Devan merasa lega karena dia bisa mengambil perhiasan dari istrinya itu. Ia langsung pergi ke pegadaian dan menukarnya dengan uang. "Wih, satu juta, lumayan, nih," batinnya pelan. Lelaki itu langsung pergi dengan perasaan senang. Karena ia masih belum selesai dengan rasa frustasinya, ia berniat mengajak kedua temannya untuk mabuk. Sampai detik itu, Devan belum mengetahui apa yang telah dilakukan oleh kedua temannya terhadap anaknya. Sehingga, dia bersikap biasa saja. Teman-teman Devan pun merasa lega, mereka kembali mengompori Devan kala itu karena kondisi Devan yang memungkinkan mereka. "Jarot, Udin! Aku lama-lama pengen ngusir Ariana beneran dari rumah! Aku gak betah sama dia! Kamu tahu, kan?! Kalo aku ini butuh biaya banyak sekarang?! Kenapa Istriku nggak ngerti sama sekali! Aku cuman mau jual rumahnya dibuat keperluan rumah! Dia malah nggak ngebolehin aku, heh!" pekiknya dengan suara lantang. Lelaki itu mengepalkan kedua tangannya dan membanting meja. "Haduh, kalo gitu kamu har
"Aku harus apa sekarang?" batin Vasya di dalam hatinya, gadis itu merasa tertekan dengan keadaan ekonomi keluarganya. Pada akhirnya, gadis itu nekad pergi ke pasar di kampung lain. Meski jaraknya jauh, dia tidak peduli. Ketika tiba di pasar lain, gadis itu menawarkan diri untuk bekerja di pagi hari. Hal itu ia lakukan selama tiga hari berturut-turut. Tak masalah bila dia harus bekerja pada jam tiga atau empat pagi. Namun, semuanya menolak Vasya. Mereka menganggap gadis itu terlalu kecil. "Kenapa cari kerja susah banget, ya?! Kalo kaya gini caranya?! Aku harus apa?" batinnya pelan. Ia berjalan sempoyongan sambil menangis di tengah keramaian. Tiba-tiba saja, seorang lelaki mendatanginya. "Heh, kamu ngapain di sini, Sya?! Pake acara nangis segala," ucap Farel, seorang lelaki berusia dua puluh lima tahun yang merupakan kakak dari Arif. "Apaan sih, Kak? Kakak ngapain di sini?! Ganggu orang aja," balas Vasya, gadis itu membuang muka dan menghapus tangisannya. Farel yang mengetahuinya, h
"Ya Allah, kenapa aku selalu mikir negatif ke Vasya? Ibu macam apa aku ini?!" batin wanita itu pelan. Tubuhnya gemetar, dan ia berkali-kali merasa bersalah karena tingkah lakunya sendiri.Di satu sisi, Vasya yang berada di perjalanan bersama dengan Farel tersenyum lebar. "Vasya, kamu nggak kenapa-napa, kan?" tanya Farel dengan wajah gelisah ketika ia menyetir motornya. Vasya seketika tersenyum dan menganggukkan kepala, "Nggak papa kok, Kak. Aman, Bos, hahaha.""Dih, pagi-pagi udah ngelawak. Semangat kerjanya, ya. Ini hari pertama kamu kerja, awas, jangan gegabah," ucap Farel. "Siap, komandan," balas gadis kecil itu. Ia berusaha tersenyum meski hatinya hancur berkeping-keping. Selang beberapa saat kemudian, mereka telah sampai di pasar.Farel meninggalkan Vasya bersama dengan Arif dan ibunya. Di sana, Arif banyak berbincang-bincang dengan Vasya. Vasya dan Arif bekerja hingga waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Di sana lah, mereka berhenti dan bersiap-siap ke sekolah. Vasya iz
Vasya, dengan kondisi mengenaskan, berusaha bangkit dan berdiri. Ia berjalan dengan langkah lemas menuju ke kamarnya. Brak!Vasya membanting pintu, menguncinya, dan merebahkan diri di kasurnya. Gadis itu menangis kencang. Meski begitu, ia menutupi wajahnya dengan bantal miliknya. Ia sama sekali tak memperdulikan rasa sakitnya. Ia hanya kecewa dengan sikap ayahnya.Ariana yang baru saja datang dari pasar, langsung memasak, ia berkali-kali mengajak Vasya ikut membantunya. Namun, gadis itu sama sekali tak menjawabnya. Hingga sore tiba, Vasya sama sekali tak ke luar kamar. Ia pun merasa cemas."Vasya, kamu di mana, Sayang?" tanya sang ibu sembari tersenyum. Vasya seketika berdiam diri, ia tak berniat menjawab pertanyaan ibunya. "Vasya, kamu di kamar, Nak? Jawab Mama, dong. Ini udah sore, dan dari tadi, Mama lihat, kamu sama sekali nggak mau makan. Ada apa, Nak?" tanya sang ibu dengan suara lirih. Vasya dengan keadaan kacaunya, berjalan menuju ke kamar.Ia membuka pintu, dan bertemu denga
"Gak usah banyak drama, Ma! Aku mau tidur!" pekik Devan dengan nada tinggi. Ia mendorong tubuh Ariana. Namun, wanita itu terbiasa untuk bangkit dan berdiri lagi. Sehingga, ia langsung pergi ke arahnya dan mencengkeram tangan suaminya. "Mas, aku nggak mau tau! Kamu harus minta maaf sama Vasya!" pekik Ariana dengan nada menuntut. Persetan dengan apa yang terjadi. Dia hanya ingin meminta suaminya mengakui kesalahannya. "Kamu itu apa-apaan sih, Ma! Lepasin tanganku!' Devan kemudian melepaskan diri dari genggamannya. Ia berjalan ke kamar, berusaha menghalangi perbincangan. "Mas! Tunggu dulu! Jangan pergi!" pekik Ariana, ia masih menahan suaminya. Devan merengutkan dahi dan mendorong istrinya sambil bertanya, "Apa maumu, Ma?!" pekik Ariana. Lelaki itu menghirup nafas pelan. "Minta maaf sama Vasya, Mas! Minta maaf itu nggak susah, lo! Nggak ada salahnya kamu minta maaf ke dia!" teriak Ariana dengan suara lantang. "Oke! Aku bakalan minta maaf!" pekik Devan sembari tersenyum sinis. Lelaki
"Halah, kamu itu. Kayak nggak tahu kelasku aja, Sya. Kamu kan tau, di kelasku barang sering hilang, soalnya diambil sama hantunya. Kamu nggak inget? Sebulan yang lalu, temen-temen nyari sepatu Robi yang hilang sebelah. Udah dicariin muter-muter, nggak taunya di pohon belakang, nyangkutnya di batang yang paling tinggi. Kamu kan tahu, di sini ada unsur-unsur mistisnya, Sya. Udah, ya. Bye," ucap Arif dengan wajah ketus. Ia segera pergi dari tempatnya.Vasya yang mendengarnya, seketika berdiam diri. Ia mengingat kejadian satu bulan yang lalu. "Oh, kejadian yang itu? Hahaha, apes banget tuh, si Robi," batin gadis itu sembari tertawa lirih. Ia kembali ke kelas tanpa berpikir macam-macam. Diam-diam, Arif segera memberikan pesan kepada teman-temannya. Ketika sore, Arif dan Vasya saling melempar pandangan satu sama lain. Vasya yang berada di samping Arif sering menundukkan kepala. "Sya, kenapa dari tadi nundukin kepala terus?" tanya Arif dengan suara lirih. Vasya menggelengkan kepala, seray
Ketika sampai di rumah Arif, keduanya langsung memasuki ruang tengah dan duduk bersama dengan ibu Arif. Baik Arif dan juga ibunya, keduanya sama-sama membuatkan sebuah makanan untuk dinikmati bersama. Di sela-sela itu, mereka saling berbincang-bincang. "Oh iya, Vasya. Bibi hari ini mau kasih bonus ke kamu. Soalnya, Bibi lihat, kerja kamu bagus. Ini uangnya," ucap ibu Arif. Beliau mengambil sebuah amplop dan memberikannya kepada Vasya. "Alhamdulillah, makasih, Bi," balas Vasya sembari mengambil uang itu. Dia hendak melihat ke arahnya sembari tersenyum lebar. "Iya, Vasya. Semangat ya, kerjanya. Oh iya, Bibi juga mau ngasih tau kamu. Bibi kan ada pesenan, nih. Nah, kebetulan banget, habis ini di rumah Bibi ada pengajian. Jadi, kamu sama Arif aja ya, yang anterin. Habis itu, kalian terserah, mau ngapain. Kalian mau jalan-jalan, juga nggak papa, kok. Asal, pulangnya jangan malem-malem, ya." Ibu Arif tersenyum lebar. "Oke, Bi. Nggak masalah," ucap Vasya. Mereka saling melontarkan senyum
Vasya yang berada di dalam ruangan, memilih mengabaikan teriakan dari ayahnya. Ia bergegas ke dalam kamar dan menutup pintu. Di sana, dia memilih untuk berdiam diri. Selang beberapa minggu kemudian, Vasya mengikuti perlombaan. Dia mendapatkan juara tiga di kotanya. Tak lama kemudian, dia menjalankan ujian kenaikan kelas.Seharusnya, di waktu seperti itu, dia dapat belajar dengan serius. Namun, semua hanyalah ilusi. Hal itu terjadi ketika Devan dan Ariana berebut sertifikat rumah. "Ma! Mana sertifikat rumahnya" pekik Devan dengan nada tinggi. Ariana yang berdiri di belakangnya, menyembunyikan sertifikat itu di dalam tasnya."Apa mau kamu, Mas! Aku udah pernah bilang kalo rumah ini aset satu-satunya milik kita!" teriak Ariana, dia tidak terima dengan sikap Devan. "Ba*** kamu! Mana sertifikatnya! Kamu kasihin sekarang, apa aku yang minggat dari rumah ini, hah?! Pilih mana kamu!" pekik Devan. "Kalo kamu mau ngurus sertifikat rumah ini! Aku mendingan ikut! Jangan kamu sendirian, Mas! Ak