Home / Thriller / Anak-Anak Aslan / Bab 4 - Paman Damar

Share

Bab 4 - Paman Damar

Author: fairafa22
last update Last Updated: 2022-05-26 17:46:23

“Sera...”

Aditya memanggil pelan dari balik pintu kayu yang warnanya hampir menghitam. Sera yang tengah duduk di ranjang hanya terdiam tanpa menyahut. Beberapa bekas air mata yang telah mengering menghiasi wajah. Kedua matanya yang sembam menatap bingkai kecil di tangannya. Memandangi dengan lekat foto usang dirinya bersama sang ayah di balik kaca kusam.

Satu menit berselang. Deritan kayu mulai terdengar saat daun pintu kamar terbuka. Hembusan udara dingin dari ruang tengah menyerbu masuk, menusuk kulit tangan dan pipinya dalam sekejap, bersamaan dengan aroma sedap sup hangat yang menggelitik hidung. Sera hanya terdiam tanpa mengubah posisinya sedikit pun dan membiarkan tubuh Aditya –yang hanya terlihat seperti siluet, berjalan menghampiri.

“Aku buatkan sup ayam kesukaanmu,” kata Aditya tersenyum tipis seraya duduk di tepi ranjang sambil memangku nampan kayu dengan beberapa makanan di atasnya. Asap tipis yang muncul dari genangan sup tampak terbang mengepul, membentur rahangnya sebelum menghilang di udara.

“Aku tidak lapar,” tukas Sera dengan suara kecil, hampir kehilangan tenaga. Ia pun segera merebahkan dirinya di atas ranjang dan membelakangi Aditya, menutupi tubuh dengan selimut tebal berwarna corak acak.

“Jangan begitu...!” Pemuda tersebut mulai menyergah. Hembusan nafasnya terdengar sedikit kasar, seakan menjawab sikap sang adik yang tidak mengacuhkan kehadirannya. Ia meletakkan nampan di atas meja plastik. Bunyi nyaring deritan kayu-kayu penyangga kasur terdengar singkat saat menggeser posisi duduk, mengisi keheningan kamar sesaat.

“Sejak kemarin kau belum makan apa-apa. Kau bisa sakit,” tambahnya sambil menatap lurus punggung sang adik yang terbalut selimut. Gadis berambut merah tersebut tidak menjawab. Keheningan kembali merambat, menyisakan suara angin yang terdengar seperti siulan saat menembus celah-celah kecil di jendela.

Aditya menghela nafas lantas menyandarkan tempurung kepalanya ke dinding. Kedua mata sayunya menatap jauh ke arah plafon putih yang sebagian permukaannya telah terkelupas dan mendapati seekor laba-laba tengah meniti benang-benang kelabu. Berulangkali laba-laba itu tergelincir dari titian saat terhempas angin yang masuk melewati ventilasi kamar, namun nasib baik membuatnya selalu terselamatkan dengan menambatkan salah satu kakinya pada seutas benang.  

“Sera...” ujar Aditya pelan dengan kedua matanya yang masih menatap langit-langit kamar. Suaranya yang berat terdengar sedikit bergetar, seakan mengetahui apa yang tengah dipikirkan sang adik. “Terkadang ada beberapa hal yang tidak kita mengerti di dunia ini. Seperti kematian ayah.” Pemuda tersebut terdiam sejenak. Suara nafasnya terdengar samar beradu dengan detakan jam. Laba-laba yang dilihatnya mulai berjalan menjauh dan menghilang, tersamarkan oleh warna plafon. “Mungkin sudah waktunya ayah meninggalkan kita untuk menemani ibu di sana.”

Merasa suaranya tercekat, kedua kelopak mata pemuda tersebut ditutup rapat-rapat hingga membentuk beberapa garis kerutan. Kata-kata rutukan menggema keras dalam hati atas takdir pahit yang menjerumuskannya dalam kubangan kesedihan. Kepergian kedua orang tuanya masih membuatnya terpukul, sampai-sampai muncul harapan dalam benaknya bahwa semua ini adalah bagian dari rangkaian mimpi buruk.

Dok! Dok! Dok!

Sebuah ketukan keras yang berasal dari pintu depan memaksa Aditya membuka kelopak matanya kembali. Buru-buru ia menegakkan punggung sambil memasang baik-baik pendengarannya untuk memastikan. Sekitar empat detik berselang, ketukan keras tersebut terdengar kembali. Pemuda tersebut langsung beranjak dari ranjang tanpa menghiraukan Sera yang masih terbaring. Pandangannya tak berhenti menatap pintu utama, seolah tengah berusaha menembus lembaran kayu tebal tersebut untuk melihat si pengetuk.

Langkah Aditya terhenti sesaat sebelum memutar grendel. Ia mendekatkan wajahnya ke daun pintu dan membiarkan mata kirinya mengintip dari lubang kunci. Dari sudut pandang yang terbatas, ia menangkap sosok pria gemuk bertopi yang berdiri di balik pintu. Dan tampaknya ia disibukkan dengan jas cokelat yang berulang kali dikibas-kibaskan. Aditya kembali menarik wajahnya dengan beribu pertanyaan dalam otak. Dengan ragu-ragu, tangannya mulai bergerak perlahan memutar grendel pintu.

“Oh, akhirnya...” Pria gemuk itu menyambut dengan gumaman dan helaan nafas lega saat pintu terbuka. Ia segera melangkah mendekat sambil menahan topi hitam yang bertengger di kepala sebelum diterbangkan angin. “Kau pasti Aditya kan? Ah, kau masih sangat muda ya, Nak,” ucap pria tersebut seraya mengusap keringat di wajah dengan sapu tangan kelabu.

Aditya tak bisa menahan kerutan pada dahi dan langsung mengamati pria asing tersebut dari ujung topi hingga ujung sepatu. Jas cokelat yang dikenakan membalut rapi tubuh gemuk yang lebarnya hampir melebihi daun pintu. Perutnya buncit dengan beberapa kancing kemeja yang mencuat, seperti hendak terlepas. Beberapa kerutan di sekitar kantung matanya terlihat, serta wajah yang dihiasi dua pipi gemuk, beradu dengan ketinggian hidung.

“Maaf, anda...,” Aditya mulai membuka suara.

Pria gemuk itu tersenyum simpul. Kedua bibir yang tertarik menekan kedua pipinya yang bulat dan menjadikannya terlihat seperti kue pau. “Ah maaf, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Damar, rekan kerja Sagara,” sebutnya seraya mengulurkan tangan kanan ke arah Aditya.

Kedua mata Aditya membulat. Ia pun segera menjabat tangan pria tersebut dengan sedikit merasa bersalah. “Maaf, saya tidak tahu kalau paman—”

“Tidak apa-apa. Aku mengerti, pasti kau belum pernah mendengar namaku dari Sagara, kan?” potong Damar tersenyum menanggapi.

Pemuda tersebut hanya tersenyum keki tanpa memandang wajah Damar. Ia pun segera memundurkan langkah dan menggenggam grendel. “Silakan masuk, Paman,” ujarnya sambil mendorong daun pintu dengan punggung agar terbuka lebih lebar.

“Tidak perlu,” tukas Damar dengan cepat. Ia pun membalikkan badannya yang gemuk dan mengangkat kardus dengan kedua lengan yang besar. “Aku hanya mampir sebentar, sekalian mengantarkan barang-barang ayahmu yang tertinggal di kantor,” imbuhnya.

Buru-buru pemuda tersebut memindahkan kardus itu ke tangannya setelah mengucapkan terima kasih. Paha kanannya diangkat sesaat untuk menyangga kardus. Dari ekor matanya, pria gemuk tersebut terlihat tengah mengamati rimbunan sirih merah yang menutupi hampir seluruh dinding bagian luar.

“Hm, aku masih penasaran apa yang dia pikirkan saat membiarkan daun-daun ini tumbuh menguasai rumah,” decaknya kagum sambil tetap tidak melepaskan pandangan. Tangannya yang besar terulur, memegangi sehelai di antaranya yang perlahan bergerak tertiup angin. “Apa kau tidak merasa kesulitan merawat mereka?”

Aditya tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala. Ia mengamati pria gemuk yang masih asyik memandangi dedaunan sirih yang masih saling bergesekan tertiup angin dan mengeluarkan suara berisik nyaring.

“Ayahmu adalah pria baik yang sudah ku anggap seperti keluargaku sendiri. Sampai hari ini aku masih sulit untuk mempercayai kalau dia sudah tiada,” tambah Damar pelan sembari menatap jauh ke arah dedaunan.

Bibir Aditya terlipat sembari menundukkan tanpa menanggapi. Sekelebat wajah Sagara yang tiba-tiba melintas membuat air mukanya berubah. Namun hal itu tak berlangsung lama saat ekor matanya tanpa sadar menangkap gerakan si pria gemuk yang tiba-tiba menyikap sedikit lengan baju untuk melihat arloji. Aditya pun segera menghirup nafas dalam-dalam dan berusaha mengubah raut wajah dengan menarik sedikit bibir.

“Hm... Sepertinya aku harus kembali bekerja,” ujar Damar sambil menutup kembali arloji besar yang melingkari pergelangan tangan. Kedua matanya memandang pemuda tersebut dengan tatapan iba, seperti tak tega melihat keadaannya saat ini tanpa kedua orang tua yang menemani. “Jaga dirimu baik-baik ya,” ucapnya sambil menepuk-nepuk bahu Aditya dengan kedua tangan dan beranjak meninggalkan tempat tersebut dengan langkah kaki yang lebar.

Pemuda tersebut memandangi sosok gemuk melintasi halaman rumah. Tubuh Damar yang besar membuat kedua kakinya sulit bergerak cepat. Sekitar beberapa langkah dari mobil hitam kusam yang terparkir di depan pagar, pria tersebut berhenti dan membalikkan badan.   

“Jika butuh sesuatu, kau bisa datang ke rumahku kapan saja, nak. Pintuku selalu terbuka untukmu,” ujar Damar tersenyum sambil memegangi topinya yang hampir tertiup angin.

Aditya melayangkan senyuman tipis untuk menanggapi. Pria gemuk tersebut membalikkan tubuh dan melanjutkan langkahnya hingga masuk ke dalam mobil. Suara mesin tak lama kemudian meraung, diiringi laju mobil yang mulai bergerak dan menghilang di balik belukar.

****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Martua Samosir
bagus cerita nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Anak-Anak Aslan   Bab 5 - Penyesalan

    Raut wajah Sera tercengang saat menyadari kamarnya berubah menjadi tempat asing, sebuah dunia yang hanya diselimuti warna putih. Mata hazelnya menyelam ke seluruh penjuru, berusaha menemukan sesuatu yang dapat menjelaskan dimana dirinya berada. Nihil, ruangan tersebut tampak seperti ruangan tanpa batas, tanpa suara maupun setitik noda yang mengotori. Bahkan ia pun tidak tahu dimana saat ini kakinya berpijak. Ia benar-benar tidak mengerti bagaimana bisa berada di tempat aneh seperti ini, padahal beberapa saat lalu dirinya masih berada di kamar bersama sang kakak.“Kak Adit...” Sera mulai membuka suaranya yang terdengar parau dan menggema nyaring. Kedua kakinya mulai dilangkahkan dengan takut-takut, seraya berharap bahwa dataran putih yang diinjakknya bukanlah dataran yang rapuh. Kedua tangannya meraba-raba di udara, mencari suatu dinding atau apapun untuk berpegang. Ia benar-benar seperti orang buta di tempat yang terang.“Ayah, bagaimana baju baruku?”Sebuah suara mengalihkan perhatia

    Last Updated : 2022-05-26
  • Anak-Anak Aslan   Bab 6 - Pria Misterius

    “Ini kembaliannya, terima kasih!” ujar penjaga toko seraya menyerahkan beberapa lembar uang seribuan lusuh dan sebuah kantong plastik berwarna putih.Aditya mengangguk tersenyum lantas meninggalkan toko dan berjalan cepat menuju sebuah pohon rindang, dimana Sera tengah menunggu di bangku kayu. Namun, hanya menyisakan jarak beberapa meter, langkah pemuda tersebut berhenti saat menyadari Sera hanya terdiam menatap ke arah kaki bukit yang tesamarkan oleh polusi. Sedangkan buku tebal miliknya digeletakkan begitu saja, seakan tidak peduli meskipun berulang kali lembarannya bergerak dimainkan angin. “Maaf ya sedikit lama. Entah kenapa pemilik toko itu tidak memajang keripik pisang kesukaanmu di rak,” ujar Aditya menghampiri sang adik setelah cukup lama terpaku. Bunyi berisik dari kantong plastik terdengar saat melangkahkan kaki, menari-nari di udara.Sera hanya membalas dengan senyuman tipis lantas berdiri sambil mengibas-kibaskan rok merah dengan motif kotak-kotak untuk menghilangkan buti

    Last Updated : 2022-05-26
  • Anak-Anak Aslan   Bab 7 - Cara Bertahan Hidup

    “Kak....,” Sebuah panggilan terdengar dari gawang pintu kamar Sagara. Temaram cahaya lampu ruangan perlahan-lahan mulai menampakkan sosok gadis berambut merah yang tengah sibuk merapatkan sweter biru usang. Udara di malam itu terasa lebih dingin akibat hujan sore yang mengguyur selama tiga jam lamanya. Serangga-serangga hutan yang biasanya menyemarakkan malam lebih memilih untuk menetap di sarang, berpesta dengan menghabiskan sisa makanan, atau berdiam untuk melindungi tubuh dari tetesan-tetesan air yang bisa menghujani setiap waktu. Panggilan Sera yang tiba-tiba membuat Aditya tersentak dari lamunan dan sejenak membekukan kedua bibir yang sedari tadi digerakkan oleh gumaman. “Huft Sera, kau mengagetkanku saja,” timpalnya menghembuskan nafas keras, cepat-cepat menyelipkan selembar kertas dan pena di saku baju dan langsung menyibukkan diri mengeluarkan barang-barang Sagara dari sebuah kardus besar. Sera melangkah masuk dengan menyapukan mata hazelnya ke seluruh penjuru kamar. Tidak

    Last Updated : 2022-06-30
  • Anak-Anak Aslan   Bab 8 - Yang Bersembunyi Di Kegelapan

    Baru saja memasuki perkarangan belakang, Aditya langsung menghampiri jajaran kantong plastik hitam yang terletak di petak sebelah timur, tempat di mana bibit sawi hijau tersemai dengan rapi. Dengan cekatan, kedua tangannya mengambil sebuah kantong dan mengamati dengan jeli tiap butiran tanah. Tak lama berselang, sebuah senyuman tipis terkembang saat mendapati semburat warna putih pada benih sawi yang menjadi kehidupan awal sebuah tanaman. Cukup puas memandangi peliharaan barunya –dan setelah berulang kali menggumamkan sesuatu– ia kemudian memutar tubuh menghadap petak-petak lain yang dipenuhi bunga. “Jika aku bisa memilih, aku tidak akan menjual kalian begitu saja, tapi apa boleh buat. Maafkan aku." Pemuda tersebut bergumam sendu dan dengan lembut ia mulai membelai salah satu bunga freesia berwarna merah muda, seakan tengah membelai rambut seorang gadis. Ia terdiam dan menatap jauh ke arah hamparan bunga yang menghias. Melihat keindahan bunga-bunga, membuatnya kembali teringat masa l

    Last Updated : 2022-06-30
  • Anak-Anak Aslan   Bab 1 - Mimpi Buruk Keluarga Aslan

    Hari itu terlihat sama seperti hari-hari sebelumnya. Kabut tebal selalu menyelimuti seluruh permukaan bukit Bruma. Butiran-butiran air pembentuknya telah mengotori udara saat benang langit pagi mulai terbentuk. Bermain di udara bersama angin yang sesekali bertiup sangat pelan dan menyamarkan bentuk semua benda, baik yang hidup maupun yang mati. Terdapat sebuah desa terpencil terletak persis di lereng bukit bernama Desa Bruma. Tidak banyak penduduk di luar bukit yang mengetahui tentang keberadaannya. Kabut seolah-olah telah menciptakan sebuah benteng kelabu, menghilangkan eksistensi desa dari sebagian besar ingatan orang-orang. Jika beruntung, pada hari cerah dimana pembiasan sinar matahari tepat mengenai kaki bukit, akan terlihat warna cokelat kemerahan pada pucuk atap-atap rumah yang berpendar dengan warna dari barisan pepohonan jati. Tapi fenomena langka tersebut hanya terjadi lima kali dalam satu bulan dan hanya beberapa menit. Di antara rumah-rumah yang tampak tersebar di kaki b

    Last Updated : 2022-05-26
  • Anak-Anak Aslan   Bab 2 - Terkubur Dalam Sungai

    Puluhan pagar manusia memenuhi bantaran sungai Reka –salah satu sungai dengan lebar yang mencapai tiga ratus meter. Sungai tersebut mengalir di pinggiran timur pusat kota, sekitar lima belas kilometer dari Bukit Bruma dan telah berjasa menghidupkan peradaban. Beberapa pasang mata menatap ke arah seutas tali tebal yang terhubung dengan truk derek dan ujungnya menembus bagian tengah sungai. Seolah-olah mereka tengah melihat para gladiator yang terpaksa bertarung untuk menghibur para manusia yang haus darah. Sesekali terdengar suara riuh dari para ‘pagar hidup’ saat membicarakan ‘sesuatu’ yang terkubur di bawah aliran sungai yang tidak dangkal. Beberapa polisi berseragam abu-abu tampak disibukkan dengan membuat batas penghalang maupun meneriaki para manusia keras kepala yang mendekati bibir sungai karena tingginya rasa penasaran. Namun, mereka tidak bisa diusir begitu saja. Sebuah teriakan kasar yang terdengar, justru membuat manusia-manusia itu berkerumun. Mereka benar-benar seperti ko

    Last Updated : 2022-05-26
  • Anak-Anak Aslan   Bab 3 - Sebelum Hari Kelabu Tiba

    Dua Hari yang lalu.... “Ayah, ada surat dari— Astaga, kenapa berantakan sekali,” gerutu Sera tepat ketika ia berhenti di tengah gawang pintu kamar yang berada di ujung lorong. Mata hazelnya membulat saat beberapa tumpukan buku tebal tak beraturan terlihat memenuhi lantai. Mirip seperti bebatuan hitam besar yang memenuhi sungai-sungai di gunung. Dengan ogah-ogahan, gadis berambut merah itu mulai mendekati tumpukan buku terdekat lantas menekuk kaki untuk melihat lebih jelas. Tangannya mengambil sebuah buku tebal bersampul hijau gelap dengan huruf-huruf emas bertuliskan ‘Runtuhnya Sebuah Dinding’. “Huft, apa lagi yang dilakukan ayah semalam? Aku hampir saja mengira kalau ini adalah tumpukan buku baru,” gumamnya kecewa sambil meletakkan kembali benda di tangan. Ia berdiri kembali dengan mata hazel bulat yang bergerak lincah menyapu seisi ruangan. Tiga buah lemari kayu yang menjadi rumah bagi buku-buku tebal, dipan tua, beberapa alat kerja berupa kaca pembesar, kuas usang, tumpukan jurn

    Last Updated : 2022-05-26

Latest chapter

  • Anak-Anak Aslan   Bab 8 - Yang Bersembunyi Di Kegelapan

    Baru saja memasuki perkarangan belakang, Aditya langsung menghampiri jajaran kantong plastik hitam yang terletak di petak sebelah timur, tempat di mana bibit sawi hijau tersemai dengan rapi. Dengan cekatan, kedua tangannya mengambil sebuah kantong dan mengamati dengan jeli tiap butiran tanah. Tak lama berselang, sebuah senyuman tipis terkembang saat mendapati semburat warna putih pada benih sawi yang menjadi kehidupan awal sebuah tanaman. Cukup puas memandangi peliharaan barunya –dan setelah berulang kali menggumamkan sesuatu– ia kemudian memutar tubuh menghadap petak-petak lain yang dipenuhi bunga. “Jika aku bisa memilih, aku tidak akan menjual kalian begitu saja, tapi apa boleh buat. Maafkan aku." Pemuda tersebut bergumam sendu dan dengan lembut ia mulai membelai salah satu bunga freesia berwarna merah muda, seakan tengah membelai rambut seorang gadis. Ia terdiam dan menatap jauh ke arah hamparan bunga yang menghias. Melihat keindahan bunga-bunga, membuatnya kembali teringat masa l

  • Anak-Anak Aslan   Bab 7 - Cara Bertahan Hidup

    “Kak....,” Sebuah panggilan terdengar dari gawang pintu kamar Sagara. Temaram cahaya lampu ruangan perlahan-lahan mulai menampakkan sosok gadis berambut merah yang tengah sibuk merapatkan sweter biru usang. Udara di malam itu terasa lebih dingin akibat hujan sore yang mengguyur selama tiga jam lamanya. Serangga-serangga hutan yang biasanya menyemarakkan malam lebih memilih untuk menetap di sarang, berpesta dengan menghabiskan sisa makanan, atau berdiam untuk melindungi tubuh dari tetesan-tetesan air yang bisa menghujani setiap waktu. Panggilan Sera yang tiba-tiba membuat Aditya tersentak dari lamunan dan sejenak membekukan kedua bibir yang sedari tadi digerakkan oleh gumaman. “Huft Sera, kau mengagetkanku saja,” timpalnya menghembuskan nafas keras, cepat-cepat menyelipkan selembar kertas dan pena di saku baju dan langsung menyibukkan diri mengeluarkan barang-barang Sagara dari sebuah kardus besar. Sera melangkah masuk dengan menyapukan mata hazelnya ke seluruh penjuru kamar. Tidak

  • Anak-Anak Aslan   Bab 6 - Pria Misterius

    “Ini kembaliannya, terima kasih!” ujar penjaga toko seraya menyerahkan beberapa lembar uang seribuan lusuh dan sebuah kantong plastik berwarna putih.Aditya mengangguk tersenyum lantas meninggalkan toko dan berjalan cepat menuju sebuah pohon rindang, dimana Sera tengah menunggu di bangku kayu. Namun, hanya menyisakan jarak beberapa meter, langkah pemuda tersebut berhenti saat menyadari Sera hanya terdiam menatap ke arah kaki bukit yang tesamarkan oleh polusi. Sedangkan buku tebal miliknya digeletakkan begitu saja, seakan tidak peduli meskipun berulang kali lembarannya bergerak dimainkan angin. “Maaf ya sedikit lama. Entah kenapa pemilik toko itu tidak memajang keripik pisang kesukaanmu di rak,” ujar Aditya menghampiri sang adik setelah cukup lama terpaku. Bunyi berisik dari kantong plastik terdengar saat melangkahkan kaki, menari-nari di udara.Sera hanya membalas dengan senyuman tipis lantas berdiri sambil mengibas-kibaskan rok merah dengan motif kotak-kotak untuk menghilangkan buti

  • Anak-Anak Aslan   Bab 5 - Penyesalan

    Raut wajah Sera tercengang saat menyadari kamarnya berubah menjadi tempat asing, sebuah dunia yang hanya diselimuti warna putih. Mata hazelnya menyelam ke seluruh penjuru, berusaha menemukan sesuatu yang dapat menjelaskan dimana dirinya berada. Nihil, ruangan tersebut tampak seperti ruangan tanpa batas, tanpa suara maupun setitik noda yang mengotori. Bahkan ia pun tidak tahu dimana saat ini kakinya berpijak. Ia benar-benar tidak mengerti bagaimana bisa berada di tempat aneh seperti ini, padahal beberapa saat lalu dirinya masih berada di kamar bersama sang kakak.“Kak Adit...” Sera mulai membuka suaranya yang terdengar parau dan menggema nyaring. Kedua kakinya mulai dilangkahkan dengan takut-takut, seraya berharap bahwa dataran putih yang diinjakknya bukanlah dataran yang rapuh. Kedua tangannya meraba-raba di udara, mencari suatu dinding atau apapun untuk berpegang. Ia benar-benar seperti orang buta di tempat yang terang.“Ayah, bagaimana baju baruku?”Sebuah suara mengalihkan perhatia

  • Anak-Anak Aslan   Bab 4 - Paman Damar

    “Sera...” Aditya memanggil pelan dari balik pintu kayu yang warnanya hampir menghitam. Sera yang tengah duduk di ranjang hanya terdiam tanpa menyahut. Beberapa bekas air mata yang telah mengering menghiasi wajah. Kedua matanya yang sembam menatap bingkai kecil di tangannya. Memandangi dengan lekat foto usang dirinya bersama sang ayah di balik kaca kusam. Satu menit berselang. Deritan kayu mulai terdengar saat daun pintu kamar terbuka. Hembusan udara dingin dari ruang tengah menyerbu masuk, menusuk kulit tangan dan pipinya dalam sekejap, bersamaan dengan aroma sedap sup hangat yang menggelitik hidung. Sera hanya terdiam tanpa mengubah posisinya sedikit pun dan membiarkan tubuh Aditya –yang hanya terlihat seperti siluet, berjalan menghampiri. “Aku buatkan sup ayam kesukaanmu,” kata Aditya tersenyum tipis seraya duduk di tepi ranjang sambil memangku nampan kayu dengan beberapa makanan di atasnya. Asap tipis yang muncul dari genangan sup tampak terbang mengepul, membentur rahangnya seb

  • Anak-Anak Aslan   Bab 3 - Sebelum Hari Kelabu Tiba

    Dua Hari yang lalu.... “Ayah, ada surat dari— Astaga, kenapa berantakan sekali,” gerutu Sera tepat ketika ia berhenti di tengah gawang pintu kamar yang berada di ujung lorong. Mata hazelnya membulat saat beberapa tumpukan buku tebal tak beraturan terlihat memenuhi lantai. Mirip seperti bebatuan hitam besar yang memenuhi sungai-sungai di gunung. Dengan ogah-ogahan, gadis berambut merah itu mulai mendekati tumpukan buku terdekat lantas menekuk kaki untuk melihat lebih jelas. Tangannya mengambil sebuah buku tebal bersampul hijau gelap dengan huruf-huruf emas bertuliskan ‘Runtuhnya Sebuah Dinding’. “Huft, apa lagi yang dilakukan ayah semalam? Aku hampir saja mengira kalau ini adalah tumpukan buku baru,” gumamnya kecewa sambil meletakkan kembali benda di tangan. Ia berdiri kembali dengan mata hazel bulat yang bergerak lincah menyapu seisi ruangan. Tiga buah lemari kayu yang menjadi rumah bagi buku-buku tebal, dipan tua, beberapa alat kerja berupa kaca pembesar, kuas usang, tumpukan jurn

  • Anak-Anak Aslan   Bab 2 - Terkubur Dalam Sungai

    Puluhan pagar manusia memenuhi bantaran sungai Reka –salah satu sungai dengan lebar yang mencapai tiga ratus meter. Sungai tersebut mengalir di pinggiran timur pusat kota, sekitar lima belas kilometer dari Bukit Bruma dan telah berjasa menghidupkan peradaban. Beberapa pasang mata menatap ke arah seutas tali tebal yang terhubung dengan truk derek dan ujungnya menembus bagian tengah sungai. Seolah-olah mereka tengah melihat para gladiator yang terpaksa bertarung untuk menghibur para manusia yang haus darah. Sesekali terdengar suara riuh dari para ‘pagar hidup’ saat membicarakan ‘sesuatu’ yang terkubur di bawah aliran sungai yang tidak dangkal. Beberapa polisi berseragam abu-abu tampak disibukkan dengan membuat batas penghalang maupun meneriaki para manusia keras kepala yang mendekati bibir sungai karena tingginya rasa penasaran. Namun, mereka tidak bisa diusir begitu saja. Sebuah teriakan kasar yang terdengar, justru membuat manusia-manusia itu berkerumun. Mereka benar-benar seperti ko

  • Anak-Anak Aslan   Bab 1 - Mimpi Buruk Keluarga Aslan

    Hari itu terlihat sama seperti hari-hari sebelumnya. Kabut tebal selalu menyelimuti seluruh permukaan bukit Bruma. Butiran-butiran air pembentuknya telah mengotori udara saat benang langit pagi mulai terbentuk. Bermain di udara bersama angin yang sesekali bertiup sangat pelan dan menyamarkan bentuk semua benda, baik yang hidup maupun yang mati. Terdapat sebuah desa terpencil terletak persis di lereng bukit bernama Desa Bruma. Tidak banyak penduduk di luar bukit yang mengetahui tentang keberadaannya. Kabut seolah-olah telah menciptakan sebuah benteng kelabu, menghilangkan eksistensi desa dari sebagian besar ingatan orang-orang. Jika beruntung, pada hari cerah dimana pembiasan sinar matahari tepat mengenai kaki bukit, akan terlihat warna cokelat kemerahan pada pucuk atap-atap rumah yang berpendar dengan warna dari barisan pepohonan jati. Tapi fenomena langka tersebut hanya terjadi lima kali dalam satu bulan dan hanya beberapa menit. Di antara rumah-rumah yang tampak tersebar di kaki b

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status