hingga Bus sudah memasuki kapal, dan kapal mulai berlabuh pelan.Ellena duduk di kursi kapal di antara para penumpang yang berasal dari bus yang sama dengannya tadi dengan alasan tak ingin berpisah dari rombongan itu.Merogoh hpnya. Hp tanpa JPS bahkan kartu SIM yang sudah di lepas sejak dari Rumah.Ellena mengulik sebentar, menemukan yang ia cari.Ellena menatapi Foto seorang Pria dewasa yang sudah menggenggam hatinya itu, dan berhasil menuliskan nama abadi di dalam sana.Ellena mengulas senyuman yang terhalang masker."Tunggu Aku, Fic. Tunggu aku." Ellena menyeka air matanya yang menetes.Kepalanya terasa berat, mungkin karena hampir semalaman tidak tertidur sedetikpun. Menyimpan kembali hpnya, lalu Kepala itu akhirnya tumbang juga di badan kursi dan terlelap begitu saja.Hingga tepuka
Travel melaju di tengah jalan yang jauh lebih sepi dibandingkan lalu lintas kota tempat Ellena tinggal. Ia pun akhirnya terlelap, terbawa oleh kantuk yang tak tertahankan. Dengkuran halus terdengar dari bibirnya, menandakan bahwa Ellena telah tertidur pulas, tanpa menyadari pemandangan indah di luar jendela yang mungkin belum pernah ia saksikan sebelumnya. Beberapa kali, guncangan mobil yang terkena lubang dijalan tak mampu membangunkan Ellena. Sampai akhirnya, sang sopir merasa ada yang tak beres dan memutuskan untuk meminggirkan kendaraannya. Sopir itu keluar dari mobil, dengan ekspresi khawatir, untuk memeriksa apa yang sedang terjadi."Ah, sial! Ban pecah, ternyata. Pantas saja!" gumamnya sambil melihat jam tangan yang menunjukkan pukul tiga sore. "Dek.. dek!" serunya mencoba membangunkan Ellena. Ellena terlonjak kaget dan bangun seketika. Matanya bergerak cepat, mencoba mengenali sekitarnya."Kenapa berhenti, Pak? Sudah sampai?" tanyanya sambil membuka pintu mobil untuk keluar.
Ellena merasa lemas, matanya mencari-cari sesuatu yang hilang. "Mungkin saja jatuh di travel tadi atau di pelabuhan," gumamnya lirih. Dia merasa panik, "Ya Tuhan..! Bagaimana jika aku tersesat?" keluhnya dalam hati.Ia menoleh ke para ibu-ibu di sekitarnya yang tampak bingung dengan keadaannya. Lalu pandangannya tertuju pada sang ojek yang juga tampak bingung."Mas, bagaimana? Kertas alamat itu hilang," ujar Ellena pada sang ojek dengan wajah cemas. Seorang ibu-ibu menghampiri, menatap Ellena dengan simpati. "Kasihan sekali Mbak ini. Pasti dari jauh ya?" tanyanya penuh kepedulian."Benar Bu. Saya dari kota. Saya, saya sedang mencari.. Mencari kakakku. Kakakku pergi dari rumah sekitar tiga atau empat bulan yang lalu. Ayahku mengatakan jika dia tinggal di daerah sini. Di desa ini. Tapi untuk memastikan, kertas alamat itu malah hilang," sahut Ellena dengan nada putus asa."Tidak menyimpan nomor HP-nya ya?" tanya satu ibu-ibu dengan ekspresi ikut panik. Ellena menggeleng perlahan, tampak
Fic tidak menyadari perasaan yang tumbuh di antara mereka. Orang lain juga sama, tidak ada yang tahu apa yang tersimpan di dalam hati Ellena. Namun, suatu saat Ellena tidak mampu menahan lagi dan mulai mengekspresikan perasaannya dengan lebih jelas. Fic hanya menganggap bahwa Ellena begitu karena belum dewasa dan belum mengerti perasaannya. Suatu hari, Ellena yang sudah bukan remaja lagi, mengungkapkan perasaan cinta yang selama ini terpendam.Fic merasa seolah tersambar petir dan sulit memahami apa yang sedang terjadi. "Mana mungkin?" batin Fic. "Aku hanya seorang kepala pelayan, dan usia kita terpaut jauh. Aku bahkan bisa jadi pamanmu, nona!" Namun, Ellena sama sekali tidak peduli dengan alasan tersebut. Ia nekad melakukan apapun untuk bisa bersama Fic. Perasaan Ellena semakin memuncak dan menghempas rasa ragu di hatinya. Fic kini terjebak dalam dilema, antara menerima perasaan Ellena atau tetap pada prinsipnya. Ketika akhirnya ia mulai merasakan getaran yang sama dalam hatinya, ia
"Diam!" Ellena bersikukuh, masih saja melanjutkan pekerjaannya. Lalu mengambil celana Fic dan meminta Fic untuk mengenakannya dengan sabar.Fic hanya bisa menurut. Ellena memakaikan kemeja putih pada Fic, mengancingkan baju itu."Ellena, aku bisa sendiri." menarik tangan Ellena hingga tubuh Ellena menabrak dadanya."Aku ingin melakukannya Fic. Dengan begitu, aku semakin bahagia." Ellena melepaskan tangan Fic, sekarang memasangkan dasi untuk Fic."Nona."Ellena masih belum selesai merapikan rambut, baju dan dasi Suaminya."Sudah rapi. Tinggal jas nya saja. Dipakai sekarang apa nanti saja?"Fic tak menjawab pertanyaan Ellena. Masih senantiasa menatap wajah Ellena."Fic.""Bisa menikahimu saja, sudah membuatku tak berhenti bersyukur. Jangan melakukan ini lagi. Itu membuatku merasa bersalah."Ellena dengan lembut menarik tengkuk Fic, menciumi wajahnya dengan penuh kasih sayang. "Aku ingin melakukan ini setiap pagi. Kau tidak boleh melarangku, atau aku akan mengadu pada Ayah. Kau sudah men
Fic menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum, "Baiklah, Tuan. Jika Anda telah mempercayai saya, saya tidak ingin mengecewakan Anda. Tapi, bolehkah saya mencari pengganti diri saya sebagai Kepala Pelayan?""Ya. Tentu saja. Semua itu ku serahkan padamu. Siapapun yang kau pilih, aku yakin kau sudah memikirkannya dengan baik," jawab Glen dengan mata yang bersinar penuh keyakinan. Fic mengangguk mantap, memperkuat pernyataannya.Mereka kembali ke kamar masing-masing setelah obrolan itu selesai. Langkah mereka terasa lebih ringan, seolah sebuah keputusan besar telah berhasil dilewati bersama. Di balik pintu kamar, Fic tersenyum tipis, merasa yakin akan kebijaksanaan pilihan yang telah dipertimbangkan matang-matang.Malam mulai menggantikan siang. Fic melangkah perlahan, merangkak ke atas ranjang mengikuti Ellena yang sudah lebih dulu berbaring. Mata Fic tak henti memandangi wajah Ellena, tersenyum padanya dengan penuh kebahagiaan. Sejenak Fic merasa puas, menikmati momen itu. Setelah itu, p
"Ellena, ayo kemari, Nak." ajak Daniah ramah. Glen juga menoleh ke arah Fic dengan tatapan yang sama hangatnya, "Ayo Fic, ajak istrimu makan bersama kami."Fic mengangguk, menarik kursi untuk Ellena dan kemudian duduk di sebelahnya. Meskipun bukan pertama kalinya dia berada dalam situasi ini, bahkan seringkali dia makan bersama mereka di masa lalu, namun suasana kali ini terasa berbeda. Fic merasa canggung, jantungnya berdebar kencang. Dahulu, dia hanya duduk di sini sebagai kepala pelayan yang setia. Namun sekarang, perannya telah berganti. Menjadi seorang menantu keluarga ini.Dua orang di hadapannya adalah sosok yang ia segani dan hormati selama ini, tuan dan nyonyanya. Dan tak disangka, kini mereka telah menjadi mertuanya. Fic menelan ludah, mencoba menyembunyikan kegugupan yang menjalar di seluruh tubuhnya.Daniah bergerak mengambil piring untuk Glen dan dirinya, lalu mengayunkan tangan ke arah piring Ellena dan Fic. Namun, tiba-tiba Fic menahan tangan Daniah. "Nyonya, biar saya
Lebih dari dua minggu sudah, Fic dan Ellena tinggal di villa puncak ini. Dan Pagi ini, Fic terlihat sibuk berkemas. Ellena duduk di samping tempat tidur dengan wajah murung dan bahunya yang terkulai. Semalam, Fic mencoba meyakinkan Ellena untuk pulang, bukan karena ia tidak ingin memenuhi keinginan Ellena untuk berlama-lama di sini, melainkan karena kekhawatiran terhadap rumah yang ditinggalkannya. Fic tak bisa menepis rasa cemas, terutama tentang kesepian yang pasti dirasakan Daniah tanpa Ellena sang putri.Setelah berbagai usaha Fic untuk merasuk, akhirnya Ellena mau pulang dengan imbalan janji berbulan madu ke Kampung halaman Ilham. Walaupun tampak masih belum sepenuhnya ikhlas, Ellena bertanya, "Jadi, setelah ini kita akan pergi ke Lampung, ya Fic?"Fic hanya mengangguk sambil mencium pucuk kepala Ellena, mengekspresikan rasa sayangnya padanya. Mereka berdua duduk di belakang mobil yang melaju perlahan meninggalkan Villa Puncak, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan manis
"Dasar sialan! Arg..!" bentak Keyan kesal, lalu meninju lengan Kimmy dan Khale bergantian. Tapi, perlahan ia ikut tertawa juga. Mereka masih terdengar tertawa bahagia, saling bercanda, sampai melangkah ke kamar masing-masing. "Besok, aku tidak mau lagi satu mobil dengan kalian! Mulai besok, kita akan membawa mobil masing-masing!" seru Keyan, wajahnya merah padam, sebelum menutup pintu kamarnya dengan keras.Sementara di sisi lain.Menuju Villa Puncak,Fic dengan lembut menuntun Ellena, melewati batu-batu hitam kecil yang tersusun apik di jalan setapak. Mereka berada di taman, tepat di luar Villa Puncak. Fic mengajak Ellena menuju bangku khusus yang lengkap dengan meja bundar berisi buah-buahan segar dan minuman yang menggoda. Fic mempersilahkan Ellena duduk, layaknya mempersilahkan seorang putri kerajaan. "Silahkan Tuan Putri," ucapnya sambil membungkukkan tubuh.Ellena tergelak dan menutup mulutnya dengan tangan. Ia duduk dan melihat sekitarnya, merasakan keindahan sore itu. "Ah Fic
Saat ini di kediaman Ken, Khale dan Kimmy melangkahkan kaki mereka ke dalam rumah dengan langkah gontai. Keyan menyusul dari belakang, tetapi mulutnya tak berhenti mengomel, mengumpat dua kakaknya yang sama sekali tidak menggubrisnya. Ketiga pemuda itu menghempaskan bokong mereka ke sofa dengan kasar, tak peduli dengan tas yang belum mereka taruh. "Aku kesal!! Hari ini aku kesal dengan kalian berdua!" ujar Keyan kesal sambil menunjuk kedua kakaknya."Apa sih anak ini?" balas Khale sambil melotot."Tau tuh!" Kimmy ikut melotot dengan wajah tidak senang.Keyan sudah berdiri, marah, dan menggerakkan tangannya hendak memukul kepala Kimmy, namun ditangkap oleh Kimmy. "Haha.. Keyan rupanya iri kepada kita, Khal. Dia tidak bisa mendekati wanita incarannya, berbeda dengan kita." ejek Kimmy sambil melepaskan tangannya dari Keyan. Khale hanya menanggapi dengan senyuman sinis, menambah rasa kesal Keyan semakin mendalam."Siapa bilang iri? Aku cuma ngerasa tidak dianggap oleh kalian. Kalian s
Mereka baru saja selesai menikmati hidangan makan malam. Fic duduk bersandar di sofa sambil menggelar lengannya ke arah Ellena yang duduk didepannya tanpa jarak. Ellena menyandarkan punggungnya di dada Fic yang hangat. Kedua tangan Fic membelai perut Ellena seolah memberikan rasa nyaman pada istrinya ini, sementara lehernya dielusnya dengan lembut. "Fic, kenapa saat yang tadi itu kamu mendadak menjadi cerewet sih?" Ellena bertanya dengan nada iseng, sambil tangannya asyik mengutak-atik ponselnya.Fic tersenyum kecil. "Siapa yang cerewet? Aku?" dia menanggapi dengan nada bercanda."Padahal kamu sedang kesulitan bernafas, aku hanya peduli dan mencoba mengetahui penyebabnya." Jawab Ellena."Susah bernafas? Memang kenapa, ya? Apa aku menekan tubuhmu terlalu keras? Sepertinya tidak." Fic berkata sambil melanjutkan elusan lembutnya di leher Ellena, tangannya kadang bergerak meraba-raba sekilas membuat Ellena menggelinjang. "Ya... aku tidak tahu. Rasanya sesak saja," jawab Ellena, sambil ter
Fic melucuti pakaian Ellena. Sekali lagi mengamati tubuh indah itu sambil tangannya bergerak aktif. Menyentuh semua itu tanpa terlewat.Fic menyisir setiap bagian tubuh Ellena dengan bibirnya. Hingga sampai pada Area sensitif. Fic merenggangkan kedua paha Ellena. Dan memposisikan wajahnya. Ellena menggeliat bak cacing kepanasan karena ulah Fic. Meremas kuat rambut Fic hingga berantakan."Fic, berhenti." nafasnya tersengal sengal.Fic mendongak, menatap wajah Ellena yang sudah memerah. Fic tersenyum, menyambar bibir itu. Hanya sebentar, lagi lagi turun perlahan dan kembali lagi ke area sensitif.Ellena menegang, Fic belum berhenti. Masih berada disitu. Fic benar benar ingin membuat Ellena menggelinjang tak karuan. Hingga Ellena menggoyahkan tubuhnya tanda tak sanggup lagi."Ah, Fic. Berhentilah. Ku mohon." Mendorong kepala Fic.Fic akhirnya berhenti , memandangi tubuh yang terus menggeliat itu."Fic. Kamu menyiksaku!"Fic hanya tersenyum, kembali menyerang wajah leher dan dada Ellena,