Fic duduk di atas batu besar, sementara Ellena duduk tepat di depannya. Tangannya meraih Ellena dan memeluknya erat dari belakang, menempelkan dadanya pada punggung Ellena yang hangat. Dagunya menopang dengan lembut di bahu Ellena, sambil matanya menatap jauh ke kebun hijau yang mengelilingi desa mereka. "Apa kamu betah tinggal di desa ini, Lena?" tanya Fic pelan, suaranya lembut dan penuh kekhawatiran. Ellena mengganti posisi, meluruskan kepalanya pada dada Fic yang berdenyut. Tangannya mencengkeram lengan Fic, merasakan kekuatan yang ada di dalamnya. Dengan perlahan, Ellena memutar wajahnya, menatap Fic tepat di matanya. "Aku betah, Fic. Sangat betah," jawab Ellena sambil tersenyum manis. Fic tersenyum lega, mencium sekilas kening Ellena yang mulus. Kedua lengannya melingkar lebih erat, merasakan detak jantung mereka yang saling bergema. "Aku ingin kamu bahagia, Ellena. Hanya itu," gumam Fic sayu, "Jika kamu merasa tidak nyaman sedikit pun, tolong katakan padaku. Karena sejak saat
Ellena berdiri di teras, tersenyum melihat keakraban Fic dan Ilham di depan perapian. Kedua sahabat itu tengah asyik membuat jagung bakar untuk mengusir dingin malam yang menusuk hingga ke tulang. Fic menoleh, memanggil Ellena agar mendekat. "Duduklah," ujar Fic sambil merentangkan tikar. Ellena mengangguk, duduk bersila di atas tikar, menunggu jagung bakar yang sedang dipanggang. "Ini, Nona. Coba cicip," ajak Ranti seraya mengulurkan jagung bakar yang sudah matang. Ellena menerima dengan senang hati, tangannya terasa hangat karena memegang jagung bakar itu. Fic duduk di samping Ellena, matanya tak lepas dari wajah cantik Ellena yang terkena sinar rembulan."Ellen. Apa kamu betah disini?"Ellena menoleh, mengusap bibirnya dengan punggung telapak tangannya."Harus ku jawab berapa kali Fic. Aku betah disini." melanjutkan makan jagung bakarnya."Mungkin menurutmu, di sini tidak semewah di kota. Tapi bagiku, disini sangat istimewa. Aku senang, aku betah." ucap Ellena sambil tersenyum lem
Di rumah besar milik Glen Alazka, beberapa hari terakhir ini ia tampak murung dan memilih tak pergi bekerja. Semua tanggung jawab dipekerjakan ke Ken, yang mengetahui bahwa Glen sedang dilanda masalah. Meskipun Ken berusaha berulang kali untuk menanyakan dan meminta Glen berbagi rasa, Glen hanya diam seribu bahasa, enggan mengungkapkan perasaannya. Sementara Glen terbaring di sofa, memejamkan mata sambil bersandar, Daniah berjalan mendekat, menggenggam secangkir kopi hangat di tangannya. "Ini kopi untukmu, Glen," ucap Daniah dengan lembut seraya meletakkannya di atas meja dan duduk di sisi suaminya itu. Glen membuka mata sejenak, tersenyum pada istrinya. "Terima kasih, sayang." Ia menggerakkan tangannya, merengkuh tengkuk Daniah dan mencium keningnya beberapa kali dengan mesra. "Hadiah untuk kopinya." Setelah menyeruput kopi, ia menyisihkan cangkir dan meletakkan kepalanya di pangkuan Daniah. Dengan sentuhan lembut, Daniah membelai kepala Glen. Sambil menatap suaminya, Glen mengguma
"Bagaimana ini?" bisik satunya pelan. "Hubungi Bos kalau begitu," jawab yang satunya lagi. Terlihat mereka berbicara dengan serius lewat sambungan telepon, wajah mereka tertekan.Daniah mulai menangis, isakannya terdengar saat mendekap pinggang Glen. "Jangan menangis, Daniah" bisik Glen sambil memandang ke arah para pria, tangannya mengelus pundak Daniah dengan lembut. "Kita tidak boleh terlihat lemah di depan mereka. Mereka hanya akan menertawakan kita dan menganggap kita akan hancur hanya karena ini. Kita tidak hancur, Daniah. Tapi ini adalah harga diri kita. Kehormatan keluarga ini tidak bisa diperlakukan dengan semena-mena oleh siapapun!" Daniah mengangguk, mengusap air matanya dengan tangan gemetar.Dua pria itu tampak selesai berdiskusi. Mereka kembali menatap Glen dan Daniah secara bergantian. "Tuan Glen dan Nyonya Daniah, bos kami memberi kesempatan sekali lagi untuk kalian berpikir ulang," ujar salah satu pria."Tidak perlu! Aku sudah berpikir seribu kali dan keputusanku tet
"Kamu....!" Glen menuding Ken."Jadi! Kau yang sudah merencanakan semua ini?""Brengsek!!" Glen menarik kerah baju Ken.Rimbun dan Khale tentu sangat terkejut melihat Glen murka.Ken sama halnya."Tuan Glen. Maafkan kami jika ini lancang. Tolong maafkan kami jika ini membuat Tuan Glen tidak suka. Tolong lepaskan dulu." ucap Ken dengan keterkejutannya.“Glen.. Jangan seperti ini. Kamu bisa berbicara baik-baik." Daniah mencegah, menarik tangan Glen dari kerah Ken.“Daniah, dia yang sudah mengkhianati kita! Benar dugaan kita selama ini!""Ayah. Tenang lah. Jangan seperti ini, bukankah keputusan ada di tanganku?" kini Ellena yang menahan tubuh Glen.Sementara Ken Rimbun dan Khale masih kebingungan dengan kemarahan Glen yang di luar dugaan mereka. Mereka sebenarnya sudah menduga jika Glen akan menolaknya, tapi tidak pernah menduga jika Glen akan semarah ini."Tuan, sebenarnya ada apa ini?" Ken memberanikan diri untuk bertanya."Jika anda menolak lamaran ini tidak masalah. Tapi kenapa kau s
Sekarang semua sudah berpindah. Rimbun mengantar Daniah ke kamarnya. Sedikit terdengar mengobrol untuk sekedar mengusir kegundahan mereka.Glen dan Ken masuk ke dalam ruangan kerja. Kembali duduk di sana dan saling berhadap hadapan."Apa benar ini perbuatan Ricard? Kalau benar, dia sungguh bosan hidup. Setelah ini aku pastikan dia tidak akan lagi melihat sinar Matahari untuk tahun depan." Ucap Ken."Kenapa harus tahun depan?" Glen mendongak, sedikit heran dengan ucapan Ken."Ya. Karena tahun ini tinggal beberapa bulan, itu untuk kita menuntaskan masalah ini dulu. Baru tahun depan bisa menghukum Ricard."Glen sebenarnya ingin tertawa. Ucapan Ken seperti candaan. Glen jadi teringat, bagaimana kebersamaan dia dan Ken dulu. Tanpa terpisah, tanpa pernah ada perselisihan sedikit pun.Glen menghela nafas. Hampir saja dia bertikai dengan Ken. Mencurigai Ken dan menuduh Ken dalang dari semua kebohongan ini."Tapi kenapa Rimbun tetap mencurigai kakek Fiandi ya?" Ken tiba-tiba bergumam demikian.
Wajah Fic seketika memerah padam saat Elfa mengatakan sesuatu dengan nafas memburu, seolah-olah baru saja berlari dari jauh saja. "Apa yang kamu dengar itu benar-benar serius, Elfa? Kamu tidak sedang salah mendengar kan?" tanya Ayah dengan ekspresi khawatir. Elfa mengangguk,"Aku juga bingung, Ayah. Malam itu aku habis membeli sesuatu, lewat dekat mobil itu, dan tak sengaja menangkap obrolan dua pria asing yang sedang serius di dalamnya. Aku cukup terkejut mendengar mereka menyebut nama itu, jadi aku memutuskan untuk menguping." Elfa mengelap dahinya, dia terlihat cemas."Kamu mengenal pria itu?" tanya Fic, alisnya berkerut mencoba mengingat wajah pria yang Elfa sebutkan. "Tidak! Tapi aku melihat mereka beberapa kali menemui Tuan Glen," sahut Elfa, lalu keningnya mengerut. "Kamu boleh tidak percaya padaku, Kak Fic. Di dalam rumah itu pun, aku pernah menangkap seorang pelayan pria yang sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya." Elfa menggigit bibirnya, mengingat kejadian itu.
"Tapi aku takut, Khale..." ucap Ellena, gemetar saat mengguncang lengan Khale."Kamu itu takut denganku? Atau takut dengan pernikahan ini sih?" tanya Khale, mencoba menyelami perasaan Ellena. "Takut dengan pernikahan ini, Khal," jawab Ellena dengan suara gemetar."Aku juga takut memikirkan itu, Ellen. Aku penasaran, apa rencana mereka setelah kita menikah?" ungkap Khale dengan wajah cemas. "Aku juga tidak tau, aku juga bertanya-tanya. Mungkin mereka ingin kita bahagia dalam pernikahan yang rukun, damai dan sejahtera. Begitu?" Khale memiringkan wajahnya, berusaha membuat candaan untuk meredakan suasana tegang. "Diam! Kenapa kamu malah bercanda tidak pada waktunya!" teriak Ellena, kesal dan hampir menangis. Khale mendengus, kini bangun dan duduk di samping Ellena. "Setidaknya kita harus bersyukur. Orang itu masih memilih aku yang menikahimu, bukan pria kejam yang tak kamu kenal sedikit pun. Jadi masih sedikit aman." Ellena menoleh, terdiam sejenak, kemudian menghela napas."Kamu ben