Seperti biasa, pagi itu Dasimah hendak pergi ke rumah Rima. Di perjalanannya, ia sengaja menyimpang ke rumah Imas. Dengan hati-hati, Dasimah mendekati rerimbunan pohon teh-tehan yang menjadi pagar rumah itu.Dasimah menengok kiri kanan. "Sepi," gumamnya.
Kemudian, ia mengeluarkan kantong keresek dari dalam tas. Setelah kantong itu dibuka, Dasimah komat-kamit membaca mantra, lalu menaburkan tanah kuburan di sekitar rumah Imas. Dasimah tersenyum miring. "Rasakan akibatnya kalau kamu berani merebut apa yang seharusnya jadi kebahagiaanku!"
Setelah melakukan aksinya, Dasimah melanjutkan berjalan. Langkahnya terhenti saat melihat pasangan suami istri yang sedang bertengkar di teras rumah.
"Saya juga mau atuh, Kang, punya mobil bagus seperti dia!" seru si istri sambil menunjuk.
Dasimah mengikuti arah telunjuk itu, yang mengarah ke halaman rumah tetangga mereka yang baru saja membeli mobil baru.
"Pokoknya, kalau Akang tidak beli mobil, kita cerai!" Si istri masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu, meninggalkan suaminya yang mengacak rambut frustrasi.
Dasimah menyeringai. "Ada santapan, nih." Lalu ia terkekeh pelan.
"Serahkan semua padaku."
Tiba-tiba sebuah suara berbisik di telinga Dasimah. Ia manggut-manggut, kemudian melangkah pasti menghampiri si akang.
"Kang Asep," sapa Dasimah.
Kang Asep mendongakkan kepalanya. "Eh, Nyai."
"Kenapa, atuh, pagi-pagi begini, kok, mukanya sudah ditekuk?" tanya Dasimah sok ramah.
"Istri saya, Nyai, masa minta mobil? Saya, kan, cuma penjual nasi goreng."
Dasimah mengangguk. "Ooh, begitu ...."
"Iya, Nyai. Uang dari mana coba?" Kang Asep membuang napas kasar.Dasimah tersenyum.
"Kang Asep bisa, kok, beli mobil. Akang bisa dapatkan uangnya dengan cara yang mudah."
Kang Asep mengerutkan kening. "Caranya, Nyai?"
"Nanti malam datang ke rumah nyai, ya! Nanti nyai kasih tahu caranya."
◎◎◎
Tepat pukul 9 malam Kang Asep datang ke rumah Nyai Dasimah.
"Assalamualaikum, Nyai," salam Kang Asep sambil mengetuk pintu.
Dari dalam rumah bilik itu Dasimah menyahut, "Ya, waalaikumsalam."
"Punteun pisan, Nyai, saya baru datang jam segini," ujar Kang Asep saat pintu dibuka.
"Teu nanaon, Kang. Mangga ka leubeut." (Tidak apa-apa. Silakan masuk)
Kang Asep pun masuk setelah dipersilakan. Matanya menyisir seluruh sudut ruangan yang hanya disinari lampu minyak. "Nyai, tidak takut tinggal di sini sendirian?" tanyanya, bergidik ngeri.
Dasimah terkekeh. "Ah, takut apa, atuh? Tidak ada apa-apa di sini, tidak ada yang aneh-aneh. Mun aya jurig oge, jurigna nu sieun ka nyai." (Kalau ada setan, setannya yang takut sama nyai) Dasimah terkikik, persis tertawanya Mak Lampir di sinetron.
Kang Asep tercekat. "Hah? Maksudnya, Nyai?" Ia mengelus tengkuknya, merinding.
"Sudah, sudah. Nyai bercanda. Duduk, Kang."
"I-iya, Nyai." Kang Asep bersila di depan Dasimah. "Jadi, bagaimana caranya, Nyai ... supaya saya bisa cepat dapat uang untuk beli mobil?"
Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mengeluarkan selembar kertas yang telah dia persiapkan. "Nih, ya, caranya mudah. Kang Asep tempelkan saja kertas ini di dalam rumah."
"Apa ini, Nyai?" tanya Kang Asep heran.
"Coba dibuka. Itu kertas isinya Asmaul Husna," jelas Dasimah.
Kang Asep pun perlahan membuka kertas tersebut, dan membacanya dengan saksama. "Iya, betul, Nyai. Ini memang Asmaul Husna."
Kemudian Dasimah mengeluarkan selembar kertas lagi. "Nah, kalau yang ini jimat penglaris."
"Jimat penglaris, Nyai?"
"Iya. Akang, kan, jualan nasi goreng ... nah, kertas itu nanti ditempel di tempat jualannya Kang Asep. Nyai yakin, pasti nanti banyak yang beli." Nyai melirik bayangan hitam di belakang Kang Asep. Bayangan yang sedang mencoba membisikkan sesuatu ke dalam pikiran lelaki kurus tersebut, memengaruhi imannya.Kang Asep mengangguk-angguk.
"Ooh, seperti itu, Nyai ...."
"Iya. Paham, 'kan? Gampang, 'kan?" Dasimah mengangkat kedua alisnya.
"Iya, Nyai. Mulai besok akan saya coba," ujar Kang Asep mantap. "Kalau begitu saya pamit, Nyai, nanti istri saya nyari. Saya bayar berapa, ya, Nyai?"
Dasimah menggeleng. "Tidak usah bayar pakai uang."
Kening Kang Asep mengerut. "Jadi, saya bayar pakai apa?"
"Nanti saja, Kang, kalau sudah berhasil, baru Nyai kasih tau." Dasimah mengedipkan sebelah matanya.
"Ya sudah, Nyai, hatur nuhun, saya permisi," pamit Kang Asep.
"Eh, tunggu, Kang."Kang Asep menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Nyai?"
"Kang Asep lakukan itu harus diam-diam. Jangan ada sampai ada orang lain yang tahu, kecuali istri. Jadi, sebaiknya jimat Asmaul Husna pasang saja di kamar, dan suruh istrinya Kang Asep kunci mulutnya, kalau dia benar-benar mau mobil!"
Kang Asep tampak berpikir sejenak. "Baik, Nyai. Assalamualaikum." Kemudian ia beringsut pergi.
"Waalaikumsalam." Dasimah menutup pintu rumah, lalu mengintip kepergian Kang Asep dari balik gorden.Setelah Kang Asep sudah tak terlihat, Dasimah terkikik nyaring. Bahkan, menyaingi kikikan kuntilanak yang sedang 'ucang-ucang angge' di dahan pohon nangka di depan rumahnya.
"Diam kamu, kunti! Malam ini saya yang sedang senang!" Dasimah terkikik lagi. "Aseep ... Asep. Dasar manusia penuh nafsu dunia! Sampai-sampai tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Segala cara dihalalkan! Si Asep itu tidak tahu ... kalau di tengah-tengah tulisan Asmaul Husna ada kata 'qitmir' alias anjing," racau Dasimah, kemudian terbahak. Kemudian, Dasimah memandangi satu per satu jin di sudut ruang itu. "Datang dan bawalah teman-teman kalian ke rumah di Asep, sebanyak-banyaknya, karena dia sudah memanggil kalian dengan sukarela. Ahahahahaaa!"
◎◎◎
Kediaman Galih dan Imas tampak hening. Galih yang sedang makan malam sendiri samar-samar mendengar bunyi yang tak biasa.
"Suara apa, ya?" Galih menajamkan pendengaran. "Seperti suara gamelan," lanjutnya sambil mengelus tengkuk. Akan tetapi, dia tak menghiraukannya, dan kembali menyuap nasi terakhir. Selesai mencuci piring, Galih berniat menyusul Imas yang lebih dulu tidur. Namun, saat dia membuka pintu kamar, terlihat Imas sedang menyisir rambut panjangnya di depan kaca rias.
"Neng ... kok, belum tidur?" tanya Galih.Imas tidak menjawab. Ia hanya menoleh sekilas sambil tersenyum. "Tidur, yuk, aa ngantuk," ajak Galih sembari memeluk Imas dari belakang, lalu mengecup lembut kepala istri tercintanya.
Di usia perkawinan yang ke 24 tahun, mereka belum juga dikaruniai buah hati. Imas sudah tiga kali mengandung, tapi selalu keguguran tanpa sebab pada usia kandungan ke 5 bulan. Hal tersebut membuat pasutri itu tetap mempertahankan panggilan 'neng-aa' agar selalu romantis seperti saat mereka memadu kasih dulu. Terlebih lagi usia Imas tujuh tahun lebih muda dari Galih.
Galih menghirup dalam aroma bunga kenanga pada rambut Imas. Aneh ... rasa-rasanya tadi sore Imas tidak keramas. Dan sejak kapan dia pakai sampo dengan wangi bunga? batinnya.
Imas melepaskan tangan Galih yang melingkar di pinggangnya, lalu membalikkan badan. "A ...."
"Apa, Neng?" tanya Galih yang kini mendaratkan berat tubuhnya di pinggir kasur.
"Neng ingin sekali merasakan yang namanya ngelonin bayi, sambil menyanyikan lagu tidur." Imas menatap lekat Galih. Wajahnya tampak dingin, membuat suaminya itu merasa tak nyaman.
"Sabar, Neng. Allah belum kasih kita amanah untuk punya anak."
Imas mengambil boneka teddy bear milik keponakannya yang tertinggal dari atas meja rias. Ia menidurkan boneka itu di tangannya, seperti menidurkan seorang bayi. Kemudian dia mulai bernyanyi, "Lingsir wengii .... Sepi durung biso nendro. Kagodho mring wewayang." Imas berhenti bernyanyi sebentar. Ia menatap dingin suaminya.
Seketika bulu kuduk Galih meremang. Ia hendak mengucapkan sesuatu, tapi mulutnya seakan terkunci. Imas berdiri dan berjalan ke sisi dinding, kemudian lanjut bernyanyi, "Kang ngreridhu ati. Kawitane. Mung sembrono njur kulino. Ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno. Nanging duh tibane aku dewe kang nemahi. Nandang bronto. Kadung loro."
Galih beringsut mundur mendengar suara Imas yang semakin terdengar mengerikan. "Sudah, Neng. Jangan menyanyi lagi. Ayo, kita tidur." Dengan cepat Galih melebarkan selimut.
Imas mendadak melotot sebab tak suka Galih menghentikannya bernyanyi. Ia melempar boneka itu ke sembarang arah. Imas membuka tali piama yang dikenakan, sehingga tampaklah tubuhnya yang sintal, hanya tertutup pakaian dalam. Galih menatap sang istri yang tampak begitu menggoda.
Perlahan Imas merangkak mendekati Galih. "A ...," lirihnya.Galih menelan salivanya. Ia merasa tak biasa dengan tingkah laku Imas. Saat Imas mulai mendekap Galih, dia pun mencium bau anyir dari tubuh Imas.
"Neng, m-maaf, aa capek," ujar Galih beralasan.
Seketika Imas terduduk, mengejutkan Galih. "Aku ingin bayi!" teriaknya. Dan yang terjadi kemudian adalah, wajahnya berubah menyeramkan, mata Imas yang menatap tajam Galih itu memutih, lalu Imas melompat ke dinding di belakangnya.
Galih tercekat, matanya membelalak. Mulutnya ingin merapalkan doa, tapi terkunci.
***
Catatan Penulis:
❖ WAFAQ/AZIMAT ASMAUL HUSNA
1. Ekor merak bertuliskan 99 asma Allah yang agung, dan itu menginduk ke satu asma/nama lain, bertuliskan 'Qitmir'. Padahal induk dari semua Asmaul Husna adalah Allah. Jadi, misalkan ada pertanyaan 'Siapa Ar Rahman, Ar Rahim?' pasti jawabannya 'Allah' bukan 'Qitmir'.
2. Qitmir adalah nama anjing yang diklaim Ashabul Kahfi, jadi Asma Allah disandingkan dengan asma makhluk.
وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَد
"Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia." (QS. Al Ikhlas:4)
3. Qitmir adalah nama anjing. Anjing adalah penjaga. Maka, jimat ini disebut penjaga dari kekuatan buruk/sihir, dll.Meyakini adanya penjagaan ghaib selain Allah adalah syirik.
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَا ن وَكَفَىٰ بِرَ بِكَ وَكِيلً
"Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga". (QS. Al-Isra:65)
4. Huruf Arab dalam blok merah, kotak, dan segitiga adalah kode-kode sihir dari Mesir.
5. Diletakkan dengan tujuan sebagai azimat. Dalam bentuk lain bahkan dituliskan sebagai penjaga, penglaris, dll.Sumber: halaman F******k 'Salesman Cinta Rasul'
❖ Lagu Lingsir Wengi sebenarnya merupakan syair penolak bala dari Sunan Kalijaga. Di lain versi menyebutkan bahwa Lingsir Wengi adalah lagu pengantar tidur seperti Nina Bobo
Galih terpaku di kasurnya, tak berkedip menatap wajah sang istri yang kini telah berubah menjadi sangat menyeramkan."Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum ...." Terbata Galih mengucapkannya dengan bibir gemetar. "Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum ...." Galih mengulanginya, tanpa bisa meneruskan."Hahahahahaahaaaa!" Imas tertawa nyaring seolah meledek.Galih tercekat. Ia beristigfar dalam hati, memohon kekuatan kepada Allah. Setelah dia yakin bisa merapalkan kembali ayat Kursi, Galih pun menyuarakannya dengan lantang.Tubuh Imas yang berada di dinding selayaknya cecak tiba-tiba merayap turun dengan cepat ke hadapan Galih, dan berusaha mencekik. Dengan sigap Galih menghindar, lalu memegang kuat tangan Imas."Imas, sadar! Istigfar, Neng!"Imas berontak, Galih semakin kewalahan. Dengan tenaga yang masih tersisa, Galih berusaha membisikkan Al Fatihah ke telinga Imas. Setelahnya Imas pun tak sadarkan diri.Galih terdudu
Acara hajatan dihentikan setelah penonton ricuh sebab ada dua orang yang kerasukan. Mereka diketahui salah satu sanak saudara yang punya hajat, yang memang mempunyai ilmu kebatinan. Sehingga mereka tak dapat mengendalikan diri saat mendengarkan tembang Bangbung Hideung."Ayo, bangun. Kamu pulang saja." Dasimah ditarik oleh salah satu pemain gamelan. "Di belakang panggung sudah menunggu orang yang mau bayar kamu."Dasimah mengangguk, lalu beranjak ke belakang panggung. Setelah mendapatkan apa yang menjadi haknya, Dasimah melangkah pulang.Saat membuka pintu rumah, Dasimah tercekat. Dia mendapati sosok wanita berkebaya berdiri membelakanginya. Perlahan Dasimah menghampiri."Punteun, Teh. Saha nya? Milarian saha? Kenapa ada di rumah saya?" tanya Dasimah.Wanita berkebaya itu membalikkan badan, memperlihatkan wajahnya yang hancur. Ternyata dia adalah sosok yang dilihat Dasimah menari di sudut panggung. Dasimah menjerit, dan mundur selangkah dengan tang
Wa nunazzilu minal qur-aani maa huwa syifaa-uw warahmatul-lil mu’miniin."Ustaz Fikri menunjuk ke arah Imas sambil membaca surah Al-Israa 17:82 yang artinya: Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.Imas seketika merasakan mual. Ustaz Fikri memberi isyarat kepada sang istri, Ustazah Azizah, untuk segera menyiapkan keresek karena Imas akan muntah. Dan benar saja, saat keresek itu disimpan di bawah dagu Imas, dia langsung mengeluarkan isi perutnya, yang hanya lendir bercampur darah. Tak lama kemudian, Imas tak sadarkan diri. Setelah hampir 10 menit hilang kesadaran, akhirnya Imas siuman."Alhamdulillah!" seru Ustaz dan Galih bersamaan."Bagaimana perasaan Ibu sekarang?" tanya Ustaz."Sudah agak enakan, Ustaz," jawab Imas."Bu ... Ibu banyak-banyak
Aa tidak menyangka, ternyata banyak juga, ya, penjual makanan yang pakai penglaris," ujar Galih setibanya mereka di rumah.Imas mengangguk. "Begitulah, A. Segala cara dihalalkan agar dagangan mereka laku. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah, ya, A. Aamiin.""Aamiin. Sekarang kita tidur saja, yuk." Galih mengedipkan sebelah matanya, membuat pipi Imas bersemu. Mereka pun beranjak ke kamar, dan larut dalam kemesraan selayaknya pasangan pengantin baru.Sementara itu, di luar sana Kang Asep sedang mendorong gerobak nasi gorengnya pulang dengan wajah semringah."Ning! Nining!" Tanpa mengucap salam ia mengetuk pintu rumah."Enya antosan!"sahut Nining dari dalam, lalu membuka pintu."Naon atuh, Kang? Meni gegerewekan!"Kang Asep bergegas masuk. Nining yang kebingungan langsung m
"Ibu merasa tidak, kalau di kampung kita ini sepertinya sudah tidak aman.""Tidak aman bagaimana? Banyak maling?"Ustaz Fikri menyesap kopinya, lalu menggeleng. "Bukan ... bukan maling, tapi sesuatu yang lebih berbahaya.""Maksudnya bagaimana, sih, Pak? Ibu tidak mengerti." Ustazah Azizah menatap wajah sang suami dengan dahi yang mengerut dalam."Pasien kita semakin hari semakin banyak. Gangguan yang menyerang mereka pun bermacam-macam. Kalau dua tiga tahun ke belakang, kan, pasien yang datang paling hanya kesurupan biasa atau yang sedang menjalani terapi pengobatan syari saja."Ustazah Azizah mengangguk pelan. "Iya juga, ya, Pak. Apa jangan-jangan ....""Jangan-jangan apa, Bu?""Mm ... jangan-jangan di kampung kita ada orang yang sedang mempraktikkan ilmu hitam, Pak.""Astagfirullah ... jangan suudzon, Bu. Tidak baik
Pria kurus tersebut mengangguk. Ia mengambil dua batang kayu yang runcing. Dengan sedikit canggung, sambil berjongkok di tepi balong, pria itu mulai membaca jampi, “Aki Gangga nu ti girang, Aki Ginggi nu ti hilir, aing ménta ingon-ingon, geura top!”Dilemparkannya kayu itu ke balong. Ikan-ikan kemudian bermunculan, tapi tak ada satu pun yang bertabrakan. Tak berapa lama, kayu yang dilempar mengambang bersamaan dengan seekor ikan. Pria gendut sampai melongo saking terpana melihatnya.Namun, tidak dengan Nyai Dasimah. Ia justru tertawa mendengar jampi yang dirapalkan pria kurus itu. "Hati-hati, Kang ...,” katanya kemudian."Hati-hati kenapa atuh, Nyai?""Jangan sampai nanti yang datang bukannya ikan, malah siluman." Dasimah terkekeh, lalu meninggalkan kedua pria yang ternganga sembari menatap punggung Dasimah yang kian menjauh.Sesampainya di warteg,
Galih mengernyit." Tapi ... ini tidak tampak seperti ayat Alquran. Ayat apa? Surat apa?" Bibir Galih terlihat mencoba membaca huruf Arab gundul itu."Simpanlah itu untuk menjagamu dan Imas supaya tidak terkena gangguan jin," hasut Dasimah.Galih melipat kertas itu dan memberikannya kepada Dasimah. "Maaf, aku tidak bisa, Imah. Aku takut." Galih terdiam. Di benaknya terlintas kenangan bertahun-tahun ke belakang, saat dirinya mengetahui Dasimah memakai susuk ketika menjadi sinden, dan selalu menyanyikan Bangbung Hideung untuk memikat penonton.Dasimah berusaha bersikap setenang mungkin. Ia tahu jika Galih pasti merasa ada yang tidak beres. "Galih."Galih menatap mata Imas. Mereka beradu tatap sepersekian detik."Percayalah, ini aman." Dasimah memberikan kembali kertas tadi dan satu kertas lainnya."Apa lagi ini?" tanya Galih heran.
"Neng, ini aa beli gorengan," kata Galih sembari memberikan bungkusan berisi bala-bala atau bakwan, dan gehu atau tahu isi."Aa beli di mana? Kok, lama?" tanya Imas."Mm ... aa sekalian ngopi dan keasyikan ngobrol, jadi lama. Maaf, ya," jawab Galih tak jujur. Tak mungkin ia bilang dari rumah Dasimah.Imas beranjak ke dapur, dan menempati gorengan dan beberapa cabai rawit di atas piring. Kemudian ia membawanya ke ruang keluarga. Terlihat Galih sedang merenung."Ada apa, A?" tanya Imas sambil menaruh piring ke atas meja kayu jati."Ya? Apa?" Galih balik bertanya.Imas duduk di sebelah Galih. "Aa melamun, ya?"Galih tersenyum samar. "Tidak." Di pikirannya kini ia sedang bingung, antara ingin memberikan jimat pemberian Dasimah atau tidak. Akhirnya ia pun merogoh saku celananya. "Neng, bacalah ini untuk keselamatanmu." Galih memberikan d
Lima tahun telah berlalu semenjak kematian sang wanita penyebar 'ain, Nyai Dasimah. Kehidupan Galih dan Imas pun jauh lebih baik dan bahagia dengan kehadiran buah hati yang baru berusia 8 bulan. Mereka juga sudah menempati rumah baru saat Imas dinyatakan hamil demi melupakan kenangan buruk, yang mungkin bisa saja membawa pengaruh buruk juga untuk Arsyad, jagoan kecil mereka. Kini, pasangan suami istri itu bertempat tinggal di sudut kota yang terkenal dengan tahu gorengnya. Galih yang sudah setahun bekerja di dinas pemerintahan pun membuat roda perekonomian berputar dengan stabil daripada sebelumnya. "Yah, tidak kerja? Sudah jam setengah tujuh, nanti terlambat lho!" tanya Imas sambil mengusap lembut bahu Galih. Galih membuka mata, dan ditatapnya wajah Imas. "Kepala Ayah sakit, Bun." Imas pun menyentuh kening dan leher suaminya itu dengan punggung tangannya. "Ini, sih, demam.
Dear, Readers. Bab selanjutnya masuk ke 'Ana-Ya'Inu season 2 ya! Perdana tayang lho, belum ada di platform lain. Sequel kok disatuin sama season 1? Perdana tayang kok nggak bikin buku baru lagi? Soalnya buat mencapai 100k kata, Gaess 🙈 Di season 1 cuma 24k kata. Irit banget emang buat sebuah novel, tapi aku emang tipe penulis yang nggak mau ikin cerita terlalu pa jang dan bertele-tele, dan rata-rata novel soloku yang udah terbit jumlah bab nya nggak lebih dari 25 bab. Alhasil, jujur aja untuk mencapai 100k kata ini aku kewalahan, apalagi dari awal nggak pernah kepikiran buat bikin sequel. Jadi, updatenya bakalan agak lama ya 🤭 Happy reading 🤗
llmu hitamku kini semakin kuat. Jika saja bukan karena dia—yang aku agungkan—aku tak mungkin bisa seperti sekarang ini.Hari itu, saat Ki Prana meregang nyawa dengan cara mengenaskan, aku sempat kebingungan karena ilmuku otomatis menghilang. Namun, aku teringat suatu tempat, di mana aku bisa meminta ilmu.Dengan hanya berbekal pakaian yang melekat di tubuh, juga uang seadanya, aku pergi ke sana. Pantai Selatan.Dipayungi sinar purnama kutatap ombak yang menggulung besar disertai semilir aroma bunga melati. Kugelar ritual pemanggilan lengkap dengan dupa dan sesajen.Sangat kuat hawa magis di sini. Samar-samar terdengar suara gamelan dan kereta kencana. Dia sudah tiba. Namun, di luar dugaan, yang datang ternyata bukan Kanjeng Ratu, melainkan sang panglima komandan.“Pergilah ke gua besar di atas bukit!” perintahnya.Aku mengangguk patuh.
Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah Nyai Dasimah. Sangat gelap di dalam."Aaarghh!" Seketika itu juga tubuhku melayang, seperti ada yang menarikku ke belakang. Aku langsung terkapar di tanah.“Kang Asep!”Terdengar teriakan Ustaz Fikri. Aku membuka mata sambil meringis kesakitan. Pintu itu sudah tertutup. Beliau terkurung di dalam. Argh! Aku harus bagaimana? Aku harus segera menyelamatkan Ustaz Fikri atau Nyai Dasimah tidak akan membiarkannya hidup.Tunggu dulu. Aku harus minta tolong siapa? Dan bagaimana dengan nyawaku sendiri? Apa aku kabur saja?Perlahan aku bangkit dengan tubuh yang terasa hampir remuk. Kuperhatikan sekeliling. Di sini tidak ada rumah selain rumah Nyai Dasimah. Jalan satu-satunya aku harus ke bawah, dan meminta bantuan di sana.Terseok aku berjalan pincang sembari memegang bahu yang sakit. Kini tekad sudah bulat ingin menolong Ustaz Fikri. Jik
"Aku khilaf, Dasimah. Dan aku sudah kembali bertobat."Mata Dasimah berubah sendu. Air wajahnya terlihat kecewa. "Kalau begitu matilah bersama mereka!" Dengan sekali empasan tangan, tubuh Galih melayang dan tersungkur di dekat ustaz."Astagfirullah! Bangun, Pak Galih." Ustaz Fikri membantu Galih bangun. Kini tubuhnya tak lagi terikat."Makanlah mereka berdua, itu adalah santapan terakhir untukmu!" seru Dasimah, kemudian melirik Imas, "bawa dia untuk dijadikan budakku!" Kemudian Dasimah berbalik dan menghilang.Tiba-tiba pintu tempat ruangan Imas berada tertutup.Galih dan Ustaz Fikri berusaha membuka pintu itu dengan mendobraknya, tapi pintu tidak terbuka."Bagaimana ini, Ustaz? Apa kita akan mati di sini dimakan ular?" tanya Galih sambil melihat ular yang semakin mendekat.Ustaz Fikri memegang bahu Galih. "Tenang. Kita tida
'Krieeeet'Deritan suara pintu yang mendadak terbuka mengejutkan mereka berdua."Masuklah!"Terdengar suara wanita yang menggema dari dalam rumah."Bagaimana ini, Ustaz? Itu sepertinya suara nyai.""Ayo, kita masuk, Kang," jawab Ustaz Fikri tanpa menoleh."B-baik, Ustaz.""Jangan takut, Kang. Allah bersama kita."Namun, ketika Kang Asep hendak melangkah, Ustaz Fikri mencekal tangannya."Tunggu!""Ada apa, Ustaz?" tanya Kang Asep kaget."Ada yang tidak beres. Sepertinya ini perangkap.""Perangkap?"Ustaz Fikri mengangguk. "Biar saya yang berjalan di depan." Ustaz pun melangkah sedangkan Kang Asep mengekor di belakangnya.Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah. Sangat gelap di dalam. Tiba
Hujan semakin deras. Kabut semakin tebal mengaburkan pandangan. Dalam perjalanannya menuju ke rumah orang yang diharapkan bisa membantunya, mobil Ustaz Fikri justru mogok tanpa sebab."Astagfirullah, kenapa ini?" gumam Ustaz Fikri sembari berulang kali menstater mobil. Namun, tetap saja mobil tak mau menyala.Ustaz Fikri menoleh kiri kanan, mencari tahu di mana dia sekarang. Ia memicingkan mata, mencoba melihat dengan jelas yang ada di hadapannya dari balik wiper yang terus bergerak naik turun."Hah? Makam?" Ustaz Fikri tersentak ketika membaca gapura di depannya bertuliskan TPU Sirna Raga.Meskipun bingung mengapa tiba-tiba saja ia berada di dekat makam, Ustaz Fikri tak begitu peduli. Ia terus berusaha menstater mobilnya sambil berdoa."Alhamdulillah," ucapnya ketika mesin mobil berhasil menyala kembali. Namun, begitu ia hendak menancapkan gas, di hadapannya ada sosok yang menghalangi jalan.
‘BRAK!’Pintu rumah tiba-tiba tertutup sendiri dengan keras saat ustaz hendak ke luar untuk pergi ke masjid."Ya Allah. Kenapa ini?" Ustaz berkali-kali mencoba membuka pintu, tapi hasilnya nihil. Ustaz Fikri mengusap wajahnya kasar. Dengan terpaksa ia salat di ruang tamu beralaskan lantai yang sudah disapunya. Selesai salat, ustaz kembali mencoba membuka pintu."Bismillahirrahmanirrahim ...."Pintu pun terbuka disambut ucapan hamdallah sang ustaz. Namun, ia belum sepenuhnya merasa lega. Ustaz Fikri justru bertambah bingung sebab ia tak tahu harus ke mana mencari Imas."Ustaz!"Samar-samar sebuah seruan mengejutkan ustaz."Bu Imas?""Ustaz, tolong saya!"Ustaz tersentak. Suara itu memanglah suara Imas, tapi di mana orangnya? Ustaz Fikri kembali mencari Imas ke dalam kamar, tapi Im
Ustazah mengernyit. "Sudah tahu?""Iya.""Tahu dari mana? Memangnya Ayah melihat?"Ustaz Fikri menggeleng. "Ayah tidak melihat, tapi ayah bisa merasakannya. Ibu tidak apa-apa, 'kan?""Iya, alhamdulillah.""Syukurlah. Ayah mau ke masjid dulu salat asar." Ustaz menengok ke arah Rizki. "Kamu jaga Ibu, ya? Kita gantian salatnya.""Iya, Yah." Rizki mengangguk patuh.◎◎◎"A, bagaimana ini? Sudah sore, tapi kok, ustaz dan istrinya belum ke sini juga? Apa tidak jadi, ya?" gerutu Imas."Aa juga tidak tahu, Neng. Mungkin mereka ada keperluan lain," jawab Galih."Coba Aa telepon.""Iya." Galih merogoh saku celananya, kemudian menelepon Ustaz Fikri."Assalamu'alaikum, Ustaz.""Wa'alaikumussalam, Pak Galih," balas Ustaz Fikri d