Puluhan pagar manusia memenuhi bantaran sungai Reka –salah satu sungai dengan lebar yang mencapai tiga ratus meter. Sungai tersebut mengalir di pinggiran timur pusat kota, sekitar lima belas kilometer dari Bukit Bruma dan telah berjasa menghidupkan peradaban. Beberapa pasang mata menatap ke arah seutas tali tebal yang terhubung dengan truk derek dan ujungnya menembus bagian tengah sungai. Seolah-olah mereka tengah melihat para gladiator yang terpaksa bertarung untuk menghibur para manusia yang haus darah.
Sesekali terdengar suara riuh dari para ‘pagar hidup’ saat membicarakan ‘sesuatu’ yang terkubur di bawah aliran sungai yang tidak dangkal. Beberapa polisi berseragam abu-abu tampak disibukkan dengan membuat batas penghalang maupun meneriaki para manusia keras kepala yang mendekati bibir sungai karena tingginya rasa penasaran. Namun, mereka tidak bisa diusir begitu saja. Sebuah teriakan kasar yang terdengar, justru membuat manusia-manusia itu berkerumun. Mereka benar-benar seperti koloni serangga yang saling berebut mengerumuni cahaya lampu.
Dari arah sungai, terlihat empat hingga lima pria dewasa bertelanjang dada tengah mengapun di air. Sesekali menenggelamkan diri beberapa saat untuk memeriksa sesuatu di dalam sungai yang berlumpur. Beberapa memegangi beberapa utas tali tebal dan menyebarnya ke tiga titik sejajar. Tak lama setelah itu, mereka berenang menuju tepian sungai setelah salah satu di antara mereka berteriak pada si pemegang kendali truk derek.
Mesin derek yang mulai meraung kasar cukup membuat orang-orang pusing hingga membuat gatal daun telinga. Pengait truk yang menghubungkan dengan ‘sesuatu’ di dalam sungai terangkat saat katrol mulai berputar lambat, melawan berat dan arus. Seluruh pasang mata menatap sungai dengan tegang. Hanya selang beberapa detik kerumunan manusia tersebut langsung mematung, terlebih saat kemunculan benda yang terlihat seperti mobil dengan kondisi mengerikan. Seluruh kacanya pecah dengan gawang jendela yang koyak tak beraturan, menjadi tambatan lumut-lumut berlendir hijau menjijikkan. Bagian depan mobil rusak parah, seperti terbentur hebat sebelum terjatuh ke sungai. Banyak bagian mobil yang telah terlepas dan beberapa serpihan-serpihannya terjatuh tenggelam atau terdampar di bantaran.
“Ya Tuhan!”
Seorang wanita berkulit sawo matang berteriak histeris saat melihat sosok pucat yang terduduk di bangku supir sebelum mobil menyentuh tanah. Wanita tersebut buru-buru menutup mulut dengan kedua mata yang masih terbelalak. Suara riuh barisan manusia terdengar kembali. Gerakan saling dorong-mendorong tak dapat terelakkan, mengabaikan garis kuning yang terlepas serta terinjak oleh puluhan pasang kaki. Bahkan para petugas kepolisian mulai gusar dan berulangkali meneriaki mereka yang semakin menjadi, terlebih saat bangkai mobil telah menyentuh permukaan tanah.
Lima petugas forensik yang telah berdiri di luar garis pembatas langsung melesat mendekati bangkai mobil. Salah seorang di antara mereka langsung memotret bagian mobil dan sosok korban dari berbagai sudut. Dengan bantuan cahaya matahari yang tertutup awan, sosok tersebut terlihat menunduk dengan mata tertutup dan kedua tangannya yang masih mencengkeram lingkaran setir mobil. Tetesan sisa air sungai dari helai rambut mengaliri kulit wajah pucat dan lebam, dengan goresan-goresan merah yang telah membeku.
“Ayah!!”
Di tengah kerumunan orang-orang dewasa yang bertubuh besar, seorang gadis kecil bersusah payah menyelinapkan tubuhnya. Saat terbebas tak lama kemudian, ia segera melesat mendekati bangkai mobil tanpa mempedulikan polisi yang dilewatinya. Tepat saat itu pintu mobil yang telah koyak terbuka, air sungai yang tersisa di bagian bawah mobil mengguyur keluar, menggenangi tepian sungai dengan cepat. Langkah gadis tersebut seketika terhenti, tercengang saat melihat sosok sang ayah, Sagara Aslan yang terduduk kaku di bangku supir. Membuat kedua kakinya lumpuh.
“Sera!” seru Aditya sambil menopang tubuh kurus adiknya sesaat sebelum terjatuh lantas memeluknya dengan erat. Tubuh Sagara yang terlihat kaku dan tak lagi bernyawa membuat pemuda tersebut tercengang. Suara riuh orang-orang di belakang serta polisi yang tengah mengucapkan sesuatu padanya perlahan menghilang, menyisakan teriakan dalam hati yang terdengar jelas.
Tidak mungkin!
Dua Hari yang lalu.... “Ayah, ada surat dari— Astaga, kenapa berantakan sekali,” gerutu Sera tepat ketika ia berhenti di tengah gawang pintu kamar yang berada di ujung lorong. Mata hazelnya membulat saat beberapa tumpukan buku tebal tak beraturan terlihat memenuhi lantai. Mirip seperti bebatuan hitam besar yang memenuhi sungai-sungai di gunung. Dengan ogah-ogahan, gadis berambut merah itu mulai mendekati tumpukan buku terdekat lantas menekuk kaki untuk melihat lebih jelas. Tangannya mengambil sebuah buku tebal bersampul hijau gelap dengan huruf-huruf emas bertuliskan ‘Runtuhnya Sebuah Dinding’. “Huft, apa lagi yang dilakukan ayah semalam? Aku hampir saja mengira kalau ini adalah tumpukan buku baru,” gumamnya kecewa sambil meletakkan kembali benda di tangan. Ia berdiri kembali dengan mata hazel bulat yang bergerak lincah menyapu seisi ruangan. Tiga buah lemari kayu yang menjadi rumah bagi buku-buku tebal, dipan tua, beberapa alat kerja berupa kaca pembesar, kuas usang, tumpukan jurn
“Sera...” Aditya memanggil pelan dari balik pintu kayu yang warnanya hampir menghitam. Sera yang tengah duduk di ranjang hanya terdiam tanpa menyahut. Beberapa bekas air mata yang telah mengering menghiasi wajah. Kedua matanya yang sembam menatap bingkai kecil di tangannya. Memandangi dengan lekat foto usang dirinya bersama sang ayah di balik kaca kusam. Satu menit berselang. Deritan kayu mulai terdengar saat daun pintu kamar terbuka. Hembusan udara dingin dari ruang tengah menyerbu masuk, menusuk kulit tangan dan pipinya dalam sekejap, bersamaan dengan aroma sedap sup hangat yang menggelitik hidung. Sera hanya terdiam tanpa mengubah posisinya sedikit pun dan membiarkan tubuh Aditya –yang hanya terlihat seperti siluet, berjalan menghampiri. “Aku buatkan sup ayam kesukaanmu,” kata Aditya tersenyum tipis seraya duduk di tepi ranjang sambil memangku nampan kayu dengan beberapa makanan di atasnya. Asap tipis yang muncul dari genangan sup tampak terbang mengepul, membentur rahangnya seb
Raut wajah Sera tercengang saat menyadari kamarnya berubah menjadi tempat asing, sebuah dunia yang hanya diselimuti warna putih. Mata hazelnya menyelam ke seluruh penjuru, berusaha menemukan sesuatu yang dapat menjelaskan dimana dirinya berada. Nihil, ruangan tersebut tampak seperti ruangan tanpa batas, tanpa suara maupun setitik noda yang mengotori. Bahkan ia pun tidak tahu dimana saat ini kakinya berpijak. Ia benar-benar tidak mengerti bagaimana bisa berada di tempat aneh seperti ini, padahal beberapa saat lalu dirinya masih berada di kamar bersama sang kakak.“Kak Adit...” Sera mulai membuka suaranya yang terdengar parau dan menggema nyaring. Kedua kakinya mulai dilangkahkan dengan takut-takut, seraya berharap bahwa dataran putih yang diinjakknya bukanlah dataran yang rapuh. Kedua tangannya meraba-raba di udara, mencari suatu dinding atau apapun untuk berpegang. Ia benar-benar seperti orang buta di tempat yang terang.“Ayah, bagaimana baju baruku?”Sebuah suara mengalihkan perhatia
“Ini kembaliannya, terima kasih!” ujar penjaga toko seraya menyerahkan beberapa lembar uang seribuan lusuh dan sebuah kantong plastik berwarna putih.Aditya mengangguk tersenyum lantas meninggalkan toko dan berjalan cepat menuju sebuah pohon rindang, dimana Sera tengah menunggu di bangku kayu. Namun, hanya menyisakan jarak beberapa meter, langkah pemuda tersebut berhenti saat menyadari Sera hanya terdiam menatap ke arah kaki bukit yang tesamarkan oleh polusi. Sedangkan buku tebal miliknya digeletakkan begitu saja, seakan tidak peduli meskipun berulang kali lembarannya bergerak dimainkan angin. “Maaf ya sedikit lama. Entah kenapa pemilik toko itu tidak memajang keripik pisang kesukaanmu di rak,” ujar Aditya menghampiri sang adik setelah cukup lama terpaku. Bunyi berisik dari kantong plastik terdengar saat melangkahkan kaki, menari-nari di udara.Sera hanya membalas dengan senyuman tipis lantas berdiri sambil mengibas-kibaskan rok merah dengan motif kotak-kotak untuk menghilangkan buti
“Kak....,” Sebuah panggilan terdengar dari gawang pintu kamar Sagara. Temaram cahaya lampu ruangan perlahan-lahan mulai menampakkan sosok gadis berambut merah yang tengah sibuk merapatkan sweter biru usang. Udara di malam itu terasa lebih dingin akibat hujan sore yang mengguyur selama tiga jam lamanya. Serangga-serangga hutan yang biasanya menyemarakkan malam lebih memilih untuk menetap di sarang, berpesta dengan menghabiskan sisa makanan, atau berdiam untuk melindungi tubuh dari tetesan-tetesan air yang bisa menghujani setiap waktu. Panggilan Sera yang tiba-tiba membuat Aditya tersentak dari lamunan dan sejenak membekukan kedua bibir yang sedari tadi digerakkan oleh gumaman. “Huft Sera, kau mengagetkanku saja,” timpalnya menghembuskan nafas keras, cepat-cepat menyelipkan selembar kertas dan pena di saku baju dan langsung menyibukkan diri mengeluarkan barang-barang Sagara dari sebuah kardus besar. Sera melangkah masuk dengan menyapukan mata hazelnya ke seluruh penjuru kamar. Tidak
Baru saja memasuki perkarangan belakang, Aditya langsung menghampiri jajaran kantong plastik hitam yang terletak di petak sebelah timur, tempat di mana bibit sawi hijau tersemai dengan rapi. Dengan cekatan, kedua tangannya mengambil sebuah kantong dan mengamati dengan jeli tiap butiran tanah. Tak lama berselang, sebuah senyuman tipis terkembang saat mendapati semburat warna putih pada benih sawi yang menjadi kehidupan awal sebuah tanaman. Cukup puas memandangi peliharaan barunya –dan setelah berulang kali menggumamkan sesuatu– ia kemudian memutar tubuh menghadap petak-petak lain yang dipenuhi bunga. “Jika aku bisa memilih, aku tidak akan menjual kalian begitu saja, tapi apa boleh buat. Maafkan aku." Pemuda tersebut bergumam sendu dan dengan lembut ia mulai membelai salah satu bunga freesia berwarna merah muda, seakan tengah membelai rambut seorang gadis. Ia terdiam dan menatap jauh ke arah hamparan bunga yang menghias. Melihat keindahan bunga-bunga, membuatnya kembali teringat masa l
Hari itu terlihat sama seperti hari-hari sebelumnya. Kabut tebal selalu menyelimuti seluruh permukaan bukit Bruma. Butiran-butiran air pembentuknya telah mengotori udara saat benang langit pagi mulai terbentuk. Bermain di udara bersama angin yang sesekali bertiup sangat pelan dan menyamarkan bentuk semua benda, baik yang hidup maupun yang mati. Terdapat sebuah desa terpencil terletak persis di lereng bukit bernama Desa Bruma. Tidak banyak penduduk di luar bukit yang mengetahui tentang keberadaannya. Kabut seolah-olah telah menciptakan sebuah benteng kelabu, menghilangkan eksistensi desa dari sebagian besar ingatan orang-orang. Jika beruntung, pada hari cerah dimana pembiasan sinar matahari tepat mengenai kaki bukit, akan terlihat warna cokelat kemerahan pada pucuk atap-atap rumah yang berpendar dengan warna dari barisan pepohonan jati. Tapi fenomena langka tersebut hanya terjadi lima kali dalam satu bulan dan hanya beberapa menit. Di antara rumah-rumah yang tampak tersebar di kaki b
Baru saja memasuki perkarangan belakang, Aditya langsung menghampiri jajaran kantong plastik hitam yang terletak di petak sebelah timur, tempat di mana bibit sawi hijau tersemai dengan rapi. Dengan cekatan, kedua tangannya mengambil sebuah kantong dan mengamati dengan jeli tiap butiran tanah. Tak lama berselang, sebuah senyuman tipis terkembang saat mendapati semburat warna putih pada benih sawi yang menjadi kehidupan awal sebuah tanaman. Cukup puas memandangi peliharaan barunya –dan setelah berulang kali menggumamkan sesuatu– ia kemudian memutar tubuh menghadap petak-petak lain yang dipenuhi bunga. “Jika aku bisa memilih, aku tidak akan menjual kalian begitu saja, tapi apa boleh buat. Maafkan aku." Pemuda tersebut bergumam sendu dan dengan lembut ia mulai membelai salah satu bunga freesia berwarna merah muda, seakan tengah membelai rambut seorang gadis. Ia terdiam dan menatap jauh ke arah hamparan bunga yang menghias. Melihat keindahan bunga-bunga, membuatnya kembali teringat masa l
“Kak....,” Sebuah panggilan terdengar dari gawang pintu kamar Sagara. Temaram cahaya lampu ruangan perlahan-lahan mulai menampakkan sosok gadis berambut merah yang tengah sibuk merapatkan sweter biru usang. Udara di malam itu terasa lebih dingin akibat hujan sore yang mengguyur selama tiga jam lamanya. Serangga-serangga hutan yang biasanya menyemarakkan malam lebih memilih untuk menetap di sarang, berpesta dengan menghabiskan sisa makanan, atau berdiam untuk melindungi tubuh dari tetesan-tetesan air yang bisa menghujani setiap waktu. Panggilan Sera yang tiba-tiba membuat Aditya tersentak dari lamunan dan sejenak membekukan kedua bibir yang sedari tadi digerakkan oleh gumaman. “Huft Sera, kau mengagetkanku saja,” timpalnya menghembuskan nafas keras, cepat-cepat menyelipkan selembar kertas dan pena di saku baju dan langsung menyibukkan diri mengeluarkan barang-barang Sagara dari sebuah kardus besar. Sera melangkah masuk dengan menyapukan mata hazelnya ke seluruh penjuru kamar. Tidak
“Ini kembaliannya, terima kasih!” ujar penjaga toko seraya menyerahkan beberapa lembar uang seribuan lusuh dan sebuah kantong plastik berwarna putih.Aditya mengangguk tersenyum lantas meninggalkan toko dan berjalan cepat menuju sebuah pohon rindang, dimana Sera tengah menunggu di bangku kayu. Namun, hanya menyisakan jarak beberapa meter, langkah pemuda tersebut berhenti saat menyadari Sera hanya terdiam menatap ke arah kaki bukit yang tesamarkan oleh polusi. Sedangkan buku tebal miliknya digeletakkan begitu saja, seakan tidak peduli meskipun berulang kali lembarannya bergerak dimainkan angin. “Maaf ya sedikit lama. Entah kenapa pemilik toko itu tidak memajang keripik pisang kesukaanmu di rak,” ujar Aditya menghampiri sang adik setelah cukup lama terpaku. Bunyi berisik dari kantong plastik terdengar saat melangkahkan kaki, menari-nari di udara.Sera hanya membalas dengan senyuman tipis lantas berdiri sambil mengibas-kibaskan rok merah dengan motif kotak-kotak untuk menghilangkan buti
Raut wajah Sera tercengang saat menyadari kamarnya berubah menjadi tempat asing, sebuah dunia yang hanya diselimuti warna putih. Mata hazelnya menyelam ke seluruh penjuru, berusaha menemukan sesuatu yang dapat menjelaskan dimana dirinya berada. Nihil, ruangan tersebut tampak seperti ruangan tanpa batas, tanpa suara maupun setitik noda yang mengotori. Bahkan ia pun tidak tahu dimana saat ini kakinya berpijak. Ia benar-benar tidak mengerti bagaimana bisa berada di tempat aneh seperti ini, padahal beberapa saat lalu dirinya masih berada di kamar bersama sang kakak.“Kak Adit...” Sera mulai membuka suaranya yang terdengar parau dan menggema nyaring. Kedua kakinya mulai dilangkahkan dengan takut-takut, seraya berharap bahwa dataran putih yang diinjakknya bukanlah dataran yang rapuh. Kedua tangannya meraba-raba di udara, mencari suatu dinding atau apapun untuk berpegang. Ia benar-benar seperti orang buta di tempat yang terang.“Ayah, bagaimana baju baruku?”Sebuah suara mengalihkan perhatia
“Sera...” Aditya memanggil pelan dari balik pintu kayu yang warnanya hampir menghitam. Sera yang tengah duduk di ranjang hanya terdiam tanpa menyahut. Beberapa bekas air mata yang telah mengering menghiasi wajah. Kedua matanya yang sembam menatap bingkai kecil di tangannya. Memandangi dengan lekat foto usang dirinya bersama sang ayah di balik kaca kusam. Satu menit berselang. Deritan kayu mulai terdengar saat daun pintu kamar terbuka. Hembusan udara dingin dari ruang tengah menyerbu masuk, menusuk kulit tangan dan pipinya dalam sekejap, bersamaan dengan aroma sedap sup hangat yang menggelitik hidung. Sera hanya terdiam tanpa mengubah posisinya sedikit pun dan membiarkan tubuh Aditya –yang hanya terlihat seperti siluet, berjalan menghampiri. “Aku buatkan sup ayam kesukaanmu,” kata Aditya tersenyum tipis seraya duduk di tepi ranjang sambil memangku nampan kayu dengan beberapa makanan di atasnya. Asap tipis yang muncul dari genangan sup tampak terbang mengepul, membentur rahangnya seb
Dua Hari yang lalu.... “Ayah, ada surat dari— Astaga, kenapa berantakan sekali,” gerutu Sera tepat ketika ia berhenti di tengah gawang pintu kamar yang berada di ujung lorong. Mata hazelnya membulat saat beberapa tumpukan buku tebal tak beraturan terlihat memenuhi lantai. Mirip seperti bebatuan hitam besar yang memenuhi sungai-sungai di gunung. Dengan ogah-ogahan, gadis berambut merah itu mulai mendekati tumpukan buku terdekat lantas menekuk kaki untuk melihat lebih jelas. Tangannya mengambil sebuah buku tebal bersampul hijau gelap dengan huruf-huruf emas bertuliskan ‘Runtuhnya Sebuah Dinding’. “Huft, apa lagi yang dilakukan ayah semalam? Aku hampir saja mengira kalau ini adalah tumpukan buku baru,” gumamnya kecewa sambil meletakkan kembali benda di tangan. Ia berdiri kembali dengan mata hazel bulat yang bergerak lincah menyapu seisi ruangan. Tiga buah lemari kayu yang menjadi rumah bagi buku-buku tebal, dipan tua, beberapa alat kerja berupa kaca pembesar, kuas usang, tumpukan jurn
Puluhan pagar manusia memenuhi bantaran sungai Reka –salah satu sungai dengan lebar yang mencapai tiga ratus meter. Sungai tersebut mengalir di pinggiran timur pusat kota, sekitar lima belas kilometer dari Bukit Bruma dan telah berjasa menghidupkan peradaban. Beberapa pasang mata menatap ke arah seutas tali tebal yang terhubung dengan truk derek dan ujungnya menembus bagian tengah sungai. Seolah-olah mereka tengah melihat para gladiator yang terpaksa bertarung untuk menghibur para manusia yang haus darah. Sesekali terdengar suara riuh dari para ‘pagar hidup’ saat membicarakan ‘sesuatu’ yang terkubur di bawah aliran sungai yang tidak dangkal. Beberapa polisi berseragam abu-abu tampak disibukkan dengan membuat batas penghalang maupun meneriaki para manusia keras kepala yang mendekati bibir sungai karena tingginya rasa penasaran. Namun, mereka tidak bisa diusir begitu saja. Sebuah teriakan kasar yang terdengar, justru membuat manusia-manusia itu berkerumun. Mereka benar-benar seperti ko
Hari itu terlihat sama seperti hari-hari sebelumnya. Kabut tebal selalu menyelimuti seluruh permukaan bukit Bruma. Butiran-butiran air pembentuknya telah mengotori udara saat benang langit pagi mulai terbentuk. Bermain di udara bersama angin yang sesekali bertiup sangat pelan dan menyamarkan bentuk semua benda, baik yang hidup maupun yang mati. Terdapat sebuah desa terpencil terletak persis di lereng bukit bernama Desa Bruma. Tidak banyak penduduk di luar bukit yang mengetahui tentang keberadaannya. Kabut seolah-olah telah menciptakan sebuah benteng kelabu, menghilangkan eksistensi desa dari sebagian besar ingatan orang-orang. Jika beruntung, pada hari cerah dimana pembiasan sinar matahari tepat mengenai kaki bukit, akan terlihat warna cokelat kemerahan pada pucuk atap-atap rumah yang berpendar dengan warna dari barisan pepohonan jati. Tapi fenomena langka tersebut hanya terjadi lima kali dalam satu bulan dan hanya beberapa menit. Di antara rumah-rumah yang tampak tersebar di kaki b