Share

II

last update Last Updated: 2021-09-25 15:09:24

Pagi itu jerit histeris Imas mewarnai kediaman Galih.

"Sakiit ... aakh!" erang Imas sambil memegang kepalanya. Ia berguling ke kiri dan kanan, sebab sakit yang tak tertahankan.

Galih yang panik merasakan ada sesuatu yang ganjil. Ini bukan sakit kepala biasa. Aku harus bawa dia ke Bilik Ruqyah, batinnya. Galih pun segera mengambil kunci mobil.

"Neng, ayo, kita ke rumah Ustaz Fikri," ajak Galih seraya memegang tangan Imas yang masih mengerang di lantai.

Imas mengangguk lemah. "Iya, A ...."

Dengan hati-hati Galih membopong tubuh Imas yang lemah menuju mobil, dan membaringkannya di jok belakang. Mereka lalu meluncur ke BilikRuqyah. Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya mereka tiba. Ada beberapa pasien ruqyah beserta keluarga yang mendampingi terlihat duduk santai di teras.

"Alhamdulillah tidak terlalu ramai," gumam Galih. "Neng, tunggu sebentar, ya. Aa mau daftar dulu."

Imas hanya mengangguk sambil memijat pelan keningnya. Galih turun dari mobil, dan berlari kecil memasuki Bilik Ruqyah. Di ruang pendaftaran tampak asisten Ustazah Azizah, sedang sibuk menulis di mejanya.

"Assalamualaikum," sapa Galih.

"Wa'alaikumussalam. Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Saya mau daftar ruqyah."

"Siapa yang mau diruqyah?"

"Istri saya, Imas."

Iis mencatat dengan cepat. "Istrinya dibawa, Pak?"

"Ada di mobil."

"Langsung dibawa ke sini saja, Pak, karena yang sedang diruqyah oleh pak ustaz di dalam itu pasien terakhir."

"Oh, begitu ...." Galih mengangguk, lalu pergi menuju mobil untuk membawa Imas. Namun, betapa terkejutnya Galih saat membuka pintu mobil, sang istri tidak berada di dalam.

"Neng? Neng Imas?" Galih celingak-celinguk memanggil Imas. Ia berjalan memutari mobil, tapi Imas tidak ada. "Ya, Allah ... ke mana dia?" bisik Galih sambil bertolak pinggang. Raut wajahnya sangat cemas.

"Aa! A Galih, tolong, A!" teriakan Imas mengejutkan Galih.

Galih mencari sumber suara. "Neng?"

"Aa!"

Galih melongok ke atas. Matanya terbelalak lebar. Imas sedang tergantung di pohon. Ia meronta-ronta dengan tangan mencengkeram leher, seperti mencekik.

"Astagfirullahaladzim!" Galih kebingungan. Ia mencoba memanjat, tapi ia urungkan niatnya itu, sebab tidak mungkin ia bisa menyelamatkan Imas seorang diri.

"Tolong!!" teriak Galih sambil berlari menuju Bilik Ruqyah. Membuat orang-orang yang berada di teras terkejut, sekaligus panik.

"Ada apa, Pak?"

"Kenapa, Pak?"

Galih langsung masuk ke ruang praktik ruqyah, tanpa menghiraukan orang-orang yang bertanya-tanya di belakangnya. "Pak Ustaz ... tolong saya ... tolong, istri saya ...." Napasnya terengah-engah.

Ustaz Fikri yang sedang meruqyah otomatis menghentikan aktivitasnya. "Ada apa, Pak? Kenapa istrinya?" tanyanya.

"Istri saya ... ada di atas pohon. Tolong saya, Pak," jawaban Galih membuat Ustaz Fikri tercengang. "Ayo, Pak ... cepat, Pak ... tolongin istri saya," mohon Galih, lalu ia kembali berlari ke luar.

Ustaz Fikri memberi isyarat kepada salah seorang asisten, untuk menggantikannya meruqyah pasien, lalu mengajak asisten yang lain mengekor Galih.

"Di mana, Pak, istrinya?" tanya Ustaz Fikri.

Galih menunjuk ke atas. "Itu, Pak Ustaz."

"Toloong!" teriak Imas saat tubuhnya terangkat dengan sendirinya.

"Astagfirullahaladziim!" seru Ustaz Fikri dan asistennya serentak. Lantas mereka mulai membaca ayat Kursi.

Mendadak Imas merosot turun, dengan sigap mereka bertiga menangkap Imas hingga mereka tersungkur di tanah.

"Neng ... Neng ...." Galih menepuk-nepuk pelan pipi Imas.

"Dia pingsan, Pak. Ayo, cepat kita bawa dia ke rumah!" perintah Ustaz Fikri.

Galih pun menggendong Imas, lalu mereka berjalan cepat kembali menuju Bilik Ruqyah. Baru beberapa langkah, Galih merasakan hawa dingin di tengkuknya, padahal matahari sangat terik. Galih menengok ke belakang. Manik matanya membulat. Sosok raksasa bertubuh hitam besar, dan mata merah menyala, sedang berdiri tepat di depan pohon. Galih membuang muka. Ya, Allah ... apa itu? tanyanya dalam hati. Tubuhnya mulai gemetar. Ia menengok lagi ke belakang, tapi sosok itu sudah menghilang.

"Pak!" seru Ustaz Fikri, mengejutkan Galih.

"I-iya!" Galih pun mempercepat langkahnya masuk ke dalam rumah.

"Baringkan di sini!" perintah Ustaz Fikri.

Galih menurut, dan membaringkan Imas di atas karpet. Ustaz Fikri memakai sarung tangan berwarna hitam, lalu menekan ibu jari Imas. Kemudian, ia melafazkan surat Al-Fatihah, dan ayat Kursi, masing-masing sebanyak tiga kali.

Imas mulai bereaksi. Ia mengerang, dan langsung terduduk. "Diam kamu!" bentaknya sambil melotot pada sang ustaz. Suaranya terdengar berat, dan serak. Namun, tentu saja Ustaz Fikri tak menggubrisnya. Ia lanjut melantunkan ayat Al-Muawwizat7, juga masing-masing sebanyak tiga kali.

Imas meronta-ronta, kakinya menendang-nendang Ustaz Fikri. Galih yang memegangi istrinya itu pun mulai kewalahan.

"Ayo, kamu ke luar. Kasian muslimah kita yang tidak bersalah ini." Ustaz Fikri mencoba komunikasi dengan jin yang bersemayam di tubuh Imas.

"Hahahahahaa! Tidak!"

"Kalau kamu tidak mau ke luar, kamu masuk Islam, ya?"

"Apa? Masuk Islam? Hahahaha! Saya jin Muslim, tau!" Jin di tubuh Imas semakin bertingkah. Tak lama kemudian, Imas memejamkan mata, duduk bersila, dan menghela napas. Imas melantunkan ayat-ayat suci Alquran dengan merdu.

Galih terpana, ia mulai melonggarkan pegangannya pada lengan Imas yang sudah mulai tenang, dan memandang istrinya dengan tatapan tak percaya. Itu karena suara Imas tak semerdu itu saat mengaji.

"Jangan dilepas!" seru Ustaz Fikri saat melihat Galih tidak lagi memegangi Imas.Tiba-tiba saja Imas berhenti mengaji, lalu mencekik Galih. Dengan sigap asisten dan Ustaz Fikri melepaskan tangan Imas dari leher Galih, lalu membaringkannya.

"Innamā jazā'ullażīna yuḥāribụnallāha wa rasụlahụ wa yas'auna fil-arḍi fasādan ay yuqattalū au yuṣallabū au tuqaṭṭa'a aidīhim wa arjuluhum min khilāfin au yunfau minal-arḍ, żālika lahum khizyun fid-dun-yā wa lahum fil-ākhirati 'ażābun 'aẓīm. Illallażīna tābụ ming qabli an taqdirụ 'alaihim, fa'lamū annallāha gafụrur raḥīm. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Imas yang berontak sambil berteriak itu seketika tak sadarkan diri ketika Ustaz Fikri membacakan surat Al-Maidah: 33-34.

◎◎◎

Boneka santet yang sedang dicekik oleh Dasimah mengepulkan asap hitam. Ia tersentak, lalu menjatuhkan boneka itu.

"Ustaz sialan!" geramnya.

"Mana makananku?"

Dasimah menatap tajam sosok bermata merah di sudut kamarnya. Ia mengambil keresek hitam yang disembunyikannya di kolong kasur, lalu mengeluarkan isinya. "Ini!" Dasimah melempar janin tanpa tangan dan kaki hasil aborsi yang sudah membusuk.

#

Semalam, Nyai Dasimah tak sengaja melihat sepasang kekasih sedang mengendap-ngendap di sebuah kebun, saat dirinya hendak pergi ke makam. Apalagi kalau bukan untuk mencari mayat. Dasimah yang curiga, mengintip sejoli itu dari belakang pohon pisang.

"Neng, kubur di sini saja, ya?" bisik sang lelaki.

"Iya, deh, terserah! Cepat nanti ada yang lihat!" ucap si perempuan sambil menengok kiri kanan, mengawasi keadaan sekitar.

Lelaki itu pun mulai menggali, setelah itu mengubur sebuah kantong keresek. Selesai melancarkan aksinya, kedua pasangan itu lari terbirit-birit entah ke mana.

Dasimah melangkah menuju gundukan tanah yang tertutup daun kering itu. Karena penasaran, Dasimah menggalinya dengan tangan kosong. Belum terlalu dalam menggali, keresek hitam tersebut sudah terlihat, dan ditarik ke luar oleh Dasimah. Dasimah membuka ikatan keresek itu. Saat melihat isinya, dia tersenyum lebar, senyum yang mengerikan.

"Janin bayi," desis Dasimah, menjilat bibir atasnya

#

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rosa Rasyidin
aaaauuu janin bayiiiiik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   III

    Seperti biasa, pagi itu Dasimah hendak pergi ke rumah Rima. Di perjalanannya, ia sengaja menyimpang ke rumah Imas. Dengan hati-hati, Dasimah mendekati rerimbunan pohon teh-tehan yang menjadi pagar rumah itu.Dasimah menengok kiri kanan. "Sepi," gumamnya.Kemudian, ia mengeluarkan kantong keresek dari dalam tas. Setelah kantong itu dibuka, Dasimah komat-kamit membaca mantra, lalu menaburkan tanah kuburan di sekitar rumah Imas. Dasimah tersenyum miring. "Rasakan akibatnya kalau kamu berani merebut apa yang seharusnya jadi kebahagiaanku!"Setelah melakukan aksinya, Dasimah melanjutkan berjalan. Langkahnya terhenti saat melihat pasangan suami istri yang sedang bertengkar di teras rumah."Saya juga mau atuh, Kang, punya mobil bagus seperti dia!" seru si istri sambil menunjuk.Dasimah mengikuti arah telunjuk itu, yang mengarah ke halaman rumah tetangga mereka yang baru saja membeli mobil baru."Pokoknya, kalau Akang tidak beli mobil, kita cerai!" Si

    Last Updated : 2021-09-25
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   IV

    Galih terpaku di kasurnya, tak berkedip menatap wajah sang istri yang kini telah berubah menjadi sangat menyeramkan."Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum ...." Terbata Galih mengucapkannya dengan bibir gemetar. "Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum ...." Galih mengulanginya, tanpa bisa meneruskan."Hahahahahaahaaaa!" Imas tertawa nyaring seolah meledek.Galih tercekat. Ia beristigfar dalam hati, memohon kekuatan kepada Allah. Setelah dia yakin bisa merapalkan kembali ayat Kursi, Galih pun menyuarakannya dengan lantang.Tubuh Imas yang berada di dinding selayaknya cecak tiba-tiba merayap turun dengan cepat ke hadapan Galih, dan berusaha mencekik. Dengan sigap Galih menghindar, lalu memegang kuat tangan Imas."Imas, sadar! Istigfar, Neng!"Imas berontak, Galih semakin kewalahan. Dengan tenaga yang masih tersisa, Galih berusaha membisikkan Al Fatihah ke telinga Imas. Setelahnya Imas pun tak sadarkan diri.Galih terdudu

    Last Updated : 2021-09-25
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   V

    Acara hajatan dihentikan setelah penonton ricuh sebab ada dua orang yang kerasukan. Mereka diketahui salah satu sanak saudara yang punya hajat, yang memang mempunyai ilmu kebatinan. Sehingga mereka tak dapat mengendalikan diri saat mendengarkan tembang Bangbung Hideung."Ayo, bangun. Kamu pulang saja." Dasimah ditarik oleh salah satu pemain gamelan. "Di belakang panggung sudah menunggu orang yang mau bayar kamu."Dasimah mengangguk, lalu beranjak ke belakang panggung. Setelah mendapatkan apa yang menjadi haknya, Dasimah melangkah pulang.Saat membuka pintu rumah, Dasimah tercekat. Dia mendapati sosok wanita berkebaya berdiri membelakanginya. Perlahan Dasimah menghampiri."Punteun, Teh. Saha nya? Milarian saha? Kenapa ada di rumah saya?" tanya Dasimah.Wanita berkebaya itu membalikkan badan, memperlihatkan wajahnya yang hancur. Ternyata dia adalah sosok yang dilihat Dasimah menari di sudut panggung. Dasimah menjerit, dan mundur selangkah dengan tang

    Last Updated : 2021-10-01
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   VI

    Wa nunazzilu minal qur-aani maa huwa syifaa-uw warahmatul-lil mu’miniin."Ustaz Fikri menunjuk ke arah Imas sambil membaca surah Al-Israa 17:82 yang artinya: Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.Imas seketika merasakan mual. Ustaz Fikri memberi isyarat kepada sang istri, Ustazah Azizah, untuk segera menyiapkan keresek karena Imas akan muntah. Dan benar saja, saat keresek itu disimpan di bawah dagu Imas, dia langsung mengeluarkan isi perutnya, yang hanya lendir bercampur darah. Tak lama kemudian, Imas tak sadarkan diri. Setelah hampir 10 menit hilang kesadaran, akhirnya Imas siuman."Alhamdulillah!" seru Ustaz dan Galih bersamaan."Bagaimana perasaan Ibu sekarang?" tanya Ustaz."Sudah agak enakan, Ustaz," jawab Imas."Bu ... Ibu banyak-banyak

    Last Updated : 2021-10-01
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   VII

    Aa tidak menyangka, ternyata banyak juga, ya, penjual makanan yang pakai penglaris," ujar Galih setibanya mereka di rumah.Imas mengangguk. "Begitulah, A. Segala cara dihalalkan agar dagangan mereka laku. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah, ya, A. Aamiin.""Aamiin. Sekarang kita tidur saja, yuk." Galih mengedipkan sebelah matanya, membuat pipi Imas bersemu. Mereka pun beranjak ke kamar, dan larut dalam kemesraan selayaknya pasangan pengantin baru.Sementara itu, di luar sana Kang Asep sedang mendorong gerobak nasi gorengnya pulang dengan wajah semringah."Ning! Nining!" Tanpa mengucap salam ia mengetuk pintu rumah."Enya antosan!"sahut Nining dari dalam, lalu membuka pintu."Naon atuh, Kang? Meni gegerewekan!"Kang Asep bergegas masuk. Nining yang kebingungan langsung m

    Last Updated : 2021-10-01
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   VIII

    "Ibu merasa tidak, kalau di kampung kita ini sepertinya sudah tidak aman.""Tidak aman bagaimana? Banyak maling?"Ustaz Fikri menyesap kopinya, lalu menggeleng. "Bukan ... bukan maling, tapi sesuatu yang lebih berbahaya.""Maksudnya bagaimana, sih, Pak? Ibu tidak mengerti." Ustazah Azizah menatap wajah sang suami dengan dahi yang mengerut dalam."Pasien kita semakin hari semakin banyak. Gangguan yang menyerang mereka pun bermacam-macam. Kalau dua tiga tahun ke belakang, kan, pasien yang datang paling hanya kesurupan biasa atau yang sedang menjalani terapi pengobatan syari saja."Ustazah Azizah mengangguk pelan. "Iya juga, ya, Pak. Apa jangan-jangan ....""Jangan-jangan apa, Bu?""Mm ... jangan-jangan di kampung kita ada orang yang sedang mempraktikkan ilmu hitam, Pak.""Astagfirullah ... jangan suudzon, Bu. Tidak baik

    Last Updated : 2021-10-16
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   IX

    Pria kurus tersebut mengangguk. Ia mengambil dua batang kayu yang runcing. Dengan sedikit canggung, sambil berjongkok di tepi balong, pria itu mulai membaca jampi, “Aki Gangga nu ti girang, Aki Ginggi nu ti hilir, aing ménta ingon-ingon, geura top!”Dilemparkannya kayu itu ke balong. Ikan-ikan kemudian bermunculan, tapi tak ada satu pun yang bertabrakan. Tak berapa lama, kayu yang dilempar mengambang bersamaan dengan seekor ikan. Pria gendut sampai melongo saking terpana melihatnya.Namun, tidak dengan Nyai Dasimah. Ia justru tertawa mendengar jampi yang dirapalkan pria kurus itu. "Hati-hati, Kang ...,” katanya kemudian."Hati-hati kenapa atuh, Nyai?""Jangan sampai nanti yang datang bukannya ikan, malah siluman." Dasimah terkekeh, lalu meninggalkan kedua pria yang ternganga sembari menatap punggung Dasimah yang kian menjauh.Sesampainya di warteg,

    Last Updated : 2021-10-19
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   X

    Galih mengernyit." Tapi ... ini tidak tampak seperti ayat Alquran. Ayat apa? Surat apa?" Bibir Galih terlihat mencoba membaca huruf Arab gundul itu."Simpanlah itu untuk menjagamu dan Imas supaya tidak terkena gangguan jin," hasut Dasimah.Galih melipat kertas itu dan memberikannya kepada Dasimah. "Maaf, aku tidak bisa, Imah. Aku takut." Galih terdiam. Di benaknya terlintas kenangan bertahun-tahun ke belakang, saat dirinya mengetahui Dasimah memakai susuk ketika menjadi sinden, dan selalu menyanyikan Bangbung Hideung untuk memikat penonton.Dasimah berusaha bersikap setenang mungkin. Ia tahu jika Galih pasti merasa ada yang tidak beres. "Galih."Galih menatap mata Imas. Mereka beradu tatap sepersekian detik."Percayalah, ini aman." Dasimah memberikan kembali kertas tadi dan satu kertas lainnya."Apa lagi ini?" tanya Galih heran.

    Last Updated : 2021-10-21

Latest chapter

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   1. Arsyad

    Lima tahun telah berlalu semenjak kematian sang wanita penyebar 'ain, Nyai Dasimah. Kehidupan Galih dan Imas pun jauh lebih baik dan bahagia dengan kehadiran buah hati yang baru berusia 8 bulan. Mereka juga sudah menempati rumah baru saat Imas dinyatakan hamil demi melupakan kenangan buruk, yang mungkin bisa saja membawa pengaruh buruk juga untuk Arsyad, jagoan kecil mereka. Kini, pasangan suami istri itu bertempat tinggal di sudut kota yang terkenal dengan tahu gorengnya. Galih yang sudah setahun bekerja di dinas pemerintahan pun membuat roda perekonomian berputar dengan stabil daripada sebelumnya. "Yah, tidak kerja? Sudah jam setengah tujuh, nanti terlambat lho!" tanya Imas sambil mengusap lembut bahu Galih. Galih membuka mata, dan ditatapnya wajah Imas. "Kepala Ayah sakit, Bun." Imas pun menyentuh kening dan leher suaminya itu dengan punggung tangannya. "Ini, sih, demam.

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   PIPAHOKAN

    Dear, Readers. Bab selanjutnya masuk ke 'Ana-Ya'Inu season 2 ya! Perdana tayang lho, belum ada di platform lain. Sequel kok disatuin sama season 1? Perdana tayang kok nggak bikin buku baru lagi? Soalnya buat mencapai 100k kata, Gaess 🙈 Di season 1 cuma 24k kata. Irit banget emang buat sebuah novel, tapi aku emang tipe penulis yang nggak mau ikin cerita terlalu pa jang dan bertele-tele, dan rata-rata novel soloku yang udah terbit jumlah bab nya nggak lebih dari 25 bab. Alhasil, jujur aja untuk mencapai 100k kata ini aku kewalahan, apalagi dari awal nggak pernah kepikiran buat bikin sequel. Jadi, updatenya bakalan agak lama ya 🤭 Happy reading 🤗

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XXIII

    llmu hitamku kini semakin kuat. Jika saja bukan karena dia—yang aku agungkan—aku tak mungkin bisa seperti sekarang ini.Hari itu, saat Ki Prana meregang nyawa dengan cara mengenaskan, aku sempat kebingungan karena ilmuku otomatis menghilang. Namun, aku teringat suatu tempat, di mana aku bisa meminta ilmu.Dengan hanya berbekal pakaian yang melekat di tubuh, juga uang seadanya, aku pergi ke sana. Pantai Selatan.Dipayungi sinar purnama kutatap ombak yang menggulung besar disertai semilir aroma bunga melati. Kugelar ritual pemanggilan lengkap dengan dupa dan sesajen.Sangat kuat hawa magis di sini. Samar-samar terdengar suara gamelan dan kereta kencana. Dia sudah tiba. Namun, di luar dugaan, yang datang ternyata bukan Kanjeng Ratu, melainkan sang panglima komandan.“Pergilah ke gua besar di atas bukit!” perintahnya.Aku mengangguk patuh.

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XXII

    Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah Nyai Dasimah. Sangat gelap di dalam."Aaarghh!" Seketika itu juga tubuhku melayang, seperti ada yang menarikku ke belakang. Aku langsung terkapar di tanah.“Kang Asep!”Terdengar teriakan Ustaz Fikri. Aku membuka mata sambil meringis kesakitan. Pintu itu sudah tertutup. Beliau terkurung di dalam. Argh! Aku harus bagaimana? Aku harus segera menyelamatkan Ustaz Fikri atau Nyai Dasimah tidak akan membiarkannya hidup.Tunggu dulu. Aku harus minta tolong siapa? Dan bagaimana dengan nyawaku sendiri? Apa aku kabur saja?Perlahan aku bangkit dengan tubuh yang terasa hampir remuk. Kuperhatikan sekeliling. Di sini tidak ada rumah selain rumah Nyai Dasimah. Jalan satu-satunya aku harus ke bawah, dan meminta bantuan di sana.Terseok aku berjalan pincang sembari memegang bahu yang sakit. Kini tekad sudah bulat ingin menolong Ustaz Fikri. Jik

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XXI

    "Aku khilaf, Dasimah. Dan aku sudah kembali bertobat."Mata Dasimah berubah sendu. Air wajahnya terlihat kecewa. "Kalau begitu matilah bersama mereka!" Dengan sekali empasan tangan, tubuh Galih melayang dan tersungkur di dekat ustaz."Astagfirullah! Bangun, Pak Galih." Ustaz Fikri membantu Galih bangun. Kini tubuhnya tak lagi terikat."Makanlah mereka berdua, itu adalah santapan terakhir untukmu!" seru Dasimah, kemudian melirik Imas, "bawa dia untuk dijadikan budakku!" Kemudian Dasimah berbalik dan menghilang.Tiba-tiba pintu tempat ruangan Imas berada tertutup.Galih dan Ustaz Fikri berusaha membuka pintu itu dengan mendobraknya, tapi pintu tidak terbuka."Bagaimana ini, Ustaz? Apa kita akan mati di sini dimakan ular?" tanya Galih sambil melihat ular yang semakin mendekat.Ustaz Fikri memegang bahu Galih. "Tenang. Kita tida

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XX

    'Krieeeet'Deritan suara pintu yang mendadak terbuka mengejutkan mereka berdua."Masuklah!"Terdengar suara wanita yang menggema dari dalam rumah."Bagaimana ini, Ustaz? Itu sepertinya suara nyai.""Ayo, kita masuk, Kang," jawab Ustaz Fikri tanpa menoleh."B-baik, Ustaz.""Jangan takut, Kang. Allah bersama kita."Namun, ketika Kang Asep hendak melangkah, Ustaz Fikri mencekal tangannya."Tunggu!""Ada apa, Ustaz?" tanya Kang Asep kaget."Ada yang tidak beres. Sepertinya ini perangkap.""Perangkap?"Ustaz Fikri mengangguk. "Biar saya yang berjalan di depan." Ustaz pun melangkah sedangkan Kang Asep mengekor di belakangnya.Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah. Sangat gelap di dalam. Tiba

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XIX

    Hujan semakin deras. Kabut semakin tebal mengaburkan pandangan. Dalam perjalanannya menuju ke rumah orang yang diharapkan bisa membantunya, mobil Ustaz Fikri justru mogok tanpa sebab."Astagfirullah, kenapa ini?" gumam Ustaz Fikri sembari berulang kali menstater mobil. Namun, tetap saja mobil tak mau menyala.Ustaz Fikri menoleh kiri kanan, mencari tahu di mana dia sekarang. Ia memicingkan mata, mencoba melihat dengan jelas yang ada di hadapannya dari balik wiper yang terus bergerak naik turun."Hah? Makam?" Ustaz Fikri tersentak ketika membaca gapura di depannya bertuliskan TPU Sirna Raga.Meskipun bingung mengapa tiba-tiba saja ia berada di dekat makam, Ustaz Fikri tak begitu peduli. Ia terus berusaha menstater mobilnya sambil berdoa."Alhamdulillah," ucapnya ketika mesin mobil berhasil menyala kembali. Namun, begitu ia hendak menancapkan gas, di hadapannya ada sosok yang menghalangi jalan.

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XVIII

    ‘BRAK!’Pintu rumah tiba-tiba tertutup sendiri dengan keras saat ustaz hendak ke luar untuk pergi ke masjid."Ya Allah. Kenapa ini?" Ustaz berkali-kali mencoba membuka pintu, tapi hasilnya nihil. Ustaz Fikri mengusap wajahnya kasar. Dengan terpaksa ia salat di ruang tamu beralaskan lantai yang sudah disapunya. Selesai salat, ustaz kembali mencoba membuka pintu."Bismillahirrahmanirrahim ...."Pintu pun terbuka disambut ucapan hamdallah sang ustaz. Namun, ia belum sepenuhnya merasa lega. Ustaz Fikri justru bertambah bingung sebab ia tak tahu harus ke mana mencari Imas."Ustaz!"Samar-samar sebuah seruan mengejutkan ustaz."Bu Imas?""Ustaz, tolong saya!"Ustaz tersentak. Suara itu memanglah suara Imas, tapi di mana orangnya? Ustaz Fikri kembali mencari Imas ke dalam kamar, tapi Im

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XVII

    Ustazah mengernyit. "Sudah tahu?""Iya.""Tahu dari mana? Memangnya Ayah melihat?"Ustaz Fikri menggeleng. "Ayah tidak melihat, tapi ayah bisa merasakannya. Ibu tidak apa-apa, 'kan?""Iya, alhamdulillah.""Syukurlah. Ayah mau ke masjid dulu salat asar." Ustaz menengok ke arah Rizki. "Kamu jaga Ibu, ya? Kita gantian salatnya.""Iya, Yah." Rizki mengangguk patuh.◎◎◎"A, bagaimana ini? Sudah sore, tapi kok, ustaz dan istrinya belum ke sini juga? Apa tidak jadi, ya?" gerutu Imas."Aa juga tidak tahu, Neng. Mungkin mereka ada keperluan lain," jawab Galih."Coba Aa telepon.""Iya." Galih merogoh saku celananya, kemudian menelepon Ustaz Fikri."Assalamu'alaikum, Ustaz.""Wa'alaikumussalam, Pak Galih," balas Ustaz Fikri d

DMCA.com Protection Status