Sekarang ini sudah bukan pagi lagi. Mungkin sudah jam sembilan atau bahkan lebih. Fic menarik kursi rotan untuk Ellena duduk di meja makan. Di kampung, sarapan jam segini dianggap sangat telat. Biasanya mereka sarapan sebelum matahari terbit karena setelah itu, mereka harus bergegas menuju pekerjaan mereka di kebun atau sawah. Sarapan nasi sepiring menjadi keharusan, demi energi untuk pekerjaan berat. Melihat kehadiran Nona Ellena, Ranti dan ibu tampak sibuk menyiapkan makanan pagi yang spesial untuk mereka. Hal ini berasal dari pembahasan panjang kali lebar sebelumnya."Nona Ellena suka makan apa ya?" Ranti menatap Ilham dengan raut wajah penasaran. Ilham mengangkat kedua bahunya, tanda ia juga tidak tahu jawabannya. "Eh, mungkin Nona suka sayuran!" seru Ibu dengan semangat. "Nona Ellena Tuan Putri dari keluarga kaya raya! Mana mungkin suka makan sayuran! Apalagi sayuran pucuk daun ubi. Mana dia kenal!" bantah Ilham dengan wajah skeptis. "Oh, potong Ayam itu saja. Lalu panggang.
Telah beberapa hari Ellena tinggal di kampung ini. Fic berbelanja dengan semangat untuk memenuhi kebutuhan Ellena. Tak satupun yang terlewat. Lemari besar yang baru dipasang di kamar Fic langsung penuh oleh barang-barang milik Ellena. Fic melakukan semua itu sendiri, tanpa mengajak Ellena untuk menghindari debu mengenai kulit putih Ellena. Padahal, sebenarnya Fic berbelanja di pusat kota Namun, mengingat peran Fic sebagai Kepala Pelayan sekaligus kekasih Tuan Putri dan calon suami Ellena, tentu saja Fic merasa memiliki tanggung jawab penuh atas apa yang terjadi pada Ellena.Ranti dan Ilham terlihat menggelengkan kepala. Mereka mengamati barang belanjaan Fic satu persatu, sambil membantu Ellena menata semua itu di tempat yang seharusnya. Ellena tersenyum dan menoleh saat Fic melangkah masuk ke kamar. Kedua matanya menatap penuh rasa terima kasih dan cinta pada pria yang berusaha keras demi kebahagiaannya."Apa masih ada yang dibutuhkan lagi, Nona? Jika ada yang kurang, Fic akan kembali
Fic menginjak gas motornya lebih keras, melaju di jalan setapak yang melewati perkebunan karet dan sawit. Jalanan berlubang, tanjakan, dan turunan membuat perjalanan lebih menantang. Mereka kini memasuki area sebuah air terjun. Tiba-tiba, Fic mengerem mendadak saat hampir saja melesat ke jalan berlubang. Ellena memekik, tubuhnya membentur punggung Fic secara tak terduga. Dua benda kenyal milik Ellena terasa menekan punggungnya. "Ha-hati hati, Fic!" tegur Ellena sembari memukul punggung Fic, pipinya memerah. "Maaf, jalannya banyak lubang," jawab Fic dengan tawa kecil. Ia menghentikan motornya lalu menoleh. "Kenyal, Nona," celetuk Fic dengan senyuman genit. Ellena mencibir, menepuk punggung Fic lagi. "Kamu ini ya!" "Tidak apa-apa, setidaknya Fic dapat rejeki," Fic memutar tubuhnya tanpa menuruni motor, dengan kedua kaki masih menahan motor. Ia menatapi wajah Ellena, serius tapi hangat. "Kau cantik sekali, Ellena. Semua orang tidak berkedip melihatmu." Ellena memalingkan wajah, te
Fic duduk di atas batu besar, sementara Ellena duduk tepat di depannya. Tangannya meraih Ellena dan memeluknya erat dari belakang, menempelkan dadanya pada punggung Ellena yang hangat. Dagunya menopang dengan lembut di bahu Ellena, sambil matanya menatap jauh ke kebun hijau yang mengelilingi desa mereka. "Apa kamu betah tinggal di desa ini, Lena?" tanya Fic pelan, suaranya lembut dan penuh kekhawatiran. Ellena mengganti posisi, meluruskan kepalanya pada dada Fic yang berdenyut. Tangannya mencengkeram lengan Fic, merasakan kekuatan yang ada di dalamnya. Dengan perlahan, Ellena memutar wajahnya, menatap Fic tepat di matanya. "Aku betah, Fic. Sangat betah," jawab Ellena sambil tersenyum manis. Fic tersenyum lega, mencium sekilas kening Ellena yang mulus. Kedua lengannya melingkar lebih erat, merasakan detak jantung mereka yang saling bergema. "Aku ingin kamu bahagia, Ellena. Hanya itu," gumam Fic sayu, "Jika kamu merasa tidak nyaman sedikit pun, tolong katakan padaku. Karena sejak saat
Ellena berdiri di teras, tersenyum melihat keakraban Fic dan Ilham di depan perapian. Kedua sahabat itu tengah asyik membuat jagung bakar untuk mengusir dingin malam yang menusuk hingga ke tulang. Fic menoleh, memanggil Ellena agar mendekat. "Duduklah," ujar Fic sambil merentangkan tikar. Ellena mengangguk, duduk bersila di atas tikar, menunggu jagung bakar yang sedang dipanggang. "Ini, Nona. Coba cicip," ajak Ranti seraya mengulurkan jagung bakar yang sudah matang. Ellena menerima dengan senang hati, tangannya terasa hangat karena memegang jagung bakar itu. Fic duduk di samping Ellena, matanya tak lepas dari wajah cantik Ellena yang terkena sinar rembulan."Ellen. Apa kamu betah disini?"Ellena menoleh, mengusap bibirnya dengan punggung telapak tangannya."Harus ku jawab berapa kali Fic. Aku betah disini." melanjutkan makan jagung bakarnya."Mungkin menurutmu, di sini tidak semewah di kota. Tapi bagiku, disini sangat istimewa. Aku senang, aku betah." ucap Ellena sambil tersenyum lem
Di rumah besar milik Glen Alazka, beberapa hari terakhir ini ia tampak murung dan memilih tak pergi bekerja. Semua tanggung jawab dipekerjakan ke Ken, yang mengetahui bahwa Glen sedang dilanda masalah. Meskipun Ken berusaha berulang kali untuk menanyakan dan meminta Glen berbagi rasa, Glen hanya diam seribu bahasa, enggan mengungkapkan perasaannya. Sementara Glen terbaring di sofa, memejamkan mata sambil bersandar, Daniah berjalan mendekat, menggenggam secangkir kopi hangat di tangannya. "Ini kopi untukmu, Glen," ucap Daniah dengan lembut seraya meletakkannya di atas meja dan duduk di sisi suaminya itu. Glen membuka mata sejenak, tersenyum pada istrinya. "Terima kasih, sayang." Ia menggerakkan tangannya, merengkuh tengkuk Daniah dan mencium keningnya beberapa kali dengan mesra. "Hadiah untuk kopinya." Setelah menyeruput kopi, ia menyisihkan cangkir dan meletakkan kepalanya di pangkuan Daniah. Dengan sentuhan lembut, Daniah membelai kepala Glen. Sambil menatap suaminya, Glen mengguma
"Bagaimana ini?" bisik satunya pelan. "Hubungi Bos kalau begitu," jawab yang satunya lagi. Terlihat mereka berbicara dengan serius lewat sambungan telepon, wajah mereka tertekan.Daniah mulai menangis, isakannya terdengar saat mendekap pinggang Glen. "Jangan menangis, Daniah" bisik Glen sambil memandang ke arah para pria, tangannya mengelus pundak Daniah dengan lembut. "Kita tidak boleh terlihat lemah di depan mereka. Mereka hanya akan menertawakan kita dan menganggap kita akan hancur hanya karena ini. Kita tidak hancur, Daniah. Tapi ini adalah harga diri kita. Kehormatan keluarga ini tidak bisa diperlakukan dengan semena-mena oleh siapapun!" Daniah mengangguk, mengusap air matanya dengan tangan gemetar.Dua pria itu tampak selesai berdiskusi. Mereka kembali menatap Glen dan Daniah secara bergantian. "Tuan Glen dan Nyonya Daniah, bos kami memberi kesempatan sekali lagi untuk kalian berpikir ulang," ujar salah satu pria."Tidak perlu! Aku sudah berpikir seribu kali dan keputusanku tet
"Kamu....!" Glen menuding Ken."Jadi! Kau yang sudah merencanakan semua ini?""Brengsek!!" Glen menarik kerah baju Ken.Rimbun dan Khale tentu sangat terkejut melihat Glen murka.Ken sama halnya."Tuan Glen. Maafkan kami jika ini lancang. Tolong maafkan kami jika ini membuat Tuan Glen tidak suka. Tolong lepaskan dulu." ucap Ken dengan keterkejutannya.“Glen.. Jangan seperti ini. Kamu bisa berbicara baik-baik." Daniah mencegah, menarik tangan Glen dari kerah Ken.“Daniah, dia yang sudah mengkhianati kita! Benar dugaan kita selama ini!""Ayah. Tenang lah. Jangan seperti ini, bukankah keputusan ada di tanganku?" kini Ellena yang menahan tubuh Glen.Sementara Ken Rimbun dan Khale masih kebingungan dengan kemarahan Glen yang di luar dugaan mereka. Mereka sebenarnya sudah menduga jika Glen akan menolaknya, tapi tidak pernah menduga jika Glen akan semarah ini."Tuan, sebenarnya ada apa ini?" Ken memberanikan diri untuk bertanya."Jika anda menolak lamaran ini tidak masalah. Tapi kenapa kau s
Fic tidak menyadari perasaan yang tumbuh di antara mereka. Orang lain juga sama, tidak ada yang tahu apa yang tersimpan di dalam hati Ellena. Namun, suatu saat Ellena tidak mampu menahan lagi dan mulai mengekspresikan perasaannya dengan lebih jelas. Fic hanya menganggap bahwa Ellena begitu karena belum dewasa dan belum mengerti perasaannya. Suatu hari, Ellena yang sudah bukan remaja lagi, mengungkapkan perasaan cinta yang selama ini terpendam.Fic merasa seolah tersambar petir dan sulit memahami apa yang sedang terjadi. "Mana mungkin?" batin Fic. "Aku hanya seorang kepala pelayan, dan usia kita terpaut jauh. Aku bahkan bisa jadi pamanmu, nona!" Namun, Ellena sama sekali tidak peduli dengan alasan tersebut. Ia nekad melakukan apapun untuk bisa bersama Fic. Perasaan Ellena semakin memuncak dan menghempas rasa ragu di hatinya. Fic kini terjebak dalam dilema, antara menerima perasaan Ellena atau tetap pada prinsipnya. Ketika akhirnya ia mulai merasakan getaran yang sama dalam hatinya, ia
"Diam!" Ellena bersikukuh, masih saja melanjutkan pekerjaannya. Lalu mengambil celana Fic dan meminta Fic untuk mengenakannya dengan sabar.Fic hanya bisa menurut. Ellena memakaikan kemeja putih pada Fic, mengancingkan baju itu."Ellena, aku bisa sendiri." menarik tangan Ellena hingga tubuh Ellena menabrak dadanya."Aku ingin melakukannya Fic. Dengan begitu, aku semakin bahagia." Ellena melepaskan tangan Fic, sekarang memasangkan dasi untuk Fic."Nona."Ellena masih belum selesai merapikan rambut, baju dan dasi Suaminya."Sudah rapi. Tinggal jas nya saja. Dipakai sekarang apa nanti saja?"Fic tak menjawab pertanyaan Ellena. Masih senantiasa menatap wajah Ellena."Fic.""Bisa menikahimu saja, sudah membuatku tak berhenti bersyukur. Jangan melakukan ini lagi. Itu membuatku merasa bersalah."Ellena dengan lembut menarik tengkuk Fic, menciumi wajahnya dengan penuh kasih sayang. "Aku ingin melakukan ini setiap pagi. Kau tidak boleh melarangku, atau aku akan mengadu pada Ayah. Kau sudah men
Fic menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum, "Baiklah, Tuan. Jika Anda telah mempercayai saya, saya tidak ingin mengecewakan Anda. Tapi, bolehkah saya mencari pengganti diri saya sebagai Kepala Pelayan?""Ya. Tentu saja. Semua itu ku serahkan padamu. Siapapun yang kau pilih, aku yakin kau sudah memikirkannya dengan baik," jawab Glen dengan mata yang bersinar penuh keyakinan. Fic mengangguk mantap, memperkuat pernyataannya.Mereka kembali ke kamar masing-masing setelah obrolan itu selesai. Langkah mereka terasa lebih ringan, seolah sebuah keputusan besar telah berhasil dilewati bersama. Di balik pintu kamar, Fic tersenyum tipis, merasa yakin akan kebijaksanaan pilihan yang telah dipertimbangkan matang-matang.Malam mulai menggantikan siang. Fic melangkah perlahan, merangkak ke atas ranjang mengikuti Ellena yang sudah lebih dulu berbaring. Mata Fic tak henti memandangi wajah Ellena, tersenyum padanya dengan penuh kebahagiaan. Sejenak Fic merasa puas, menikmati momen itu. Setelah itu, p
"Ellena, ayo kemari, Nak." ajak Daniah ramah. Glen juga menoleh ke arah Fic dengan tatapan yang sama hangatnya, "Ayo Fic, ajak istrimu makan bersama kami."Fic mengangguk, menarik kursi untuk Ellena dan kemudian duduk di sebelahnya. Meskipun bukan pertama kalinya dia berada dalam situasi ini, bahkan seringkali dia makan bersama mereka di masa lalu, namun suasana kali ini terasa berbeda. Fic merasa canggung, jantungnya berdebar kencang. Dahulu, dia hanya duduk di sini sebagai kepala pelayan yang setia. Namun sekarang, perannya telah berganti. Menjadi seorang menantu keluarga ini.Dua orang di hadapannya adalah sosok yang ia segani dan hormati selama ini, tuan dan nyonyanya. Dan tak disangka, kini mereka telah menjadi mertuanya. Fic menelan ludah, mencoba menyembunyikan kegugupan yang menjalar di seluruh tubuhnya.Daniah bergerak mengambil piring untuk Glen dan dirinya, lalu mengayunkan tangan ke arah piring Ellena dan Fic. Namun, tiba-tiba Fic menahan tangan Daniah. "Nyonya, biar saya
Lebih dari dua minggu sudah, Fic dan Ellena tinggal di villa puncak ini. Dan Pagi ini, Fic terlihat sibuk berkemas. Ellena duduk di samping tempat tidur dengan wajah murung dan bahunya yang terkulai. Semalam, Fic mencoba meyakinkan Ellena untuk pulang, bukan karena ia tidak ingin memenuhi keinginan Ellena untuk berlama-lama di sini, melainkan karena kekhawatiran terhadap rumah yang ditinggalkannya. Fic tak bisa menepis rasa cemas, terutama tentang kesepian yang pasti dirasakan Daniah tanpa Ellena sang putri.Setelah berbagai usaha Fic untuk merasuk, akhirnya Ellena mau pulang dengan imbalan janji berbulan madu ke Kampung halaman Ilham. Walaupun tampak masih belum sepenuhnya ikhlas, Ellena bertanya, "Jadi, setelah ini kita akan pergi ke Lampung, ya Fic?"Fic hanya mengangguk sambil mencium pucuk kepala Ellena, mengekspresikan rasa sayangnya padanya. Mereka berdua duduk di belakang mobil yang melaju perlahan meninggalkan Villa Puncak, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan manis
"Dasar sialan! Arg..!" bentak Keyan kesal, lalu meninju lengan Kimmy dan Khale bergantian. Tapi, perlahan ia ikut tertawa juga. Mereka masih terdengar tertawa bahagia, saling bercanda, sampai melangkah ke kamar masing-masing. "Besok, aku tidak mau lagi satu mobil dengan kalian! Mulai besok, kita akan membawa mobil masing-masing!" seru Keyan, wajahnya merah padam, sebelum menutup pintu kamarnya dengan keras.Sementara di sisi lain.Menuju Villa Puncak,Fic dengan lembut menuntun Ellena, melewati batu-batu hitam kecil yang tersusun apik di jalan setapak. Mereka berada di taman, tepat di luar Villa Puncak. Fic mengajak Ellena menuju bangku khusus yang lengkap dengan meja bundar berisi buah-buahan segar dan minuman yang menggoda. Fic mempersilahkan Ellena duduk, layaknya mempersilahkan seorang putri kerajaan. "Silahkan Tuan Putri," ucapnya sambil membungkukkan tubuh.Ellena tergelak dan menutup mulutnya dengan tangan. Ia duduk dan melihat sekitarnya, merasakan keindahan sore itu. "Ah Fic
Saat ini di kediaman Ken, Khale dan Kimmy melangkahkan kaki mereka ke dalam rumah dengan langkah gontai. Keyan menyusul dari belakang, tetapi mulutnya tak berhenti mengomel, mengumpat dua kakaknya yang sama sekali tidak menggubrisnya. Ketiga pemuda itu menghempaskan bokong mereka ke sofa dengan kasar, tak peduli dengan tas yang belum mereka taruh. "Aku kesal!! Hari ini aku kesal dengan kalian berdua!" ujar Keyan kesal sambil menunjuk kedua kakaknya."Apa sih anak ini?" balas Khale sambil melotot."Tau tuh!" Kimmy ikut melotot dengan wajah tidak senang.Keyan sudah berdiri, marah, dan menggerakkan tangannya hendak memukul kepala Kimmy, namun ditangkap oleh Kimmy. "Haha.. Keyan rupanya iri kepada kita, Khal. Dia tidak bisa mendekati wanita incarannya, berbeda dengan kita." ejek Kimmy sambil melepaskan tangannya dari Keyan. Khale hanya menanggapi dengan senyuman sinis, menambah rasa kesal Keyan semakin mendalam."Siapa bilang iri? Aku cuma ngerasa tidak dianggap oleh kalian. Kalian s
Mereka baru saja selesai menikmati hidangan makan malam. Fic duduk bersandar di sofa sambil menggelar lengannya ke arah Ellena yang duduk didepannya tanpa jarak. Ellena menyandarkan punggungnya di dada Fic yang hangat. Kedua tangan Fic membelai perut Ellena seolah memberikan rasa nyaman pada istrinya ini, sementara lehernya dielusnya dengan lembut. "Fic, kenapa saat yang tadi itu kamu mendadak menjadi cerewet sih?" Ellena bertanya dengan nada iseng, sambil tangannya asyik mengutak-atik ponselnya.Fic tersenyum kecil. "Siapa yang cerewet? Aku?" dia menanggapi dengan nada bercanda."Padahal kamu sedang kesulitan bernafas, aku hanya peduli dan mencoba mengetahui penyebabnya." Jawab Ellena."Susah bernafas? Memang kenapa, ya? Apa aku menekan tubuhmu terlalu keras? Sepertinya tidak." Fic berkata sambil melanjutkan elusan lembutnya di leher Ellena, tangannya kadang bergerak meraba-raba sekilas membuat Ellena menggelinjang. "Ya... aku tidak tahu. Rasanya sesak saja," jawab Ellena, sambil ter
Fic melucuti pakaian Ellena. Sekali lagi mengamati tubuh indah itu sambil tangannya bergerak aktif. Menyentuh semua itu tanpa terlewat.Fic menyisir setiap bagian tubuh Ellena dengan bibirnya. Hingga sampai pada Area sensitif. Fic merenggangkan kedua paha Ellena. Dan memposisikan wajahnya. Ellena menggeliat bak cacing kepanasan karena ulah Fic. Meremas kuat rambut Fic hingga berantakan."Fic, berhenti." nafasnya tersengal sengal.Fic mendongak, menatap wajah Ellena yang sudah memerah. Fic tersenyum, menyambar bibir itu. Hanya sebentar, lagi lagi turun perlahan dan kembali lagi ke area sensitif.Ellena menegang, Fic belum berhenti. Masih berada disitu. Fic benar benar ingin membuat Ellena menggelinjang tak karuan. Hingga Ellena menggoyahkan tubuhnya tanda tak sanggup lagi."Ah, Fic. Berhentilah. Ku mohon." Mendorong kepala Fic.Fic akhirnya berhenti , memandangi tubuh yang terus menggeliat itu."Fic. Kamu menyiksaku!"Fic hanya tersenyum, kembali menyerang wajah leher dan dada Ellena,