Galih terpaku di kasurnya, tak berkedip menatap wajah sang istri yang kini telah berubah menjadi sangat menyeramkan.
"Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum ...." Terbata Galih mengucapkannya dengan bibir gemetar. "Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum ...." Galih mengulanginya, tanpa bisa meneruskan.
"Hahahahahaahaaaa!" Imas tertawa nyaring seolah meledek.
Galih tercekat. Ia beristigfar dalam hati, memohon kekuatan kepada Allah. Setelah dia yakin bisa merapalkan kembali ayat Kursi, Galih pun menyuarakannya dengan lantang.
Tubuh Imas yang berada di dinding selayaknya cecak tiba-tiba merayap turun dengan cepat ke hadapan Galih, dan berusaha mencekik. Dengan sigap Galih menghindar, lalu memegang kuat tangan Imas.
"Imas, sadar! Istigfar, Neng!"
Imas berontak, Galih semakin kewalahan. Dengan tenaga yang masih tersisa, Galih berusaha membisikkan Al Fatihah ke telinga Imas. Setelahnya Imas pun tak sadarkan diri.
Galih terduduk lemas. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa setelah diruqyah Imas tetap mengalami gangguan? batinnya.
◎◎◎
Kang Asep tampak semringah. Wafaq Asmaul Husna yang diberikan Dasimah kini telah menghiasi dinding kamarnya.
"Kang, benar kita bisa jadi kaya?" tanya Nining, istrinya.
"Nyai Dasimah bilang begitu. Sudahlah, kita bersabar saja," jawabnya.
Nining hanya mengangguk.
"Lontongnya sudah siap belum?"
"Sudah, Kang."
"Kalau gitu akang mau bersihkan gerobak dulu." Kang Asep ke luar kamar. Pada pagi hari Kang Asep berjualan lontong sayur sedangkan sore sampai malam berganti berjualan nasi goreng.
Selesai mengelap gerobak dan mencuci roda sampai bersih, Kang Asep mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana pangsi yang setia menemaninya berjualan.
"Apa itu, Kang?" tanya Nining.
"Ini jimat penglaris. Kata nyai, kalau akang jualan pakai jimat ini, nanti bisa laku dagangan akang."
Mata belok Nining berbinar. "Kalau dagangan Akang laris-manis, kita bisa cepat kaya atuh, Kang?"
Kang Asep mengangguk mantap. "Mudah-mudahan." Kemudian Kang Asep merekatkan jimat itu di bagian dalam gerobak, tempat memasang gas. Tujuannya agar tak ada orang lain yang melihat.
"Eh, Kang, tahu tidak?"
"Apa?"
"Itu ... mobil baru tetangga sebelah rusak!" jawab Nining sambil senyum-senyum.
"Rusak? Kok, bisa, ya? Padahal mobil baru."
"Ah, sabodo teuing (masa bodoh), Kang. Puas Nining mah. Siapa suruh bikin Nining iri. Iya, 'kan?"Kang Asep hanya geleng-geleng tanpa menjawab. Setelah semua siap, ia pun pergi ke tempat biasa dia menjajakan dagangannya.
Sementara itu, di rumah Galih, Imas baru terbangun dengan keadaan linglung.
"Neng, kamu tidak apa-apa?" tanya Galih.
"Pusing, A," jawab Imas seraya memijat pelan pelipisnya. "Semalam aku kenapa?"
Galih menghela napas. "Neng tidak ingat?" Imas menggeleng. "Kamu kerasukan."
Imas tersentak. "Astagfirullah. Kok, bisa? Kan, aku sudah diruqyah, A."
"Aa juga tidak tahu kenapa bisa begitu. Lebih baik sekarang Neng cepat mandi, sholat subuh, trus sarapan. Kita pergi lagi ke Bilik Ruqyah."
Imas mengernyitkan dahinya. Sekilas dia menengok ke arah jendela yang sudah diintip sinar matahari, lalu melihat jam. "Ya Allah ... tapi sekarang sudah jam setengah tujuh, A. Memang masih bisa subuhan?"
Galih tersenyum. "Bisa, Neng, kan baru bangun. Pas jam lima aa bangunin Neng, tapi Neng tidak bangun. Ayo, cepat, sana mandi."
Imas mengangguk mengiyakan. Ia pun segera beranjak ke kamar mandi.
"A, neng mau sarapan lontong sayurnya Kang Asep," pinta Imas sambil melipat mukenanya.
"Kang Asep yang jualan di belokan gang, ya? Yang dekat tukang ojek?"
Imas mengangguk. "Iya. Memang kenapa?"
"Bukannya kurang enak? Aa perhatikan jarang ada yang beli."
"Tapi jam segini mah baru dia yang jualan, A. Lagi pula dekat, kan, dari rumah kita. Daripada harus cari-cari lagi."
"Ya sudah, yuk."Galih dan Imas pun siap-siap pergi. Dengan mobil putih berpelat Z itu pun mereka meluncur ke tempat Kang Asep. Dari jauh tampak kerumunan orang yang sedang mengantre membeli lontong sayur.
"Wah, ramai, Neng. Tumben," ujar Galih saat menghentikan mobilnya.
"Iya, Kang. Yuk, kita turun. Neng jadi penasaran."
Mereka berdua pun turun dari mobil. Terlihat oleh mereka Kang Asep yang tengah sibuk melayani pembeli. Namun, tiba-tiba saja Imas menjerit sambil menutup muka.
"Imas, kamu kenapa?" tanya Galih terkejut.
"A, ayo, cepat kembali ke mobil!"
"Loh, kok? Katanya mau makan lontong?"
"Tidak jadi." Imas menggeleng kuat, lalu menarik lengan suaminya itu. "Ayo, cepat jalan, A!" seru Imas saat sudah di dalam mobil. Wajahnya tampak begitu ketakutan.
"Ada apa sebenarnya, Neng?"
"Nanti kuceritakan."
Galih pun menancap gas. Beberapa saat hanya hening yang menemani perjalanan mereka ke Bilik Ruqyah. Ketika berada di lampu merah, Imas membuka suara.
"A, di tempat jualan Kang Asep tadi menyeramkan."
"Menyeramkan bagaimana?"
Imas menarik napas dalam. "T-tadi itu aku me-melihat ... mm ...." Imas menunduk.
"Lihat apa, Neng? Jangan bikin aa penasaran."
Imas mengangkat wajahnya, lalu menatap lekat Galih. "Di sana ... banyak jin yang sedang menjilati piring-piring Kang Asep, A. Ada juga tiga monyet yang sedang lompat-lompat di meja."
Galih terbelalak. "Ah, kamu, Neng. Jangan ngaco."
"Percaya sama aku, A. Aku lihat sendiri. Sepertinya Kang Asep pakai jimat penglaris."
"Hush! Jangan bicara sembarangan, Neng. Kita tidak boleh suudzon."
Imas menghela napas pasrah. "Astagfirullahaladzim ...." Sejurus kemudian lampu hijau pun menyala.
◎◎◎
Seharian Dasimah tidak ke luar rumah. Ia mulai malas bekerja di tempat Rima. Kini, dia sedang menatap pantulan wajahnya di cermin. Memperhatikan tiap garis keriput, seolah menandakan bahwa dia memang sudah tua.
Dasimah mengambil sebuah kotak kecil dari lemari pakaian yang sudah agak rusak dimakan rayap. Perlahan Dasimah membuka kotak itu. Sebuah benda kecil menyerupai jarum kecil terpampang di sana. Ia menyebutnya susuk pesona. Bayangannya pun melayang ke 26 tahun yang lalu.
#
Setahun belajar ilmu hitam membuat Dasimah tampil lebih percaya diri. Untuk mengobati luka hatinya karena cinta yang tak terbalaskan kepada Galih, Dasimah mulai menekuni kembali profesi sinden yang sudah 8 tahun ditinggalkannya.
"Ini, untuk kamu." Ki Prana—guru Dasimah—memberikan sesuatu kepada Dasimah.
"Apa itu, Ki?" tanya Dasimah.
"Ini namanya susuk pesona. Gunanya agar banyak yang terpesona saat kau menyinden nanti. Sini, kupakaikan."
◎◎◎
Tepat di malam Minggu, hajatan besar berlangsung di Kampung Lampegan. Satu jam sebelum acara berlangsung, Dasimah melakukan ritual sambat makhluk gaib.
Acara utama dimulai sekitar pukul 22.00. Dasimah yang terlihat anggun dengan balutan kebaya dan sanggul sederhana di kepalanya, sudah siap di atas panggung bersama dengan orkestra gamelan.
Para tamu undangan yang didominasi para pria telah berkumpul di halaman. Menatap wajah cantik jelita sang sinden. Tak sabar ingin berjoget.
Alunan musik menggema. Dasimah mulai berdendang. Tak membutuhkan waktu lama, para penonton pun mulai bergoyang menikmati tiap alunan lagu.
Saat sedang bernyanyi, Dasimah menangkap seorang gadis di sudut panggung. Gadis yang berpakaian sama dengannya. Gadis itu melenggak-lenggok bak penari jaipong saat sinden menyanyikan tembang Bangbung Hideung.
Dasimah tercekat saat gadis itu menoleh ke arahnya. Wajahnya hancur berlumuran darah. Dasimah sempat berhenti menyanyi sepersekian detik. Segera dia memalingkan pandangan, lalu meneruskan bernyanyi.
Penonton semakin bersemangat. Satu per satu dari mereka mulai kesurupan. Ada yang menyerupai gerakan pencak silat, ada juga yang beraksi seperti macan. Kebanyakan dari mereka yang kesurupan adalah yang memiliki ilmu kebatinan.
Dasimah tersenyum lebar. Merasa puas melihat 'arena permainan' yang semakin seru. Ia tak menyadari, bahwa dari kejauhan Galih memperhatikannya. Sejak saat itu Galih mengetahui bahwa Dasimah telah melakukan hal yang sangat dilarang agama. Dalam hati dia amat bersyukur, telah menambatkan cintanya kepada Imas. Namun, sayang. Galih pula tak mengetahui bahwa Dasimah telah mengumpulkan segenap kekuatan untuk balas dendam terhadap dirinya.
***
Catatan Penulis:
❖ Lagu Bangbung Hideung (Kumbang Hitam) konon benar-benar menyimpan aura mistis yang sangat kuat, apalagi bila didengarkan oleh orang-orang yang memiliki ilmu kebatinan, auranya makin terasa sangat kuat. Orang-orang yang mengalami kerasukan biasanya akan berjoget memakai gerakan pencak silat atau juga pamacan (sebutan makhluk gaib sejenis macan), karena biasanya yang merasuki mereka adalah karuhun dan makhluk gaib, juga khadam yang ada di diri masing-masing.
❖ Ain bisa juga terjadi pada benda mati atau disebut pula ain haasidah, yaitu pandangan yang ke luar dari jiwa seseorang yang merasa dengki dan ingin agar orang atau benda yang ia pandang itu rusak atau sakit. Jadi pandangan ini ke luar dari jiwa yang kotor melalui mata dengan tujuan agar yang di pandang itu sakit atau rusak.
Acara hajatan dihentikan setelah penonton ricuh sebab ada dua orang yang kerasukan. Mereka diketahui salah satu sanak saudara yang punya hajat, yang memang mempunyai ilmu kebatinan. Sehingga mereka tak dapat mengendalikan diri saat mendengarkan tembang Bangbung Hideung."Ayo, bangun. Kamu pulang saja." Dasimah ditarik oleh salah satu pemain gamelan. "Di belakang panggung sudah menunggu orang yang mau bayar kamu."Dasimah mengangguk, lalu beranjak ke belakang panggung. Setelah mendapatkan apa yang menjadi haknya, Dasimah melangkah pulang.Saat membuka pintu rumah, Dasimah tercekat. Dia mendapati sosok wanita berkebaya berdiri membelakanginya. Perlahan Dasimah menghampiri."Punteun, Teh. Saha nya? Milarian saha? Kenapa ada di rumah saya?" tanya Dasimah.Wanita berkebaya itu membalikkan badan, memperlihatkan wajahnya yang hancur. Ternyata dia adalah sosok yang dilihat Dasimah menari di sudut panggung. Dasimah menjerit, dan mundur selangkah dengan tang
Wa nunazzilu minal qur-aani maa huwa syifaa-uw warahmatul-lil mu’miniin."Ustaz Fikri menunjuk ke arah Imas sambil membaca surah Al-Israa 17:82 yang artinya: Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.Imas seketika merasakan mual. Ustaz Fikri memberi isyarat kepada sang istri, Ustazah Azizah, untuk segera menyiapkan keresek karena Imas akan muntah. Dan benar saja, saat keresek itu disimpan di bawah dagu Imas, dia langsung mengeluarkan isi perutnya, yang hanya lendir bercampur darah. Tak lama kemudian, Imas tak sadarkan diri. Setelah hampir 10 menit hilang kesadaran, akhirnya Imas siuman."Alhamdulillah!" seru Ustaz dan Galih bersamaan."Bagaimana perasaan Ibu sekarang?" tanya Ustaz."Sudah agak enakan, Ustaz," jawab Imas."Bu ... Ibu banyak-banyak
Aa tidak menyangka, ternyata banyak juga, ya, penjual makanan yang pakai penglaris," ujar Galih setibanya mereka di rumah.Imas mengangguk. "Begitulah, A. Segala cara dihalalkan agar dagangan mereka laku. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah, ya, A. Aamiin.""Aamiin. Sekarang kita tidur saja, yuk." Galih mengedipkan sebelah matanya, membuat pipi Imas bersemu. Mereka pun beranjak ke kamar, dan larut dalam kemesraan selayaknya pasangan pengantin baru.Sementara itu, di luar sana Kang Asep sedang mendorong gerobak nasi gorengnya pulang dengan wajah semringah."Ning! Nining!" Tanpa mengucap salam ia mengetuk pintu rumah."Enya antosan!"sahut Nining dari dalam, lalu membuka pintu."Naon atuh, Kang? Meni gegerewekan!"Kang Asep bergegas masuk. Nining yang kebingungan langsung m
"Ibu merasa tidak, kalau di kampung kita ini sepertinya sudah tidak aman.""Tidak aman bagaimana? Banyak maling?"Ustaz Fikri menyesap kopinya, lalu menggeleng. "Bukan ... bukan maling, tapi sesuatu yang lebih berbahaya.""Maksudnya bagaimana, sih, Pak? Ibu tidak mengerti." Ustazah Azizah menatap wajah sang suami dengan dahi yang mengerut dalam."Pasien kita semakin hari semakin banyak. Gangguan yang menyerang mereka pun bermacam-macam. Kalau dua tiga tahun ke belakang, kan, pasien yang datang paling hanya kesurupan biasa atau yang sedang menjalani terapi pengobatan syari saja."Ustazah Azizah mengangguk pelan. "Iya juga, ya, Pak. Apa jangan-jangan ....""Jangan-jangan apa, Bu?""Mm ... jangan-jangan di kampung kita ada orang yang sedang mempraktikkan ilmu hitam, Pak.""Astagfirullah ... jangan suudzon, Bu. Tidak baik
Pria kurus tersebut mengangguk. Ia mengambil dua batang kayu yang runcing. Dengan sedikit canggung, sambil berjongkok di tepi balong, pria itu mulai membaca jampi, “Aki Gangga nu ti girang, Aki Ginggi nu ti hilir, aing ménta ingon-ingon, geura top!”Dilemparkannya kayu itu ke balong. Ikan-ikan kemudian bermunculan, tapi tak ada satu pun yang bertabrakan. Tak berapa lama, kayu yang dilempar mengambang bersamaan dengan seekor ikan. Pria gendut sampai melongo saking terpana melihatnya.Namun, tidak dengan Nyai Dasimah. Ia justru tertawa mendengar jampi yang dirapalkan pria kurus itu. "Hati-hati, Kang ...,” katanya kemudian."Hati-hati kenapa atuh, Nyai?""Jangan sampai nanti yang datang bukannya ikan, malah siluman." Dasimah terkekeh, lalu meninggalkan kedua pria yang ternganga sembari menatap punggung Dasimah yang kian menjauh.Sesampainya di warteg,
Galih mengernyit." Tapi ... ini tidak tampak seperti ayat Alquran. Ayat apa? Surat apa?" Bibir Galih terlihat mencoba membaca huruf Arab gundul itu."Simpanlah itu untuk menjagamu dan Imas supaya tidak terkena gangguan jin," hasut Dasimah.Galih melipat kertas itu dan memberikannya kepada Dasimah. "Maaf, aku tidak bisa, Imah. Aku takut." Galih terdiam. Di benaknya terlintas kenangan bertahun-tahun ke belakang, saat dirinya mengetahui Dasimah memakai susuk ketika menjadi sinden, dan selalu menyanyikan Bangbung Hideung untuk memikat penonton.Dasimah berusaha bersikap setenang mungkin. Ia tahu jika Galih pasti merasa ada yang tidak beres. "Galih."Galih menatap mata Imas. Mereka beradu tatap sepersekian detik."Percayalah, ini aman." Dasimah memberikan kembali kertas tadi dan satu kertas lainnya."Apa lagi ini?" tanya Galih heran.
"Neng, ini aa beli gorengan," kata Galih sembari memberikan bungkusan berisi bala-bala atau bakwan, dan gehu atau tahu isi."Aa beli di mana? Kok, lama?" tanya Imas."Mm ... aa sekalian ngopi dan keasyikan ngobrol, jadi lama. Maaf, ya," jawab Galih tak jujur. Tak mungkin ia bilang dari rumah Dasimah.Imas beranjak ke dapur, dan menempati gorengan dan beberapa cabai rawit di atas piring. Kemudian ia membawanya ke ruang keluarga. Terlihat Galih sedang merenung."Ada apa, A?" tanya Imas sambil menaruh piring ke atas meja kayu jati."Ya? Apa?" Galih balik bertanya.Imas duduk di sebelah Galih. "Aa melamun, ya?"Galih tersenyum samar. "Tidak." Di pikirannya kini ia sedang bingung, antara ingin memberikan jimat pemberian Dasimah atau tidak. Akhirnya ia pun merogoh saku celananya. "Neng, bacalah ini untuk keselamatanmu." Galih memberikan d
Kang Asep terperanjat. Ia mengusap wajahnya kasar. "Tulung urang atuh!" serunya kepada para pegawainya yang hanya diam menonton."Assalamu'alaikum."Ada yang datang. Kang Asep dan kedua pegawainya menoleh ke sumber suara, lalu menyahut, "Wa'alaikumussalam.""Maaf, Pak, warungnya mau saya tutup. Istri saya kesurupan," kata Kang Asep menunjuk Nining yang terdiam dengan tatapan kosong, sesekali tersenyum tak jelas.Pria berpeci putih yang datang itu kemudian tersenyum. "Justru saya datang ke mari untuk membantu, Pak. Barusan ada yang mengadu sama saya," ujarnya.Kang Asep mengernyit. "Membantu?" Ia tersenyum miring. "Memangnya Bapak siapa? Dan bisa bantu apa?"Pria tersebut mengulurkan tangannya. "Kenalkan, Kang. Saya Ustaz Fikri, pendiri Bilik Ruqyah."Kang Asep dengan angkuhnya membuang muka, tak menyambut tangan ustaz. "Ya sudah, coba disembuhkan istri saya."Dengan legawa Ustaz Fikri menarik kembali tangannya, mengelus dada. "
Lima tahun telah berlalu semenjak kematian sang wanita penyebar 'ain, Nyai Dasimah. Kehidupan Galih dan Imas pun jauh lebih baik dan bahagia dengan kehadiran buah hati yang baru berusia 8 bulan. Mereka juga sudah menempati rumah baru saat Imas dinyatakan hamil demi melupakan kenangan buruk, yang mungkin bisa saja membawa pengaruh buruk juga untuk Arsyad, jagoan kecil mereka. Kini, pasangan suami istri itu bertempat tinggal di sudut kota yang terkenal dengan tahu gorengnya. Galih yang sudah setahun bekerja di dinas pemerintahan pun membuat roda perekonomian berputar dengan stabil daripada sebelumnya. "Yah, tidak kerja? Sudah jam setengah tujuh, nanti terlambat lho!" tanya Imas sambil mengusap lembut bahu Galih. Galih membuka mata, dan ditatapnya wajah Imas. "Kepala Ayah sakit, Bun." Imas pun menyentuh kening dan leher suaminya itu dengan punggung tangannya. "Ini, sih, demam.
Dear, Readers. Bab selanjutnya masuk ke 'Ana-Ya'Inu season 2 ya! Perdana tayang lho, belum ada di platform lain. Sequel kok disatuin sama season 1? Perdana tayang kok nggak bikin buku baru lagi? Soalnya buat mencapai 100k kata, Gaess 🙈 Di season 1 cuma 24k kata. Irit banget emang buat sebuah novel, tapi aku emang tipe penulis yang nggak mau ikin cerita terlalu pa jang dan bertele-tele, dan rata-rata novel soloku yang udah terbit jumlah bab nya nggak lebih dari 25 bab. Alhasil, jujur aja untuk mencapai 100k kata ini aku kewalahan, apalagi dari awal nggak pernah kepikiran buat bikin sequel. Jadi, updatenya bakalan agak lama ya 🤭 Happy reading 🤗
llmu hitamku kini semakin kuat. Jika saja bukan karena dia—yang aku agungkan—aku tak mungkin bisa seperti sekarang ini.Hari itu, saat Ki Prana meregang nyawa dengan cara mengenaskan, aku sempat kebingungan karena ilmuku otomatis menghilang. Namun, aku teringat suatu tempat, di mana aku bisa meminta ilmu.Dengan hanya berbekal pakaian yang melekat di tubuh, juga uang seadanya, aku pergi ke sana. Pantai Selatan.Dipayungi sinar purnama kutatap ombak yang menggulung besar disertai semilir aroma bunga melati. Kugelar ritual pemanggilan lengkap dengan dupa dan sesajen.Sangat kuat hawa magis di sini. Samar-samar terdengar suara gamelan dan kereta kencana. Dia sudah tiba. Namun, di luar dugaan, yang datang ternyata bukan Kanjeng Ratu, melainkan sang panglima komandan.“Pergilah ke gua besar di atas bukit!” perintahnya.Aku mengangguk patuh.
Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah Nyai Dasimah. Sangat gelap di dalam."Aaarghh!" Seketika itu juga tubuhku melayang, seperti ada yang menarikku ke belakang. Aku langsung terkapar di tanah.“Kang Asep!”Terdengar teriakan Ustaz Fikri. Aku membuka mata sambil meringis kesakitan. Pintu itu sudah tertutup. Beliau terkurung di dalam. Argh! Aku harus bagaimana? Aku harus segera menyelamatkan Ustaz Fikri atau Nyai Dasimah tidak akan membiarkannya hidup.Tunggu dulu. Aku harus minta tolong siapa? Dan bagaimana dengan nyawaku sendiri? Apa aku kabur saja?Perlahan aku bangkit dengan tubuh yang terasa hampir remuk. Kuperhatikan sekeliling. Di sini tidak ada rumah selain rumah Nyai Dasimah. Jalan satu-satunya aku harus ke bawah, dan meminta bantuan di sana.Terseok aku berjalan pincang sembari memegang bahu yang sakit. Kini tekad sudah bulat ingin menolong Ustaz Fikri. Jik
"Aku khilaf, Dasimah. Dan aku sudah kembali bertobat."Mata Dasimah berubah sendu. Air wajahnya terlihat kecewa. "Kalau begitu matilah bersama mereka!" Dengan sekali empasan tangan, tubuh Galih melayang dan tersungkur di dekat ustaz."Astagfirullah! Bangun, Pak Galih." Ustaz Fikri membantu Galih bangun. Kini tubuhnya tak lagi terikat."Makanlah mereka berdua, itu adalah santapan terakhir untukmu!" seru Dasimah, kemudian melirik Imas, "bawa dia untuk dijadikan budakku!" Kemudian Dasimah berbalik dan menghilang.Tiba-tiba pintu tempat ruangan Imas berada tertutup.Galih dan Ustaz Fikri berusaha membuka pintu itu dengan mendobraknya, tapi pintu tidak terbuka."Bagaimana ini, Ustaz? Apa kita akan mati di sini dimakan ular?" tanya Galih sambil melihat ular yang semakin mendekat.Ustaz Fikri memegang bahu Galih. "Tenang. Kita tida
'Krieeeet'Deritan suara pintu yang mendadak terbuka mengejutkan mereka berdua."Masuklah!"Terdengar suara wanita yang menggema dari dalam rumah."Bagaimana ini, Ustaz? Itu sepertinya suara nyai.""Ayo, kita masuk, Kang," jawab Ustaz Fikri tanpa menoleh."B-baik, Ustaz.""Jangan takut, Kang. Allah bersama kita."Namun, ketika Kang Asep hendak melangkah, Ustaz Fikri mencekal tangannya."Tunggu!""Ada apa, Ustaz?" tanya Kang Asep kaget."Ada yang tidak beres. Sepertinya ini perangkap.""Perangkap?"Ustaz Fikri mengangguk. "Biar saya yang berjalan di depan." Ustaz pun melangkah sedangkan Kang Asep mengekor di belakangnya.Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah. Sangat gelap di dalam. Tiba
Hujan semakin deras. Kabut semakin tebal mengaburkan pandangan. Dalam perjalanannya menuju ke rumah orang yang diharapkan bisa membantunya, mobil Ustaz Fikri justru mogok tanpa sebab."Astagfirullah, kenapa ini?" gumam Ustaz Fikri sembari berulang kali menstater mobil. Namun, tetap saja mobil tak mau menyala.Ustaz Fikri menoleh kiri kanan, mencari tahu di mana dia sekarang. Ia memicingkan mata, mencoba melihat dengan jelas yang ada di hadapannya dari balik wiper yang terus bergerak naik turun."Hah? Makam?" Ustaz Fikri tersentak ketika membaca gapura di depannya bertuliskan TPU Sirna Raga.Meskipun bingung mengapa tiba-tiba saja ia berada di dekat makam, Ustaz Fikri tak begitu peduli. Ia terus berusaha menstater mobilnya sambil berdoa."Alhamdulillah," ucapnya ketika mesin mobil berhasil menyala kembali. Namun, begitu ia hendak menancapkan gas, di hadapannya ada sosok yang menghalangi jalan.
‘BRAK!’Pintu rumah tiba-tiba tertutup sendiri dengan keras saat ustaz hendak ke luar untuk pergi ke masjid."Ya Allah. Kenapa ini?" Ustaz berkali-kali mencoba membuka pintu, tapi hasilnya nihil. Ustaz Fikri mengusap wajahnya kasar. Dengan terpaksa ia salat di ruang tamu beralaskan lantai yang sudah disapunya. Selesai salat, ustaz kembali mencoba membuka pintu."Bismillahirrahmanirrahim ...."Pintu pun terbuka disambut ucapan hamdallah sang ustaz. Namun, ia belum sepenuhnya merasa lega. Ustaz Fikri justru bertambah bingung sebab ia tak tahu harus ke mana mencari Imas."Ustaz!"Samar-samar sebuah seruan mengejutkan ustaz."Bu Imas?""Ustaz, tolong saya!"Ustaz tersentak. Suara itu memanglah suara Imas, tapi di mana orangnya? Ustaz Fikri kembali mencari Imas ke dalam kamar, tapi Im
Ustazah mengernyit. "Sudah tahu?""Iya.""Tahu dari mana? Memangnya Ayah melihat?"Ustaz Fikri menggeleng. "Ayah tidak melihat, tapi ayah bisa merasakannya. Ibu tidak apa-apa, 'kan?""Iya, alhamdulillah.""Syukurlah. Ayah mau ke masjid dulu salat asar." Ustaz menengok ke arah Rizki. "Kamu jaga Ibu, ya? Kita gantian salatnya.""Iya, Yah." Rizki mengangguk patuh.◎◎◎"A, bagaimana ini? Sudah sore, tapi kok, ustaz dan istrinya belum ke sini juga? Apa tidak jadi, ya?" gerutu Imas."Aa juga tidak tahu, Neng. Mungkin mereka ada keperluan lain," jawab Galih."Coba Aa telepon.""Iya." Galih merogoh saku celananya, kemudian menelepon Ustaz Fikri."Assalamu'alaikum, Ustaz.""Wa'alaikumussalam, Pak Galih," balas Ustaz Fikri d