Beranda / Thriller / Anak-Anak Aslan / Bab 5 - Penyesalan

Share

Bab 5 - Penyesalan

Penulis: fairafa22
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-26 18:04:33

Raut wajah Sera tercengang saat menyadari kamarnya berubah menjadi tempat asing, sebuah dunia yang hanya diselimuti warna putih. Mata hazelnya menyelam ke seluruh penjuru, berusaha menemukan sesuatu yang dapat menjelaskan dimana dirinya berada. Nihil, ruangan tersebut tampak seperti ruangan tanpa batas, tanpa suara maupun setitik noda yang mengotori. Bahkan ia pun tidak tahu dimana saat ini kakinya berpijak. Ia benar-benar tidak mengerti bagaimana bisa berada di tempat aneh seperti ini, padahal beberapa saat lalu dirinya masih berada di kamar bersama sang kakak.

“Kak Adit...” Sera mulai membuka suaranya yang terdengar parau dan menggema nyaring. Kedua kakinya mulai dilangkahkan dengan takut-takut, seraya berharap bahwa dataran putih yang diinjakknya bukanlah dataran yang rapuh. Kedua tangannya meraba-raba di udara, mencari suatu dinding atau apapun untuk berpegang. Ia benar-benar seperti orang buta di tempat yang terang.

“Ayah, bagaimana baju baruku?”

Sebuah suara mengalihkan perhatian Sera. Mata hazelnya menangkap sosok seorang gadis kecil berumur lima tahun yang bergerak lincah sambil memamerkan gaun warna merah mudah cerah yang dikenakan. Gelak tawa gembira terdengar setiap kali membuat tubuhnya berputar hingga membuat roknya sedikit melebar. Di depan gadis kecil tersebut tampak seorang pria berumur sekitar 40 tahun tengah terduduk dengan seulas senyum yang menghias.

“Kau sangat cantik, Nak,” ucap tulus pria tersebut.

Senyuman lebar kembali terhias seakan merasa puas mendengarnya. Gadis kecil itu pun segera mendudukkan dirinya sambil memandang lekat sosok di hadapan. “Ayah, bagaimana wajah ibu? Apa dia cantik? Apa dia memiliki rambut merah yang sama sepertiku?” tanyanya dengan kedua mata berbinar.

Pria tersebut seperti terkesiap mendengar pertanyaan yang terlontar. Ia sempat terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya menarik kedua bibir. Tangan besar pria tersebut membelai lembut rambut merah gadis kecil, menunjukkan rasa kasih sayang yang besar pada buah hatinya. “Ibumu adalah wanita yang sangat cantik,” jawabnya setelah menganggukkan kepala. “Dan kau sangat mirip dengannya.”

Gadis kecil itu kembali tersenyum lebar seketika. Dari kejauhan Sera hanya terdiam memandangi keduanya, seolah melupakan dunia putih yang sempat membingungkannya beberapa saat lalu. Namun, tak lama berselang, ia kembali tersadar saat pemandangan itu mulai menghilang dan kembali terselimuti warna putih.

“Tunggu!” seru Sera sambil berlari mencoba menghampiri tempat dimana gadis kecil dan ayahnya berada. Kegelisahan kembali terpancar jelas hingga membuat wajahnya memucat. Kedua matanya kembali manyapu sekeliling setiap kali berputar, berusaha mencari setitik warna.

Tes!

Sera membalikkan tubuh dengan cepat mencari sumber suara yang didengar barusan. Pemandangan putih di hadapannya perlahan meluruh seperti cat lukisan luntur. Mengubah ruangan putih aneh menjadi sebuah pemandangan tepian Sungai Reka yang terselimuti kabut. Sera mengerutkan dahinya masih tidak mengerti. Tubuh kecilnya berputar di tempat, mengikuti kedua matanya yang menyapu pemandangan di sekeliling hingga berhenti pada satu titik.

“Ayah...?” ucap Sera tidak percaya dengan mata terbelalak. Kedua kakinya yang kurus mulai bergerak sedikit-demi sedikit mendekati bibir sungai. Sera sama sekali tak mengalihkan tatapannya sedikit pun, hingga siluet tersebut terlihat semakin jelas membentuk sosok Sagara yang berdiri membelakanginya.

“A-ayah...,” panggilnya lirih sambil menatap lurus punggung Sagara yang terlihat buram karena genangan air mata. Tanpa disadari, otaknya kembali memutar ingatan demi ingatan kebersamaan dengan sang ayah selama ini, sampai-sampai membuatnya tersenyum samar. Namun, gambaran akan sebuah kotak kayu serta wajah marah Sagara tiba-tiba memenuhi kepalanya. Perasaan bersalah yang sempat hilang dalam hatinya kembali mencuat, membuat si gadis kecil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Menyesal.

“Ma-maaf, seharusnya aku tidak menyentuh kotak itu,” ucapnya terbata dengan punggung tangan yang tak berhenti mengusap air mata. “Aku tidak ingin membuat ayah marah. Aku benar-benar minta maaf.”

Selang beberapa detik, sosok tersebut menolehkan kepalanya ke kiri, melihat Sera dari sudut matanya seraya tersenyum tipis. “Selamat tinggal, Sera,” ucapnya singkat.

Sera tersentak dan mengangkat kepala. Dilihatnya tubuh Sagara yang perlahan semakin menjauh ditelan kabut tebal. “Tunggu Ayah! Jangan pergi! Jangan pergi ke sungai itu!” serunya sambil berusaha untuk menggapai sosok tersebut sebelum menghilang. Namun tiba-tiba seluruh tubuhnya membatu. Gadis berambut merah itu mencoba menggerakkan kedua tangan dan kakinya dengan paksa, namun nihil. Ia hanya bisa melihat sosok tersebut menghilang ditelan kabut tanpa bekas.

“Ayah!”

"Ayaaah!!!

“Sera! Sera, bangun!

Gadis kecil berambut merah itu langsung membuka kelopak mata dengan paksa saat merasakan tepukan bertubi-tubi di kedua pipinya. Dengan cepat, mata hazelnya bergerak-gerak, diikuti deru nafas tak beraturan saat mengangkat tubuh. Pandangannya dialihkan ke arah Aditya yang duduk di tepi ranjang, melihatnya dengan raut wajah penuh kekhawatiran.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Aditya sembari mengerutkan dahi. Tangan kanannya menyentuh pundak sang adik yang basah oleh keringat, berusaha untuk menenangkannya.

Sera masih terdiam sambil berusaha mengatur nafas. Namun, sosok Sagara yang masih membekas dalam ingatan seketika memaksa keluar butiran air mata dan mulai membanjiri wajah. “K-Kak... a-ayah... ayah...” sebutnya dengan suara yang hampir tenggelam karena menahan isak tangis.

Aditya memandangi sang adik dengan tatapan nanar seolah mengerti dan tanpa pikir panjang, langsung memeluknya erat. Suara isak tangis seketika pecah, meramaikan seisi kamar yang semula sunyi. Pemuda tersebut seketika memejamkan kedua mata, tak lagi sanggup menahan genangan air mata yang terbentuk di balik selaput kelopak hingga mengaburkan pandangan. Ia tidak tahu sampai kapan dan berapa banyak air mata yang akan terus mengalir, selama kesedihan yang masih bersarang dalam hatinya belum menghilang.

*****

Bab terkait

  • Anak-Anak Aslan   Bab 6 - Pria Misterius

    “Ini kembaliannya, terima kasih!” ujar penjaga toko seraya menyerahkan beberapa lembar uang seribuan lusuh dan sebuah kantong plastik berwarna putih.Aditya mengangguk tersenyum lantas meninggalkan toko dan berjalan cepat menuju sebuah pohon rindang, dimana Sera tengah menunggu di bangku kayu. Namun, hanya menyisakan jarak beberapa meter, langkah pemuda tersebut berhenti saat menyadari Sera hanya terdiam menatap ke arah kaki bukit yang tesamarkan oleh polusi. Sedangkan buku tebal miliknya digeletakkan begitu saja, seakan tidak peduli meskipun berulang kali lembarannya bergerak dimainkan angin. “Maaf ya sedikit lama. Entah kenapa pemilik toko itu tidak memajang keripik pisang kesukaanmu di rak,” ujar Aditya menghampiri sang adik setelah cukup lama terpaku. Bunyi berisik dari kantong plastik terdengar saat melangkahkan kaki, menari-nari di udara.Sera hanya membalas dengan senyuman tipis lantas berdiri sambil mengibas-kibaskan rok merah dengan motif kotak-kotak untuk menghilangkan buti

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-26
  • Anak-Anak Aslan   Bab 7 - Cara Bertahan Hidup

    “Kak....,” Sebuah panggilan terdengar dari gawang pintu kamar Sagara. Temaram cahaya lampu ruangan perlahan-lahan mulai menampakkan sosok gadis berambut merah yang tengah sibuk merapatkan sweter biru usang. Udara di malam itu terasa lebih dingin akibat hujan sore yang mengguyur selama tiga jam lamanya. Serangga-serangga hutan yang biasanya menyemarakkan malam lebih memilih untuk menetap di sarang, berpesta dengan menghabiskan sisa makanan, atau berdiam untuk melindungi tubuh dari tetesan-tetesan air yang bisa menghujani setiap waktu. Panggilan Sera yang tiba-tiba membuat Aditya tersentak dari lamunan dan sejenak membekukan kedua bibir yang sedari tadi digerakkan oleh gumaman. “Huft Sera, kau mengagetkanku saja,” timpalnya menghembuskan nafas keras, cepat-cepat menyelipkan selembar kertas dan pena di saku baju dan langsung menyibukkan diri mengeluarkan barang-barang Sagara dari sebuah kardus besar. Sera melangkah masuk dengan menyapukan mata hazelnya ke seluruh penjuru kamar. Tidak

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Anak-Anak Aslan   Bab 8 - Yang Bersembunyi Di Kegelapan

    Baru saja memasuki perkarangan belakang, Aditya langsung menghampiri jajaran kantong plastik hitam yang terletak di petak sebelah timur, tempat di mana bibit sawi hijau tersemai dengan rapi. Dengan cekatan, kedua tangannya mengambil sebuah kantong dan mengamati dengan jeli tiap butiran tanah. Tak lama berselang, sebuah senyuman tipis terkembang saat mendapati semburat warna putih pada benih sawi yang menjadi kehidupan awal sebuah tanaman. Cukup puas memandangi peliharaan barunya –dan setelah berulang kali menggumamkan sesuatu– ia kemudian memutar tubuh menghadap petak-petak lain yang dipenuhi bunga. “Jika aku bisa memilih, aku tidak akan menjual kalian begitu saja, tapi apa boleh buat. Maafkan aku." Pemuda tersebut bergumam sendu dan dengan lembut ia mulai membelai salah satu bunga freesia berwarna merah muda, seakan tengah membelai rambut seorang gadis. Ia terdiam dan menatap jauh ke arah hamparan bunga yang menghias. Melihat keindahan bunga-bunga, membuatnya kembali teringat masa l

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Anak-Anak Aslan   Bab 1 - Mimpi Buruk Keluarga Aslan

    Hari itu terlihat sama seperti hari-hari sebelumnya. Kabut tebal selalu menyelimuti seluruh permukaan bukit Bruma. Butiran-butiran air pembentuknya telah mengotori udara saat benang langit pagi mulai terbentuk. Bermain di udara bersama angin yang sesekali bertiup sangat pelan dan menyamarkan bentuk semua benda, baik yang hidup maupun yang mati. Terdapat sebuah desa terpencil terletak persis di lereng bukit bernama Desa Bruma. Tidak banyak penduduk di luar bukit yang mengetahui tentang keberadaannya. Kabut seolah-olah telah menciptakan sebuah benteng kelabu, menghilangkan eksistensi desa dari sebagian besar ingatan orang-orang. Jika beruntung, pada hari cerah dimana pembiasan sinar matahari tepat mengenai kaki bukit, akan terlihat warna cokelat kemerahan pada pucuk atap-atap rumah yang berpendar dengan warna dari barisan pepohonan jati. Tapi fenomena langka tersebut hanya terjadi lima kali dalam satu bulan dan hanya beberapa menit. Di antara rumah-rumah yang tampak tersebar di kaki b

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-26
  • Anak-Anak Aslan   Bab 2 - Terkubur Dalam Sungai

    Puluhan pagar manusia memenuhi bantaran sungai Reka –salah satu sungai dengan lebar yang mencapai tiga ratus meter. Sungai tersebut mengalir di pinggiran timur pusat kota, sekitar lima belas kilometer dari Bukit Bruma dan telah berjasa menghidupkan peradaban. Beberapa pasang mata menatap ke arah seutas tali tebal yang terhubung dengan truk derek dan ujungnya menembus bagian tengah sungai. Seolah-olah mereka tengah melihat para gladiator yang terpaksa bertarung untuk menghibur para manusia yang haus darah. Sesekali terdengar suara riuh dari para ‘pagar hidup’ saat membicarakan ‘sesuatu’ yang terkubur di bawah aliran sungai yang tidak dangkal. Beberapa polisi berseragam abu-abu tampak disibukkan dengan membuat batas penghalang maupun meneriaki para manusia keras kepala yang mendekati bibir sungai karena tingginya rasa penasaran. Namun, mereka tidak bisa diusir begitu saja. Sebuah teriakan kasar yang terdengar, justru membuat manusia-manusia itu berkerumun. Mereka benar-benar seperti ko

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-26
  • Anak-Anak Aslan   Bab 3 - Sebelum Hari Kelabu Tiba

    Dua Hari yang lalu.... “Ayah, ada surat dari— Astaga, kenapa berantakan sekali,” gerutu Sera tepat ketika ia berhenti di tengah gawang pintu kamar yang berada di ujung lorong. Mata hazelnya membulat saat beberapa tumpukan buku tebal tak beraturan terlihat memenuhi lantai. Mirip seperti bebatuan hitam besar yang memenuhi sungai-sungai di gunung. Dengan ogah-ogahan, gadis berambut merah itu mulai mendekati tumpukan buku terdekat lantas menekuk kaki untuk melihat lebih jelas. Tangannya mengambil sebuah buku tebal bersampul hijau gelap dengan huruf-huruf emas bertuliskan ‘Runtuhnya Sebuah Dinding’. “Huft, apa lagi yang dilakukan ayah semalam? Aku hampir saja mengira kalau ini adalah tumpukan buku baru,” gumamnya kecewa sambil meletakkan kembali benda di tangan. Ia berdiri kembali dengan mata hazel bulat yang bergerak lincah menyapu seisi ruangan. Tiga buah lemari kayu yang menjadi rumah bagi buku-buku tebal, dipan tua, beberapa alat kerja berupa kaca pembesar, kuas usang, tumpukan jurn

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-26
  • Anak-Anak Aslan   Bab 4 - Paman Damar

    “Sera...” Aditya memanggil pelan dari balik pintu kayu yang warnanya hampir menghitam. Sera yang tengah duduk di ranjang hanya terdiam tanpa menyahut. Beberapa bekas air mata yang telah mengering menghiasi wajah. Kedua matanya yang sembam menatap bingkai kecil di tangannya. Memandangi dengan lekat foto usang dirinya bersama sang ayah di balik kaca kusam. Satu menit berselang. Deritan kayu mulai terdengar saat daun pintu kamar terbuka. Hembusan udara dingin dari ruang tengah menyerbu masuk, menusuk kulit tangan dan pipinya dalam sekejap, bersamaan dengan aroma sedap sup hangat yang menggelitik hidung. Sera hanya terdiam tanpa mengubah posisinya sedikit pun dan membiarkan tubuh Aditya –yang hanya terlihat seperti siluet, berjalan menghampiri. “Aku buatkan sup ayam kesukaanmu,” kata Aditya tersenyum tipis seraya duduk di tepi ranjang sambil memangku nampan kayu dengan beberapa makanan di atasnya. Asap tipis yang muncul dari genangan sup tampak terbang mengepul, membentur rahangnya seb

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-26

Bab terbaru

  • Anak-Anak Aslan   Bab 8 - Yang Bersembunyi Di Kegelapan

    Baru saja memasuki perkarangan belakang, Aditya langsung menghampiri jajaran kantong plastik hitam yang terletak di petak sebelah timur, tempat di mana bibit sawi hijau tersemai dengan rapi. Dengan cekatan, kedua tangannya mengambil sebuah kantong dan mengamati dengan jeli tiap butiran tanah. Tak lama berselang, sebuah senyuman tipis terkembang saat mendapati semburat warna putih pada benih sawi yang menjadi kehidupan awal sebuah tanaman. Cukup puas memandangi peliharaan barunya –dan setelah berulang kali menggumamkan sesuatu– ia kemudian memutar tubuh menghadap petak-petak lain yang dipenuhi bunga. “Jika aku bisa memilih, aku tidak akan menjual kalian begitu saja, tapi apa boleh buat. Maafkan aku." Pemuda tersebut bergumam sendu dan dengan lembut ia mulai membelai salah satu bunga freesia berwarna merah muda, seakan tengah membelai rambut seorang gadis. Ia terdiam dan menatap jauh ke arah hamparan bunga yang menghias. Melihat keindahan bunga-bunga, membuatnya kembali teringat masa l

  • Anak-Anak Aslan   Bab 7 - Cara Bertahan Hidup

    “Kak....,” Sebuah panggilan terdengar dari gawang pintu kamar Sagara. Temaram cahaya lampu ruangan perlahan-lahan mulai menampakkan sosok gadis berambut merah yang tengah sibuk merapatkan sweter biru usang. Udara di malam itu terasa lebih dingin akibat hujan sore yang mengguyur selama tiga jam lamanya. Serangga-serangga hutan yang biasanya menyemarakkan malam lebih memilih untuk menetap di sarang, berpesta dengan menghabiskan sisa makanan, atau berdiam untuk melindungi tubuh dari tetesan-tetesan air yang bisa menghujani setiap waktu. Panggilan Sera yang tiba-tiba membuat Aditya tersentak dari lamunan dan sejenak membekukan kedua bibir yang sedari tadi digerakkan oleh gumaman. “Huft Sera, kau mengagetkanku saja,” timpalnya menghembuskan nafas keras, cepat-cepat menyelipkan selembar kertas dan pena di saku baju dan langsung menyibukkan diri mengeluarkan barang-barang Sagara dari sebuah kardus besar. Sera melangkah masuk dengan menyapukan mata hazelnya ke seluruh penjuru kamar. Tidak

  • Anak-Anak Aslan   Bab 6 - Pria Misterius

    “Ini kembaliannya, terima kasih!” ujar penjaga toko seraya menyerahkan beberapa lembar uang seribuan lusuh dan sebuah kantong plastik berwarna putih.Aditya mengangguk tersenyum lantas meninggalkan toko dan berjalan cepat menuju sebuah pohon rindang, dimana Sera tengah menunggu di bangku kayu. Namun, hanya menyisakan jarak beberapa meter, langkah pemuda tersebut berhenti saat menyadari Sera hanya terdiam menatap ke arah kaki bukit yang tesamarkan oleh polusi. Sedangkan buku tebal miliknya digeletakkan begitu saja, seakan tidak peduli meskipun berulang kali lembarannya bergerak dimainkan angin. “Maaf ya sedikit lama. Entah kenapa pemilik toko itu tidak memajang keripik pisang kesukaanmu di rak,” ujar Aditya menghampiri sang adik setelah cukup lama terpaku. Bunyi berisik dari kantong plastik terdengar saat melangkahkan kaki, menari-nari di udara.Sera hanya membalas dengan senyuman tipis lantas berdiri sambil mengibas-kibaskan rok merah dengan motif kotak-kotak untuk menghilangkan buti

  • Anak-Anak Aslan   Bab 5 - Penyesalan

    Raut wajah Sera tercengang saat menyadari kamarnya berubah menjadi tempat asing, sebuah dunia yang hanya diselimuti warna putih. Mata hazelnya menyelam ke seluruh penjuru, berusaha menemukan sesuatu yang dapat menjelaskan dimana dirinya berada. Nihil, ruangan tersebut tampak seperti ruangan tanpa batas, tanpa suara maupun setitik noda yang mengotori. Bahkan ia pun tidak tahu dimana saat ini kakinya berpijak. Ia benar-benar tidak mengerti bagaimana bisa berada di tempat aneh seperti ini, padahal beberapa saat lalu dirinya masih berada di kamar bersama sang kakak.“Kak Adit...” Sera mulai membuka suaranya yang terdengar parau dan menggema nyaring. Kedua kakinya mulai dilangkahkan dengan takut-takut, seraya berharap bahwa dataran putih yang diinjakknya bukanlah dataran yang rapuh. Kedua tangannya meraba-raba di udara, mencari suatu dinding atau apapun untuk berpegang. Ia benar-benar seperti orang buta di tempat yang terang.“Ayah, bagaimana baju baruku?”Sebuah suara mengalihkan perhatia

  • Anak-Anak Aslan   Bab 4 - Paman Damar

    “Sera...” Aditya memanggil pelan dari balik pintu kayu yang warnanya hampir menghitam. Sera yang tengah duduk di ranjang hanya terdiam tanpa menyahut. Beberapa bekas air mata yang telah mengering menghiasi wajah. Kedua matanya yang sembam menatap bingkai kecil di tangannya. Memandangi dengan lekat foto usang dirinya bersama sang ayah di balik kaca kusam. Satu menit berselang. Deritan kayu mulai terdengar saat daun pintu kamar terbuka. Hembusan udara dingin dari ruang tengah menyerbu masuk, menusuk kulit tangan dan pipinya dalam sekejap, bersamaan dengan aroma sedap sup hangat yang menggelitik hidung. Sera hanya terdiam tanpa mengubah posisinya sedikit pun dan membiarkan tubuh Aditya –yang hanya terlihat seperti siluet, berjalan menghampiri. “Aku buatkan sup ayam kesukaanmu,” kata Aditya tersenyum tipis seraya duduk di tepi ranjang sambil memangku nampan kayu dengan beberapa makanan di atasnya. Asap tipis yang muncul dari genangan sup tampak terbang mengepul, membentur rahangnya seb

  • Anak-Anak Aslan   Bab 3 - Sebelum Hari Kelabu Tiba

    Dua Hari yang lalu.... “Ayah, ada surat dari— Astaga, kenapa berantakan sekali,” gerutu Sera tepat ketika ia berhenti di tengah gawang pintu kamar yang berada di ujung lorong. Mata hazelnya membulat saat beberapa tumpukan buku tebal tak beraturan terlihat memenuhi lantai. Mirip seperti bebatuan hitam besar yang memenuhi sungai-sungai di gunung. Dengan ogah-ogahan, gadis berambut merah itu mulai mendekati tumpukan buku terdekat lantas menekuk kaki untuk melihat lebih jelas. Tangannya mengambil sebuah buku tebal bersampul hijau gelap dengan huruf-huruf emas bertuliskan ‘Runtuhnya Sebuah Dinding’. “Huft, apa lagi yang dilakukan ayah semalam? Aku hampir saja mengira kalau ini adalah tumpukan buku baru,” gumamnya kecewa sambil meletakkan kembali benda di tangan. Ia berdiri kembali dengan mata hazel bulat yang bergerak lincah menyapu seisi ruangan. Tiga buah lemari kayu yang menjadi rumah bagi buku-buku tebal, dipan tua, beberapa alat kerja berupa kaca pembesar, kuas usang, tumpukan jurn

  • Anak-Anak Aslan   Bab 2 - Terkubur Dalam Sungai

    Puluhan pagar manusia memenuhi bantaran sungai Reka –salah satu sungai dengan lebar yang mencapai tiga ratus meter. Sungai tersebut mengalir di pinggiran timur pusat kota, sekitar lima belas kilometer dari Bukit Bruma dan telah berjasa menghidupkan peradaban. Beberapa pasang mata menatap ke arah seutas tali tebal yang terhubung dengan truk derek dan ujungnya menembus bagian tengah sungai. Seolah-olah mereka tengah melihat para gladiator yang terpaksa bertarung untuk menghibur para manusia yang haus darah. Sesekali terdengar suara riuh dari para ‘pagar hidup’ saat membicarakan ‘sesuatu’ yang terkubur di bawah aliran sungai yang tidak dangkal. Beberapa polisi berseragam abu-abu tampak disibukkan dengan membuat batas penghalang maupun meneriaki para manusia keras kepala yang mendekati bibir sungai karena tingginya rasa penasaran. Namun, mereka tidak bisa diusir begitu saja. Sebuah teriakan kasar yang terdengar, justru membuat manusia-manusia itu berkerumun. Mereka benar-benar seperti ko

  • Anak-Anak Aslan   Bab 1 - Mimpi Buruk Keluarga Aslan

    Hari itu terlihat sama seperti hari-hari sebelumnya. Kabut tebal selalu menyelimuti seluruh permukaan bukit Bruma. Butiran-butiran air pembentuknya telah mengotori udara saat benang langit pagi mulai terbentuk. Bermain di udara bersama angin yang sesekali bertiup sangat pelan dan menyamarkan bentuk semua benda, baik yang hidup maupun yang mati. Terdapat sebuah desa terpencil terletak persis di lereng bukit bernama Desa Bruma. Tidak banyak penduduk di luar bukit yang mengetahui tentang keberadaannya. Kabut seolah-olah telah menciptakan sebuah benteng kelabu, menghilangkan eksistensi desa dari sebagian besar ingatan orang-orang. Jika beruntung, pada hari cerah dimana pembiasan sinar matahari tepat mengenai kaki bukit, akan terlihat warna cokelat kemerahan pada pucuk atap-atap rumah yang berpendar dengan warna dari barisan pepohonan jati. Tapi fenomena langka tersebut hanya terjadi lima kali dalam satu bulan dan hanya beberapa menit. Di antara rumah-rumah yang tampak tersebar di kaki b

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status