"Neng, ini aa beli gorengan," kata Galih sembari memberikan bungkusan berisi bala-bala atau bakwan, dan gehu atau tahu isi.
"Aa beli di mana? Kok, lama?" tanya Imas.
"Mm ... aa sekalian ngopi dan keasyikan ngobrol, jadi lama. Maaf, ya," jawab Galih tak jujur. Tak mungkin ia bilang dari rumah Dasimah.
Imas beranjak ke dapur, dan menempati gorengan dan beberapa cabai rawit di atas piring. Kemudian ia membawanya ke ruang keluarga. Terlihat Galih sedang merenung.
"Ada apa, A?" tanya Imas sambil menaruh piring ke atas meja kayu jati.
"Ya? Apa?" Galih balik bertanya.
Imas duduk di sebelah Galih. "Aa melamun, ya?"
Galih tersenyum samar. "Tidak." Di pikirannya kini ia sedang bingung, antara ingin memberikan jimat pemberian Dasimah atau tidak. Akhirnya ia pun merogoh saku celananya. "Neng, bacalah ini untuk keselamatanmu." Galih memberikan d
Kang Asep terperanjat. Ia mengusap wajahnya kasar. "Tulung urang atuh!" serunya kepada para pegawainya yang hanya diam menonton."Assalamu'alaikum."Ada yang datang. Kang Asep dan kedua pegawainya menoleh ke sumber suara, lalu menyahut, "Wa'alaikumussalam.""Maaf, Pak, warungnya mau saya tutup. Istri saya kesurupan," kata Kang Asep menunjuk Nining yang terdiam dengan tatapan kosong, sesekali tersenyum tak jelas.Pria berpeci putih yang datang itu kemudian tersenyum. "Justru saya datang ke mari untuk membantu, Pak. Barusan ada yang mengadu sama saya," ujarnya.Kang Asep mengernyit. "Membantu?" Ia tersenyum miring. "Memangnya Bapak siapa? Dan bisa bantu apa?"Pria tersebut mengulurkan tangannya. "Kenalkan, Kang. Saya Ustaz Fikri, pendiri Bilik Ruqyah."Kang Asep dengan angkuhnya membuang muka, tak menyambut tangan ustaz. "Ya sudah, coba disembuhkan istri saya."Dengan legawa Ustaz Fikri menarik kembali tangannya, mengelus dada. "
"Tapi apa, Pak."Ustaz Fikri menggeleng. "Tidak, Bu, bukan apa-apa." Ustaz tersenyum, lalu kembali mengambil gorengan manis yang terbuat dari pisang nangka itu.Ustazah beranjak meninggalkan ustaz ke dapur. Dalam pikiran ustaz, ia sebenarnya mencurigai seorang wanita yang persis dengan ciri-ciri yang disebutkan Gumilar. Namun, ustaz selalu menepis pikiran itu sebab khawatir akan menjadi suuzan. Dan ia akan diam saja, tidak akan menceritakan isi pikirannya kepada siapa pun sebelum tahu fakta yang sebenar-benarnya atau melihat dengan mata kepalanya sendiri.◎◎◎"Galih!""Ibu?""Galih, tolong!""Ayah?" Galih menoleh ke kiri. "Kalian kenapa? Apa yang terjadi kepada kalian?""Kami disiksa, Nak! Kami disiksa malaikat kubur karena ulahmu!" seru sang Ibu yang wajahnya berdarah-darah."Aku? Memangnya aku k
Imas menatap heran sang suami. "Aa bilang kertas itu diberi oleh bapak-bapak?"Galih menunduk, lalu menoleh. "Maaf, Neng. Kalau aa bilang habis bertemu Dasimah, Neng pasti marah. Aa juga tidak menyangka kalau ternyata dia mendalami ilmu hitam."Sementara itu, Kang Asep pun terdengar sedang memarahi Nining. Menyalahkan istrinya atas semua rasa iri, yang pada akhirnya menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan."Sudah, sudah. Tenang, Pak, Bu. Masalah ini harus segera dibereskan karena amat berbahaya, terutama karena perbuatannya yang menyekutukan Allah." Ustaz Fikri menatap keempat orang di hadapannya satu per satu. Ustazah yang duduk di sebelahnya mengangguk-angguk saja."Tapi ... bagaimana caranya, Ustaz? Dia, kan, sakti. Sedangkan kita punya apa untuk mengalahkannya?" tanya Kang Asep.Ustaz tersenyum tipis. "Kita punya Allah, Kang. Dan yang tepat bukan mengalahkan, tapi membawanya kembali ke jal
Setelah Kang Asep dan Nining siuman, Ustaz Fikri segera meminta mereka duduk di bangku yang telah disediakan. Dengan seember air bercampur daun bidara yang sebelumnya sudah dibacakan ayat ruqyah, ustaz menyiram tubuh Kang Asep sedangkan ustazah menyiram tubuh Nining.Pasangan suami istri itu kembali meronta-ronta dan berteriak saat air suci membasahi tubuh mereka. Namun, ustaz ustazah tak gentar sampai air ruqyah itu habis."Kang, Teh, ini saya juga siapkan buah semangka yang sudah dibacakan surah Al Ikhlas sebanyak tiga kali. Fungsinya yaitu untuk mendinginkan suhu tubuh Akang dan Teteh yang panas akibat gangguan jin. Silahkan dimakan. Jangan lupa baca bismillah."Kang Asep dan Nining pun memakan semangka merah tanpa biji yang disodorkan ustazah. Setelah memakannya, mereka tampak tersenyum satu sama lain."Bagaimana, Kang, Teh?" tanya Ustazah Azizah."Alhamdulillah, Bu Ustazah,
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu agar aku tidak tersesat atau disesatkan, tergelincir (jatuh) atau digelincirkan, berbuat aniaya (dhalim) atau teraniaya, berbuat bodoh (ceroboh) atau dibodohi. Aamiin."Usai berdoa, tampak keramaian jalan raya di ujung jalan."Alhamdulillah. Coba lihat itu, Bu. Allah sudah menunjukkan jalan.""Iya, Pak. Alhamdulillah ...."Ustaz Fikri segera menancapkan gas menuju jalan raya."Pak, sebenarnya rumah Pak Galih itu di mana? Apa masih jauh?""Tidak jauh, Bu. Masih satu kampung dengan Kang Asep. Tapi, kan, tadi kita salat dan makan dulu, dan barusan kita tersesat, jadi seolah-olah rumahnya jauh. Padahal kita yang lama di jalan."Ustaz Azizah mengangguk mengerti. Lamat-lamat terdengar dering telepon di ponselnya. Ternyata yang menelepon adalah Rizki, anak semata wayang mereka."Assalamu'alaikum,
Ustazah mengernyit. "Sudah tahu?""Iya.""Tahu dari mana? Memangnya Ayah melihat?"Ustaz Fikri menggeleng. "Ayah tidak melihat, tapi ayah bisa merasakannya. Ibu tidak apa-apa, 'kan?""Iya, alhamdulillah.""Syukurlah. Ayah mau ke masjid dulu salat asar." Ustaz menengok ke arah Rizki. "Kamu jaga Ibu, ya? Kita gantian salatnya.""Iya, Yah." Rizki mengangguk patuh.◎◎◎"A, bagaimana ini? Sudah sore, tapi kok, ustaz dan istrinya belum ke sini juga? Apa tidak jadi, ya?" gerutu Imas."Aa juga tidak tahu, Neng. Mungkin mereka ada keperluan lain," jawab Galih."Coba Aa telepon.""Iya." Galih merogoh saku celananya, kemudian menelepon Ustaz Fikri."Assalamu'alaikum, Ustaz.""Wa'alaikumussalam, Pak Galih," balas Ustaz Fikri d
‘BRAK!’Pintu rumah tiba-tiba tertutup sendiri dengan keras saat ustaz hendak ke luar untuk pergi ke masjid."Ya Allah. Kenapa ini?" Ustaz berkali-kali mencoba membuka pintu, tapi hasilnya nihil. Ustaz Fikri mengusap wajahnya kasar. Dengan terpaksa ia salat di ruang tamu beralaskan lantai yang sudah disapunya. Selesai salat, ustaz kembali mencoba membuka pintu."Bismillahirrahmanirrahim ...."Pintu pun terbuka disambut ucapan hamdallah sang ustaz. Namun, ia belum sepenuhnya merasa lega. Ustaz Fikri justru bertambah bingung sebab ia tak tahu harus ke mana mencari Imas."Ustaz!"Samar-samar sebuah seruan mengejutkan ustaz."Bu Imas?""Ustaz, tolong saya!"Ustaz tersentak. Suara itu memanglah suara Imas, tapi di mana orangnya? Ustaz Fikri kembali mencari Imas ke dalam kamar, tapi Im
Hujan semakin deras. Kabut semakin tebal mengaburkan pandangan. Dalam perjalanannya menuju ke rumah orang yang diharapkan bisa membantunya, mobil Ustaz Fikri justru mogok tanpa sebab."Astagfirullah, kenapa ini?" gumam Ustaz Fikri sembari berulang kali menstater mobil. Namun, tetap saja mobil tak mau menyala.Ustaz Fikri menoleh kiri kanan, mencari tahu di mana dia sekarang. Ia memicingkan mata, mencoba melihat dengan jelas yang ada di hadapannya dari balik wiper yang terus bergerak naik turun."Hah? Makam?" Ustaz Fikri tersentak ketika membaca gapura di depannya bertuliskan TPU Sirna Raga.Meskipun bingung mengapa tiba-tiba saja ia berada di dekat makam, Ustaz Fikri tak begitu peduli. Ia terus berusaha menstater mobilnya sambil berdoa."Alhamdulillah," ucapnya ketika mesin mobil berhasil menyala kembali. Namun, begitu ia hendak menancapkan gas, di hadapannya ada sosok yang menghalangi jalan.
Lima tahun telah berlalu semenjak kematian sang wanita penyebar 'ain, Nyai Dasimah. Kehidupan Galih dan Imas pun jauh lebih baik dan bahagia dengan kehadiran buah hati yang baru berusia 8 bulan. Mereka juga sudah menempati rumah baru saat Imas dinyatakan hamil demi melupakan kenangan buruk, yang mungkin bisa saja membawa pengaruh buruk juga untuk Arsyad, jagoan kecil mereka. Kini, pasangan suami istri itu bertempat tinggal di sudut kota yang terkenal dengan tahu gorengnya. Galih yang sudah setahun bekerja di dinas pemerintahan pun membuat roda perekonomian berputar dengan stabil daripada sebelumnya. "Yah, tidak kerja? Sudah jam setengah tujuh, nanti terlambat lho!" tanya Imas sambil mengusap lembut bahu Galih. Galih membuka mata, dan ditatapnya wajah Imas. "Kepala Ayah sakit, Bun." Imas pun menyentuh kening dan leher suaminya itu dengan punggung tangannya. "Ini, sih, demam.
Dear, Readers. Bab selanjutnya masuk ke 'Ana-Ya'Inu season 2 ya! Perdana tayang lho, belum ada di platform lain. Sequel kok disatuin sama season 1? Perdana tayang kok nggak bikin buku baru lagi? Soalnya buat mencapai 100k kata, Gaess 🙈 Di season 1 cuma 24k kata. Irit banget emang buat sebuah novel, tapi aku emang tipe penulis yang nggak mau ikin cerita terlalu pa jang dan bertele-tele, dan rata-rata novel soloku yang udah terbit jumlah bab nya nggak lebih dari 25 bab. Alhasil, jujur aja untuk mencapai 100k kata ini aku kewalahan, apalagi dari awal nggak pernah kepikiran buat bikin sequel. Jadi, updatenya bakalan agak lama ya 🤭 Happy reading 🤗
llmu hitamku kini semakin kuat. Jika saja bukan karena dia—yang aku agungkan—aku tak mungkin bisa seperti sekarang ini.Hari itu, saat Ki Prana meregang nyawa dengan cara mengenaskan, aku sempat kebingungan karena ilmuku otomatis menghilang. Namun, aku teringat suatu tempat, di mana aku bisa meminta ilmu.Dengan hanya berbekal pakaian yang melekat di tubuh, juga uang seadanya, aku pergi ke sana. Pantai Selatan.Dipayungi sinar purnama kutatap ombak yang menggulung besar disertai semilir aroma bunga melati. Kugelar ritual pemanggilan lengkap dengan dupa dan sesajen.Sangat kuat hawa magis di sini. Samar-samar terdengar suara gamelan dan kereta kencana. Dia sudah tiba. Namun, di luar dugaan, yang datang ternyata bukan Kanjeng Ratu, melainkan sang panglima komandan.“Pergilah ke gua besar di atas bukit!” perintahnya.Aku mengangguk patuh.
Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah Nyai Dasimah. Sangat gelap di dalam."Aaarghh!" Seketika itu juga tubuhku melayang, seperti ada yang menarikku ke belakang. Aku langsung terkapar di tanah.“Kang Asep!”Terdengar teriakan Ustaz Fikri. Aku membuka mata sambil meringis kesakitan. Pintu itu sudah tertutup. Beliau terkurung di dalam. Argh! Aku harus bagaimana? Aku harus segera menyelamatkan Ustaz Fikri atau Nyai Dasimah tidak akan membiarkannya hidup.Tunggu dulu. Aku harus minta tolong siapa? Dan bagaimana dengan nyawaku sendiri? Apa aku kabur saja?Perlahan aku bangkit dengan tubuh yang terasa hampir remuk. Kuperhatikan sekeliling. Di sini tidak ada rumah selain rumah Nyai Dasimah. Jalan satu-satunya aku harus ke bawah, dan meminta bantuan di sana.Terseok aku berjalan pincang sembari memegang bahu yang sakit. Kini tekad sudah bulat ingin menolong Ustaz Fikri. Jik
"Aku khilaf, Dasimah. Dan aku sudah kembali bertobat."Mata Dasimah berubah sendu. Air wajahnya terlihat kecewa. "Kalau begitu matilah bersama mereka!" Dengan sekali empasan tangan, tubuh Galih melayang dan tersungkur di dekat ustaz."Astagfirullah! Bangun, Pak Galih." Ustaz Fikri membantu Galih bangun. Kini tubuhnya tak lagi terikat."Makanlah mereka berdua, itu adalah santapan terakhir untukmu!" seru Dasimah, kemudian melirik Imas, "bawa dia untuk dijadikan budakku!" Kemudian Dasimah berbalik dan menghilang.Tiba-tiba pintu tempat ruangan Imas berada tertutup.Galih dan Ustaz Fikri berusaha membuka pintu itu dengan mendobraknya, tapi pintu tidak terbuka."Bagaimana ini, Ustaz? Apa kita akan mati di sini dimakan ular?" tanya Galih sambil melihat ular yang semakin mendekat.Ustaz Fikri memegang bahu Galih. "Tenang. Kita tida
'Krieeeet'Deritan suara pintu yang mendadak terbuka mengejutkan mereka berdua."Masuklah!"Terdengar suara wanita yang menggema dari dalam rumah."Bagaimana ini, Ustaz? Itu sepertinya suara nyai.""Ayo, kita masuk, Kang," jawab Ustaz Fikri tanpa menoleh."B-baik, Ustaz.""Jangan takut, Kang. Allah bersama kita."Namun, ketika Kang Asep hendak melangkah, Ustaz Fikri mencekal tangannya."Tunggu!""Ada apa, Ustaz?" tanya Kang Asep kaget."Ada yang tidak beres. Sepertinya ini perangkap.""Perangkap?"Ustaz Fikri mengangguk. "Biar saya yang berjalan di depan." Ustaz pun melangkah sedangkan Kang Asep mengekor di belakangnya.Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah. Sangat gelap di dalam. Tiba
Hujan semakin deras. Kabut semakin tebal mengaburkan pandangan. Dalam perjalanannya menuju ke rumah orang yang diharapkan bisa membantunya, mobil Ustaz Fikri justru mogok tanpa sebab."Astagfirullah, kenapa ini?" gumam Ustaz Fikri sembari berulang kali menstater mobil. Namun, tetap saja mobil tak mau menyala.Ustaz Fikri menoleh kiri kanan, mencari tahu di mana dia sekarang. Ia memicingkan mata, mencoba melihat dengan jelas yang ada di hadapannya dari balik wiper yang terus bergerak naik turun."Hah? Makam?" Ustaz Fikri tersentak ketika membaca gapura di depannya bertuliskan TPU Sirna Raga.Meskipun bingung mengapa tiba-tiba saja ia berada di dekat makam, Ustaz Fikri tak begitu peduli. Ia terus berusaha menstater mobilnya sambil berdoa."Alhamdulillah," ucapnya ketika mesin mobil berhasil menyala kembali. Namun, begitu ia hendak menancapkan gas, di hadapannya ada sosok yang menghalangi jalan.
‘BRAK!’Pintu rumah tiba-tiba tertutup sendiri dengan keras saat ustaz hendak ke luar untuk pergi ke masjid."Ya Allah. Kenapa ini?" Ustaz berkali-kali mencoba membuka pintu, tapi hasilnya nihil. Ustaz Fikri mengusap wajahnya kasar. Dengan terpaksa ia salat di ruang tamu beralaskan lantai yang sudah disapunya. Selesai salat, ustaz kembali mencoba membuka pintu."Bismillahirrahmanirrahim ...."Pintu pun terbuka disambut ucapan hamdallah sang ustaz. Namun, ia belum sepenuhnya merasa lega. Ustaz Fikri justru bertambah bingung sebab ia tak tahu harus ke mana mencari Imas."Ustaz!"Samar-samar sebuah seruan mengejutkan ustaz."Bu Imas?""Ustaz, tolong saya!"Ustaz tersentak. Suara itu memanglah suara Imas, tapi di mana orangnya? Ustaz Fikri kembali mencari Imas ke dalam kamar, tapi Im
Ustazah mengernyit. "Sudah tahu?""Iya.""Tahu dari mana? Memangnya Ayah melihat?"Ustaz Fikri menggeleng. "Ayah tidak melihat, tapi ayah bisa merasakannya. Ibu tidak apa-apa, 'kan?""Iya, alhamdulillah.""Syukurlah. Ayah mau ke masjid dulu salat asar." Ustaz menengok ke arah Rizki. "Kamu jaga Ibu, ya? Kita gantian salatnya.""Iya, Yah." Rizki mengangguk patuh.◎◎◎"A, bagaimana ini? Sudah sore, tapi kok, ustaz dan istrinya belum ke sini juga? Apa tidak jadi, ya?" gerutu Imas."Aa juga tidak tahu, Neng. Mungkin mereka ada keperluan lain," jawab Galih."Coba Aa telepon.""Iya." Galih merogoh saku celananya, kemudian menelepon Ustaz Fikri."Assalamu'alaikum, Ustaz.""Wa'alaikumussalam, Pak Galih," balas Ustaz Fikri d