“Dengan siapa?” Lelaki paruh baya dengan syal kusam melekat di leher, menjadi ciri bahwa lelaki itu tidak sehat. Sudah Mawar tebak, jika ayahnya akan mempertanyakan izinnya menikah. “Mawar, Ayah tahu kalo Danesh menghamili perempuan lain dan sudah menikah. Jadi, siapa lelaki yang begitu cepat menaklukkan hati kamu?” Kembali Wira—ayah dari Mawar itu memperjelas pertanyaan yang belum terjawab. Mawar menghela napasnya, ia sebenarnya ingin berbohong tapi tidak punya bahan untuk kebohongannya. Lagipula, ia butuh wali untuk menikah, bukan?“Loh, kok gak dijawab-jawab? Nah, ini nih. Sudah, tidak apa-apa. Kamu bisa mendapatkan yang lebih dari Danesh,” ucapnya menyangka bahwa izin yang ia pinta ini hanya untuk memperlihatkan pada Danesh bawa ia juga bahagia. Nyatanya, bukan itu. Mawar mengambil tangan Wira yang begitu kasar, sebuah tangan yang telah bekerja keras untuk memberi keluarganya makan setiap hari ini terlihat keriput. “Ayah ... Mawar memang kecewa berat dengan Danesh tapi ada satu orang yang membuat Mawar mantap untuk menjalani ikatan suci,” ungkapnya dengan mata ke atas, membayangkan.
Wira memundurkan wajahnya, tidak menyangka bahwa putrinya itu serius. “Kamu, yakin?” Kembali pertanyaan Wira lontarkan, Mawar pun mengangguk sebagai pembenaran. “Mawar, dengar baik-baik. Menikah itu bukan orang pacaran yang kapan saja bisa selesai, bukan hanya—“ Mawar langsung menjeda ucapan dari Wira, “Ayah, restui aku kan?” Mata yang indah diturunkan sang ibu, terlihat begitu manis bagi Wira. Wira menghela napasnya. “Jika itu membuat anak Ayah bahagia, aku merestui sayang,” ucapnya langsung membuat Mawar menghambur ke pelukan Wira. Bibirnya ia gigit untuk tidak mengeluarkan suara tangis. Seandainya sang ayah tahu bahwa pernikahan ini hanya sebuah hukuman, sudah pasti ditolak mentah-mentah olehnya. “Dia pasti lelaki yang hebat karena berhasil membuat bunga Ayah, bangun dari rasa kecewanya.” Ia mengusap punggung putri pertama yang ia punya satu-satunya sekarang. Mawar mengusap air matanya sebelum, melepas pelukan. Ia pun langsung merebahkan kepalanya di pangkuan sang ayah. Sudah lama, tidak ia lakukan semenjak bekerja.
“Jadi, siapa lelaki itu?” Pertanyaan yang belum terjawab itu diulangi oleh Wira.
Mawar tersenyum kecut, tanpa diketahui sang ayah yang mengusap rambutnya perlahan. “Hmm ... Dia Izzan Madava. Seorang Owner dan CEO perusahaan Buana Dama, dia lelaki hebat dan penyayang yang pernah Mawar temui.” Setelahnya ingin Mawar memuntahkan apa yang telah ia ucapkan untuk membuat Wira yakin merestuinya.“Loh, hebat kamu dapat lelaki yang mapan. Kalo gitu, Ayah tenang, Nak.” Senyum terukir dari Wira, itu membuat Mawar merasa bersalah.
Hidup berdua dengan sang ayah ketika harus ikhlas menerima kepergian sang ibu dan adiknya yang masih kecil adalah hal yang membuat Mawar tumbuh menjadi perempuan tangguh. Takdir menyedihkan sudah pernah ia alami, mungkin nanti juga takdir yang tak kalah pedih akan hadir. “Uhuk ... Uhuk ... Ka-lo ada ibu dan adik kamu, pasti mereka bahagia banget liat kamu berhasil. Kerja sudah tetap, sekarang akan dinikahi dengan pria mapan dan pasti tampan,” ucapnya sambil terbatuk. Mawar hanya tersenyum tipis. *** Sajian yang begitu menggiurkan telah tertata di meja makan. Keluarga Izzan tak hentinya menatap Mawar dari atas rambut sampai kaki. Ya, lelaki itu menepati janjinya untuk berlaku manis di depan Wira. Meski ia tahu bahwa keluarga Izzan menatapnya tidak suka. “Pak Wira, jadi acara makan malam ini adalah acara lamaran keluarga untuk putri Bapak.” Hanafi, menjelaskan maksud dari acara makan malam yang berlangsung ini. “Syukurlah, akhirnya saya bisa bertemu dengan calon mertua anak saya. Untuk permasalahan diterima atau tidak, saya serahkan pada putri saya.” Seketika tatapan dari Izzan membuat Mawar mengalihkan pandangan. Ia tidak bisa memilih, jadi perkataan dari ayahnya jelas tidak cocok. “Jadi, bagaimana Mawar?” Hanafi kembali berbicara, dengan senyum terukir. Entah itu tulus atau palsu, lagi-lagi Mawar tidak bisa membedakannya. Merilekskan badan, kemudian menarik napasnya dalam ia mengangguk. “Aku, menerimanya.” Senyum kecut dari beberapa orang yang ada di hadapannya jelas membuat Mawar yakin bahwa keluarga lelaki itu tidak suka padanya. Terkecuali Hanafi, mungkin syarat yang ia ajukan pada Izzan mau tak mau memaksa Hanafi menjalankan sandiwara. Mawar mengalihkan tatapan pada sang ayah, untuk menghindari tatapan tak suka yang diperlihatkan oleh keluarga si lelaki. Ia mengamati wajah sang ayah yang tengah makan. Wajah sang ayah terlihat berseri, sepertinya senyum bertahan begitu lama di wajah yang sudah terlihat garis penuaannya. Mawar tersenyum miris, kembali ia membayangkan betapa hancur hati sang ayah jika tahu kenyataan yang tengah di hadapi putrinya. Tidak tahan, ia mulai berkaca-kaca. Untuk menghindari tatapan sang ayah, ia langsung pamit ke toilet. “Maaf, izin ke toilet.” Semua menoleh, seketika itu ia bangkit dari kursi dan berlari kecil meninggalkan meja makan. Brak. Mawar menutup pintu kamar mandi dengan keras, tak peduli beberapa orang menatapnya aneh. Tisu tengah ia pegang untuk mengusap air mata yang turun begitu saja. “Hiks ... Kenapa, harus aku Tuhan?” Ia berkata lirih, sambil memutar keran air agar suaranya tidak terdengar. Tak kuasa, ia menyumpal mulutnya dengan tisu agar teriakan yang ingin digaungkan itu tertahan. “Hiks ... Hiks ...,” tangisnya dengan tangan yang menarik rambutnya kuat. “Ibu ... bawa aku, pergi. Hiks ....” Pilu begitu mendominasi suara Mawar. “Gak usah lebay!” Tiba-tiba suara bariton yang menjadi penyebab tangis itu terdengar. Langsung saja Mawar menghentikan tangisnya, sebisa mungkin ia mengusap air mata agar tak terlihat begitu lemah di hadapan sang ayah nantinya. Ceklek. Mawar membuka pintu kamar mandi, terlihat sosok tinggi dengan jas yang menyampir di lengan. Keren, satu kata yang mungkin terpikirkan dari tampilan Izzan. Sayangnya, ketampanan itu terhalangi oleh sifatnya yang pemarah. Ya, hanya dengan Mawar lelaki itu mengeluarkan apinya. “Ngapain ke sini?” dinginnya, melenggang menuju wastafel. Lelaki itu menegakkan badan yang semula bersandar di tembok.“Ya, memastikan bahwa calon istrinya tidak kabur atau bahkan punya pikiran pendek.” Ia menjawab dengan enteng sambil memasukkan tangan ke saku celana.
Mawar mencoba santai, ia membuka dompet dan mengambil benda yang selalu dibawa oleh para kaum hawa, lipstik.“Saya, tidak mungkin kabur tanpa ayah. Sebab saya bukan Anda yang tega membiarkan orang lain jadi sasaran kejahatan, terlebih untuk balas dendam!” Sengaja ia menekan kata terakhirnya, lalu tangan lincahnya sebagai perempuan bergerak memoleskan ujung lipstik pada bibirnya.
Merasa tersinggung, tangannya langsung bergerak mengambil bahu Mawar. Gadis yang tengah mengoleskan lipstik pun terperanjat, membuat lipstiknya melebar ke pipi. Izzan langsung memojokkan gadis itu, sekarang jarak mereka begitu dekat. “Jangan, pernah buat saya emosi!” Kilat amarah yang pernah ia lihat dari mata itu, kembali dilihatnya hari ini, ia pun menunduk takut. Mawar memejamkan matanya. Melihat gadis itu menunduk, Izzan menyeringai. Perlahan ia mendekatkan wajahnya pada wajah si gadis yang kini matanya tertutup. Namun, merasakan sebuah napas yang menerpa wajahnya Mawar pun membuka mata dan sedikit mendongak. Alhasil, hidung mereka pun bersentuhan.Jarak yang begitu dekat itu membuat keduanya terdiam sejenak. Niat laki-laki itu adalah meludahinya, tapi sekarang mereka seperti sedang bercumbu.
Napas keduanya memburu, tidak ada yang ingin menghentikan. Mungkin pengaruh alkohol yang dipesannya sebelum makan malam, membuat kesadarannya berkurang. Lelaki itu semakin memendek jarak, sepertinya Mawar hanya diam tak berkutik bahkan gadis itu seperti terbawa suasana. Ia memejamkan matanya. Satu jangkauan lagi ... Bersambung ...Satu jangkauan lagi ... Ceklek. Suara langkah kaki mendekat, sedangkan dua insan yang hampir saling menempelkan bibir itu masih terpaku dan belum saling menjauh. “Oalah, kalo misalnya gak tahan mending langsung ke hotel saja daripada di kamar mandi. Ganggu, ya.” Dengan santainya, seorang wanita dengan lipstik merah darah itu berbicara lebih tepatnya berkomentar. “Ekhem ... Ekhem.” Izzan langsung mendorong tubuh Mawar, ia pun berdehem. Mawar juga langsung merapikan rambut dan lipstik yang tercoreng pada pipinya. Wanita yang sedang mencuci tangan di sebelah mereka pun, terkekeh pelan. Izzan masih menghadap tembok tak mau melihat ke arah suara yang sudah membuat pikirannya waras kembali. “Ya, sebenarnya lanjut saja tidak apa-apa. Lumayan tontonan gratis. Haha ... Haha ...,” ucapnya kemudian tertawa di akhir kalimatnya, membuat Izzan dongkol dan Mawar menelan
Lelaki dengan jas abunya tengah berdiri di hadapan para stafnya. Seharusnya memang pekerjaan mereka selesai, namun lelaki yang berstatus sebagai owner sekaligus CEO memilih membuat lembur para staf sampai pukul 12 malam, dengan embel-embel bonus yang langsung dibayar tunai keesokan harinya. Meski lelah, tapi para staf itu memilih mengambil bonus yang dijanjikan, sebab Izzan Madava selalu memberikan bonus dengan nilai yang tinggi. “Baik, terima kasih atas penjelasannya. Pendapat saya, tidak ada salahnya menaikkan harga tapi ingat harus diimbangi dengan kualitas yang terbaik juga. Jadi, saya harap Anda meninjaunya kembali,” ucapnya pada salah satu manajer. “Baik, Tuan.” Manajer itu menganggukkan kepalanya. “Oke, lanjut.” Ia kembali duduk, bertepatan dengan berdirinya seorang wanita yang akan memberikan laporannya tentang perusahaan. Drtt ... Drtt ... Handphone di meja membua
Lelaki yang masih menggunakan jas abunya itu membantu mendorong brankar yang dibawa para suster. Ia masih menepuk-nepuk pipi perempuan yang terbaring lemah.“Mohon, tunggu di luar saja.” Perawat rumah sakit itu menghentikan si lelaki yang ingin masuk, ke dalam ruang pemeriksaan.Tiba-tiba, Izzan memegang kepalanya yang terasa sakit. Ia menjangkau tembok kemudian duduk di kursi tunggu.Gemetar pun dirasakan Izzan, semua itu terjadi karena traumanya kembali.Ya, dua traumanya terjadi dalam waktu yang berdekatan. Pertama, api yang hampir membakarnya ketika kecil, akibat kelalaian pengasuhnya. Kedua, menunggu kecemasan hilang di rumah sakit.Mungkin, itu juga yang membuat si lelaki bersikap manis seakan melupakan balas dendamnya. Merasa sesuatu yang berbeda, Izzan langsung pergi dari depan ruang UGD.Membasuh wajah, seketika ia m
“Kamu, pikir aku mau ikut?” tanyanya dengan bibir melengkung bukan karena senyuman tapi ketidakpercayaan pada lawan bicaranya. Lelaki itu menghela napas. “Mawar, aku yakin kamu menerima pinangan CEO itu bukan karena cinta, ya kan?” Pertanyaan yang tepat sasaran. “Jangan sok tahu, ya.” Mawar jengkel, ia muak dengan mata menghanyutkan laki-laki itu. “Aku tahu ...,” ucapnya pelan langsung membuat Mawar mendelik. Melihat wajah gadis yang dicintainya sedikit berbeda, Izzan meraih tangan Mawar dan menggenggamnya. “Jadi, aku mohon jangan pernah korbankan hidup kamu hanya untuk menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kamu cintai.” “Apa yang kamu tahu?” Takut jika lelaki ini mengetahui sebuah rahasia dan tentunya ia akan mempertanyakan pada calon suaminya. “Mawar, aku tahu kalo kamu terpaksa kan menikah dengannya?” Matanya masih sama, begitu memikat.
Deg. Jantungnya bergemuruh ketika laki-laki itu mengucapkan kalimat yang membawanya pada satu hubungan. Dia, lelaki yang sudah mengambil tanggung jawab dari Ayahnya. Sungguh, meski ini hanya sebuah motif balas dendam tapi sudah membuatnya merasakan getaran aneh. Bukan cinta! Pengantin perempuan menggeleng, karena cinta sepertinya tidak akan tumbuh jika setiap hal yang dilakukan si lelaki itu hanya untuk menyakiti. “Mbak, senyumnya.” Suara fotografer membuat Mawar melengkungkan senyum terbaik yang ia punya meski tidak didukung oleh hati. Izzan sudah menikahi Mawar, gadis yang menjadi penyebab hilangnya nyawa sang calon istri. Kini mereka tengah diarahkan beberapa pose oleh fotografer yang di sewa. Selesai dengan itu, tiba saatnya bersalaman dengan para tamu undangan. Satu persatu pegawai kantor dan teman-temannya yang datang sekaligus bekerja sebagai wedding organizer pun me
Bulu mata yang begitu lentik menambah paras cantik seorang perempuan yang masih tertidur. Hingga, sinar mentari yang masuk melalui jendela kaca yang tertutup gorden itu membangunkannya. Perlahan matanya membuka, langit putih dengan lampu indah membuatnya langsung membulat seketika. Langsung ia menengok ke kanan dan kiri. Tempat tidur? Selimut putih? Tangan perempuan itu perlahan membuka selimut yang membalut tubuhnya. “Jangan-jangan?” Ia khawatir, mengingat bahwa kemarin adalah pesta pernikahannya dengan CEO Buana Dama. “Huh, syukurlah aman.” Bernapas lega ketika semua pakaian ganti yang semalam ia pakai itu masih utuh di badannya. Meski masih ingin bergulung dalam selimut, Mawar menurunkan kakinya dari atas ranjang hotel. Tok ... Tok ... Baru saja kaki gadis itu menginjak lantai, suara ketukan membuat dia diam terlebih dahulu. Matanya menyipi
Mawar masih tersedu, sedangkan suaminya tengah menerima panggilan. Ia hanya berharap segera pergi dari tempat yang begitu mengingatkannya tentang kesalahan. Izzan berdiri di hadapan Mawar refleks membuat si empu berdiri dan menggenggam lengan Izzan. Mata sang suami yang enggan di sentuh itu langsung membuat Mawar perlahan menjauhkan lengannya. "Ayo cepat, kita sudah di tunggu di sana." Tanpa menunggu, Izzan berjalan cepat meninggalkan MawarMenghela napas panjang, ia mencoba menyamai langkah Izzan namun tidak begitu takut jika akan ditinggal pergi. Akhirnya ia bisa menduduki jok mobil dengan tenang sampai kemudian mobil melaju meninggalkan tempat penyiksaannya. "Aku tahu ini kesalahan, aku akan coba untuk menebusnya." Mawar berkata dalam hati dengan mata menggenang. Sekitar setengah jam akhirnya mobil yang dikendarai Izzan berhenti. Ketika keluar, terlihat mobil yang sebelumnya bersama mereka terlihat diparkir di sebuah halaman yang begitu luas..Rumah sederhana dengan pekarangan
Sedih, ketika ternyata tempat pulang mu bukanlah rumah. -Mawar Anindita***Kapan bisa kita hidup tenang, jika dipaksa hidup bersama orang yang berniat balas dendam? Kekasaran tentu bukan tipikal Izzan, namun tatapan yang tercipta sungguh memuakkan bagi Mawar. Ia ingin ditatap cinta tapi itu hanya tertawaan tentunya. "Hoh, niatnya apa pergi sama mereka, hah?" tanyanya dengan intimidasi. Mawar hanya menunduk bingung apa yang harus ia jawab. Namun, Izzan tetaplah dia yang pasti memerlukan jawaban. "Jawab!" Lengan lelaki itu sedikit mencengkeram bahu. Mawar mundur agar lengan suaminya menjauh, berhasil. Setelahnya ia menjawab, "Aku tidak punya maksud apapun, menurut kamu seorang menantu bisa menolak ajakan dari keluarga mertuanya?" Sedikit mendongakkan wajah, seakan berani menantang. Izzan masih melototkan matanya, seakan api yang ada di mata itu tidak akan padam. Keduanya menatap sampai Izzan memutuskan kontak mata."Kita pulang, dua jam dari sekarang!" Perintah yang tidak bisa di
Jika harus menghukum dengan cara seperti ini, maka cukup dengan kamu saja yang lebih pantas bukan orang lain. -Mawar *** "Please, keluarkan saya dari sini. Hiks!" Tangisnya, tapi tidak membuat langkah Gena berhenti. Mawar sudah terpojok, ia pasrah. Jaket denimnya sudah tergeletak di atas lantai. "Hiks ...." Sekelebat bayangan ibunya menghampiri, sang ibu pernah mengatakan, "Jangan pernah kalah oleh keadaan, cari terus jalan ya." Entah kekuatan dari mana, Mawar mendorong lelaki yang jaraknya semakin dekat dengannya. Meski lolos, tapi ia bingung mencari jalan keluar. Pintu yang ia gedor untuk meminta bantuan tiba-tiba terdengar suara kunci yang membuka. Mengambil jaket denim Mawar berancang untuk keluar, hingga sosok yang tak disangka itu datang membuatnya lega. Izzan. Mawar menghambur ke pelukan Izzan meski ia tahu lelaki itu hanya diam. "Hiks ... Izzan please, tolong." Dengan air mata yang masih membasahi wajahnya, Mawar begitu erat memeluk seakan takut pelukan ini
Meski tidak punya rasa, bukan permainan seperti ini yang dirancang. -Izzan Madava***Aroma bumbu dan rempah-rempah menyeruak di dalam dapur, membuat siapa saja merasa lapar. Ketiga penghuni lama di rumah megah ini memang sering membagi tugas namun terkadang mereka mengerjakan tugas itu secara bersamaan. Mawar bukan seorang perempuan yang buta akan memasak, namun ia terkadang hanya memanfaatkan bahan yang ada lalu mengolahnya tanpa resep. Kali ini ia belajar masakan berat seperti pepes ikan, sayur lodeh dan beberapa masakan lainnya. "Gimana Mbok Yun, enak?" Mawar bertanya ketika Mbok Yun mencicipi sayur lodeh yang dibuatnya atas instruksi Yuhasanah. Wajah yang sudah mulai kendor itu sedikit mengernyitkan alis tanda yang membuat Mawar berdegup takut jika ia mengacaukan masakan. "So delicious!" Dengan logat khas sunda yang berpadu dengan bahasa asing. "Tuan Izzan pasti suka!" Uli langsung menimpali. Menarik senyum Mawar tahu harapan ini bisa saja hancur, tapi ia menikmati hal itu.
Sedih, ketika ternyata tempat pulang mu bukanlah rumah. -Mawar Anindita***Kapan bisa kita hidup tenang, jika dipaksa hidup bersama orang yang berniat balas dendam? Kekasaran tentu bukan tipikal Izzan, namun tatapan yang tercipta sungguh memuakkan bagi Mawar. Ia ingin ditatap cinta tapi itu hanya tertawaan tentunya. "Hoh, niatnya apa pergi sama mereka, hah?" tanyanya dengan intimidasi. Mawar hanya menunduk bingung apa yang harus ia jawab. Namun, Izzan tetaplah dia yang pasti memerlukan jawaban. "Jawab!" Lengan lelaki itu sedikit mencengkeram bahu. Mawar mundur agar lengan suaminya menjauh, berhasil. Setelahnya ia menjawab, "Aku tidak punya maksud apapun, menurut kamu seorang menantu bisa menolak ajakan dari keluarga mertuanya?" Sedikit mendongakkan wajah, seakan berani menantang. Izzan masih melototkan matanya, seakan api yang ada di mata itu tidak akan padam. Keduanya menatap sampai Izzan memutuskan kontak mata."Kita pulang, dua jam dari sekarang!" Perintah yang tidak bisa di
Mawar masih tersedu, sedangkan suaminya tengah menerima panggilan. Ia hanya berharap segera pergi dari tempat yang begitu mengingatkannya tentang kesalahan. Izzan berdiri di hadapan Mawar refleks membuat si empu berdiri dan menggenggam lengan Izzan. Mata sang suami yang enggan di sentuh itu langsung membuat Mawar perlahan menjauhkan lengannya. "Ayo cepat, kita sudah di tunggu di sana." Tanpa menunggu, Izzan berjalan cepat meninggalkan MawarMenghela napas panjang, ia mencoba menyamai langkah Izzan namun tidak begitu takut jika akan ditinggal pergi. Akhirnya ia bisa menduduki jok mobil dengan tenang sampai kemudian mobil melaju meninggalkan tempat penyiksaannya. "Aku tahu ini kesalahan, aku akan coba untuk menebusnya." Mawar berkata dalam hati dengan mata menggenang. Sekitar setengah jam akhirnya mobil yang dikendarai Izzan berhenti. Ketika keluar, terlihat mobil yang sebelumnya bersama mereka terlihat diparkir di sebuah halaman yang begitu luas..Rumah sederhana dengan pekarangan
Bulu mata yang begitu lentik menambah paras cantik seorang perempuan yang masih tertidur. Hingga, sinar mentari yang masuk melalui jendela kaca yang tertutup gorden itu membangunkannya. Perlahan matanya membuka, langit putih dengan lampu indah membuatnya langsung membulat seketika. Langsung ia menengok ke kanan dan kiri. Tempat tidur? Selimut putih? Tangan perempuan itu perlahan membuka selimut yang membalut tubuhnya. “Jangan-jangan?” Ia khawatir, mengingat bahwa kemarin adalah pesta pernikahannya dengan CEO Buana Dama. “Huh, syukurlah aman.” Bernapas lega ketika semua pakaian ganti yang semalam ia pakai itu masih utuh di badannya. Meski masih ingin bergulung dalam selimut, Mawar menurunkan kakinya dari atas ranjang hotel. Tok ... Tok ... Baru saja kaki gadis itu menginjak lantai, suara ketukan membuat dia diam terlebih dahulu. Matanya menyipi
Deg. Jantungnya bergemuruh ketika laki-laki itu mengucapkan kalimat yang membawanya pada satu hubungan. Dia, lelaki yang sudah mengambil tanggung jawab dari Ayahnya. Sungguh, meski ini hanya sebuah motif balas dendam tapi sudah membuatnya merasakan getaran aneh. Bukan cinta! Pengantin perempuan menggeleng, karena cinta sepertinya tidak akan tumbuh jika setiap hal yang dilakukan si lelaki itu hanya untuk menyakiti. “Mbak, senyumnya.” Suara fotografer membuat Mawar melengkungkan senyum terbaik yang ia punya meski tidak didukung oleh hati. Izzan sudah menikahi Mawar, gadis yang menjadi penyebab hilangnya nyawa sang calon istri. Kini mereka tengah diarahkan beberapa pose oleh fotografer yang di sewa. Selesai dengan itu, tiba saatnya bersalaman dengan para tamu undangan. Satu persatu pegawai kantor dan teman-temannya yang datang sekaligus bekerja sebagai wedding organizer pun me
“Kamu, pikir aku mau ikut?” tanyanya dengan bibir melengkung bukan karena senyuman tapi ketidakpercayaan pada lawan bicaranya. Lelaki itu menghela napas. “Mawar, aku yakin kamu menerima pinangan CEO itu bukan karena cinta, ya kan?” Pertanyaan yang tepat sasaran. “Jangan sok tahu, ya.” Mawar jengkel, ia muak dengan mata menghanyutkan laki-laki itu. “Aku tahu ...,” ucapnya pelan langsung membuat Mawar mendelik. Melihat wajah gadis yang dicintainya sedikit berbeda, Izzan meraih tangan Mawar dan menggenggamnya. “Jadi, aku mohon jangan pernah korbankan hidup kamu hanya untuk menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kamu cintai.” “Apa yang kamu tahu?” Takut jika lelaki ini mengetahui sebuah rahasia dan tentunya ia akan mempertanyakan pada calon suaminya. “Mawar, aku tahu kalo kamu terpaksa kan menikah dengannya?” Matanya masih sama, begitu memikat.
Lelaki yang masih menggunakan jas abunya itu membantu mendorong brankar yang dibawa para suster. Ia masih menepuk-nepuk pipi perempuan yang terbaring lemah.“Mohon, tunggu di luar saja.” Perawat rumah sakit itu menghentikan si lelaki yang ingin masuk, ke dalam ruang pemeriksaan.Tiba-tiba, Izzan memegang kepalanya yang terasa sakit. Ia menjangkau tembok kemudian duduk di kursi tunggu.Gemetar pun dirasakan Izzan, semua itu terjadi karena traumanya kembali.Ya, dua traumanya terjadi dalam waktu yang berdekatan. Pertama, api yang hampir membakarnya ketika kecil, akibat kelalaian pengasuhnya. Kedua, menunggu kecemasan hilang di rumah sakit.Mungkin, itu juga yang membuat si lelaki bersikap manis seakan melupakan balas dendamnya. Merasa sesuatu yang berbeda, Izzan langsung pergi dari depan ruang UGD.Membasuh wajah, seketika ia m
Lelaki dengan jas abunya tengah berdiri di hadapan para stafnya. Seharusnya memang pekerjaan mereka selesai, namun lelaki yang berstatus sebagai owner sekaligus CEO memilih membuat lembur para staf sampai pukul 12 malam, dengan embel-embel bonus yang langsung dibayar tunai keesokan harinya. Meski lelah, tapi para staf itu memilih mengambil bonus yang dijanjikan, sebab Izzan Madava selalu memberikan bonus dengan nilai yang tinggi. “Baik, terima kasih atas penjelasannya. Pendapat saya, tidak ada salahnya menaikkan harga tapi ingat harus diimbangi dengan kualitas yang terbaik juga. Jadi, saya harap Anda meninjaunya kembali,” ucapnya pada salah satu manajer. “Baik, Tuan.” Manajer itu menganggukkan kepalanya. “Oke, lanjut.” Ia kembali duduk, bertepatan dengan berdirinya seorang wanita yang akan memberikan laporannya tentang perusahaan. Drtt ... Drtt ... Handphone di meja membua