Home / Thriller / Anak-Anak Aslan / Bab 1 - Mimpi Buruk Keluarga Aslan

Share

Anak-Anak Aslan
Anak-Anak Aslan
Author: fairafa22

Bab 1 - Mimpi Buruk Keluarga Aslan

Author: fairafa22
last update Last Updated: 2022-05-26 13:47:53

Hari itu terlihat sama seperti hari-hari sebelumnya. Kabut tebal selalu menyelimuti seluruh permukaan bukit Bruma. Butiran-butiran air pembentuknya telah mengotori udara saat benang langit pagi mulai terbentuk. Bermain di udara bersama angin yang sesekali bertiup sangat pelan dan menyamarkan bentuk semua benda, baik yang hidup maupun yang mati.

Terdapat sebuah desa terpencil terletak persis di lereng bukit bernama Desa Bruma. Tidak banyak penduduk di luar bukit yang mengetahui tentang keberadaannya. Kabut seolah-olah telah menciptakan sebuah benteng kelabu, menghilangkan eksistensi desa dari sebagian besar ingatan orang-orang. Jika beruntung, pada hari cerah dimana pembiasan sinar matahari tepat mengenai kaki bukit, akan terlihat warna cokelat kemerahan pada pucuk atap-atap rumah yang berpendar dengan warna dari barisan pepohonan jati. Tapi fenomena langka tersebut hanya terjadi lima kali dalam satu bulan dan hanya beberapa menit.

Di antara rumah-rumah yang tampak tersebar di kaki bukit pada hari cerah –jika diamati dengan teliti di sisi bukit bagian utara, akan terlihat sebuah rumah kecil dengan warna atap yang hampir menyerupai rupa bebatuan tebing. Rumah tersebut adalah rumah milik keluarga Aslan. Menyisakan bagian pintu dan jendela beserta kusennya, seluruh dinding rumah diwarnai oleh dedaunan sirih merah yang mengkilap. Benar-benar sebuah kamuflase sempurna bagi sebuah tempat tinggal yang berdampingan dengan pepohonan. Sekitar tiga ratus meter dari rumah tersebut terdapat runtuhan bebatuan menutupi mulut terowongan tua, yang konon ratusan tahun lalu pernah dipakai untuk menghubungkan desa dengan lokasi tambang.

Tidak banyak penduduk Desa Bruma yang mengetahui tentang keberadaan Keluarga Aslan. Selain karena jarak satu rumah dengan rumah lainnya sejauh setengah kilometer, letak rumah Aslan yang berada di ujung desa membuatnya jarang dilewati orang meskipun untuk sekadar berjalan-jalan. Rupa rumah yang terlihat seperti semak-semak tinggi serta tebalnya kabut membuat beberapa orang menganggapnya sebagai bagian dari belukar hutan. Kecuali Bibi Sami –satu-satunya penduduk desa yang cukup mengenal mereka— yang tinggal di sebuah rumah kayu berjarak sekitar dua ratus meter.

Masih dengan pagi yang berkabut. Sekelebat siluet samar bergerak di jalanan lengang dan berpagar pepohonan jati. Siluet tersebut berjalan pelan seperti larinya seekor keong, menembus kepungan kabut yang tiada habisnya. Semakin lama semakin jelas saat mendekati rumah Keluarga Aslan. Menampakkan setiap lekak-lekuk darinya setelah menerobos kabut di udara, hingga menjelma menjadi seorang gadis kecil yang mengenakan baju terusan berwarna abu-abu sebetis. Bagian luarnya dilapisi jaket rajut berwarna biru lusuh untuk menghalangi udara dingin yang menusuk kulit.

Gadis kecil tersebut bernama Sera, putri dari Sagara Aslan, berumur 13 tahun dan memiliki keunikan fisik yang jarang ditemui. Ia memiliki rambut panjang berwarna merah gelap seperti bunga kosmos cokelat. Warna mata hazelnya yang indah terbalut dengan kelopak mata lebar, berpadu dengan bentuk hidung yang lurus-runcing. Jemari di tangan kanannya terlihat pucat saat beradu warna dengan buku bersampul yang dibawa.

Sera sangat menyukai buku-buku. Kecintaannya terhadap buku memunculkan kebiasaan buruk yang membuatnya tidak peduli dengan keadaan sekeliling. Ia sanggup menghabiskan waktu berhari-hari di ruang baca dan menghabiskan lebih dari lima buku tebal. Dan saat berjalan, ia tidak akan pernah menyadari keberadaannya dan sudah berapa lama menyusuri jalanan lengang. Mata hazelnya masih terfokus pada halaman buku berwarna kuning pudar, tanpa mengindahkan pagar besi berkarat setinggi satu meter di depan rumah.

“Kalau tidak memperhatikan sekitar, bisa-bisa kau akan terus berjalan hingga ke mulut terowongan.”

Sebuah suara membuat gadis berambut merah tersebut mengangkat wajah, dan sejenak membuatnya bingung. Dari balik pagar ia melihat seorang pemuda berwajah lusuh oleh beberapa polesan lumpur yang telah mengering. Kedua tangannya terlipat di dada seraya menatap lurus ke arahnya.

“Lagi-lagi membaca buku sambil berjalan,” imbuh pemuda tersebut dengan nada datar. “Kebiasaanmu itu bisa membahayakanmu suatu hari nanti.”

Sera menutup buku yang dibacanya tadi lantas menundukkan sedikit kepalanya. “Ehm, maaf kak...,” sahutnya pelan sambil menyibakkan beberapa helai rambut merah ke belakang daun telinga.

Pemuda itu masih menatap lurus tanpa mengatakan sepatah kata, namun tak lama setelah itu ia mendenguskan nafas panjang dari mulut. Sera yang sedari tadi menunduk langsung menggerakkan bola matanya ke atas, berusaha mengintip keadaan dari balik poni.

“Huft, meskipun ku nasehati berulang-kali sepertinya percuma,” keluhnya sambil menyangga dahi dengan jemarinya yang kotor.

Pemuda tersebut bernama Aditya, anak sulung keluarga Aslan yang lahir dua tahun sebelum Sera. Berbeda dengan sang adik yang memiliki bagian tubuh ‘langka’, Aditya tampak seperti pemuda seusianya. Tubuhnya terbilang tidak terlalu tinggi untuk ukuran remaja laki-laki, sekitar 160 cm dan sedikit berisi. Kelebihannya berupa warna kulit yang sawo matang, rambut hitam lurus yang hampir menutupi kedua daun telinga, serta hidung mancung dan membulat di bagian bawah. Kedua selaput kelopak yang sayu membungkus bola mata beriris cokelat kehitaman.

Berbeda dengan Sera, Aditya justru menyukai tumbuhan, terlebih bunga. Halaman belakang rumah Aslan adalah daerah kekuasaannya. Jika tidak terhalang oleh rumah beserta tumbuhan sirih merah yang berkerumun –juga semak-semak tinggi diantara pepohonan jati– warna-warni bunga akan terlihat dengan jelas. Dari mulut jalan setapak hingga halaman belakang akan disambut barisan tanaman sepanjang tiga meter yang berisi bermacam-macam bunga, mulai dari Aster ungu, Zinnia, Freesia dengan berbagai warna, hingga Mawar merah yang tumbuh renggang memagari halaman belakang. Aditya terbilang cukup sering menghabiskan waktu senggangnya di sana, mengabdikan dirinya untuk mempercantik makhluk tersebut.

“Sebagai hukuman karena sudah melanggar nasehatku, kau harus menyiapkan sarapan sekarang!” perintah Aditya lalu berbalik.

Sera mengangkat kepalanya disertai senyuman lebar menghiasi wajah. “Tidak masalah. Aku sudah mendapatkannya dari Bibi Sami,” sahutnya senang menunjukkan rantang tingkat berwarna perak lantas melewati Aditya dengan langkah kaki yang cepat menuju pintu rumah. “Oh iya, sekalian panggil ayah juga ya.”

“Tunggu, ayah tidak bersamamu?” tanya Aditya heran.

“Bukannya di kebun bersama kakak?” sahutnya kembali yang hanya dijawab oleh gelengan kepala. Seolah tidak percaya, Sera menuju jalan setapak di samping rumah yang menghubungkan ke halaman belakang. Sesaat ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kebun yang masih tersamarkan kabut, berharap menemukan sosok yang dicari.

“Kau pikir aku membohongimu?” sindir Aditya yang telah berdiri di belakangnya, mengikuti. “Aku sudah berada di sini sendirian saat fajar. Sebelumnya aku ingin membangunkan ayah, tapi kamarnya kosong. Ku pikir dia berjalan-jalan bersamamu,” jelasnya sambil membersihkan beberapa butir tanah yang menempel di punggung tangan.

Sera terdiam sesaat menatap hamparan bunga dengan warna pudar terbalut kabut. “Aku memang ingin mengajaknya tadi. Tapi sewaktu menengok ke kamar, aku hanya melihat beberapa tumpukan buku di lantai,” ceritanya sambil mengingat-ingat kembali.

Aditya mulai bergumam dengan suara seperti tengah menguyah sesuatu dalam mulutnya, memandang jauh ke arah ujung kebun. “Hm, kalau begitu, ayah dim—”

“Aditya! Sera!”

Teriakan keras membuat kedua anak Aslan tersentak. Segera mereka melangkah cepat menuju halaman depan dan mendapati sosok wanita pendek berambut ikal yang hampir tenggelam di antara kabut. Kedua anak Aslan membelalakkan mata saat menyadari kalau sosok tersebut adalah Bibi Sami.

“Bibi Sami?” ucap Sera heran melihat sosok yang ditemuinya beberapa saat lalu, kini telah berdiri di hadapannya lagi. Bunyi deritan engsel berkarat mulai terdengar saat Aditya membukaan pintu pagar besi sambil memandangi wanita tersebut dengan dahi berkerut.

“Cepat ke sungai Reka sekarang! A-ayah kalian… k-kecelakaan!” ucapnya terbata.

****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nur Hayati
sangat bagus dan menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Anak-Anak Aslan   Bab 2 - Terkubur Dalam Sungai

    Puluhan pagar manusia memenuhi bantaran sungai Reka –salah satu sungai dengan lebar yang mencapai tiga ratus meter. Sungai tersebut mengalir di pinggiran timur pusat kota, sekitar lima belas kilometer dari Bukit Bruma dan telah berjasa menghidupkan peradaban. Beberapa pasang mata menatap ke arah seutas tali tebal yang terhubung dengan truk derek dan ujungnya menembus bagian tengah sungai. Seolah-olah mereka tengah melihat para gladiator yang terpaksa bertarung untuk menghibur para manusia yang haus darah. Sesekali terdengar suara riuh dari para ‘pagar hidup’ saat membicarakan ‘sesuatu’ yang terkubur di bawah aliran sungai yang tidak dangkal. Beberapa polisi berseragam abu-abu tampak disibukkan dengan membuat batas penghalang maupun meneriaki para manusia keras kepala yang mendekati bibir sungai karena tingginya rasa penasaran. Namun, mereka tidak bisa diusir begitu saja. Sebuah teriakan kasar yang terdengar, justru membuat manusia-manusia itu berkerumun. Mereka benar-benar seperti ko

    Last Updated : 2022-05-26
  • Anak-Anak Aslan   Bab 3 - Sebelum Hari Kelabu Tiba

    Dua Hari yang lalu.... “Ayah, ada surat dari— Astaga, kenapa berantakan sekali,” gerutu Sera tepat ketika ia berhenti di tengah gawang pintu kamar yang berada di ujung lorong. Mata hazelnya membulat saat beberapa tumpukan buku tebal tak beraturan terlihat memenuhi lantai. Mirip seperti bebatuan hitam besar yang memenuhi sungai-sungai di gunung. Dengan ogah-ogahan, gadis berambut merah itu mulai mendekati tumpukan buku terdekat lantas menekuk kaki untuk melihat lebih jelas. Tangannya mengambil sebuah buku tebal bersampul hijau gelap dengan huruf-huruf emas bertuliskan ‘Runtuhnya Sebuah Dinding’. “Huft, apa lagi yang dilakukan ayah semalam? Aku hampir saja mengira kalau ini adalah tumpukan buku baru,” gumamnya kecewa sambil meletakkan kembali benda di tangan. Ia berdiri kembali dengan mata hazel bulat yang bergerak lincah menyapu seisi ruangan. Tiga buah lemari kayu yang menjadi rumah bagi buku-buku tebal, dipan tua, beberapa alat kerja berupa kaca pembesar, kuas usang, tumpukan jurn

    Last Updated : 2022-05-26
  • Anak-Anak Aslan   Bab 4 - Paman Damar

    “Sera...” Aditya memanggil pelan dari balik pintu kayu yang warnanya hampir menghitam. Sera yang tengah duduk di ranjang hanya terdiam tanpa menyahut. Beberapa bekas air mata yang telah mengering menghiasi wajah. Kedua matanya yang sembam menatap bingkai kecil di tangannya. Memandangi dengan lekat foto usang dirinya bersama sang ayah di balik kaca kusam. Satu menit berselang. Deritan kayu mulai terdengar saat daun pintu kamar terbuka. Hembusan udara dingin dari ruang tengah menyerbu masuk, menusuk kulit tangan dan pipinya dalam sekejap, bersamaan dengan aroma sedap sup hangat yang menggelitik hidung. Sera hanya terdiam tanpa mengubah posisinya sedikit pun dan membiarkan tubuh Aditya –yang hanya terlihat seperti siluet, berjalan menghampiri. “Aku buatkan sup ayam kesukaanmu,” kata Aditya tersenyum tipis seraya duduk di tepi ranjang sambil memangku nampan kayu dengan beberapa makanan di atasnya. Asap tipis yang muncul dari genangan sup tampak terbang mengepul, membentur rahangnya seb

    Last Updated : 2022-05-26
  • Anak-Anak Aslan   Bab 5 - Penyesalan

    Raut wajah Sera tercengang saat menyadari kamarnya berubah menjadi tempat asing, sebuah dunia yang hanya diselimuti warna putih. Mata hazelnya menyelam ke seluruh penjuru, berusaha menemukan sesuatu yang dapat menjelaskan dimana dirinya berada. Nihil, ruangan tersebut tampak seperti ruangan tanpa batas, tanpa suara maupun setitik noda yang mengotori. Bahkan ia pun tidak tahu dimana saat ini kakinya berpijak. Ia benar-benar tidak mengerti bagaimana bisa berada di tempat aneh seperti ini, padahal beberapa saat lalu dirinya masih berada di kamar bersama sang kakak.“Kak Adit...” Sera mulai membuka suaranya yang terdengar parau dan menggema nyaring. Kedua kakinya mulai dilangkahkan dengan takut-takut, seraya berharap bahwa dataran putih yang diinjakknya bukanlah dataran yang rapuh. Kedua tangannya meraba-raba di udara, mencari suatu dinding atau apapun untuk berpegang. Ia benar-benar seperti orang buta di tempat yang terang.“Ayah, bagaimana baju baruku?”Sebuah suara mengalihkan perhatia

    Last Updated : 2022-05-26
  • Anak-Anak Aslan   Bab 6 - Pria Misterius

    “Ini kembaliannya, terima kasih!” ujar penjaga toko seraya menyerahkan beberapa lembar uang seribuan lusuh dan sebuah kantong plastik berwarna putih.Aditya mengangguk tersenyum lantas meninggalkan toko dan berjalan cepat menuju sebuah pohon rindang, dimana Sera tengah menunggu di bangku kayu. Namun, hanya menyisakan jarak beberapa meter, langkah pemuda tersebut berhenti saat menyadari Sera hanya terdiam menatap ke arah kaki bukit yang tesamarkan oleh polusi. Sedangkan buku tebal miliknya digeletakkan begitu saja, seakan tidak peduli meskipun berulang kali lembarannya bergerak dimainkan angin. “Maaf ya sedikit lama. Entah kenapa pemilik toko itu tidak memajang keripik pisang kesukaanmu di rak,” ujar Aditya menghampiri sang adik setelah cukup lama terpaku. Bunyi berisik dari kantong plastik terdengar saat melangkahkan kaki, menari-nari di udara.Sera hanya membalas dengan senyuman tipis lantas berdiri sambil mengibas-kibaskan rok merah dengan motif kotak-kotak untuk menghilangkan buti

    Last Updated : 2022-05-26
  • Anak-Anak Aslan   Bab 7 - Cara Bertahan Hidup

    “Kak....,” Sebuah panggilan terdengar dari gawang pintu kamar Sagara. Temaram cahaya lampu ruangan perlahan-lahan mulai menampakkan sosok gadis berambut merah yang tengah sibuk merapatkan sweter biru usang. Udara di malam itu terasa lebih dingin akibat hujan sore yang mengguyur selama tiga jam lamanya. Serangga-serangga hutan yang biasanya menyemarakkan malam lebih memilih untuk menetap di sarang, berpesta dengan menghabiskan sisa makanan, atau berdiam untuk melindungi tubuh dari tetesan-tetesan air yang bisa menghujani setiap waktu. Panggilan Sera yang tiba-tiba membuat Aditya tersentak dari lamunan dan sejenak membekukan kedua bibir yang sedari tadi digerakkan oleh gumaman. “Huft Sera, kau mengagetkanku saja,” timpalnya menghembuskan nafas keras, cepat-cepat menyelipkan selembar kertas dan pena di saku baju dan langsung menyibukkan diri mengeluarkan barang-barang Sagara dari sebuah kardus besar. Sera melangkah masuk dengan menyapukan mata hazelnya ke seluruh penjuru kamar. Tidak

    Last Updated : 2022-06-30
  • Anak-Anak Aslan   Bab 8 - Yang Bersembunyi Di Kegelapan

    Baru saja memasuki perkarangan belakang, Aditya langsung menghampiri jajaran kantong plastik hitam yang terletak di petak sebelah timur, tempat di mana bibit sawi hijau tersemai dengan rapi. Dengan cekatan, kedua tangannya mengambil sebuah kantong dan mengamati dengan jeli tiap butiran tanah. Tak lama berselang, sebuah senyuman tipis terkembang saat mendapati semburat warna putih pada benih sawi yang menjadi kehidupan awal sebuah tanaman. Cukup puas memandangi peliharaan barunya –dan setelah berulang kali menggumamkan sesuatu– ia kemudian memutar tubuh menghadap petak-petak lain yang dipenuhi bunga. “Jika aku bisa memilih, aku tidak akan menjual kalian begitu saja, tapi apa boleh buat. Maafkan aku." Pemuda tersebut bergumam sendu dan dengan lembut ia mulai membelai salah satu bunga freesia berwarna merah muda, seakan tengah membelai rambut seorang gadis. Ia terdiam dan menatap jauh ke arah hamparan bunga yang menghias. Melihat keindahan bunga-bunga, membuatnya kembali teringat masa l

    Last Updated : 2022-06-30

Latest chapter

  • Anak-Anak Aslan   Bab 8 - Yang Bersembunyi Di Kegelapan

    Baru saja memasuki perkarangan belakang, Aditya langsung menghampiri jajaran kantong plastik hitam yang terletak di petak sebelah timur, tempat di mana bibit sawi hijau tersemai dengan rapi. Dengan cekatan, kedua tangannya mengambil sebuah kantong dan mengamati dengan jeli tiap butiran tanah. Tak lama berselang, sebuah senyuman tipis terkembang saat mendapati semburat warna putih pada benih sawi yang menjadi kehidupan awal sebuah tanaman. Cukup puas memandangi peliharaan barunya –dan setelah berulang kali menggumamkan sesuatu– ia kemudian memutar tubuh menghadap petak-petak lain yang dipenuhi bunga. “Jika aku bisa memilih, aku tidak akan menjual kalian begitu saja, tapi apa boleh buat. Maafkan aku." Pemuda tersebut bergumam sendu dan dengan lembut ia mulai membelai salah satu bunga freesia berwarna merah muda, seakan tengah membelai rambut seorang gadis. Ia terdiam dan menatap jauh ke arah hamparan bunga yang menghias. Melihat keindahan bunga-bunga, membuatnya kembali teringat masa l

  • Anak-Anak Aslan   Bab 7 - Cara Bertahan Hidup

    “Kak....,” Sebuah panggilan terdengar dari gawang pintu kamar Sagara. Temaram cahaya lampu ruangan perlahan-lahan mulai menampakkan sosok gadis berambut merah yang tengah sibuk merapatkan sweter biru usang. Udara di malam itu terasa lebih dingin akibat hujan sore yang mengguyur selama tiga jam lamanya. Serangga-serangga hutan yang biasanya menyemarakkan malam lebih memilih untuk menetap di sarang, berpesta dengan menghabiskan sisa makanan, atau berdiam untuk melindungi tubuh dari tetesan-tetesan air yang bisa menghujani setiap waktu. Panggilan Sera yang tiba-tiba membuat Aditya tersentak dari lamunan dan sejenak membekukan kedua bibir yang sedari tadi digerakkan oleh gumaman. “Huft Sera, kau mengagetkanku saja,” timpalnya menghembuskan nafas keras, cepat-cepat menyelipkan selembar kertas dan pena di saku baju dan langsung menyibukkan diri mengeluarkan barang-barang Sagara dari sebuah kardus besar. Sera melangkah masuk dengan menyapukan mata hazelnya ke seluruh penjuru kamar. Tidak

  • Anak-Anak Aslan   Bab 6 - Pria Misterius

    “Ini kembaliannya, terima kasih!” ujar penjaga toko seraya menyerahkan beberapa lembar uang seribuan lusuh dan sebuah kantong plastik berwarna putih.Aditya mengangguk tersenyum lantas meninggalkan toko dan berjalan cepat menuju sebuah pohon rindang, dimana Sera tengah menunggu di bangku kayu. Namun, hanya menyisakan jarak beberapa meter, langkah pemuda tersebut berhenti saat menyadari Sera hanya terdiam menatap ke arah kaki bukit yang tesamarkan oleh polusi. Sedangkan buku tebal miliknya digeletakkan begitu saja, seakan tidak peduli meskipun berulang kali lembarannya bergerak dimainkan angin. “Maaf ya sedikit lama. Entah kenapa pemilik toko itu tidak memajang keripik pisang kesukaanmu di rak,” ujar Aditya menghampiri sang adik setelah cukup lama terpaku. Bunyi berisik dari kantong plastik terdengar saat melangkahkan kaki, menari-nari di udara.Sera hanya membalas dengan senyuman tipis lantas berdiri sambil mengibas-kibaskan rok merah dengan motif kotak-kotak untuk menghilangkan buti

  • Anak-Anak Aslan   Bab 5 - Penyesalan

    Raut wajah Sera tercengang saat menyadari kamarnya berubah menjadi tempat asing, sebuah dunia yang hanya diselimuti warna putih. Mata hazelnya menyelam ke seluruh penjuru, berusaha menemukan sesuatu yang dapat menjelaskan dimana dirinya berada. Nihil, ruangan tersebut tampak seperti ruangan tanpa batas, tanpa suara maupun setitik noda yang mengotori. Bahkan ia pun tidak tahu dimana saat ini kakinya berpijak. Ia benar-benar tidak mengerti bagaimana bisa berada di tempat aneh seperti ini, padahal beberapa saat lalu dirinya masih berada di kamar bersama sang kakak.“Kak Adit...” Sera mulai membuka suaranya yang terdengar parau dan menggema nyaring. Kedua kakinya mulai dilangkahkan dengan takut-takut, seraya berharap bahwa dataran putih yang diinjakknya bukanlah dataran yang rapuh. Kedua tangannya meraba-raba di udara, mencari suatu dinding atau apapun untuk berpegang. Ia benar-benar seperti orang buta di tempat yang terang.“Ayah, bagaimana baju baruku?”Sebuah suara mengalihkan perhatia

  • Anak-Anak Aslan   Bab 4 - Paman Damar

    “Sera...” Aditya memanggil pelan dari balik pintu kayu yang warnanya hampir menghitam. Sera yang tengah duduk di ranjang hanya terdiam tanpa menyahut. Beberapa bekas air mata yang telah mengering menghiasi wajah. Kedua matanya yang sembam menatap bingkai kecil di tangannya. Memandangi dengan lekat foto usang dirinya bersama sang ayah di balik kaca kusam. Satu menit berselang. Deritan kayu mulai terdengar saat daun pintu kamar terbuka. Hembusan udara dingin dari ruang tengah menyerbu masuk, menusuk kulit tangan dan pipinya dalam sekejap, bersamaan dengan aroma sedap sup hangat yang menggelitik hidung. Sera hanya terdiam tanpa mengubah posisinya sedikit pun dan membiarkan tubuh Aditya –yang hanya terlihat seperti siluet, berjalan menghampiri. “Aku buatkan sup ayam kesukaanmu,” kata Aditya tersenyum tipis seraya duduk di tepi ranjang sambil memangku nampan kayu dengan beberapa makanan di atasnya. Asap tipis yang muncul dari genangan sup tampak terbang mengepul, membentur rahangnya seb

  • Anak-Anak Aslan   Bab 3 - Sebelum Hari Kelabu Tiba

    Dua Hari yang lalu.... “Ayah, ada surat dari— Astaga, kenapa berantakan sekali,” gerutu Sera tepat ketika ia berhenti di tengah gawang pintu kamar yang berada di ujung lorong. Mata hazelnya membulat saat beberapa tumpukan buku tebal tak beraturan terlihat memenuhi lantai. Mirip seperti bebatuan hitam besar yang memenuhi sungai-sungai di gunung. Dengan ogah-ogahan, gadis berambut merah itu mulai mendekati tumpukan buku terdekat lantas menekuk kaki untuk melihat lebih jelas. Tangannya mengambil sebuah buku tebal bersampul hijau gelap dengan huruf-huruf emas bertuliskan ‘Runtuhnya Sebuah Dinding’. “Huft, apa lagi yang dilakukan ayah semalam? Aku hampir saja mengira kalau ini adalah tumpukan buku baru,” gumamnya kecewa sambil meletakkan kembali benda di tangan. Ia berdiri kembali dengan mata hazel bulat yang bergerak lincah menyapu seisi ruangan. Tiga buah lemari kayu yang menjadi rumah bagi buku-buku tebal, dipan tua, beberapa alat kerja berupa kaca pembesar, kuas usang, tumpukan jurn

  • Anak-Anak Aslan   Bab 2 - Terkubur Dalam Sungai

    Puluhan pagar manusia memenuhi bantaran sungai Reka –salah satu sungai dengan lebar yang mencapai tiga ratus meter. Sungai tersebut mengalir di pinggiran timur pusat kota, sekitar lima belas kilometer dari Bukit Bruma dan telah berjasa menghidupkan peradaban. Beberapa pasang mata menatap ke arah seutas tali tebal yang terhubung dengan truk derek dan ujungnya menembus bagian tengah sungai. Seolah-olah mereka tengah melihat para gladiator yang terpaksa bertarung untuk menghibur para manusia yang haus darah. Sesekali terdengar suara riuh dari para ‘pagar hidup’ saat membicarakan ‘sesuatu’ yang terkubur di bawah aliran sungai yang tidak dangkal. Beberapa polisi berseragam abu-abu tampak disibukkan dengan membuat batas penghalang maupun meneriaki para manusia keras kepala yang mendekati bibir sungai karena tingginya rasa penasaran. Namun, mereka tidak bisa diusir begitu saja. Sebuah teriakan kasar yang terdengar, justru membuat manusia-manusia itu berkerumun. Mereka benar-benar seperti ko

  • Anak-Anak Aslan   Bab 1 - Mimpi Buruk Keluarga Aslan

    Hari itu terlihat sama seperti hari-hari sebelumnya. Kabut tebal selalu menyelimuti seluruh permukaan bukit Bruma. Butiran-butiran air pembentuknya telah mengotori udara saat benang langit pagi mulai terbentuk. Bermain di udara bersama angin yang sesekali bertiup sangat pelan dan menyamarkan bentuk semua benda, baik yang hidup maupun yang mati. Terdapat sebuah desa terpencil terletak persis di lereng bukit bernama Desa Bruma. Tidak banyak penduduk di luar bukit yang mengetahui tentang keberadaannya. Kabut seolah-olah telah menciptakan sebuah benteng kelabu, menghilangkan eksistensi desa dari sebagian besar ingatan orang-orang. Jika beruntung, pada hari cerah dimana pembiasan sinar matahari tepat mengenai kaki bukit, akan terlihat warna cokelat kemerahan pada pucuk atap-atap rumah yang berpendar dengan warna dari barisan pepohonan jati. Tapi fenomena langka tersebut hanya terjadi lima kali dalam satu bulan dan hanya beberapa menit. Di antara rumah-rumah yang tampak tersebar di kaki b

DMCA.com Protection Status