"Bolehkah aku mandi, Fic?" tanyanya dengan mata berbinar. "Tentu saja. Eh, tapi tidak. Jangan! Nona, jangan mandi dulu. Air disini sangat dingin. Kamu pasti akan menggigil nanti," sahut Fic, bergegas menahan Ellena yang hendak beranjak. "Tapi aku sudah sehari semalam tidak mandi. Pasti bau!" protes Ellena sambil mencium bahunya. Fic menggoyangkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Kamu tetap wangi tanpa mandi pun," ujarnya, membelai lembut rambut Ellena."Tapi aku ingin mandi!" Ellena bersikeras dengan mata berkaca-kaca dan dagunya bergetar. "Baiklah." Fic menarik nafas panjang dan melunak, "Aku akan merebus air untukmu. Percayalah. Kamu tidak akan kuat dengan airnya jika tidak pakai air hangat." Ellena menunduk dengan wajah lesu dan hanya bisa menurut saat Fic memintanya untuk menunggu. Tak lama kemudian, Fic kembali sambil membawa ember berisi air panas dan segelas susu hangat. "Minumlah susu ini dulu," ujar Fic sambil mengelus kepala Ellena, "Aku akan menyiapkan mandi untukmu." "Biar
Fic berjalan menuju Ilham yang tengah bersantai di depan televisi bersama anak dan istrinya di ruang tengah rumah megah milik Fic.Melihat kedatangan Fic, Ilham langsung berkata, "Hei, kenapa keluar? Apa tulangmu sudah terasa ngilu?" ejek Ilham sambil tertawa kecil, lalu merasa cekikikan istrinya yang menepuk-nepuk punggungnya. "Hehe, aku bercanda mas Fic. Ada apa?" buru-buru Ilham berdiri mendekati Fic. "Bisakah kamu mengantarku sebentar ke rumah pak RT, Ham? Aku harus melaporkan kedatangan Nona Ellena," pinta Fic.Ilham tersenyum lebar, "Haha... Kamu terlambat, Mas Fic! Tidak usah dipikirkan lagi." Serunya. "Maksudmu?" Fic memandang dengan serius. "Aku sudah pergi kesana tadi untuk melapor." jawab Ilham dengan tenang. "Sungguh kah?" Fic tampak terkejut. Ilham mengangguk, "Ya. Karena aku adalah seorang teman yang pengertian. Aku tidak ingin mengganggumu yang sedang dilanda rindu." ujarnya dengan suara merdu, membuat wajah Fic memerah karena malu."Apa yang kamu katakan pada Pak
Dulu, jika berada dalam posisi seperti ini, tangan Fic tentu tidak bisa diam - naluri pria dewasa pasti akan mengambil alih tanpa bisa dikompromi. Namun kini, Fic tak berpikir sedikitpun ke arah itu. Baginya, kehadiran Ellena saja sudah cukup membuat hatinya bahagia berlipat ganda. Fic tak ingin lagi mencumbu Ellena secara berlebihan seperti masa lalu.'Kamu adalah mutiara paling berharga bagiku, Ellena. Jadi, aku memang harus memperlakukanmu secara mulia," bisik Fic pada Ellena.Meskipun tangan Fic gemetaran, ia tak berhenti mengusap lembut punggung Ellena. Perlahan, nafas Ellena menjadi teratur, ia kini terlelap dalam dekapan hangat Fic yang penuh kasih sayang, tertidur dalam kebahagiaan. Namun, kebahagiaan itu terganggu saat suara ayam jantan berkokok nyaring, saling bersahutan, membangunkan Ellena dari tidur lelapnya. Ellena terjaga, seperti kebingungan menatap sekeliling. Lampu yang redup, tak seterang di kamarnya, menambah kesan misterius dalam kelambu yang menutupi tempat tid
Sekarang ini sudah bukan pagi lagi. Mungkin sudah jam sembilan atau bahkan lebih. Fic menarik kursi rotan untuk Ellena duduk di meja makan. Di kampung, sarapan jam segini dianggap sangat telat. Biasanya mereka sarapan sebelum matahari terbit karena setelah itu, mereka harus bergegas menuju pekerjaan mereka di kebun atau sawah. Sarapan nasi sepiring menjadi keharusan, demi energi untuk pekerjaan berat. Melihat kehadiran Nona Ellena, Ranti dan ibu tampak sibuk menyiapkan makanan pagi yang spesial untuk mereka. Hal ini berasal dari pembahasan panjang kali lebar sebelumnya."Nona Ellena suka makan apa ya?" Ranti menatap Ilham dengan raut wajah penasaran. Ilham mengangkat kedua bahunya, tanda ia juga tidak tahu jawabannya. "Eh, mungkin Nona suka sayuran!" seru Ibu dengan semangat. "Nona Ellena Tuan Putri dari keluarga kaya raya! Mana mungkin suka makan sayuran! Apalagi sayuran pucuk daun ubi. Mana dia kenal!" bantah Ilham dengan wajah skeptis. "Oh, potong Ayam itu saja. Lalu panggang.
Telah beberapa hari Ellena tinggal di kampung ini. Fic berbelanja dengan semangat untuk memenuhi kebutuhan Ellena. Tak satupun yang terlewat. Lemari besar yang baru dipasang di kamar Fic langsung penuh oleh barang-barang milik Ellena. Fic melakukan semua itu sendiri, tanpa mengajak Ellena untuk menghindari debu mengenai kulit putih Ellena. Padahal, sebenarnya Fic berbelanja di pusat kota Namun, mengingat peran Fic sebagai Kepala Pelayan sekaligus kekasih Tuan Putri dan calon suami Ellena, tentu saja Fic merasa memiliki tanggung jawab penuh atas apa yang terjadi pada Ellena.Ranti dan Ilham terlihat menggelengkan kepala. Mereka mengamati barang belanjaan Fic satu persatu, sambil membantu Ellena menata semua itu di tempat yang seharusnya. Ellena tersenyum dan menoleh saat Fic melangkah masuk ke kamar. Kedua matanya menatap penuh rasa terima kasih dan cinta pada pria yang berusaha keras demi kebahagiaannya."Apa masih ada yang dibutuhkan lagi, Nona? Jika ada yang kurang, Fic akan kembali
Fic menginjak gas motornya lebih keras, melaju di jalan setapak yang melewati perkebunan karet dan sawit. Jalanan berlubang, tanjakan, dan turunan membuat perjalanan lebih menantang. Mereka kini memasuki area sebuah air terjun. Tiba-tiba, Fic mengerem mendadak saat hampir saja melesat ke jalan berlubang. Ellena memekik, tubuhnya membentur punggung Fic secara tak terduga. Dua benda kenyal milik Ellena terasa menekan punggungnya. "Ha-hati hati, Fic!" tegur Ellena sembari memukul punggung Fic, pipinya memerah. "Maaf, jalannya banyak lubang," jawab Fic dengan tawa kecil. Ia menghentikan motornya lalu menoleh. "Kenyal, Nona," celetuk Fic dengan senyuman genit. Ellena mencibir, menepuk punggung Fic lagi. "Kamu ini ya!" "Tidak apa-apa, setidaknya Fic dapat rejeki," Fic memutar tubuhnya tanpa menuruni motor, dengan kedua kaki masih menahan motor. Ia menatapi wajah Ellena, serius tapi hangat. "Kau cantik sekali, Ellena. Semua orang tidak berkedip melihatmu." Ellena memalingkan wajah, te
Fic duduk di atas batu besar, sementara Ellena duduk tepat di depannya. Tangannya meraih Ellena dan memeluknya erat dari belakang, menempelkan dadanya pada punggung Ellena yang hangat. Dagunya menopang dengan lembut di bahu Ellena, sambil matanya menatap jauh ke kebun hijau yang mengelilingi desa mereka. "Apa kamu betah tinggal di desa ini, Lena?" tanya Fic pelan, suaranya lembut dan penuh kekhawatiran. Ellena mengganti posisi, meluruskan kepalanya pada dada Fic yang berdenyut. Tangannya mencengkeram lengan Fic, merasakan kekuatan yang ada di dalamnya. Dengan perlahan, Ellena memutar wajahnya, menatap Fic tepat di matanya. "Aku betah, Fic. Sangat betah," jawab Ellena sambil tersenyum manis. Fic tersenyum lega, mencium sekilas kening Ellena yang mulus. Kedua lengannya melingkar lebih erat, merasakan detak jantung mereka yang saling bergema. "Aku ingin kamu bahagia, Ellena. Hanya itu," gumam Fic sayu, "Jika kamu merasa tidak nyaman sedikit pun, tolong katakan padaku. Karena sejak saat
Ellena berdiri di teras, tersenyum melihat keakraban Fic dan Ilham di depan perapian. Kedua sahabat itu tengah asyik membuat jagung bakar untuk mengusir dingin malam yang menusuk hingga ke tulang. Fic menoleh, memanggil Ellena agar mendekat. "Duduklah," ujar Fic sambil merentangkan tikar. Ellena mengangguk, duduk bersila di atas tikar, menunggu jagung bakar yang sedang dipanggang. "Ini, Nona. Coba cicip," ajak Ranti seraya mengulurkan jagung bakar yang sudah matang. Ellena menerima dengan senang hati, tangannya terasa hangat karena memegang jagung bakar itu. Fic duduk di samping Ellena, matanya tak lepas dari wajah cantik Ellena yang terkena sinar rembulan."Ellen. Apa kamu betah disini?"Ellena menoleh, mengusap bibirnya dengan punggung telapak tangannya."Harus ku jawab berapa kali Fic. Aku betah disini." melanjutkan makan jagung bakarnya."Mungkin menurutmu, di sini tidak semewah di kota. Tapi bagiku, disini sangat istimewa. Aku senang, aku betah." ucap Ellena sambil tersenyum lem