Setelah Daniah sudah menyampaikan maksudnya kepada Ayah begitu juga dengan Glen dan Ken. Mereka sepakat untuk berangkat langsung ke rumah keluarga Rimbun malam ini juga.Dengan mengendarai dua mobil yang berbeda. Daniah bersama Glen dan Ayah, menggunakan sopir tentunya. Ken bersama Rimbun, tanpa seorang Sopir.Terdengar suara nafas Glen yang kasar."Glen, kamu kenapa?" tanya Daniah seperti menangkap kegelisahan di wajah suaminya."Aku hanya sedang memikirkan Ken. Bisa-bisanya melamar seorang gadis dengan tangan kosong tanpa persiapan apapun. Kamu tau Daniah, Keluarga Fiandi itu, termasuk Keluarga terpandang di kota ini. Apa itu tidak memalukan?""Aku juga tidak mengerti, apa mungkin setelah ini Ken akan mengirim hadiah untuk keluarga Rimbun? Kita juga tidak tau kan?""Haha.. mana ada seperti itu. Yang namanya hadiah lamaran, datang bersama orang yang melamar. Masa iya menyusul?" bantah Glen."Mungkin, Ken takut di tolak. Jadi, menyiapkan apapun akan percuma." jawab Daniah."Kamu benar
Hanya selang satu hari saja dari hari dimana Ken resmi melamar Rimbun. Acara pernikahan mereka pun benar benar akan dilaksanakan.Tanpa ada persiapan khusus atau pun pesta meriah.Bahkan tidak menyebar undangan satu pun entah dari pihak Keluarga Rimbun ataupun dari Pihak Ken sendiri. Hanya kerabat dekat saja yang diundang secara langsung untuk datang.Bukan tanpa alasan, semua itu keinginan dari Rimbun yang meminta langsung pada Ken sendiri. Meskipun awalnya dapat penolakan keras dari Kakek ataupun dari pihak Ken.Sehari sebelum hari itu dimulai."Rimbun tidak ingin ada pesta Kek, untuk apa sih? Toh semua orang tidak ada yang Rimbun kenal. Dan tidak ada yang kenal dengan Rimbun." ucap Rimbun, ketika mereka sedang berkumpul untuk membahas perihal pernikahan."Justru itu Rim, kita perlu mengadakan pesta besar agar kau mengenal dunia sekelilingmu sekarang itu seperti apa, dan Mereka mengenal siapa kamu sebenarnya. Bukan hanya para Pemulung saja yang mengenalmu!" tegas Ken."Tidak perlu.
Ini belum terlalu malam, masih sekitar pukul Delapan. Tapi Rumah besar Keluarga Fiandi sudah terlihat sepi dari keramaian sanak saudara tadi.Rupanya setelah akad nikah Ken dan Rimbun usai, mereka langsung bubar. Pulang ke rumah masing masing karena tidak ada lagi yang harus di tunggu. Menunggu pesta? Masih tahun depan. Itu pun baru rencana.Saat ini Ken sudah membawa Rimbun ke tempat yang semestinya. Itu sudah pasti Villa milik Ken. Ini rencana Ken memang, tapi Ken sempat lupa saking senengnya."Ken, kamu mau pulang kemana?" tanya Glen, saat mereka sudah siap di depan mobil masing-masing."Hah! Kemana? Maksudnya?" Ken seperti masih linglung, menoleh pada Glen dan kemudian kepada Rimbun yang menggenggam erat tangannya."Tuan Glen bertanya, kita mau kemana ini?" Rimbun kali ini yang bertanya sambil menarik tangan Ken.Ken masih belum menjawab, mengangkat kedua bahunya."Kamu sendiri mau pulang kemana?" Ken balik bertanya pada Rimbun."Tidak tau. Aku kan tidak punya Rumah. Ini rumah Kel
Tidak tahu jam berapa sekarang. Tidak ingat semalam terjaga sampai jam berapa. Mulai tidur juga jam berapa. Tidak ada jam yang bisa di lihat. Hp juga tidak ada yang di dekat mereka.Hanya remangnya lampu tidur saja yang terlihat, menandakan jika pagi belum datang.Rimbun menggeliat, merasakan sesuatu merayap di bagian tubuhnya. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali. Antara sadar dan tidak. Tapi seperti nyata. Ingin membuka mata, namun kantuk begitu menguasai matanya.Seperti sedang bermimpi tapi terasa nyata. Sentuhan demi sentuhan langsung di kulitnya membuatnya merinding. Namun seperti ingin merasakannya lagi dan lagi. Geli, tapi kok enak.Rimbun memaksa untuk membuka matanya."Eh, tuan Ken. Kita sudah menikah ya. Aku lupa." kembali dia memejamkan matanya.Walau matanya di kuasai kantuk yang sangat, tapi otaknya masih bisa bekerja dibawah alam sadarnya. Rasa geli di dadanya perlahan berubah, menjadi rasa yang gimana gitu. Rimbun Menggeliat, lalu terdengar mengeluh. Lagi, kemudian la
"Aku ini sekarang suamimu sayang, kenapa masih menunjuk keningku? Itu tidak sopan." Ken menarik tangan Rimbun, merapatkan kening mereka."Eh, iya. Maaf." mendorong pelan wajah Ken, dan mengusap keningnya."Aku tidak bermaksud membuatmu seperti ini. Sungguh. Maafkan aku." kembali mendekap Rimbun yang sudah mulai beranjak duduk dari belakang."Maaf ya?" kembali memasang wajah memelas."Iya. Tidak apa-apa." Rimbun tersenyum, mengusap wajah Ken."Benar tidak apa-apa? Tapi kamu sakit." tangannya mulai meraba kembali."Tidak apa-apa. Semua orang bilang, kalau pertama memang begini. Nanti kalau sudah terbiasa juga tidak." menahan tangan Ken yang sudah mendekat ke arah bagian sensitifnya lagi."Kalau begitu, kita harus sering-sering melakukannya agar cepat terbiasa." Ken menaruh mulutnya dileher Rimbun.Deru nafas Ken membuat Rimbun kembali merinding."Sekarang saja ya?" tangan Ken meraba lengan Rimbun sambil menciumi leher Rimbun."Ken!" mata Rimbun sudah hampir lepas. Ken begidik melihat it
Bulan rupanya sudah berganti.Hari demi hari yang dilewati dua pasangan Suami istri, si Bos dan Sekretarisnya berjalan dengan keindahan dan kebahagiaan yang hakiki.Satu bulan sudah Ken menikahi Rimbun. Dan kini mereka sudah tinggal dirumah Glen sesuai kesepakatan bersama.Rimbun senang, karena dia tidak akan kesepian saat Ken pergi. Begitu juga dengan Daniah.Ken,Pria itu lebih merasa lega saat harus meninggalkan istrinya.Waktunya berjalan begitu sempurna. Tiap nafasnya dipenuhi bunga bunga bermekaran yang indah ibaratnya.Saat pulang, disambut senyuman manis si Jelek yang semakin hari semakin terlihat manis dan seksi di mata Ken.Suatu sore, Rimbun bertanya kepada Ken yang sudah duduk manis di Sofa. Rimbun mendekat, merebahkan kepalanya di dada Ken."Saat kita menikah, kamu tidak mengucapkan janji pernikahan seperti yang Tuan Glen lakukan?"Ken menunduk, sedikit mengangkat dagu Rimbun. Mengecup bibir mungil itu."Aku mengucapkan.""Dalam hati?"Ken tergelak."Tebakan yang baik."
Yang pucat saat ini bukan hanya Daniah dan Rimbun lagi, tapi Glen juga sudah mulai memucat.Bagaimana tidak!Ketika dia menoleh kesini, Daniah terus mengurut pelipisnya dengan sesekali muntah ke dalam Tong sampah.Waktu dia melirik ke sana, di kamar mandi Rimbun pun sama. Sudah bersandar lemas di sisi pintu kamar mandi.Glen kali ini yang memijat pelipisnya.'Ken kemana? Kamu kemana bodoh? Lama sekali!' mengumpat dalam hati.Sekarang Glen menghampiri Rimbun, membawanya ke sisi tempat tidur. Lalu duduk di tengah tengah dua wanita itu.Daniah merebahkan kepalanya di pahanya. Terdengar suara Rintihan Daniah.Rimbun, tergeletak di kasur dengan kepala yang hampir tak berjarak dengan bokong Glen. Terdengar merintih juga.Glen menarik nafas panjang penuh kekhawatiran. Menatap dua wanita itu secara bergantian. Terbesit perasaan takut luar biasa.Bagaimana jika mereka benar keracunan? Bagaimana jika tidak selamat?Pikirannya sudah kemana mana."Glen. Kepala ku rasanya mau pecah." rintihan dar
Fic, hanya bisa melirik dua Bos nya itu dengan perasaan yang tentu saja cemas. Bagaimana tidak cemas? Jika benar dua Nona di dalam ternyata keracunan, sudah pasti Fic sebagai kepala pelayan yang harus menanggung semua konsekuensinya.Beruntung kecemasan itu tak berlangsung lama ketika Dokter sudah membuka pintu dan mempersilahkan Glen dan Ken untuk masuk.Senyum berkembang di bibir Dokter sudah bisa diartikan sebagai pertanda baik bagi Fic.Tapi untuk para Suami, itu belum membuat mereka berhenti cemas.Mereka melirik dua wanita yang duduk di tepi ranjang itu, juga tersenyum ke arah mereka.Apa ini? Mereka tersenyum?Semakin tak sabar menunggu Dokter menjelaskan. Jantung mereka sudah jedag jedug duluan.Jangan-jangan!"Tidak perlu terlalu cemas Tuan. Istri istri anda, bukan sedang keracunan seperti yang anda khawatirkan." Dokter melangkah mendekat."Lalu apa? Kenapa dengan mereka? Apa benar mereka sedang hamil?" Glen tak sabar, segera menebak.Dokter kembali tersenyum.Membuat Glen ge
Fic tidak menyadari perasaan yang tumbuh di antara mereka. Orang lain juga sama, tidak ada yang tahu apa yang tersimpan di dalam hati Ellena. Namun, suatu saat Ellena tidak mampu menahan lagi dan mulai mengekspresikan perasaannya dengan lebih jelas. Fic hanya menganggap bahwa Ellena begitu karena belum dewasa dan belum mengerti perasaannya. Suatu hari, Ellena yang sudah bukan remaja lagi, mengungkapkan perasaan cinta yang selama ini terpendam.Fic merasa seolah tersambar petir dan sulit memahami apa yang sedang terjadi. "Mana mungkin?" batin Fic. "Aku hanya seorang kepala pelayan, dan usia kita terpaut jauh. Aku bahkan bisa jadi pamanmu, nona!" Namun, Ellena sama sekali tidak peduli dengan alasan tersebut. Ia nekad melakukan apapun untuk bisa bersama Fic. Perasaan Ellena semakin memuncak dan menghempas rasa ragu di hatinya. Fic kini terjebak dalam dilema, antara menerima perasaan Ellena atau tetap pada prinsipnya. Ketika akhirnya ia mulai merasakan getaran yang sama dalam hatinya, ia
"Diam!" Ellena bersikukuh, masih saja melanjutkan pekerjaannya. Lalu mengambil celana Fic dan meminta Fic untuk mengenakannya dengan sabar.Fic hanya bisa menurut. Ellena memakaikan kemeja putih pada Fic, mengancingkan baju itu."Ellena, aku bisa sendiri." menarik tangan Ellena hingga tubuh Ellena menabrak dadanya."Aku ingin melakukannya Fic. Dengan begitu, aku semakin bahagia." Ellena melepaskan tangan Fic, sekarang memasangkan dasi untuk Fic."Nona."Ellena masih belum selesai merapikan rambut, baju dan dasi Suaminya."Sudah rapi. Tinggal jas nya saja. Dipakai sekarang apa nanti saja?"Fic tak menjawab pertanyaan Ellena. Masih senantiasa menatap wajah Ellena."Fic.""Bisa menikahimu saja, sudah membuatku tak berhenti bersyukur. Jangan melakukan ini lagi. Itu membuatku merasa bersalah."Ellena dengan lembut menarik tengkuk Fic, menciumi wajahnya dengan penuh kasih sayang. "Aku ingin melakukan ini setiap pagi. Kau tidak boleh melarangku, atau aku akan mengadu pada Ayah. Kau sudah men
Fic menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum, "Baiklah, Tuan. Jika Anda telah mempercayai saya, saya tidak ingin mengecewakan Anda. Tapi, bolehkah saya mencari pengganti diri saya sebagai Kepala Pelayan?""Ya. Tentu saja. Semua itu ku serahkan padamu. Siapapun yang kau pilih, aku yakin kau sudah memikirkannya dengan baik," jawab Glen dengan mata yang bersinar penuh keyakinan. Fic mengangguk mantap, memperkuat pernyataannya.Mereka kembali ke kamar masing-masing setelah obrolan itu selesai. Langkah mereka terasa lebih ringan, seolah sebuah keputusan besar telah berhasil dilewati bersama. Di balik pintu kamar, Fic tersenyum tipis, merasa yakin akan kebijaksanaan pilihan yang telah dipertimbangkan matang-matang.Malam mulai menggantikan siang. Fic melangkah perlahan, merangkak ke atas ranjang mengikuti Ellena yang sudah lebih dulu berbaring. Mata Fic tak henti memandangi wajah Ellena, tersenyum padanya dengan penuh kebahagiaan. Sejenak Fic merasa puas, menikmati momen itu. Setelah itu, p
"Ellena, ayo kemari, Nak." ajak Daniah ramah. Glen juga menoleh ke arah Fic dengan tatapan yang sama hangatnya, "Ayo Fic, ajak istrimu makan bersama kami."Fic mengangguk, menarik kursi untuk Ellena dan kemudian duduk di sebelahnya. Meskipun bukan pertama kalinya dia berada dalam situasi ini, bahkan seringkali dia makan bersama mereka di masa lalu, namun suasana kali ini terasa berbeda. Fic merasa canggung, jantungnya berdebar kencang. Dahulu, dia hanya duduk di sini sebagai kepala pelayan yang setia. Namun sekarang, perannya telah berganti. Menjadi seorang menantu keluarga ini.Dua orang di hadapannya adalah sosok yang ia segani dan hormati selama ini, tuan dan nyonyanya. Dan tak disangka, kini mereka telah menjadi mertuanya. Fic menelan ludah, mencoba menyembunyikan kegugupan yang menjalar di seluruh tubuhnya.Daniah bergerak mengambil piring untuk Glen dan dirinya, lalu mengayunkan tangan ke arah piring Ellena dan Fic. Namun, tiba-tiba Fic menahan tangan Daniah. "Nyonya, biar saya
Lebih dari dua minggu sudah, Fic dan Ellena tinggal di villa puncak ini. Dan Pagi ini, Fic terlihat sibuk berkemas. Ellena duduk di samping tempat tidur dengan wajah murung dan bahunya yang terkulai. Semalam, Fic mencoba meyakinkan Ellena untuk pulang, bukan karena ia tidak ingin memenuhi keinginan Ellena untuk berlama-lama di sini, melainkan karena kekhawatiran terhadap rumah yang ditinggalkannya. Fic tak bisa menepis rasa cemas, terutama tentang kesepian yang pasti dirasakan Daniah tanpa Ellena sang putri.Setelah berbagai usaha Fic untuk merasuk, akhirnya Ellena mau pulang dengan imbalan janji berbulan madu ke Kampung halaman Ilham. Walaupun tampak masih belum sepenuhnya ikhlas, Ellena bertanya, "Jadi, setelah ini kita akan pergi ke Lampung, ya Fic?"Fic hanya mengangguk sambil mencium pucuk kepala Ellena, mengekspresikan rasa sayangnya padanya. Mereka berdua duduk di belakang mobil yang melaju perlahan meninggalkan Villa Puncak, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan manis
"Dasar sialan! Arg..!" bentak Keyan kesal, lalu meninju lengan Kimmy dan Khale bergantian. Tapi, perlahan ia ikut tertawa juga. Mereka masih terdengar tertawa bahagia, saling bercanda, sampai melangkah ke kamar masing-masing. "Besok, aku tidak mau lagi satu mobil dengan kalian! Mulai besok, kita akan membawa mobil masing-masing!" seru Keyan, wajahnya merah padam, sebelum menutup pintu kamarnya dengan keras.Sementara di sisi lain.Menuju Villa Puncak,Fic dengan lembut menuntun Ellena, melewati batu-batu hitam kecil yang tersusun apik di jalan setapak. Mereka berada di taman, tepat di luar Villa Puncak. Fic mengajak Ellena menuju bangku khusus yang lengkap dengan meja bundar berisi buah-buahan segar dan minuman yang menggoda. Fic mempersilahkan Ellena duduk, layaknya mempersilahkan seorang putri kerajaan. "Silahkan Tuan Putri," ucapnya sambil membungkukkan tubuh.Ellena tergelak dan menutup mulutnya dengan tangan. Ia duduk dan melihat sekitarnya, merasakan keindahan sore itu. "Ah Fic
Saat ini di kediaman Ken, Khale dan Kimmy melangkahkan kaki mereka ke dalam rumah dengan langkah gontai. Keyan menyusul dari belakang, tetapi mulutnya tak berhenti mengomel, mengumpat dua kakaknya yang sama sekali tidak menggubrisnya. Ketiga pemuda itu menghempaskan bokong mereka ke sofa dengan kasar, tak peduli dengan tas yang belum mereka taruh. "Aku kesal!! Hari ini aku kesal dengan kalian berdua!" ujar Keyan kesal sambil menunjuk kedua kakaknya."Apa sih anak ini?" balas Khale sambil melotot."Tau tuh!" Kimmy ikut melotot dengan wajah tidak senang.Keyan sudah berdiri, marah, dan menggerakkan tangannya hendak memukul kepala Kimmy, namun ditangkap oleh Kimmy. "Haha.. Keyan rupanya iri kepada kita, Khal. Dia tidak bisa mendekati wanita incarannya, berbeda dengan kita." ejek Kimmy sambil melepaskan tangannya dari Keyan. Khale hanya menanggapi dengan senyuman sinis, menambah rasa kesal Keyan semakin mendalam."Siapa bilang iri? Aku cuma ngerasa tidak dianggap oleh kalian. Kalian s
Mereka baru saja selesai menikmati hidangan makan malam. Fic duduk bersandar di sofa sambil menggelar lengannya ke arah Ellena yang duduk didepannya tanpa jarak. Ellena menyandarkan punggungnya di dada Fic yang hangat. Kedua tangan Fic membelai perut Ellena seolah memberikan rasa nyaman pada istrinya ini, sementara lehernya dielusnya dengan lembut. "Fic, kenapa saat yang tadi itu kamu mendadak menjadi cerewet sih?" Ellena bertanya dengan nada iseng, sambil tangannya asyik mengutak-atik ponselnya.Fic tersenyum kecil. "Siapa yang cerewet? Aku?" dia menanggapi dengan nada bercanda."Padahal kamu sedang kesulitan bernafas, aku hanya peduli dan mencoba mengetahui penyebabnya." Jawab Ellena."Susah bernafas? Memang kenapa, ya? Apa aku menekan tubuhmu terlalu keras? Sepertinya tidak." Fic berkata sambil melanjutkan elusan lembutnya di leher Ellena, tangannya kadang bergerak meraba-raba sekilas membuat Ellena menggelinjang. "Ya... aku tidak tahu. Rasanya sesak saja," jawab Ellena, sambil ter
Fic melucuti pakaian Ellena. Sekali lagi mengamati tubuh indah itu sambil tangannya bergerak aktif. Menyentuh semua itu tanpa terlewat.Fic menyisir setiap bagian tubuh Ellena dengan bibirnya. Hingga sampai pada Area sensitif. Fic merenggangkan kedua paha Ellena. Dan memposisikan wajahnya. Ellena menggeliat bak cacing kepanasan karena ulah Fic. Meremas kuat rambut Fic hingga berantakan."Fic, berhenti." nafasnya tersengal sengal.Fic mendongak, menatap wajah Ellena yang sudah memerah. Fic tersenyum, menyambar bibir itu. Hanya sebentar, lagi lagi turun perlahan dan kembali lagi ke area sensitif.Ellena menegang, Fic belum berhenti. Masih berada disitu. Fic benar benar ingin membuat Ellena menggelinjang tak karuan. Hingga Ellena menggoyahkan tubuhnya tanda tak sanggup lagi."Ah, Fic. Berhentilah. Ku mohon." Mendorong kepala Fic.Fic akhirnya berhenti , memandangi tubuh yang terus menggeliat itu."Fic. Kamu menyiksaku!"Fic hanya tersenyum, kembali menyerang wajah leher dan dada Ellena,