Share

'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah
'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah
Author: Vyntiana Itari

I

last update Last Updated: 2021-09-25 15:04:48

Allah Ta 'Ala berfirman:

"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. An Nisa': 32)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: "Orang yang memandang dengan pandangan kagum khawatir bisa menyebabkan ain pada benda yang ia lihat, maka cegahlah keburukan tersebut dengan mengucapkan: Allahumma baarik 'alaih." (Ath Thibbun Nabawi, 118)

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

بِسْمِِ اللِِ أَرْقِيْكَِ مِنِْ كُ لِِ شَيْ ءِ يُؤْذِيْكَِ مِنِْ شَ رِ كُ لِِ نَفْ سِ أَوِْ عَيْ نِحَاسِ دِ اللُِ يَشْفِيْكَِ بِسْمِِ اللِِ أَرْقِيْكَِ

Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari setiap sesuatu yang menyakitimu dan dari kejelekan setiap jiwa atau mata yang dengki. Allah-lah yang menyembuhkanmu. Dengan nama Allah aku meruqyahmu." Ustaz Fikri meletakkan tangannya di atas kepala pasien penderita 'ain. Tak lama kemudian, pasien tersebut tak sadarkan diri.

Di antara beberapa pasien ruqyah yang sedang duduk di atas karpet, ada seorang wanita berkerudung hitam yang menaikkan sebelah sudut bibirnya. Lalu, tak berapa lama wanita itu berdiri, dan ke luar dari 'Bilik Ruqyah'.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah dengan berjalan kaki, wanita itu berkali-kali melihat pasangan muda-mudi yang sedang berpacaran di pinggir jalan ataupun warung lesehan, serta suami-istri yang tengah bermesraan di teras rumah. Selain itu, ia berpapasan dengan Imas dan Galih. Pasangan suami-istri yang terkenal serasi dan rumah tangganya yang harmonis. Namun, wanita itu sangat membenci mereka.

"Assalamu'alaikum, Nyai," sapa Imas.

Wanita itu tidak membalas, melainkan hanya mendelik tajam. Ia melirik pada Galih, tapi lelaki itu membuang muka. Wanita tersebut lalu melanjutkan perjalanannya.

"Aakh ... sialan! Aku benci semua orang di kampung ini! Mereka bahagia di atas penderitaanku!" racau Nyai Dasimah setelah sampai di rumah. Ia juga mengacak-acak, dan melempar barang-barangnya.

Nyai yang deru napasnya menggebu kemudian melangkah ke sebuah ruangan kecil yang gelap dan lembab. Ia menyalakan dupa dan membakar kemenyan. Lalu, ia menyembelih dengan kasar ayam cemani yang telah ia persiapkan sebelumnya. Darah ayam itu ia tuangkan ke dalam mangkuk kecil, di atas nampan kemenyan. Setelah merapalkan mantra-mantra-yang mungkin hanya dia yang tahu artinya-tak lama kemudian muncul kepulan asap yang menjelma menjadi ular.

"Ada apa kau memanggilku?" tanya ular itu dengan suara yang menggema. Namun, hanya Nyai Dasimah yang dapat mendengarnya.

"Kerahkan antek-antekmu untuk mengganggu orang-orang di sekitarku! Jangan biarkan mereka hidup tenang dan bahagia! Aku juga minta kauganggu Galih dan istrinya Imas, juga keturunan mereka! Dan, satu lagi, habisi Ustaz Fikri dan keluarganya!" perintah Nyai.

"Lalu, apa keuntungannya bagiku?" tanya ular itu.

"Aku akan menjadi pengikut setiamu. Selalu memberimu sesajen yang kausuka. Tapi, jika kau gagal, aku akan membinasakanmu."

"Baiklah. Tapi, ada satu syarat."

"Apa?"

"Jika kau tidak mampu memberi makan antek-antekku darah dan tulang manusia setiap hari, maka nyawamu taruhannya," desis ular itu. Kemudian ia berubah menjadi sosok menyeramkan. Bertubuh besar, hitam, dan mata merah menyala."

"Baik, aku setuju."

Dan kesepakatan antara dukun dan jin itu pun terjadi.

◎◎◎

"Galih, aku cinta sama kamu."

Lelaki bertubuh tinggi itu tertegun, lalu tersenyum, saat gadis manis di hadapannya menyatakan perasaan. "Maaf, Imah. Aku cuma menganggapmu sebagai sahabat." Kemudian ia mengeluarkan sebuah kartu undangan pernikahan dari saku jaket kulitnya. "Aku akan menikah. Aku mohon doa restumu," ucap si lelaki sambil menyerahkan kartu undangan itu.

Seakan ada belati yang menghunjam dada. Dasimah merasakan sakit luar biasa. Dengan retina yang mulai basah, dan tangan yang bergetar, ia mengambil kartu itu, lalu membukanya perlahan. Sebaris tulisan bertinta emas seperti kilatan petir menyambar netra.

Galih Ramdhan & Imas Cempaka

Langit yang cerah pun mendadak hitam. Badai menerjang, mengempaskan Dasimah yang menatap nanar punggung Galih yang berangsur menghilang, meninggalkannya yang terisap lumpur hidup berbau busuk. Di dalamnya Dasimah dikelilingi iblis dan jin dengan berbagai bentuk dan rupa yang hampir tak dapat dijelaskan.

Dasimah terbangun dari tidurnya dengan bulir keringat dingin memenuhi kening, dan napasnya memburu. Ia mendengus kesal. "Mimpi itu lagi!" geramnya.

Dua puluh lima tahun telah berlalu semenjak cintanya bertepuk sebelah tangan pada lelaki kampung yang menjadi sahabatnya sejak kecil. Tidak terlalu tampan, tapi selalu memikat hatinya.

Dasimah yang sudah terlanjur sakit hati, menyimpan rasa benci yang amat sangat pada Galih dan Imas. Pun pada pasangan suami-istri yang rumah tangganya tampak baik-baik saja. Terlebih lagi, Dasimah bukanlah orang yang berkecukupan materi, membuatnya semakin benci sekaligus iri dengan orang-orang yang memiliki segalanya.

Seketika itu juga Dasimah bersumpah tidak akan mencintai lelaki mana pun. Di usianya yang kini menginjak 50 tahun, ia lebih memilih menjadi perawan tua. Ia bahkan nekat mempelajari ilmu hitam untuk membalas dendam pada Galih, dan tak segan menyakiti orang-orang yang dibencinya. Cinta ditolak, dukun bertindak. Mungkin, itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan dirinya saat ini.

Dasimah duduk dari posisi tidurnya, lalu melirik jam yang menunjukkan pukul 01.45 dini hari. Ia beranjak dari kasur kapuk yang sudah tipis sehingga membuat punggungnya sakit. Dibukanya laci bufet di samping kasur. Tatapan tajam serta sebuah seringaian menghiasi wajah Dasimah, tatkala melihat sebuah boneka santet berukuran kecil, dengan foto seorang wanita menempel di bagian kepala boneka itu. Diambilnya boneka tersebut dan sebuah jarum jahit.

"Rasakan ini, Imas sialan! Rasakan!" serunya sambil menusuk-nusukkan jarum itu ke arah kaki boneka sambil merapalkan jampi-jampi.

"Dia kesakitan." Sebuah bisikan memberitahu Dasimah, bahwa di lain tempat kaki Imas sedang kesakitan akibat tusukan itu.

"Ahahahahaaa!!" Dasimah tertawa puas, lalu menghentikan aksinya. Dikembalikannya lagi boneka dan jarum ke dalam laci.

Setelah itu Dasimah memakai sweter, dan dengan asal-asalan dipakainya juga kerudung hitam panjang yang dililitkannya ke leher. Kemudian ia melangkah ke dapur yang jauh dari kata bersih dan modern. Hanya ada tumpukan kayu bakar, serta hawu1 yang biasa dipakainya memasak. Tikus-tikus got kocar-kacir saat Dasimah tiba. Ia mengambil sebuah lampu minyak yang tergantung di dinding yang hanya berupa sekat bambu. Dinyalakannya lampu minyak itu, dan Dasimah pergi ke luar rumah, yang lebih pantas disebut gubuk.

Hawa dingin yang menusuk, serta heningnya malam temani langkah wanita berusia setengah abad tersebut menuju pemakaman. Ia menatap lekat tulisan di sebuah gapura besar yang menyambut kedatangannya.

TPU SIRNA RAGA

◎◎◎

Pagi itu warga kampung tengah ramai berkumpul di salah satu makam. Nyai Dasimah yang hendak pergi, menghampiri kerumunan tersebut.

"Punteun, Bah, aya naon, nya? (Permisi, Bah, ada apa, ya?)" tanyanya pada ketua RT.

"Ieu, Nyai, makam Neng Asih aya nu ngabongkar, ( Ini, Nyai, makam Neng Asih ada yang bongkar)" jelas Pak RT.

"Astagfirullah ... siapa yang bongkar, Pak? Meni tega pisan."

"Haduh ... teu teurang (tidak tahu), atuh, Nyai. Mirisna, teh, sirahna leungit (kepalanya hilang), Nyai. Leungit!" ungkap Pak RT dengan nada panik bercampur takut.

Dasimah mendekat ke liang lahat yang sudah tak tertimbun tanah itu. Seonggok mayat tanpa kepala dengan kain kafan yang terbuka setengah badan, tampak jelas di bawah sana. Ia merutuki dirinya yang lupa kembali menutup lubang itu, dikarenakan ada warga yang sedang ronda melintas di sekitar makam semalam.

#

Dasimah menoleh ke kiri-kanan, memperhatikan keadaan sekitar. Sepi. Dengan cepat ia berjalan ke arah semak-semak, mengambil sebuah cangkul dan golok yang disembunyikannya kemarin sore.

Siang harinya, terjadi kecelakaan motor yang menimpa anak gadis tetangganya, Asih, yang langsung tewas di tempat. Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh Dasimah. Ia sengaja mengikuti acara pemakaman, agar mengetahui posisi Asih dimakamkan.

Setelah semua pelayat pulang, Dasimah justru pergi ke rumah si penggali kubur, yang berada tak jauh dari area pemakaman. Dengan mengendap-endap, ia mengambil cangkul dan sebilah golok, lalu menyembunyikannya di semak-semak.

Dengan hanya bermodalkan cahaya dari lampu minyak, Dasimah berjalan dengan hati-hati menyusuri tiap-tiap makam. Dan tanpa kesulitan, langkahnya terhenti di depan sebuah pusara dengan tanah yang masih basah, dan kelopak-kelopak mawar yang masih segar dan wangi.

Dasimah menaruh lampu minyaknya di samping batu nisan, dan segera mencangkul gundukan tanah itu. Dengan bantuan jin, tak butuh waktu lama dan merasa kelelahan, makam itu sudah terbongkar.

Dasimah menatap nyalang ke arah mayat yang terbungkus kain kafan dengan rapi. Dibukanya ikatan kepala, sampai ke ikatan bagian dada. Dilayangkannya golok ke leher si mayat, dan dalam sekali tebas, kini tangannya sudah menggenggam rambut panjang Asih.

"Malang sekali nasibmu, Nak. Ahahahahaa!" gumamnya sambil menatap kepala Asih yang bocor di bagian kiri, dan masih meneteskan darah yang mulai menghitam itu, lalu dimasukkan ke dalam kantong keresek yang juga telah disiapkannya dari rumah.

Tiba-tiba Dasimah mendengar suara kentungan. Tanda bahwa ada warga yang sedang ronda. Dasimah segera melompat ke luar dari lubang kuburan, membawa serta kepala, cangkul dan golok, juga lampu minyak. Ia kembali menyembunyikan peralatan itu ke semak-semak dengan rapi, lalu berlari kecil pulang ke rumah.

"Nyai ...," lirih suara terdengar memanggil Dasimah. Ia berhenti sejenak, lalu menengok ke arah sumber suara.

Dasimah menaikkan lampu minyaknya, menyorot ke sosok tanpa kepala dengan mengenakan baju putih panjang dengan bercak darah, tampak berdiri di depan gerbang makam. "Mau apa kamu?" tanya Dasimah tanpa rasa takut sedikit pun.

"Kepalaku mau dibawa ke mana, Nyai?"

"Aku mau jadikan makanan jin!" seru Dasimah, kemudian lanjut berlari kecil. Ia pun tiba di rumah bertepatan dengan kumandang azan salat tahajud. Dasimah membuka keresek, dan melemparkan potongan kepala itu ke pojokan kamar, yang terdapat nampan sesajen.

"Makanlah itu, Jin! Ganggulah keluarga Galih! Aku ingin mereka hancur perlahan. Ahahahahaaa!!" Dasimah merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Samar-samar ia menangkap sosok hitam besar sedang menjilati kepala itu sebelum dirinya menutup mata.

#

"Pak, abdi punteun heula (saya pamit dulu), nya," pamit Dasimah kepada Pak RT.

"Oh, iya, atuh ... mau praktek, ya, Nyai?"

Dasimah mengangguk mengiyakan, lalu tersenyum kecil. Ia pun pergi dari kerumunan. Selintas Pak RT tampak mengendus bau busuk saat Dasimah melewatinya. Namun, ia tak berpikir macam-macam. Ia hanya mengira itu bau dari arah mayat yang kini sedang diangkat beberapa warga dan anggota keluarga ke atas lubang, untuk dibetulkan kafannya. Pak RT tidak tahu, bahwa bau busuk berasal dari tas yang dibawa Dasimah, yang berisi kepala Asih.

◎◎◎

Di tengah jalan, Dasimah membuang kantong keresek ke parit di bawah jembatan. Tak berapa lama, ia pun tiba di sebuah rumah sederhana milik Rima, tempatnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga sekaligus membuka pengobatan alternatif di paviliun rumah sang majikan.

Namun, itu semua hanya kedok saja, supaya praktik perdukunannya tak terendus.Dan kebetulan ia memang bisa mengobati berbagai macam penyakit dengan bahan-bahan herbal. Keahlian turun-temurun dari sang nenek. Sayangnya, meski warga setempat banyak yang menjadi langganan, penghasilannya tak seberapa. Dasimah tak bisa mematok harga tinggi, karena kalau terlalu mahal, maka warga akan lebih memilih ke dokter.

Ia pun sengaja tidak menempati ruang praktiknya, meski sang majikan memperbolehkannya tidur di sana. Lingkungan di sekitar terlalu ramai. Otomatis dirinya takkan bebas melancarkan aksi. Hanya sesekali saja ia tidur di rumah Rima. Itu pun hanya manipulasi belaka agar dirinya terlihat menghormati dan menghargai keinginan majikannya, padahal Dasimah amat tidak menyukai Rima.

Uang yang didapat pun tak dihambur-hamburkan untuk membeli barang-barang bagus, apalagi merenovasi gubugnya di kampung sebelah. Ia lebih memilih memakai uang itu untuk membeli perlengkapan praktik maksiatnya.

Selepas asar, waktunya Dasimah pulang. Ia memandang lesu dua lembar uang lima puluh ribuan. Yang datang berobat hari ini hanya dua orang.

Cuma cukup beli beras, ikan, sama kemenyan, gumamnya dalam hati. Kemudian, Dasimah meninggalkan rumah Rima yang sedang ditinggalkan pemiliknya. Dasimah menghela napas lega. Setidaknya ia tak perlu berhadapan dengan mulut cerewet majikannya, apalagi jika bau busuk yang masih menempel di tasnya itu terendus.

Dalam perjalanan pulang, Dasimah sengaja melewati rumah Galih. Ia mengintip dari balik rerimbunan pohon kembang sepatu di pinggir halaman rumah. Dasimah melihat sepasang suami-istri itu tengah ribut dengan seorang wanita hamil.

"Kang, Kang Galih ... Akang harus tanggung jawab. Aku hamil lima bulan!" seru wanita hamil itu.

"Astagfirullahaladzim ... apa benar Teteh hamil karena suami saya?" tanya Imas dengan wajah tampak menahan tangis.

"Ya, Allah, Neng ... Neng tidak percaya sama aa? Ini semua fitnah, Neng. Aa tidak kenal sama wanita ini!" pungkas Galih.

"Akang tega, ya! Tunggu pembalasan aku, Kang!" Wanita hamil itu pun pergi dari rumah Galih sedangkan Imas langsung terkulai lemas. Pingsan.

Dasimah terkekeh pelan, lalu melanjutkan perjalanan pulang.

"Bagaimana?" Wanita hamil itu kini berada di sebelah Dasimah. Dengan tubuh melayang mensejajarkan dirinya dengan langkah si empunya ilmu yang memperbudak paksa rohnya di alam gaib.

"Kerjamu bagus," ucap Dasimah, menyeringai lebar.

Wanita hamil itu pun cekikikan, lalu melesat pergi, sembunyi dari cahaya senja. Menampakkan lubang besar di punggungnya yang dipenuhi belatung, lalu menghilang.

Related chapters

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   II

    Pagi itu jerit histeris Imas mewarnai kediaman Galih."Sakiit ... aakh!" erang Imas sambil memegang kepalanya. Ia berguling ke kiri dan kanan, sebab sakit yang tak tertahankan.Galih yang panik merasakan ada sesuatu yang ganjil. Ini bukan sakit kepala biasa. Aku harus bawa dia ke Bilik Ruqyah, batinnya. Galih pun segera mengambil kunci mobil."Neng, ayo, kita ke rumah Ustaz Fikri," ajak Galih seraya memegang tangan Imas yang masih mengerang di lantai.Imas mengangguk lemah. "Iya, A ...."Dengan hati-hati Galih membopong tubuh Imas yang lemah menuju mobil, dan membaringkannya di jok belakang. Mereka lalu meluncur ke BilikRuqyah. Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya mereka tiba. Ada beberapa pasien ruqyah beserta keluarga yang mendampingi terlihat duduk santai di teras."Alhamdulillah tidak terlalu ramai," gumam Galih. "Neng, tunggu sebentar, ya. Aa mau daftar dulu."Imas hanya mengangguk sambil memijat pelan keningnya. Galih turun dar

    Last Updated : 2021-09-25
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   III

    Seperti biasa, pagi itu Dasimah hendak pergi ke rumah Rima. Di perjalanannya, ia sengaja menyimpang ke rumah Imas. Dengan hati-hati, Dasimah mendekati rerimbunan pohon teh-tehan yang menjadi pagar rumah itu.Dasimah menengok kiri kanan. "Sepi," gumamnya.Kemudian, ia mengeluarkan kantong keresek dari dalam tas. Setelah kantong itu dibuka, Dasimah komat-kamit membaca mantra, lalu menaburkan tanah kuburan di sekitar rumah Imas. Dasimah tersenyum miring. "Rasakan akibatnya kalau kamu berani merebut apa yang seharusnya jadi kebahagiaanku!"Setelah melakukan aksinya, Dasimah melanjutkan berjalan. Langkahnya terhenti saat melihat pasangan suami istri yang sedang bertengkar di teras rumah."Saya juga mau atuh, Kang, punya mobil bagus seperti dia!" seru si istri sambil menunjuk.Dasimah mengikuti arah telunjuk itu, yang mengarah ke halaman rumah tetangga mereka yang baru saja membeli mobil baru."Pokoknya, kalau Akang tidak beli mobil, kita cerai!" Si

    Last Updated : 2021-09-25
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   IV

    Galih terpaku di kasurnya, tak berkedip menatap wajah sang istri yang kini telah berubah menjadi sangat menyeramkan."Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum ...." Terbata Galih mengucapkannya dengan bibir gemetar. "Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum ...." Galih mengulanginya, tanpa bisa meneruskan."Hahahahahaahaaaa!" Imas tertawa nyaring seolah meledek.Galih tercekat. Ia beristigfar dalam hati, memohon kekuatan kepada Allah. Setelah dia yakin bisa merapalkan kembali ayat Kursi, Galih pun menyuarakannya dengan lantang.Tubuh Imas yang berada di dinding selayaknya cecak tiba-tiba merayap turun dengan cepat ke hadapan Galih, dan berusaha mencekik. Dengan sigap Galih menghindar, lalu memegang kuat tangan Imas."Imas, sadar! Istigfar, Neng!"Imas berontak, Galih semakin kewalahan. Dengan tenaga yang masih tersisa, Galih berusaha membisikkan Al Fatihah ke telinga Imas. Setelahnya Imas pun tak sadarkan diri.Galih terdudu

    Last Updated : 2021-09-25
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   V

    Acara hajatan dihentikan setelah penonton ricuh sebab ada dua orang yang kerasukan. Mereka diketahui salah satu sanak saudara yang punya hajat, yang memang mempunyai ilmu kebatinan. Sehingga mereka tak dapat mengendalikan diri saat mendengarkan tembang Bangbung Hideung."Ayo, bangun. Kamu pulang saja." Dasimah ditarik oleh salah satu pemain gamelan. "Di belakang panggung sudah menunggu orang yang mau bayar kamu."Dasimah mengangguk, lalu beranjak ke belakang panggung. Setelah mendapatkan apa yang menjadi haknya, Dasimah melangkah pulang.Saat membuka pintu rumah, Dasimah tercekat. Dia mendapati sosok wanita berkebaya berdiri membelakanginya. Perlahan Dasimah menghampiri."Punteun, Teh. Saha nya? Milarian saha? Kenapa ada di rumah saya?" tanya Dasimah.Wanita berkebaya itu membalikkan badan, memperlihatkan wajahnya yang hancur. Ternyata dia adalah sosok yang dilihat Dasimah menari di sudut panggung. Dasimah menjerit, dan mundur selangkah dengan tang

    Last Updated : 2021-10-01
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   VI

    Wa nunazzilu minal qur-aani maa huwa syifaa-uw warahmatul-lil mu’miniin."Ustaz Fikri menunjuk ke arah Imas sambil membaca surah Al-Israa 17:82 yang artinya: Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.Imas seketika merasakan mual. Ustaz Fikri memberi isyarat kepada sang istri, Ustazah Azizah, untuk segera menyiapkan keresek karena Imas akan muntah. Dan benar saja, saat keresek itu disimpan di bawah dagu Imas, dia langsung mengeluarkan isi perutnya, yang hanya lendir bercampur darah. Tak lama kemudian, Imas tak sadarkan diri. Setelah hampir 10 menit hilang kesadaran, akhirnya Imas siuman."Alhamdulillah!" seru Ustaz dan Galih bersamaan."Bagaimana perasaan Ibu sekarang?" tanya Ustaz."Sudah agak enakan, Ustaz," jawab Imas."Bu ... Ibu banyak-banyak

    Last Updated : 2021-10-01
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   VII

    Aa tidak menyangka, ternyata banyak juga, ya, penjual makanan yang pakai penglaris," ujar Galih setibanya mereka di rumah.Imas mengangguk. "Begitulah, A. Segala cara dihalalkan agar dagangan mereka laku. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah, ya, A. Aamiin.""Aamiin. Sekarang kita tidur saja, yuk." Galih mengedipkan sebelah matanya, membuat pipi Imas bersemu. Mereka pun beranjak ke kamar, dan larut dalam kemesraan selayaknya pasangan pengantin baru.Sementara itu, di luar sana Kang Asep sedang mendorong gerobak nasi gorengnya pulang dengan wajah semringah."Ning! Nining!" Tanpa mengucap salam ia mengetuk pintu rumah."Enya antosan!"sahut Nining dari dalam, lalu membuka pintu."Naon atuh, Kang? Meni gegerewekan!"Kang Asep bergegas masuk. Nining yang kebingungan langsung m

    Last Updated : 2021-10-01
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   VIII

    "Ibu merasa tidak, kalau di kampung kita ini sepertinya sudah tidak aman.""Tidak aman bagaimana? Banyak maling?"Ustaz Fikri menyesap kopinya, lalu menggeleng. "Bukan ... bukan maling, tapi sesuatu yang lebih berbahaya.""Maksudnya bagaimana, sih, Pak? Ibu tidak mengerti." Ustazah Azizah menatap wajah sang suami dengan dahi yang mengerut dalam."Pasien kita semakin hari semakin banyak. Gangguan yang menyerang mereka pun bermacam-macam. Kalau dua tiga tahun ke belakang, kan, pasien yang datang paling hanya kesurupan biasa atau yang sedang menjalani terapi pengobatan syari saja."Ustazah Azizah mengangguk pelan. "Iya juga, ya, Pak. Apa jangan-jangan ....""Jangan-jangan apa, Bu?""Mm ... jangan-jangan di kampung kita ada orang yang sedang mempraktikkan ilmu hitam, Pak.""Astagfirullah ... jangan suudzon, Bu. Tidak baik

    Last Updated : 2021-10-16
  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   IX

    Pria kurus tersebut mengangguk. Ia mengambil dua batang kayu yang runcing. Dengan sedikit canggung, sambil berjongkok di tepi balong, pria itu mulai membaca jampi, “Aki Gangga nu ti girang, Aki Ginggi nu ti hilir, aing ménta ingon-ingon, geura top!”Dilemparkannya kayu itu ke balong. Ikan-ikan kemudian bermunculan, tapi tak ada satu pun yang bertabrakan. Tak berapa lama, kayu yang dilempar mengambang bersamaan dengan seekor ikan. Pria gendut sampai melongo saking terpana melihatnya.Namun, tidak dengan Nyai Dasimah. Ia justru tertawa mendengar jampi yang dirapalkan pria kurus itu. "Hati-hati, Kang ...,” katanya kemudian."Hati-hati kenapa atuh, Nyai?""Jangan sampai nanti yang datang bukannya ikan, malah siluman." Dasimah terkekeh, lalu meninggalkan kedua pria yang ternganga sembari menatap punggung Dasimah yang kian menjauh.Sesampainya di warteg,

    Last Updated : 2021-10-19

Latest chapter

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   1. Arsyad

    Lima tahun telah berlalu semenjak kematian sang wanita penyebar 'ain, Nyai Dasimah. Kehidupan Galih dan Imas pun jauh lebih baik dan bahagia dengan kehadiran buah hati yang baru berusia 8 bulan. Mereka juga sudah menempati rumah baru saat Imas dinyatakan hamil demi melupakan kenangan buruk, yang mungkin bisa saja membawa pengaruh buruk juga untuk Arsyad, jagoan kecil mereka. Kini, pasangan suami istri itu bertempat tinggal di sudut kota yang terkenal dengan tahu gorengnya. Galih yang sudah setahun bekerja di dinas pemerintahan pun membuat roda perekonomian berputar dengan stabil daripada sebelumnya. "Yah, tidak kerja? Sudah jam setengah tujuh, nanti terlambat lho!" tanya Imas sambil mengusap lembut bahu Galih. Galih membuka mata, dan ditatapnya wajah Imas. "Kepala Ayah sakit, Bun." Imas pun menyentuh kening dan leher suaminya itu dengan punggung tangannya. "Ini, sih, demam.

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   PIPAHOKAN

    Dear, Readers. Bab selanjutnya masuk ke 'Ana-Ya'Inu season 2 ya! Perdana tayang lho, belum ada di platform lain. Sequel kok disatuin sama season 1? Perdana tayang kok nggak bikin buku baru lagi? Soalnya buat mencapai 100k kata, Gaess 🙈 Di season 1 cuma 24k kata. Irit banget emang buat sebuah novel, tapi aku emang tipe penulis yang nggak mau ikin cerita terlalu pa jang dan bertele-tele, dan rata-rata novel soloku yang udah terbit jumlah bab nya nggak lebih dari 25 bab. Alhasil, jujur aja untuk mencapai 100k kata ini aku kewalahan, apalagi dari awal nggak pernah kepikiran buat bikin sequel. Jadi, updatenya bakalan agak lama ya 🤭 Happy reading 🤗

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XXIII

    llmu hitamku kini semakin kuat. Jika saja bukan karena dia—yang aku agungkan—aku tak mungkin bisa seperti sekarang ini.Hari itu, saat Ki Prana meregang nyawa dengan cara mengenaskan, aku sempat kebingungan karena ilmuku otomatis menghilang. Namun, aku teringat suatu tempat, di mana aku bisa meminta ilmu.Dengan hanya berbekal pakaian yang melekat di tubuh, juga uang seadanya, aku pergi ke sana. Pantai Selatan.Dipayungi sinar purnama kutatap ombak yang menggulung besar disertai semilir aroma bunga melati. Kugelar ritual pemanggilan lengkap dengan dupa dan sesajen.Sangat kuat hawa magis di sini. Samar-samar terdengar suara gamelan dan kereta kencana. Dia sudah tiba. Namun, di luar dugaan, yang datang ternyata bukan Kanjeng Ratu, melainkan sang panglima komandan.“Pergilah ke gua besar di atas bukit!” perintahnya.Aku mengangguk patuh.

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XXII

    Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah Nyai Dasimah. Sangat gelap di dalam."Aaarghh!" Seketika itu juga tubuhku melayang, seperti ada yang menarikku ke belakang. Aku langsung terkapar di tanah.“Kang Asep!”Terdengar teriakan Ustaz Fikri. Aku membuka mata sambil meringis kesakitan. Pintu itu sudah tertutup. Beliau terkurung di dalam. Argh! Aku harus bagaimana? Aku harus segera menyelamatkan Ustaz Fikri atau Nyai Dasimah tidak akan membiarkannya hidup.Tunggu dulu. Aku harus minta tolong siapa? Dan bagaimana dengan nyawaku sendiri? Apa aku kabur saja?Perlahan aku bangkit dengan tubuh yang terasa hampir remuk. Kuperhatikan sekeliling. Di sini tidak ada rumah selain rumah Nyai Dasimah. Jalan satu-satunya aku harus ke bawah, dan meminta bantuan di sana.Terseok aku berjalan pincang sembari memegang bahu yang sakit. Kini tekad sudah bulat ingin menolong Ustaz Fikri. Jik

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XXI

    "Aku khilaf, Dasimah. Dan aku sudah kembali bertobat."Mata Dasimah berubah sendu. Air wajahnya terlihat kecewa. "Kalau begitu matilah bersama mereka!" Dengan sekali empasan tangan, tubuh Galih melayang dan tersungkur di dekat ustaz."Astagfirullah! Bangun, Pak Galih." Ustaz Fikri membantu Galih bangun. Kini tubuhnya tak lagi terikat."Makanlah mereka berdua, itu adalah santapan terakhir untukmu!" seru Dasimah, kemudian melirik Imas, "bawa dia untuk dijadikan budakku!" Kemudian Dasimah berbalik dan menghilang.Tiba-tiba pintu tempat ruangan Imas berada tertutup.Galih dan Ustaz Fikri berusaha membuka pintu itu dengan mendobraknya, tapi pintu tidak terbuka."Bagaimana ini, Ustaz? Apa kita akan mati di sini dimakan ular?" tanya Galih sambil melihat ular yang semakin mendekat.Ustaz Fikri memegang bahu Galih. "Tenang. Kita tida

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XX

    'Krieeeet'Deritan suara pintu yang mendadak terbuka mengejutkan mereka berdua."Masuklah!"Terdengar suara wanita yang menggema dari dalam rumah."Bagaimana ini, Ustaz? Itu sepertinya suara nyai.""Ayo, kita masuk, Kang," jawab Ustaz Fikri tanpa menoleh."B-baik, Ustaz.""Jangan takut, Kang. Allah bersama kita."Namun, ketika Kang Asep hendak melangkah, Ustaz Fikri mencekal tangannya."Tunggu!""Ada apa, Ustaz?" tanya Kang Asep kaget."Ada yang tidak beres. Sepertinya ini perangkap.""Perangkap?"Ustaz Fikri mengangguk. "Biar saya yang berjalan di depan." Ustaz pun melangkah sedangkan Kang Asep mengekor di belakangnya.Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah. Sangat gelap di dalam. Tiba

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XIX

    Hujan semakin deras. Kabut semakin tebal mengaburkan pandangan. Dalam perjalanannya menuju ke rumah orang yang diharapkan bisa membantunya, mobil Ustaz Fikri justru mogok tanpa sebab."Astagfirullah, kenapa ini?" gumam Ustaz Fikri sembari berulang kali menstater mobil. Namun, tetap saja mobil tak mau menyala.Ustaz Fikri menoleh kiri kanan, mencari tahu di mana dia sekarang. Ia memicingkan mata, mencoba melihat dengan jelas yang ada di hadapannya dari balik wiper yang terus bergerak naik turun."Hah? Makam?" Ustaz Fikri tersentak ketika membaca gapura di depannya bertuliskan TPU Sirna Raga.Meskipun bingung mengapa tiba-tiba saja ia berada di dekat makam, Ustaz Fikri tak begitu peduli. Ia terus berusaha menstater mobilnya sambil berdoa."Alhamdulillah," ucapnya ketika mesin mobil berhasil menyala kembali. Namun, begitu ia hendak menancapkan gas, di hadapannya ada sosok yang menghalangi jalan.

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XVIII

    ‘BRAK!’Pintu rumah tiba-tiba tertutup sendiri dengan keras saat ustaz hendak ke luar untuk pergi ke masjid."Ya Allah. Kenapa ini?" Ustaz berkali-kali mencoba membuka pintu, tapi hasilnya nihil. Ustaz Fikri mengusap wajahnya kasar. Dengan terpaksa ia salat di ruang tamu beralaskan lantai yang sudah disapunya. Selesai salat, ustaz kembali mencoba membuka pintu."Bismillahirrahmanirrahim ...."Pintu pun terbuka disambut ucapan hamdallah sang ustaz. Namun, ia belum sepenuhnya merasa lega. Ustaz Fikri justru bertambah bingung sebab ia tak tahu harus ke mana mencari Imas."Ustaz!"Samar-samar sebuah seruan mengejutkan ustaz."Bu Imas?""Ustaz, tolong saya!"Ustaz tersentak. Suara itu memanglah suara Imas, tapi di mana orangnya? Ustaz Fikri kembali mencari Imas ke dalam kamar, tapi Im

  • 'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah   XVII

    Ustazah mengernyit. "Sudah tahu?""Iya.""Tahu dari mana? Memangnya Ayah melihat?"Ustaz Fikri menggeleng. "Ayah tidak melihat, tapi ayah bisa merasakannya. Ibu tidak apa-apa, 'kan?""Iya, alhamdulillah.""Syukurlah. Ayah mau ke masjid dulu salat asar." Ustaz menengok ke arah Rizki. "Kamu jaga Ibu, ya? Kita gantian salatnya.""Iya, Yah." Rizki mengangguk patuh.◎◎◎"A, bagaimana ini? Sudah sore, tapi kok, ustaz dan istrinya belum ke sini juga? Apa tidak jadi, ya?" gerutu Imas."Aa juga tidak tahu, Neng. Mungkin mereka ada keperluan lain," jawab Galih."Coba Aa telepon.""Iya." Galih merogoh saku celananya, kemudian menelepon Ustaz Fikri."Assalamu'alaikum, Ustaz.""Wa'alaikumussalam, Pak Galih," balas Ustaz Fikri d

DMCA.com Protection Status