Share

VI

Penulis: Vyntiana Itari
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-01 10:30:40

Wa nunazzilu minal qur-aani maa huwa syifaa-uw warahmatul-lil mu’miniin."

 

Ustaz Fikri menunjuk ke arah Imas sambil membaca surah Al-Israa 17:82 yang artinya: Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

 

Imas seketika merasakan mual. Ustaz Fikri memberi isyarat kepada sang istri, Ustazah Azizah, untuk segera menyiapkan keresek karena Imas akan muntah. Dan benar saja, saat keresek itu disimpan di bawah dagu Imas, dia langsung mengeluarkan isi perutnya, yang hanya lendir bercampur darah. Tak lama kemudian, Imas tak sadarkan diri. Setelah hampir 10 menit hilang kesadaran, akhirnya Imas siuman.

 

"Alhamdulillah!" seru Ustaz dan Galih bersamaan.

 

"Bagaimana perasaan Ibu sekarang?" tanya Ustaz.

 

"Sudah agak enakan, Ustaz," jawab Imas.

 

"Bu ... Ibu banyak-banyak istigfar, ya. Jangan banyak melamun dan merasakan sedih yang berlarut-larut, karena akan membuka celah bagi jin untuk masuk ke dalam tubuh Ibu."

 

Imas manggut-manggut mendengarkan wejangan dari ustaz sedangkan Galih hanya mengusap-usap lembut punggung istrinya agar tenang.

 

"A, ayo, pulang," ajak Imas. Galih mengangguk.

Setelah berpamitan kepada ustaz dan membayar biaya ruqyah dengan tarif seikhlasnya, Galih dan Imas pun segera meninggalkan Bilik Ruqyah.

 

Di perjalanan pulang, mereka kembali melewati tempat jualan Kang Asep. Di sana sudah sepi karena Kang Asep sudah pulang.

"Duh, A, kenapa lewat sini, sih?" gerutu Imas sambil menunduk. Tak berani melihat ke arah jalan.

 

"Ya, kalau tidak lewat sini, mau lewat mana lagi, Neng? Kan, rumah kita memang lewat sini."

 

"Perasaan Neng tidak nyaman, A, kalau lewat sini. Masa, Kang Asepnya sudah pulang, tapi jin dan monyetnya tidur di tempat jualan."

 

"Ya, sudah, sudah. Kita sudah melewati tempat jualannya Kang Asep," ujar Galih. Imas mengangkat kepalanya. "Seharusnya Neng juga tidak perlu takut seperti itu. Kalau manusia takut sama jin, nanti jinnya yang senang. Lagi pula, kok, aa baru ngeh, ya, kalau kamu bisa lihat yang aneh-aneh?"

 

Imas menggeleng pelan. "Imas juga tidak tahu, A, kenapa Imas tiba-tiba bisa melihat penampakan."

 

"Sejak kapan, sih?" tanya Galih.

 

"Sejak kita menikah, A."

 

"Haa? Sudah lama atuh. Kenapa tidak cerita?"

 

Sudut bibir Imas naik. Ia tersenyum kecut. "Iya, A. Tapi neng sekedar melihat saja, tidak sampai kesurupan seperti sekarang, makanya neng tidak cerita, karena neng rasa tidak penting."

 

"Tapi sebaiknya kita harus cerita ke Ustaz Fikri. Penglihatanmu itu sepertinya gangguan juga," balas Galih, lalu menghentikan mobil di pekarangan rumah.

 

◎◎◎

 

Langit semakin menggelarkan jingganya. Burung-burung gagak mulai beterbangan mengelilingi area pemakaman seorang anak lelaki yang baru saja meninggal karena tenggelam di sungai.

 

Dasimah memperhatikan dari kejauhan. Lelah ia mencari mangsa 'daging muda' seharian, dan sekarang keberuntungan berpihak kepadanya.

 

"Akhirnya ... dapat juga," desis Dasimah. "Aku akan kembali nanti malam." Ia pun melangkah pulang dengan semringah.

 

Ketika melewati rumah pria yang selama ini menjadi idamannya, netra perawan tua itu menatap sendu Galih yang tengah seorang diri menyesap kopi di teras. Tak sadar bibirnya komat-kamit. 

 

"Asihan aing si burung pundung. Maung pundung datang amum. Oray laki datang numpi. Malik welas malik asih ka awaking. Galih Ramdhan, Galih Ramdhan, Galih Ramdhan."

 

Dasimah benar-benar tak sadar bahwa ia telah merapalkan mantra asihan. Air matanya menetes, ada rasa sedih bercampur perih yang dalam di hatinya. Dasimah lalu melanjutkan langkahnya dengan tangan mengepal erat.

 

Sementara itu, Galih tiba-tiba tersedak air kopi. Dadanya berdebar hebat. Wajah Dasimah tiba-tiba muncul di benaknya. Ia menggeleng kuat lalu mengusap wajah. "Astagfirullahaladziim ...."

 

◎◎◎

 

"Neng, aa ke luar dulu, ya, beli makan." 

Imas mengangguk sambil melipat mukena. "Aa mau beli apa?"

"Neng maunya apa?"

 

Imas tampak berpikir sejenak. "Apa saja, deh, A. Asal bukan makanannya Kang Asep!"

 

Galih terkekeh. "Iya, iya." Galih pun ke luar rumah dan berjalan menuju jalan besar. Kalau malam hari, biasanya di pinggir jalan besar lebih banyak penjaja makanan daripada siang.

 

Tengok kiri kanan mencari santapan yang pas untuk makan malam. Perhatian Galih rupanya teralihkan pada sebuah kios pecel ayam yang ramai pengunjung. Antre sampai ke luar kios. Galih merasa sangat penasaran, lalu mendekati kios itu.

 

Galih semakin tertarik melihat hidangan yang begitu menggoda. Ia pun langsung memesan makanan. "Kang, pecel ayam dua, ya! Satu makan sini, satu lagi dibungkus."

 

Penjual pecel ayam itu manggut-manggut, lalu dengan sigap menyiapkan pesanan Galih. Sementara itu, Galih masih sibuk lirik sana-sini mencari tempat duduk yang kosong. Ketika ada salah satu pembeli yang sudah selesai makan dan beranjak dari bangkunya, secepat kilat Galih menduduki bangku itu.

 

Hidangan telah tersaji di hadapan Galih. Pecel ayam komplit dengan nasi putih hangat, sambal terasi, dan teh tawar panas. Galih menyantap makanannya dengan lahap. Selesai makan, Galih langsung bayar dan membawa pulang sebungkus pecel ayam untuk Imas.

 

"Wah ... Aa beli apa?" tanya Imas saat Galih menyerahkan sekeresek makanan yang ia beli.

 

"Pecel ayam, Neng. Cepat kamu makan, mumpung masih hangat. Rasanya enak."

 

"Kok, Aa cuma beli satu? Untuk Aa mana?"

 

"Maaf, Neng. Aa sudah makan tadi di sana."

 

Imas mengerucutkan bibirnya, membuat Galih gemas, lalu mengelus pucuk kepala istrinya.

"Ya, sudah. Neng makan dulu, ya, A." Galih mengangguk.

 

Namun, ketika Imas baru sekali menyuap makanannya, dia merasa mual. Imas pun segera berlari ke kamar mandi. Galih yang terkejut langsung mengekor Imas.

 

"Neng, kamu tidak apa-apa?" tanya Galih khawatir.

 

"Eneg, A. Makanannya tidak enak."

 

Kening Galih mengerut. "Masa, sih? Kan, aa juga makan. Rasanya enak, kok!"

 

"Sok Aa coba kalau tidak percaya."

 

Galih pun mengambil sedikit potongan ayam, dan memakannya. Galih tersentak, saat bau anyir, busuk, basi, bercampur jadi satu di mulut. Seketika itu juga Galih memuntahkan makanannya. "Kok, bisa begini, ya? Padahal tadi rasanya enak, lho!"

 

Imas mengangkat bahu. "Pasti ada yang tidak beres, A."

 

"Ya, iyalah, Neng. Kalau beres, kan, tidak mungkin rasa ayamnya berubah drastis.”

 

"Bukan soal rasa, A, tapi ada yang lain."

 

"Maksudnya?"

 

Dengan cepat Imas menggeleng. "Ah, tidak. Neng tidak mau suudzon dulu."

 

"Kita harus komplain, Neng. Yuk, ikut aa ke tempat penjual pecel ayamnya." Imas menurut saja saat Galih menggandeng tangannya.

 

Sesampainya di jalan besar, Galih menunjukkan tempat pecel ayam kepada Imas. "Tuh, Neng, lihat ... ramai, 'kan?"

 

Langkah Imas terhenti seketika. Matanya membulat meliat kios pecel ayam tersebut. "Ayo, A, kita pulang saja."

 

"Loh ... kenapa? Kan, kita belum protes," sahut Galih."

 

"Tidak usah, A, percuma."

 

"Kenapa memangnya?"

 

Imas menoleh lagi ke arah kios. "Di atas kios itu ada sesuatu menyerupai payung. Penjualnya sama seperti Kang Asep."

 

"Maksudnya? Duh, aa tidak paham."

 

"Dia juga memakai penglaris, A."

 

Catatan Author:

 

Mantra 'asihan' merupakan salah satu mantra Sunda. Biasanya memiliki tujuan agar seseorang yang diucapkan olehnya memiliki rasa yang sama dengan dirinya. Dalam bahasa Sunda diartikan sebagai ‘pikeun mapatkeun asih ka nu ngucapkeunana'.

 

Mantra asihan yang diucapkan Nyai Dasimah adalah jenis mantra asihan pelet Sunda. Tidak akan berpengaruh jika dibaca oleh orang awam atau yang tidak memiliki ilmu. Namun, untuk kenyamanan pembaca, author menghapus acak kalimat mantra.

 

 

Bab terkait

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   VII

    Aa tidak menyangka, ternyata banyak juga, ya, penjual makanan yang pakai penglaris," ujar Galih setibanya mereka di rumah.Imas mengangguk. "Begitulah, A. Segala cara dihalalkan agar dagangan mereka laku. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah, ya, A. Aamiin.""Aamiin. Sekarang kita tidur saja, yuk." Galih mengedipkan sebelah matanya, membuat pipi Imas bersemu. Mereka pun beranjak ke kamar, dan larut dalam kemesraan selayaknya pasangan pengantin baru.Sementara itu, di luar sana Kang Asep sedang mendorong gerobak nasi gorengnya pulang dengan wajah semringah."Ning! Nining!" Tanpa mengucap salam ia mengetuk pintu rumah."Enya antosan!"sahut Nining dari dalam, lalu membuka pintu."Naon atuh, Kang? Meni gegerewekan!"Kang Asep bergegas masuk. Nining yang kebingungan langsung m

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-01
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   VIII

    "Ibu merasa tidak, kalau di kampung kita ini sepertinya sudah tidak aman.""Tidak aman bagaimana? Banyak maling?"Ustaz Fikri menyesap kopinya, lalu menggeleng. "Bukan ... bukan maling, tapi sesuatu yang lebih berbahaya.""Maksudnya bagaimana, sih, Pak? Ibu tidak mengerti." Ustazah Azizah menatap wajah sang suami dengan dahi yang mengerut dalam."Pasien kita semakin hari semakin banyak. Gangguan yang menyerang mereka pun bermacam-macam. Kalau dua tiga tahun ke belakang, kan, pasien yang datang paling hanya kesurupan biasa atau yang sedang menjalani terapi pengobatan syari saja."Ustazah Azizah mengangguk pelan. "Iya juga, ya, Pak. Apa jangan-jangan ....""Jangan-jangan apa, Bu?""Mm ... jangan-jangan di kampung kita ada orang yang sedang mempraktikkan ilmu hitam, Pak.""Astagfirullah ... jangan suudzon, Bu. Tidak baik

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-16
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   IX

    Pria kurus tersebut mengangguk. Ia mengambil dua batang kayu yang runcing. Dengan sedikit canggung, sambil berjongkok di tepi balong, pria itu mulai membaca jampi, “Aki Gangga nu ti girang, Aki Ginggi nu ti hilir, aing ménta ingon-ingon, geura top!”Dilemparkannya kayu itu ke balong. Ikan-ikan kemudian bermunculan, tapi tak ada satu pun yang bertabrakan. Tak berapa lama, kayu yang dilempar mengambang bersamaan dengan seekor ikan. Pria gendut sampai melongo saking terpana melihatnya.Namun, tidak dengan Nyai Dasimah. Ia justru tertawa mendengar jampi yang dirapalkan pria kurus itu. "Hati-hati, Kang ...,” katanya kemudian."Hati-hati kenapa atuh, Nyai?""Jangan sampai nanti yang datang bukannya ikan, malah siluman." Dasimah terkekeh, lalu meninggalkan kedua pria yang ternganga sembari menatap punggung Dasimah yang kian menjauh.Sesampainya di warteg,

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-19
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   X

    Galih mengernyit." Tapi ... ini tidak tampak seperti ayat Alquran. Ayat apa? Surat apa?" Bibir Galih terlihat mencoba membaca huruf Arab gundul itu."Simpanlah itu untuk menjagamu dan Imas supaya tidak terkena gangguan jin," hasut Dasimah.Galih melipat kertas itu dan memberikannya kepada Dasimah. "Maaf, aku tidak bisa, Imah. Aku takut." Galih terdiam. Di benaknya terlintas kenangan bertahun-tahun ke belakang, saat dirinya mengetahui Dasimah memakai susuk ketika menjadi sinden, dan selalu menyanyikan Bangbung Hideung untuk memikat penonton.Dasimah berusaha bersikap setenang mungkin. Ia tahu jika Galih pasti merasa ada yang tidak beres. "Galih."Galih menatap mata Imas. Mereka beradu tatap sepersekian detik."Percayalah, ini aman." Dasimah memberikan kembali kertas tadi dan satu kertas lainnya."Apa lagi ini?" tanya Galih heran.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-21
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XI

    "Neng, ini aa beli gorengan," kata Galih sembari memberikan bungkusan berisi bala-bala atau bakwan, dan gehu atau tahu isi."Aa beli di mana? Kok, lama?" tanya Imas."Mm ... aa sekalian ngopi dan keasyikan ngobrol, jadi lama. Maaf, ya," jawab Galih tak jujur. Tak mungkin ia bilang dari rumah Dasimah.Imas beranjak ke dapur, dan menempati gorengan dan beberapa cabai rawit di atas piring. Kemudian ia membawanya ke ruang keluarga. Terlihat Galih sedang merenung."Ada apa, A?" tanya Imas sambil menaruh piring ke atas meja kayu jati."Ya? Apa?" Galih balik bertanya.Imas duduk di sebelah Galih. "Aa melamun, ya?"Galih tersenyum samar. "Tidak." Di pikirannya kini ia sedang bingung, antara ingin memberikan jimat pemberian Dasimah atau tidak. Akhirnya ia pun merogoh saku celananya. "Neng, bacalah ini untuk keselamatanmu." Galih memberikan d

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-21
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XII

    Kang Asep terperanjat. Ia mengusap wajahnya kasar. "Tulung urang atuh!" serunya kepada para pegawainya yang hanya diam menonton."Assalamu'alaikum."Ada yang datang. Kang Asep dan kedua pegawainya menoleh ke sumber suara, lalu menyahut, "Wa'alaikumussalam.""Maaf, Pak, warungnya mau saya tutup. Istri saya kesurupan," kata Kang Asep menunjuk Nining yang terdiam dengan tatapan kosong, sesekali tersenyum tak jelas.Pria berpeci putih yang datang itu kemudian tersenyum. "Justru saya datang ke mari untuk membantu, Pak. Barusan ada yang mengadu sama saya," ujarnya.Kang Asep mengernyit. "Membantu?" Ia tersenyum miring. "Memangnya Bapak siapa? Dan bisa bantu apa?"Pria tersebut mengulurkan tangannya. "Kenalkan, Kang. Saya Ustaz Fikri, pendiri Bilik Ruqyah."Kang Asep dengan angkuhnya membuang muka, tak menyambut tangan ustaz. "Ya sudah, coba disembuhkan istri saya."Dengan legawa Ustaz Fikri menarik kembali tangannya, mengelus dada. "

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-21
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XIII

    "Tapi apa, Pak."Ustaz Fikri menggeleng. "Tidak, Bu, bukan apa-apa." Ustaz tersenyum, lalu kembali mengambil gorengan manis yang terbuat dari pisang nangka itu.Ustazah beranjak meninggalkan ustaz ke dapur. Dalam pikiran ustaz, ia sebenarnya mencurigai seorang wanita yang persis dengan ciri-ciri yang disebutkan Gumilar. Namun, ustaz selalu menepis pikiran itu sebab khawatir akan menjadi suuzan. Dan ia akan diam saja, tidak akan menceritakan isi pikirannya kepada siapa pun sebelum tahu fakta yang sebenar-benarnya atau melihat dengan mata kepalanya sendiri.◎◎◎"Galih!""Ibu?""Galih, tolong!""Ayah?" Galih menoleh ke kiri. "Kalian kenapa? Apa yang terjadi kepada kalian?""Kami disiksa, Nak! Kami disiksa malaikat kubur karena ulahmu!" seru sang Ibu yang wajahnya berdarah-darah."Aku? Memangnya aku k

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-22
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XIV

    Imas menatap heran sang suami. "Aa bilang kertas itu diberi oleh bapak-bapak?"Galih menunduk, lalu menoleh. "Maaf, Neng. Kalau aa bilang habis bertemu Dasimah, Neng pasti marah. Aa juga tidak menyangka kalau ternyata dia mendalami ilmu hitam."Sementara itu, Kang Asep pun terdengar sedang memarahi Nining. Menyalahkan istrinya atas semua rasa iri, yang pada akhirnya menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan."Sudah, sudah. Tenang, Pak, Bu. Masalah ini harus segera dibereskan karena amat berbahaya, terutama karena perbuatannya yang menyekutukan Allah." Ustaz Fikri menatap keempat orang di hadapannya satu per satu. Ustazah yang duduk di sebelahnya mengangguk-angguk saja."Tapi ... bagaimana caranya, Ustaz? Dia, kan, sakti. Sedangkan kita punya apa untuk mengalahkannya?" tanya Kang Asep.Ustaz tersenyum tipis. "Kita punya Allah, Kang. Dan yang tepat bukan mengalahkan, tapi membawanya kembali ke jal

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-22

Bab terbaru

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   1. Arsyad

    Lima tahun telah berlalu semenjak kematian sang wanita penyebar 'ain, Nyai Dasimah. Kehidupan Galih dan Imas pun jauh lebih baik dan bahagia dengan kehadiran buah hati yang baru berusia 8 bulan. Mereka juga sudah menempati rumah baru saat Imas dinyatakan hamil demi melupakan kenangan buruk, yang mungkin bisa saja membawa pengaruh buruk juga untuk Arsyad, jagoan kecil mereka. Kini, pasangan suami istri itu bertempat tinggal di sudut kota yang terkenal dengan tahu gorengnya. Galih yang sudah setahun bekerja di dinas pemerintahan pun membuat roda perekonomian berputar dengan stabil daripada sebelumnya. "Yah, tidak kerja? Sudah jam setengah tujuh, nanti terlambat lho!" tanya Imas sambil mengusap lembut bahu Galih. Galih membuka mata, dan ditatapnya wajah Imas. "Kepala Ayah sakit, Bun." Imas pun menyentuh kening dan leher suaminya itu dengan punggung tangannya. "Ini, sih, demam.

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   PIPAHOKAN

    Dear, Readers. Bab selanjutnya masuk ke 'Ana-Ya'Inu season 2 ya! Perdana tayang lho, belum ada di platform lain. Sequel kok disatuin sama season 1? Perdana tayang kok nggak bikin buku baru lagi? Soalnya buat mencapai 100k kata, Gaess 🙈 Di season 1 cuma 24k kata. Irit banget emang buat sebuah novel, tapi aku emang tipe penulis yang nggak mau ikin cerita terlalu pa jang dan bertele-tele, dan rata-rata novel soloku yang udah terbit jumlah bab nya nggak lebih dari 25 bab. Alhasil, jujur aja untuk mencapai 100k kata ini aku kewalahan, apalagi dari awal nggak pernah kepikiran buat bikin sequel. Jadi, updatenya bakalan agak lama ya 🤭 Happy reading 🤗

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XXIII

    llmu hitamku kini semakin kuat. Jika saja bukan karena dia—yang aku agungkan—aku tak mungkin bisa seperti sekarang ini.Hari itu, saat Ki Prana meregang nyawa dengan cara mengenaskan, aku sempat kebingungan karena ilmuku otomatis menghilang. Namun, aku teringat suatu tempat, di mana aku bisa meminta ilmu.Dengan hanya berbekal pakaian yang melekat di tubuh, juga uang seadanya, aku pergi ke sana. Pantai Selatan.Dipayungi sinar purnama kutatap ombak yang menggulung besar disertai semilir aroma bunga melati. Kugelar ritual pemanggilan lengkap dengan dupa dan sesajen.Sangat kuat hawa magis di sini. Samar-samar terdengar suara gamelan dan kereta kencana. Dia sudah tiba. Namun, di luar dugaan, yang datang ternyata bukan Kanjeng Ratu, melainkan sang panglima komandan.“Pergilah ke gua besar di atas bukit!” perintahnya.Aku mengangguk patuh.

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XXII

    Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah Nyai Dasimah. Sangat gelap di dalam."Aaarghh!" Seketika itu juga tubuhku melayang, seperti ada yang menarikku ke belakang. Aku langsung terkapar di tanah.“Kang Asep!”Terdengar teriakan Ustaz Fikri. Aku membuka mata sambil meringis kesakitan. Pintu itu sudah tertutup. Beliau terkurung di dalam. Argh! Aku harus bagaimana? Aku harus segera menyelamatkan Ustaz Fikri atau Nyai Dasimah tidak akan membiarkannya hidup.Tunggu dulu. Aku harus minta tolong siapa? Dan bagaimana dengan nyawaku sendiri? Apa aku kabur saja?Perlahan aku bangkit dengan tubuh yang terasa hampir remuk. Kuperhatikan sekeliling. Di sini tidak ada rumah selain rumah Nyai Dasimah. Jalan satu-satunya aku harus ke bawah, dan meminta bantuan di sana.Terseok aku berjalan pincang sembari memegang bahu yang sakit. Kini tekad sudah bulat ingin menolong Ustaz Fikri. Jik

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XXI

    "Aku khilaf, Dasimah. Dan aku sudah kembali bertobat."Mata Dasimah berubah sendu. Air wajahnya terlihat kecewa. "Kalau begitu matilah bersama mereka!" Dengan sekali empasan tangan, tubuh Galih melayang dan tersungkur di dekat ustaz."Astagfirullah! Bangun, Pak Galih." Ustaz Fikri membantu Galih bangun. Kini tubuhnya tak lagi terikat."Makanlah mereka berdua, itu adalah santapan terakhir untukmu!" seru Dasimah, kemudian melirik Imas, "bawa dia untuk dijadikan budakku!" Kemudian Dasimah berbalik dan menghilang.Tiba-tiba pintu tempat ruangan Imas berada tertutup.Galih dan Ustaz Fikri berusaha membuka pintu itu dengan mendobraknya, tapi pintu tidak terbuka."Bagaimana ini, Ustaz? Apa kita akan mati di sini dimakan ular?" tanya Galih sambil melihat ular yang semakin mendekat.Ustaz Fikri memegang bahu Galih. "Tenang. Kita tida

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XX

    'Krieeeet'Deritan suara pintu yang mendadak terbuka mengejutkan mereka berdua."Masuklah!"Terdengar suara wanita yang menggema dari dalam rumah."Bagaimana ini, Ustaz? Itu sepertinya suara nyai.""Ayo, kita masuk, Kang," jawab Ustaz Fikri tanpa menoleh."B-baik, Ustaz.""Jangan takut, Kang. Allah bersama kita."Namun, ketika Kang Asep hendak melangkah, Ustaz Fikri mencekal tangannya."Tunggu!""Ada apa, Ustaz?" tanya Kang Asep kaget."Ada yang tidak beres. Sepertinya ini perangkap.""Perangkap?"Ustaz Fikri mengangguk. "Biar saya yang berjalan di depan." Ustaz pun melangkah sedangkan Kang Asep mengekor di belakangnya.Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah. Sangat gelap di dalam. Tiba

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XIX

    Hujan semakin deras. Kabut semakin tebal mengaburkan pandangan. Dalam perjalanannya menuju ke rumah orang yang diharapkan bisa membantunya, mobil Ustaz Fikri justru mogok tanpa sebab."Astagfirullah, kenapa ini?" gumam Ustaz Fikri sembari berulang kali menstater mobil. Namun, tetap saja mobil tak mau menyala.Ustaz Fikri menoleh kiri kanan, mencari tahu di mana dia sekarang. Ia memicingkan mata, mencoba melihat dengan jelas yang ada di hadapannya dari balik wiper yang terus bergerak naik turun."Hah? Makam?" Ustaz Fikri tersentak ketika membaca gapura di depannya bertuliskan TPU Sirna Raga.Meskipun bingung mengapa tiba-tiba saja ia berada di dekat makam, Ustaz Fikri tak begitu peduli. Ia terus berusaha menstater mobilnya sambil berdoa."Alhamdulillah," ucapnya ketika mesin mobil berhasil menyala kembali. Namun, begitu ia hendak menancapkan gas, di hadapannya ada sosok yang menghalangi jalan.

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XVIII

    ‘BRAK!’Pintu rumah tiba-tiba tertutup sendiri dengan keras saat ustaz hendak ke luar untuk pergi ke masjid."Ya Allah. Kenapa ini?" Ustaz berkali-kali mencoba membuka pintu, tapi hasilnya nihil. Ustaz Fikri mengusap wajahnya kasar. Dengan terpaksa ia salat di ruang tamu beralaskan lantai yang sudah disapunya. Selesai salat, ustaz kembali mencoba membuka pintu."Bismillahirrahmanirrahim ...."Pintu pun terbuka disambut ucapan hamdallah sang ustaz. Namun, ia belum sepenuhnya merasa lega. Ustaz Fikri justru bertambah bingung sebab ia tak tahu harus ke mana mencari Imas."Ustaz!"Samar-samar sebuah seruan mengejutkan ustaz."Bu Imas?""Ustaz, tolong saya!"Ustaz tersentak. Suara itu memanglah suara Imas, tapi di mana orangnya? Ustaz Fikri kembali mencari Imas ke dalam kamar, tapi Im

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XVII

    Ustazah mengernyit. "Sudah tahu?""Iya.""Tahu dari mana? Memangnya Ayah melihat?"Ustaz Fikri menggeleng. "Ayah tidak melihat, tapi ayah bisa merasakannya. Ibu tidak apa-apa, 'kan?""Iya, alhamdulillah.""Syukurlah. Ayah mau ke masjid dulu salat asar." Ustaz menengok ke arah Rizki. "Kamu jaga Ibu, ya? Kita gantian salatnya.""Iya, Yah." Rizki mengangguk patuh.◎◎◎"A, bagaimana ini? Sudah sore, tapi kok, ustaz dan istrinya belum ke sini juga? Apa tidak jadi, ya?" gerutu Imas."Aa juga tidak tahu, Neng. Mungkin mereka ada keperluan lain," jawab Galih."Coba Aa telepon.""Iya." Galih merogoh saku celananya, kemudian menelepon Ustaz Fikri."Assalamu'alaikum, Ustaz.""Wa'alaikumussalam, Pak Galih," balas Ustaz Fikri d

DMCA.com Protection Status