Acara hajatan dihentikan setelah penonton ricuh sebab ada dua orang yang kerasukan. Mereka diketahui salah satu sanak saudara yang punya hajat, yang memang mempunyai ilmu kebatinan. Sehingga mereka tak dapat mengendalikan diri saat mendengarkan tembang Bangbung Hideung.
"Ayo, bangun. Kamu pulang saja." Dasimah ditarik oleh salah satu pemain gamelan. "Di belakang panggung sudah menunggu orang yang mau bayar kamu."
Dasimah mengangguk, lalu beranjak ke belakang panggung. Setelah mendapatkan apa yang menjadi haknya, Dasimah melangkah pulang.
Saat membuka pintu rumah, Dasimah tercekat. Dia mendapati sosok wanita berkebaya berdiri membelakanginya. Perlahan Dasimah menghampiri.
"Punteun, Teh. Saha nya? Milarian saha? Kenapa ada di rumah saya?" tanya Dasimah.
Wanita berkebaya itu membalikkan badan, memperlihatkan wajahnya yang hancur. Ternyata dia adalah sosok yang dilihat Dasimah menari di sudut panggung. Dasimah menjerit, dan mundur selangkah dengan tangan menutupi wajah.
"S-siapa kamu? Pergi! Jangan ganggu!" teriak Dasimah.
Wanita itu terkikik. "Aku adalah murid Ki Prana. Aku juga memakai susuk sepertimu saat dulu menjadi sinden." Medit itu mendekati Dasimah.
"Lalu, apa hubungannya denganku?" Dasimah mundur lagi sambil terus menutup wajahnya.
"Kamu tak perlu takut padaku. Aku datang bukan untuk mengganggu, tapi untuk membantu."
Dasimah memberanikan diri melihat medit itu. "Maksudmu?"
"Lepaskan susukmu itu atau kau akan berakhir mengenaskan sepertiku." Si medit menatap tajam Dasimah dengan bola mata yang hampir ke luar. Darah yang mengucur dari wajahnya disertai bau amis membuat Dasimah mual. Sosok itu terkikik memandang Dasimah yang muntah di pojok dinding.
"Maksudmu apa? Kenapa aku harus melepas susukku, haa?"
"Dengarkan aku baik-baik. Setelah kau menjadi sinden kondang, itu artinya dirimu juga mempunyai kekuatan yang besar karena banyaknya energi gaib yang menempel padamu, dan Ki Prana akan mengambil sukmamu untuk menambah kekuatannya. Yang lebih menyakitkan, ragamu tidak akan diterima bumi setelah kau mati."
"Apa kau mati mengenaskan karenanya? Karena sukmamu diambil?"
"Tidak, aku melarikan diri saat Ki Prana mencoba menyekapku. Sayang, aku tertabrak truk."
Dasimah menunduk sejenak. "Tapi ak—" Saat mendongak, sosok tersebut sudah menghilang.
Dasimah membuang napas kasar. "Untuk apa aku percaya demit itu?" gumamnya. Ia pun beranjak untuk membersihkan diri.
◎◎◎
Beberapa bulan berlalu, Dasimah semakin terkenal sebagai sinden di kampungnya. Ilmu hitam yang dimilikinya pun semakin bertambah. Namun, hari naas itu datang. Hari di mana Ki Prana akan mengambil sukmanya.
"Lepaskan, Ki!" Dasimah berontak saat Ki Prana akan mengurung Dasimah di kamar.
Dasimah menendang selangkangan Ki Prana. Ketika sang guru tengah mengaduh kesakitan, Dasimah berlari ke luar.
"Awas kau Dasimah! Kali ini aku takkan gagal lagi!" seru Ki Prana geram. Ia pun mengejar Dasimah sampai ke jalan raya.
'BRAAKK!'
Bagaikan sebuah karma, tubuh Ki Prana terpental saat sebuah truk tronton menabraknya.
Dasimah yang melihat langsung kejadian itu terperangah, terkejut bukan main. Ia berlari mendekati jasad Ki Prana yang sudah dikerumuni warga sekitar. Dari sudut matanya ia menangkap sosok sang wanita demit yang pernah mendatanginya tengah mengangguk sambil tersenyum sengit, seakan telah menang atas dendamnya. Sejurus kemudian dia menghilang.
"Terima kasih," desis Dasimah.
Sejak kejadian itu, Dasimah melepaskan susuk dengan caranya sendiri, dan tak pernah memasangnya lagi. Susuk itu pun disimpan hingga kini sebagai kenang-kenangan.
#
"Hei, Nyai." Suara yang berat menarik Dasimah ke alam nyata.
Ia menyimpan kembali kotak susuk itu ke dalam lemari. Tatapannya lalu beradu pada sosok hitam besar. "Apa?" tanyanya.
"Aku lapar. Beri aku daging muda saat ini juga!" seru sosok itu.
Ah, sial. Aku lupa memberinya makan, batin Dasimah. "Apa maksudmu daging muda?"
"Daging manusia tak berdosa."
Mata Dasimah terbelalak. Apa artinya aku harus membunuh anak kecil? pikirnya. Tangannya gemetar. Ia sama sekali tak pernah melukai anak-anak. Meskipun dia bersekutu dengan iblis, tapi dia tidak tega bila harus menyakiti apalagi sampai membunuh anak kecil.
"Tidak adakah pilihan lain?" tanya Dasimah hati-hati.
Sosok itu terbahak-bahak. "Bagaimana jika kau saja yang aku makan, haa?"
Dasimah terperanjat. "Tidak! Aku tidak mau mati. Dendamku dengan Galih dan Imas belum tuntas!"
"Kalau begitu cepat carikan aku tumbal!"
Dengan ragu Dasimah mengangguk, lalu ke luar rumah.
◎◎◎
Di tempat lain, Galih dan Imas sudah tiba di Bilik Ruqyah. Mereka langsung masuk tanpa terlebih dulu mendaftar karena sudah janji dengan sang Ustaz Fikri.
"Jadi, kenapa istri saya kena gangguan lagi, Ustaz?" tanya Galih saat mereka bertiga sudah duduk di karpet.
"Sepertinya memang jin-jin yang mengganggu Bu Imas tidak semuanya pergi. Waktu diruqyah kemarin itu, bisa jadi jin-jin tersebut mengelabui kita. Pura-pura pergi. Nah ... saat ruqyah selesai, jin-jin itu kembali lagi," jelas Ustaz.
Galih dan Imas hanya manggut-manggut saja.
"Apa beberapa hari ini ada yang dirasakan oleh istrinya, Pak?"
"Istri saya cuma sering melamun dan menyendiri di kamar. Kadang juga sambil menangis," jawab Galih sambil melirik Imas. Imas hanya menunduk seolah membenarkan.
"Ya, itu. Hati-hati ... kesedihan yang mendalam juga bisa menjadi pintu untuk jin-jin mengganggu Bu Imas."
"Imas ingin punya anak, Ustaz. Makanya dia sedih," sahut Galih. Ustaz Fikri mengangguk dengan bibir membentuk 'o'.
Tiba-tiba saja Imas tertawa nyaring, mengejutkan Ustaz dan Galih.
"Rek naon aing dibawa ka dieu, haa?" Suara Imas berubah melengking, bahkan lebih mirip nenek-nenek.
"Neng ... istigfar ...," lirih Galih sambil mengelus punggung Imas.
Dengan tenang Ustaz Fikri membaca ayat-ayat Alquran. Namun, Imas justru ngalelewe sang Ustaz.
"Nyingkah sia ti hareupeun aing! Ustaz gadungan sia!" Imas cekikan.
Galih hanya mengelus dada. Baru kali ini dia mendengar Imas berbicara kasar. Namun, mengingat Imas sedang kerasukan, ia memakluminya.
Wa nunazzilu minal qur-aani maa huwa syifaa-uw warahmatul-lil mu’miniin."Ustaz Fikri menunjuk ke arah Imas sambil membaca surah Al-Israa 17:82 yang artinya: Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.Imas seketika merasakan mual. Ustaz Fikri memberi isyarat kepada sang istri, Ustazah Azizah, untuk segera menyiapkan keresek karena Imas akan muntah. Dan benar saja, saat keresek itu disimpan di bawah dagu Imas, dia langsung mengeluarkan isi perutnya, yang hanya lendir bercampur darah. Tak lama kemudian, Imas tak sadarkan diri. Setelah hampir 10 menit hilang kesadaran, akhirnya Imas siuman."Alhamdulillah!" seru Ustaz dan Galih bersamaan."Bagaimana perasaan Ibu sekarang?" tanya Ustaz."Sudah agak enakan, Ustaz," jawab Imas."Bu ... Ibu banyak-banyak
Aa tidak menyangka, ternyata banyak juga, ya, penjual makanan yang pakai penglaris," ujar Galih setibanya mereka di rumah.Imas mengangguk. "Begitulah, A. Segala cara dihalalkan agar dagangan mereka laku. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah, ya, A. Aamiin.""Aamiin. Sekarang kita tidur saja, yuk." Galih mengedipkan sebelah matanya, membuat pipi Imas bersemu. Mereka pun beranjak ke kamar, dan larut dalam kemesraan selayaknya pasangan pengantin baru.Sementara itu, di luar sana Kang Asep sedang mendorong gerobak nasi gorengnya pulang dengan wajah semringah."Ning! Nining!" Tanpa mengucap salam ia mengetuk pintu rumah."Enya antosan!"sahut Nining dari dalam, lalu membuka pintu."Naon atuh, Kang? Meni gegerewekan!"Kang Asep bergegas masuk. Nining yang kebingungan langsung m
"Ibu merasa tidak, kalau di kampung kita ini sepertinya sudah tidak aman.""Tidak aman bagaimana? Banyak maling?"Ustaz Fikri menyesap kopinya, lalu menggeleng. "Bukan ... bukan maling, tapi sesuatu yang lebih berbahaya.""Maksudnya bagaimana, sih, Pak? Ibu tidak mengerti." Ustazah Azizah menatap wajah sang suami dengan dahi yang mengerut dalam."Pasien kita semakin hari semakin banyak. Gangguan yang menyerang mereka pun bermacam-macam. Kalau dua tiga tahun ke belakang, kan, pasien yang datang paling hanya kesurupan biasa atau yang sedang menjalani terapi pengobatan syari saja."Ustazah Azizah mengangguk pelan. "Iya juga, ya, Pak. Apa jangan-jangan ....""Jangan-jangan apa, Bu?""Mm ... jangan-jangan di kampung kita ada orang yang sedang mempraktikkan ilmu hitam, Pak.""Astagfirullah ... jangan suudzon, Bu. Tidak baik
Pria kurus tersebut mengangguk. Ia mengambil dua batang kayu yang runcing. Dengan sedikit canggung, sambil berjongkok di tepi balong, pria itu mulai membaca jampi, “Aki Gangga nu ti girang, Aki Ginggi nu ti hilir, aing ménta ingon-ingon, geura top!”Dilemparkannya kayu itu ke balong. Ikan-ikan kemudian bermunculan, tapi tak ada satu pun yang bertabrakan. Tak berapa lama, kayu yang dilempar mengambang bersamaan dengan seekor ikan. Pria gendut sampai melongo saking terpana melihatnya.Namun, tidak dengan Nyai Dasimah. Ia justru tertawa mendengar jampi yang dirapalkan pria kurus itu. "Hati-hati, Kang ...,” katanya kemudian."Hati-hati kenapa atuh, Nyai?""Jangan sampai nanti yang datang bukannya ikan, malah siluman." Dasimah terkekeh, lalu meninggalkan kedua pria yang ternganga sembari menatap punggung Dasimah yang kian menjauh.Sesampainya di warteg,
Galih mengernyit." Tapi ... ini tidak tampak seperti ayat Alquran. Ayat apa? Surat apa?" Bibir Galih terlihat mencoba membaca huruf Arab gundul itu."Simpanlah itu untuk menjagamu dan Imas supaya tidak terkena gangguan jin," hasut Dasimah.Galih melipat kertas itu dan memberikannya kepada Dasimah. "Maaf, aku tidak bisa, Imah. Aku takut." Galih terdiam. Di benaknya terlintas kenangan bertahun-tahun ke belakang, saat dirinya mengetahui Dasimah memakai susuk ketika menjadi sinden, dan selalu menyanyikan Bangbung Hideung untuk memikat penonton.Dasimah berusaha bersikap setenang mungkin. Ia tahu jika Galih pasti merasa ada yang tidak beres. "Galih."Galih menatap mata Imas. Mereka beradu tatap sepersekian detik."Percayalah, ini aman." Dasimah memberikan kembali kertas tadi dan satu kertas lainnya."Apa lagi ini?" tanya Galih heran.
"Neng, ini aa beli gorengan," kata Galih sembari memberikan bungkusan berisi bala-bala atau bakwan, dan gehu atau tahu isi."Aa beli di mana? Kok, lama?" tanya Imas."Mm ... aa sekalian ngopi dan keasyikan ngobrol, jadi lama. Maaf, ya," jawab Galih tak jujur. Tak mungkin ia bilang dari rumah Dasimah.Imas beranjak ke dapur, dan menempati gorengan dan beberapa cabai rawit di atas piring. Kemudian ia membawanya ke ruang keluarga. Terlihat Galih sedang merenung."Ada apa, A?" tanya Imas sambil menaruh piring ke atas meja kayu jati."Ya? Apa?" Galih balik bertanya.Imas duduk di sebelah Galih. "Aa melamun, ya?"Galih tersenyum samar. "Tidak." Di pikirannya kini ia sedang bingung, antara ingin memberikan jimat pemberian Dasimah atau tidak. Akhirnya ia pun merogoh saku celananya. "Neng, bacalah ini untuk keselamatanmu." Galih memberikan d
Kang Asep terperanjat. Ia mengusap wajahnya kasar. "Tulung urang atuh!" serunya kepada para pegawainya yang hanya diam menonton."Assalamu'alaikum."Ada yang datang. Kang Asep dan kedua pegawainya menoleh ke sumber suara, lalu menyahut, "Wa'alaikumussalam.""Maaf, Pak, warungnya mau saya tutup. Istri saya kesurupan," kata Kang Asep menunjuk Nining yang terdiam dengan tatapan kosong, sesekali tersenyum tak jelas.Pria berpeci putih yang datang itu kemudian tersenyum. "Justru saya datang ke mari untuk membantu, Pak. Barusan ada yang mengadu sama saya," ujarnya.Kang Asep mengernyit. "Membantu?" Ia tersenyum miring. "Memangnya Bapak siapa? Dan bisa bantu apa?"Pria tersebut mengulurkan tangannya. "Kenalkan, Kang. Saya Ustaz Fikri, pendiri Bilik Ruqyah."Kang Asep dengan angkuhnya membuang muka, tak menyambut tangan ustaz. "Ya sudah, coba disembuhkan istri saya."Dengan legawa Ustaz Fikri menarik kembali tangannya, mengelus dada. "
"Tapi apa, Pak."Ustaz Fikri menggeleng. "Tidak, Bu, bukan apa-apa." Ustaz tersenyum, lalu kembali mengambil gorengan manis yang terbuat dari pisang nangka itu.Ustazah beranjak meninggalkan ustaz ke dapur. Dalam pikiran ustaz, ia sebenarnya mencurigai seorang wanita yang persis dengan ciri-ciri yang disebutkan Gumilar. Namun, ustaz selalu menepis pikiran itu sebab khawatir akan menjadi suuzan. Dan ia akan diam saja, tidak akan menceritakan isi pikirannya kepada siapa pun sebelum tahu fakta yang sebenar-benarnya atau melihat dengan mata kepalanya sendiri.◎◎◎"Galih!""Ibu?""Galih, tolong!""Ayah?" Galih menoleh ke kiri. "Kalian kenapa? Apa yang terjadi kepada kalian?""Kami disiksa, Nak! Kami disiksa malaikat kubur karena ulahmu!" seru sang Ibu yang wajahnya berdarah-darah."Aku? Memangnya aku k
Lima tahun telah berlalu semenjak kematian sang wanita penyebar 'ain, Nyai Dasimah. Kehidupan Galih dan Imas pun jauh lebih baik dan bahagia dengan kehadiran buah hati yang baru berusia 8 bulan. Mereka juga sudah menempati rumah baru saat Imas dinyatakan hamil demi melupakan kenangan buruk, yang mungkin bisa saja membawa pengaruh buruk juga untuk Arsyad, jagoan kecil mereka. Kini, pasangan suami istri itu bertempat tinggal di sudut kota yang terkenal dengan tahu gorengnya. Galih yang sudah setahun bekerja di dinas pemerintahan pun membuat roda perekonomian berputar dengan stabil daripada sebelumnya. "Yah, tidak kerja? Sudah jam setengah tujuh, nanti terlambat lho!" tanya Imas sambil mengusap lembut bahu Galih. Galih membuka mata, dan ditatapnya wajah Imas. "Kepala Ayah sakit, Bun." Imas pun menyentuh kening dan leher suaminya itu dengan punggung tangannya. "Ini, sih, demam.
Dear, Readers. Bab selanjutnya masuk ke 'Ana-Ya'Inu season 2 ya! Perdana tayang lho, belum ada di platform lain. Sequel kok disatuin sama season 1? Perdana tayang kok nggak bikin buku baru lagi? Soalnya buat mencapai 100k kata, Gaess 🙈 Di season 1 cuma 24k kata. Irit banget emang buat sebuah novel, tapi aku emang tipe penulis yang nggak mau ikin cerita terlalu pa jang dan bertele-tele, dan rata-rata novel soloku yang udah terbit jumlah bab nya nggak lebih dari 25 bab. Alhasil, jujur aja untuk mencapai 100k kata ini aku kewalahan, apalagi dari awal nggak pernah kepikiran buat bikin sequel. Jadi, updatenya bakalan agak lama ya 🤭 Happy reading 🤗
llmu hitamku kini semakin kuat. Jika saja bukan karena dia—yang aku agungkan—aku tak mungkin bisa seperti sekarang ini.Hari itu, saat Ki Prana meregang nyawa dengan cara mengenaskan, aku sempat kebingungan karena ilmuku otomatis menghilang. Namun, aku teringat suatu tempat, di mana aku bisa meminta ilmu.Dengan hanya berbekal pakaian yang melekat di tubuh, juga uang seadanya, aku pergi ke sana. Pantai Selatan.Dipayungi sinar purnama kutatap ombak yang menggulung besar disertai semilir aroma bunga melati. Kugelar ritual pemanggilan lengkap dengan dupa dan sesajen.Sangat kuat hawa magis di sini. Samar-samar terdengar suara gamelan dan kereta kencana. Dia sudah tiba. Namun, di luar dugaan, yang datang ternyata bukan Kanjeng Ratu, melainkan sang panglima komandan.“Pergilah ke gua besar di atas bukit!” perintahnya.Aku mengangguk patuh.
Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah Nyai Dasimah. Sangat gelap di dalam."Aaarghh!" Seketika itu juga tubuhku melayang, seperti ada yang menarikku ke belakang. Aku langsung terkapar di tanah.“Kang Asep!”Terdengar teriakan Ustaz Fikri. Aku membuka mata sambil meringis kesakitan. Pintu itu sudah tertutup. Beliau terkurung di dalam. Argh! Aku harus bagaimana? Aku harus segera menyelamatkan Ustaz Fikri atau Nyai Dasimah tidak akan membiarkannya hidup.Tunggu dulu. Aku harus minta tolong siapa? Dan bagaimana dengan nyawaku sendiri? Apa aku kabur saja?Perlahan aku bangkit dengan tubuh yang terasa hampir remuk. Kuperhatikan sekeliling. Di sini tidak ada rumah selain rumah Nyai Dasimah. Jalan satu-satunya aku harus ke bawah, dan meminta bantuan di sana.Terseok aku berjalan pincang sembari memegang bahu yang sakit. Kini tekad sudah bulat ingin menolong Ustaz Fikri. Jik
"Aku khilaf, Dasimah. Dan aku sudah kembali bertobat."Mata Dasimah berubah sendu. Air wajahnya terlihat kecewa. "Kalau begitu matilah bersama mereka!" Dengan sekali empasan tangan, tubuh Galih melayang dan tersungkur di dekat ustaz."Astagfirullah! Bangun, Pak Galih." Ustaz Fikri membantu Galih bangun. Kini tubuhnya tak lagi terikat."Makanlah mereka berdua, itu adalah santapan terakhir untukmu!" seru Dasimah, kemudian melirik Imas, "bawa dia untuk dijadikan budakku!" Kemudian Dasimah berbalik dan menghilang.Tiba-tiba pintu tempat ruangan Imas berada tertutup.Galih dan Ustaz Fikri berusaha membuka pintu itu dengan mendobraknya, tapi pintu tidak terbuka."Bagaimana ini, Ustaz? Apa kita akan mati di sini dimakan ular?" tanya Galih sambil melihat ular yang semakin mendekat.Ustaz Fikri memegang bahu Galih. "Tenang. Kita tida
'Krieeeet'Deritan suara pintu yang mendadak terbuka mengejutkan mereka berdua."Masuklah!"Terdengar suara wanita yang menggema dari dalam rumah."Bagaimana ini, Ustaz? Itu sepertinya suara nyai.""Ayo, kita masuk, Kang," jawab Ustaz Fikri tanpa menoleh."B-baik, Ustaz.""Jangan takut, Kang. Allah bersama kita."Namun, ketika Kang Asep hendak melangkah, Ustaz Fikri mencekal tangannya."Tunggu!""Ada apa, Ustaz?" tanya Kang Asep kaget."Ada yang tidak beres. Sepertinya ini perangkap.""Perangkap?"Ustaz Fikri mengangguk. "Biar saya yang berjalan di depan." Ustaz pun melangkah sedangkan Kang Asep mengekor di belakangnya.Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah. Sangat gelap di dalam. Tiba
Hujan semakin deras. Kabut semakin tebal mengaburkan pandangan. Dalam perjalanannya menuju ke rumah orang yang diharapkan bisa membantunya, mobil Ustaz Fikri justru mogok tanpa sebab."Astagfirullah, kenapa ini?" gumam Ustaz Fikri sembari berulang kali menstater mobil. Namun, tetap saja mobil tak mau menyala.Ustaz Fikri menoleh kiri kanan, mencari tahu di mana dia sekarang. Ia memicingkan mata, mencoba melihat dengan jelas yang ada di hadapannya dari balik wiper yang terus bergerak naik turun."Hah? Makam?" Ustaz Fikri tersentak ketika membaca gapura di depannya bertuliskan TPU Sirna Raga.Meskipun bingung mengapa tiba-tiba saja ia berada di dekat makam, Ustaz Fikri tak begitu peduli. Ia terus berusaha menstater mobilnya sambil berdoa."Alhamdulillah," ucapnya ketika mesin mobil berhasil menyala kembali. Namun, begitu ia hendak menancapkan gas, di hadapannya ada sosok yang menghalangi jalan.
‘BRAK!’Pintu rumah tiba-tiba tertutup sendiri dengan keras saat ustaz hendak ke luar untuk pergi ke masjid."Ya Allah. Kenapa ini?" Ustaz berkali-kali mencoba membuka pintu, tapi hasilnya nihil. Ustaz Fikri mengusap wajahnya kasar. Dengan terpaksa ia salat di ruang tamu beralaskan lantai yang sudah disapunya. Selesai salat, ustaz kembali mencoba membuka pintu."Bismillahirrahmanirrahim ...."Pintu pun terbuka disambut ucapan hamdallah sang ustaz. Namun, ia belum sepenuhnya merasa lega. Ustaz Fikri justru bertambah bingung sebab ia tak tahu harus ke mana mencari Imas."Ustaz!"Samar-samar sebuah seruan mengejutkan ustaz."Bu Imas?""Ustaz, tolong saya!"Ustaz tersentak. Suara itu memanglah suara Imas, tapi di mana orangnya? Ustaz Fikri kembali mencari Imas ke dalam kamar, tapi Im
Ustazah mengernyit. "Sudah tahu?""Iya.""Tahu dari mana? Memangnya Ayah melihat?"Ustaz Fikri menggeleng. "Ayah tidak melihat, tapi ayah bisa merasakannya. Ibu tidak apa-apa, 'kan?""Iya, alhamdulillah.""Syukurlah. Ayah mau ke masjid dulu salat asar." Ustaz menengok ke arah Rizki. "Kamu jaga Ibu, ya? Kita gantian salatnya.""Iya, Yah." Rizki mengangguk patuh.◎◎◎"A, bagaimana ini? Sudah sore, tapi kok, ustaz dan istrinya belum ke sini juga? Apa tidak jadi, ya?" gerutu Imas."Aa juga tidak tahu, Neng. Mungkin mereka ada keperluan lain," jawab Galih."Coba Aa telepon.""Iya." Galih merogoh saku celananya, kemudian menelepon Ustaz Fikri."Assalamu'alaikum, Ustaz.""Wa'alaikumussalam, Pak Galih," balas Ustaz Fikri d