Ellena masih sesekali mengusap air matanya yang mengalir. Walaupun hatinya kini diliputi rasa bahagia yang tiada tara, tapi jauh di dalam sana harus menyimpan rasa sedih yang teramat besar. Mengingat begitu berat pengorbanan Fic untuknya. Lalu membayangkan saat Fic harus tinggal di pedesaan yang mungkin jauh tidak baik bila dibanding dengan rumah ini."Ya Tuhan. Terima kasih telah menjaga Fic untukku." ucapnya lirih. Ellena mendekap kembali tubuhnya sendiri. Dia berulang kaki bersyukur pada Tuhan yang telah menyelamatkan Fic dari kematian Karena dirinya. Jika saja darah Fic sama dengannya, mungkin saat ini Ellena tidak akan pernah mendapatkan kenyataan dari Ayahnya seperti ini. Ia benar benar akan kehilangan Fic untuk selamanya."Aku harus menyusul Fic!" Ucapnya pada dirinya sendiri."Tapi, bagaimana caranya aku bisa keluar dari rumah ini tanpa ada yang tau?" sama halnya dengan Ayahnya, Ellena pun memikirkan cara.Ellena nampak berpikir keras, kemudian ia bangun untuk keluar kamar. Di
"Kamu bicara apa barusan?"Elfa hanya menggeleng."Katakan Elfa. Kamu bilang Fic belum mati. Katakan yang sebenarnya apa yang kamu tau tentang Fic!""Nona." Elfa kini berlutut."Tolong jangan katakan ini pada siapapun. Aku akan digantung Ayahku." Elfa memohon.Ellena ikut berlutut kini, melempar gunting ke lantai dan kemudian memegang bahu Elfa."Katakan yang kamu tau."Elfa mendongak, menatap Ellena."Tuan Fic tidak mati. Kemarin, dia datang ke rumah dan Orang tua Nona menemuinya. Kami merahasiakan ini demi kebaikan semua."Ellena membulatkan matanya. Sebenarnya Ellena tidak terkejut, hanya berpura pura terkejut."Berarti, yang aku lihat di taman itu adalah sungguh Fic?"Elfa mengangguk,"Dia ingin melihatmu sebentar saja." ucap lirih Elfa.Ellena terisak kembali, terduduk di lantai."Fic. Kenapa dia harus menderita seperti itu?""Nona jangan bersedih lagi. Tuan Fic melakukan ini demi Nona." ucap Elfa."Aku ingin bertemu dengannya Elfa. Bantu aku.""Tuan Fic sudah pergi. Ayah Nona me
Jantung Ellena tak berhenti berdegup kencang dari pertama kali Bus yang ditumpangi itu berangkat dari Terminal. Sedikitpun gadis itu tak dapat memejamkan matanya. Bayangan Fic terus melintasi otaknya.Hingga Bus sudah memasuki kapal, dan kapal mulai berlabuh pelan.Ellena duduk di kursi kapal di antara para penumpang yang berasal dari bus yang sama dengannya tadi dengan alasan tak ingin berpisah dari rombongan itu.Merogoh hpnya. Hp tanpa JPS bahkan kartu SIM yang sudah di lepas sejak dari Rumah.Ellena mengulik sebentar, menemukan yang ia cari.Ellena menatapi Foto seorang Pria dewasa yang sudah menggenggam hatinya itu, dan berhasil menuliskan nama abadi di dalam sana.Ellena mengulas senyuman yang terhalang masker."Tunggu Aku, Fic. Tunggu aku." Ellena menyeka air matanya yang menetes.Kepalanya terasa berat, mungkin karena hampir semalaman tidak tertidur sedetikpun. Menyimpan kembali hpnya, lalu Kepala itu akhirnya tumbang juga di badan kursi dan terlelap begitu saja.Hingga tepuka
Travel melaju di tengah jalan yang jauh lebih sepi dibandingkan lalu lintas kota tempat Ellena tinggal. Ia pun akhirnya terlelap, terbawa oleh kantuk yang tak tertahankan. Dengkuran halus terdengar dari bibirnya, menandakan bahwa Ellena telah tertidur pulas, tanpa menyadari pemandangan indah di luar jendela yang mungkin belum pernah ia saksikan sebelumnya. Beberapa kali, guncangan mobil yang terkena lubang dijalan tak mampu membangunkan Ellena. Sampai akhirnya, sang sopir merasa ada yang tak beres dan memutuskan untuk meminggirkan kendaraannya. Sopir itu keluar dari mobil, dengan ekspresi khawatir, untuk memeriksa apa yang sedang terjadi."Ah, sial! Ban pecah, ternyata. Pantas saja!" gumamnya sambil melihat jam tangan yang menunjukkan pukul tiga sore. "Dek.. dek!" serunya mencoba membangunkan Ellena. Ellena terlonjak kaget dan bangun seketika. Matanya bergerak cepat, mencoba mengenali sekitarnya."Kenapa berhenti, Pak? Sudah sampai?" tanyanya sambil membuka pintu mobil untuk keluar.
Ellena merasa lemas, matanya mencari-cari sesuatu yang hilang. "Mungkin saja jatuh di travel tadi atau di pelabuhan," gumamnya lirih. Dia merasa panik, "Ya Tuhan..! Bagaimana jika aku tersesat?" keluhnya dalam hati.Ia menoleh ke para ibu-ibu di sekitarnya yang tampak bingung dengan keadaannya. Lalu pandangannya tertuju pada sang ojek yang juga tampak bingung."Mas, bagaimana? Kertas alamat itu hilang," ujar Ellena pada sang ojek dengan wajah cemas. Seorang ibu-ibu menghampiri, menatap Ellena dengan simpati. "Kasihan sekali Mbak ini. Pasti dari jauh ya?" tanyanya penuh kepedulian."Benar Bu. Saya dari kota. Saya, saya sedang mencari.. Mencari kakakku. Kakakku pergi dari rumah sekitar tiga atau empat bulan yang lalu. Ayahku mengatakan jika dia tinggal di daerah sini. Di desa ini. Tapi untuk memastikan, kertas alamat itu malah hilang," sahut Ellena dengan nada putus asa."Tidak menyimpan nomor HP-nya ya?" tanya satu ibu-ibu dengan ekspresi ikut panik. Ellena menggeleng perlahan, tampak
Dua insan itu terus saling memeluk erat, isak tangis mereka beradu. Sementara itu, dua insan lainnya tak beranjak dari tempat mereka, menyaksikan adegan haru tersebut. Fic tak henti-hentinya menciumi kepala Ellena yang tertunduk, sementara Ellena semakin mengeratkan pelukannya pada Fic. Ranti menyenggol pelan pinggang Ilham, "Ayo, ajak mereka masuk dulu, Mas. Udah gelap nih."Ilham mengangguk, lalu berjalan mendekati Fic sambil berkata, "Bro, jangan lepaskan pelukanmu! Tapi inget, peluk Nona Ellena sampai tulangmu ngilu di dalam rumah aja, ya. Hehe!" seru Ilham sambil tertawa kecil. Fic menoleh dan tersenyum miring, lantas dengan lembut menarik wajah Ellena untuk beranjak masuk.Fic mengusap wajah Ellena berulang kali sambil menahan isak tangis. "Kita masuk, ya?" Fic menggandeng pundak Ellena yang mengangguk pelan, lalu berjalan mengikuti Ilham dan Ranti yang sudah mendahului mereka."Bawa Nona ke kamar saja, Mas Fic. Biarkan dia beristirahat dulu. Perjalanan kemari cukup jauh, pasti
"Bolehkah aku mandi, Fic?" tanyanya dengan mata berbinar. "Tentu saja. Eh, tapi tidak. Jangan! Nona, jangan mandi dulu. Air disini sangat dingin. Kamu pasti akan menggigil nanti," sahut Fic, bergegas menahan Ellena yang hendak beranjak. "Tapi aku sudah sehari semalam tidak mandi. Pasti bau!" protes Ellena sambil mencium bahunya. Fic menggoyangkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Kamu tetap wangi tanpa mandi pun," ujarnya, membelai lembut rambut Ellena."Tapi aku ingin mandi!" Ellena bersikeras dengan mata berkaca-kaca dan dagunya bergetar. "Baiklah." Fic menarik nafas panjang dan melunak, "Aku akan merebus air untukmu. Percayalah. Kamu tidak akan kuat dengan airnya jika tidak pakai air hangat." Ellena menunduk dengan wajah lesu dan hanya bisa menurut saat Fic memintanya untuk menunggu. Tak lama kemudian, Fic kembali sambil membawa ember berisi air panas dan segelas susu hangat. "Minumlah susu ini dulu," ujar Fic sambil mengelus kepala Ellena, "Aku akan menyiapkan mandi untukmu." "Biar
Fic berjalan menuju Ilham yang tengah bersantai di depan televisi bersama anak dan istrinya di ruang tengah rumah megah milik Fic.Melihat kedatangan Fic, Ilham langsung berkata, "Hei, kenapa keluar? Apa tulangmu sudah terasa ngilu?" ejek Ilham sambil tertawa kecil, lalu merasa cekikikan istrinya yang menepuk-nepuk punggungnya. "Hehe, aku bercanda mas Fic. Ada apa?" buru-buru Ilham berdiri mendekati Fic. "Bisakah kamu mengantarku sebentar ke rumah pak RT, Ham? Aku harus melaporkan kedatangan Nona Ellena," pinta Fic.Ilham tersenyum lebar, "Haha... Kamu terlambat, Mas Fic! Tidak usah dipikirkan lagi." Serunya. "Maksudmu?" Fic memandang dengan serius. "Aku sudah pergi kesana tadi untuk melapor." jawab Ilham dengan tenang. "Sungguh kah?" Fic tampak terkejut. Ilham mengangguk, "Ya. Karena aku adalah seorang teman yang pengertian. Aku tidak ingin mengganggumu yang sedang dilanda rindu." ujarnya dengan suara merdu, membuat wajah Fic memerah karena malu."Apa yang kamu katakan pada Pak