Gemetar pun dirasakan Izzan, semua itu terjadi karena traumanya kembali.
Ya, dua traumanya terjadi dalam waktu yang berdekatan. Pertama, api yang hampir membakarnya ketika kecil, akibat kelalaian pengasuhnya. Kedua, menunggu kecemasan hilang di rumah sakit. Mungkin, itu juga yang membuat si lelaki bersikap manis seakan melupakan balas dendamnya. Merasa sesuatu yang berbeda, Izzan langsung pergi dari depan ruang UGD. Membasuh wajah, seketika ia melihat sebuah kesalahan yang baru disadarinya. Peduli kepada si penghilang nyawa, itu yang harus diubah. “Nggak, aku akan tetap balas kematian kamu Vilia. Bagaimanapun, kamu masih orang yang begitu aku cintai. “ Izzan bergumam kemudian menampilkan senyum liciknya. Bisa saja perubahan emosi dari seorang Izzan terjadi, karena rasa kehilangan yang hampir membuatnya depresi sampai-sampai mengikuti amarahnya.Di sisi itu perempuan yang berbaring dengan jarum infus kembali menancap di punggung tangan, membuatnya menghela napas. Teringat kejadian yang mengawali semua luka yang tergores. Air mata menetes, teringat pernyataan lelaki yang telah menimbulkan luka bahkan sebelum perjanjian tersebut hadir. Setelah menikah dengan Izzan, pastinya akan sulit tertawa. Ceklek. Pintu terbuka, membuat Mawar langsung mengusap wajahnya yang penuh dengan air mata. Ia enggan menyambut meski sekadar menoleh. Suara sepatu milik lelaki itu beradu dengan lantai, membuatnya tahu jarak si lelaki yang mulai mendekat. “Bagaimana, keadaan kamu?” Kini lelaki itu berada di pinggir ranjang pasien namun Mawar, tetap tidak mengalihkan tatapannya. Izzan tersenyum licik, dia tahu bahwa gadis itu tidak mau melihat wajahnya. Bergerak perlahan, ia mulai berjalan untuk memposisikan diri di mana mata si gadis yang terbaring itu menatap.
Mawar terperanjat saat Izzan sudah berada dalam pandangan matanya, berjongkok dengan posisi wajah yang begitu dekat. Embusan napas beraroma maskulin akibat parfum yang dipakainya, hampir membuat Mawar termenung. Izzan menggerakkan tangannya, kembali menyentuh rambut gadis itu perlahan. “Jangan begitu, calon istri. Kamu lupa, siapa yang telah menyelamatkan nyawa kamu?” Suara lembut itu benar-benar memuakkan bagi Mawar. Mawar merasa aliran darahnya berhenti, ketika tangan itu tak hanya membelai rambutnya melainkan wajahnya. Dengan gugup, ia terus menelan saliva. “Calon suami kamu itu baik, membiarkan hidup meski calon istrinya itu telah menghilangkan nyawa seorang gadis.” Lelaki itu menyindir, dengan tatapan licik yang membuat Mawar kesal. Wajah mereka semakin dekat. Bukan keduanya yang saling mengikis jarak, hanya saja si lelaki yang terus mendekatkan wajahnya. Meski begitu, tatapan si gadis yang terbaring tidak terarah pada mata si lelaki. “Terus, kenapa Anda tidak membiarkan saya mati terpanggang saja?” tanyanya dengan nada kesal. “Itu, lebih baik daripada menikah dengan lelaki yang hanya akan memberikan neraka,” pelannya. Izzan terkekeh di depan wajah Mawar. Hanya beberapa detik, ekspresi itu berubah menjadi dingin. “Kamu harus tahu bahwa cara balas dendam tidak semudah itu, sayang.” Mawar diam. Pikirannya riuh karena ingin membalas semua perkataan Izzan, namun ia tidak bisa melakukan itu karena takut lelaki yang tidak berperikemanusiaan ini semakin marah. Menjauhkan badannya, berdiri dan merapikan jas yang dikenakan lelaki itu berucap, “Sebaiknya kamu istirahat, besok hanya waktu kamu untuk terus berbaring. Oh iya, pernikahan akan diadakan dalam dua hari.” Mawar langsung melotot tak percaya. Secepat itu? Apa dia tidak tahu persiapan pernikahan itu lama dan cukup sulit? “Tidak usah khawatir, semua acara sudah aku percayakan pada wedding organizer Beryl.” Lelaki itu dengan santai menggulung lengan bajunya.
“Apa, itu kan-“ “Iya, tempat kamu bekerja. Semua orang kini sudah mengetahui bahwa salah satu karyawan wedding organizer Beryl itu akan dipersunting oleh CEO Buana Dama. Jadi, jika kamu berulah seperti lari dari pernikahan, maka tempat kamu bekerja itu dipastikan bangkrut.” Mawar menggertakkan giginya. Lelaki yang melihatnya hanya menampilkan wajah datar. “Oke, sampai jumpa calon istri.” Mulai melangkah dengan tegap menuju pintu keluar. Tangan lelaki itu sudah memegang knop pintu, tapi ia berbalik kembali. “Oh iya, ayah tidak diberitahu soal ini. Jadi, jika beliau mengabari maka jangan meringis kesakitan.” Setelah mengatakan ini, Mawar teringat pada ayahnya. Lelaki tak punya hati itu ternyata punya sisi kemanusiaan terhadap orang tua. Meski begitu tega terhadap calon istrinya, Izzan begitu menghormati calon mertuanya. Ya, Mawar bersyukur setidaknya sang ayah tidak mendapat perlakuan buruk dari CEO angkuh itu. *** Satu hari setelah Mawar berbaring dengan jenuh di rumah sakit, akhirnya ia diizinkan pulang. Lebih tepatnya dipaksa pulang oleh sang CEO. Besok adalah hari pernikahan yang bisa saja menjadi awal dari segala penderitaan yang terikat pada si laki-laki. Semua teman-teman kerjanya mencecar Mawar dengan segala pertanyaan. Ya, maklum. Seorang perempuan yang diketahui sudah menjalin hubungan begitu lama namun berakhir sebuah pengkhianatan sungguh mengherankan begitu mudah percaya pada lelaki dan akhirnya memutuskan menikah. Banyak tentunya artikel dan beberapa cuitan di media sosial yang mengabarkan, bahwa Mawar Anindita itu seorang yang matre, perebut, mencari kesempatan dan berbagai hal negatif lainnya. “Tenang, semua media yang mengangkat berita tentang kamu sudah saya atasi.” Itulah kalimat calon suaminya, ketika Mawar melakukan panggilan. Segala rasa stres yang dialami Mawar ketika melihat berita-berita itu, diatasi secepat kilat dan begitu tenang. “Iya udah, tapi tetap saja beberapa orang di luar sana pasti ke hasut dan punya pemikiran gak baik tentang saya!” Mawar sedikit kesal pada calon suaminya. Belum saja si penerima panggilan itu menjawab. Mawar sudah berbicara lagi, “Kalo saja pernikahannya tidak secepat ini. Mungkin kita punya banyak waktu untuk memublikasikan dan menjelaskannya ke publik, kalo gini saya yang kena!” “Tidak usah berlebihan, saya malah senang kamu dicaci. Ingat, itu bukan apa-apa sayangku.” Izzan terkekeh dengan suara yang begitu puas terdengar. “Ya, setidaknya ja-“
“Sudah, saya tidak punya banyak urusan untuk meladeni kamu. Lagi pula saya harus bekerja. Oh iya, untuk besok ... Selamat datang di penjara sayang.” Mawar bergidik mendengarnya tapi ia tidak bisa melakukan apapun.
Tut! Panggilan dimatikan sepihak. “Dasar, CEO angkuh!” Mawar memaki Izzan dengan perantara handphone yang baru saja menjadi penghubung percakapan antara keduanya. Kabur? Masih Mawar pikirkan, ia dilema tentang pernikahannya dengan Izzan. Ini tidak baik, karena hanya didasari oleh rasa benci yang Izzan tanam dan sekarang Mawar juga mulai membenci lelaki itu. “Aaa, pusing! Kalo misalnya, semua ini tidak baik maka Ya Tuhan, gagalkanlah pernikahan tanpa harus merugikan siapapun dengan cara yang terbaik.” Mawar mengangkat tangannya, meminta petunjuk pada yang Sang Pencipta. Tok ... Tok. Mawar merebahkan diri di kasur, namun sebuah ketukan pintu membuatnya bangun dan keluar kamar untuk mengetahui siapa yang bertamu. Ia celingukan, siapa tahu pintu sudah dibuka oleh ayahnya. “Ayah, itu siapa?” Sambil berjalan, Mawar bertanya pada ayahnya namun sepertinya sang ayah tidak ada di rumah. Tok ... Tok ... “Iya, sebentar,” ucapnya. Ceklek. Pintu terbuka, menampilkan seorang laki-laki. Mawar bergeming, melihat orang di hadapannya. Sampai akhirnya lelaki itu berbicara, “Kamu, tidak boleh menikah dengan dia!” tegasnya dengan napas memburu.“Ayo, kita kabur!”
Inikah jawaban dari-Mu? Tapi, kenapa harus dia? Bersambung ...“Kamu, pikir aku mau ikut?” tanyanya dengan bibir melengkung bukan karena senyuman tapi ketidakpercayaan pada lawan bicaranya. Lelaki itu menghela napas. “Mawar, aku yakin kamu menerima pinangan CEO itu bukan karena cinta, ya kan?” Pertanyaan yang tepat sasaran. “Jangan sok tahu, ya.” Mawar jengkel, ia muak dengan mata menghanyutkan laki-laki itu. “Aku tahu ...,” ucapnya pelan langsung membuat Mawar mendelik. Melihat wajah gadis yang dicintainya sedikit berbeda, Izzan meraih tangan Mawar dan menggenggamnya. “Jadi, aku mohon jangan pernah korbankan hidup kamu hanya untuk menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kamu cintai.” “Apa yang kamu tahu?” Takut jika lelaki ini mengetahui sebuah rahasia dan tentunya ia akan mempertanyakan pada calon suaminya. “Mawar, aku tahu kalo kamu terpaksa kan menikah dengannya?” Matanya masih sama, begitu memikat.
Deg. Jantungnya bergemuruh ketika laki-laki itu mengucapkan kalimat yang membawanya pada satu hubungan. Dia, lelaki yang sudah mengambil tanggung jawab dari Ayahnya. Sungguh, meski ini hanya sebuah motif balas dendam tapi sudah membuatnya merasakan getaran aneh. Bukan cinta! Pengantin perempuan menggeleng, karena cinta sepertinya tidak akan tumbuh jika setiap hal yang dilakukan si lelaki itu hanya untuk menyakiti. “Mbak, senyumnya.” Suara fotografer membuat Mawar melengkungkan senyum terbaik yang ia punya meski tidak didukung oleh hati. Izzan sudah menikahi Mawar, gadis yang menjadi penyebab hilangnya nyawa sang calon istri. Kini mereka tengah diarahkan beberapa pose oleh fotografer yang di sewa. Selesai dengan itu, tiba saatnya bersalaman dengan para tamu undangan. Satu persatu pegawai kantor dan teman-temannya yang datang sekaligus bekerja sebagai wedding organizer pun me
Bulu mata yang begitu lentik menambah paras cantik seorang perempuan yang masih tertidur. Hingga, sinar mentari yang masuk melalui jendela kaca yang tertutup gorden itu membangunkannya. Perlahan matanya membuka, langit putih dengan lampu indah membuatnya langsung membulat seketika. Langsung ia menengok ke kanan dan kiri. Tempat tidur? Selimut putih? Tangan perempuan itu perlahan membuka selimut yang membalut tubuhnya. “Jangan-jangan?” Ia khawatir, mengingat bahwa kemarin adalah pesta pernikahannya dengan CEO Buana Dama. “Huh, syukurlah aman.” Bernapas lega ketika semua pakaian ganti yang semalam ia pakai itu masih utuh di badannya. Meski masih ingin bergulung dalam selimut, Mawar menurunkan kakinya dari atas ranjang hotel. Tok ... Tok ... Baru saja kaki gadis itu menginjak lantai, suara ketukan membuat dia diam terlebih dahulu. Matanya menyipi
Mawar masih tersedu, sedangkan suaminya tengah menerima panggilan. Ia hanya berharap segera pergi dari tempat yang begitu mengingatkannya tentang kesalahan. Izzan berdiri di hadapan Mawar refleks membuat si empu berdiri dan menggenggam lengan Izzan. Mata sang suami yang enggan di sentuh itu langsung membuat Mawar perlahan menjauhkan lengannya. "Ayo cepat, kita sudah di tunggu di sana." Tanpa menunggu, Izzan berjalan cepat meninggalkan MawarMenghela napas panjang, ia mencoba menyamai langkah Izzan namun tidak begitu takut jika akan ditinggal pergi. Akhirnya ia bisa menduduki jok mobil dengan tenang sampai kemudian mobil melaju meninggalkan tempat penyiksaannya. "Aku tahu ini kesalahan, aku akan coba untuk menebusnya." Mawar berkata dalam hati dengan mata menggenang. Sekitar setengah jam akhirnya mobil yang dikendarai Izzan berhenti. Ketika keluar, terlihat mobil yang sebelumnya bersama mereka terlihat diparkir di sebuah halaman yang begitu luas..Rumah sederhana dengan pekarangan
Sedih, ketika ternyata tempat pulang mu bukanlah rumah. -Mawar Anindita***Kapan bisa kita hidup tenang, jika dipaksa hidup bersama orang yang berniat balas dendam? Kekasaran tentu bukan tipikal Izzan, namun tatapan yang tercipta sungguh memuakkan bagi Mawar. Ia ingin ditatap cinta tapi itu hanya tertawaan tentunya. "Hoh, niatnya apa pergi sama mereka, hah?" tanyanya dengan intimidasi. Mawar hanya menunduk bingung apa yang harus ia jawab. Namun, Izzan tetaplah dia yang pasti memerlukan jawaban. "Jawab!" Lengan lelaki itu sedikit mencengkeram bahu. Mawar mundur agar lengan suaminya menjauh, berhasil. Setelahnya ia menjawab, "Aku tidak punya maksud apapun, menurut kamu seorang menantu bisa menolak ajakan dari keluarga mertuanya?" Sedikit mendongakkan wajah, seakan berani menantang. Izzan masih melototkan matanya, seakan api yang ada di mata itu tidak akan padam. Keduanya menatap sampai Izzan memutuskan kontak mata."Kita pulang, dua jam dari sekarang!" Perintah yang tidak bisa di
Meski tidak punya rasa, bukan permainan seperti ini yang dirancang. -Izzan Madava***Aroma bumbu dan rempah-rempah menyeruak di dalam dapur, membuat siapa saja merasa lapar. Ketiga penghuni lama di rumah megah ini memang sering membagi tugas namun terkadang mereka mengerjakan tugas itu secara bersamaan. Mawar bukan seorang perempuan yang buta akan memasak, namun ia terkadang hanya memanfaatkan bahan yang ada lalu mengolahnya tanpa resep. Kali ini ia belajar masakan berat seperti pepes ikan, sayur lodeh dan beberapa masakan lainnya. "Gimana Mbok Yun, enak?" Mawar bertanya ketika Mbok Yun mencicipi sayur lodeh yang dibuatnya atas instruksi Yuhasanah. Wajah yang sudah mulai kendor itu sedikit mengernyitkan alis tanda yang membuat Mawar berdegup takut jika ia mengacaukan masakan. "So delicious!" Dengan logat khas sunda yang berpadu dengan bahasa asing. "Tuan Izzan pasti suka!" Uli langsung menimpali. Menarik senyum Mawar tahu harapan ini bisa saja hancur, tapi ia menikmati hal itu.
Jika harus menghukum dengan cara seperti ini, maka cukup dengan kamu saja yang lebih pantas bukan orang lain. -Mawar *** "Please, keluarkan saya dari sini. Hiks!" Tangisnya, tapi tidak membuat langkah Gena berhenti. Mawar sudah terpojok, ia pasrah. Jaket denimnya sudah tergeletak di atas lantai. "Hiks ...." Sekelebat bayangan ibunya menghampiri, sang ibu pernah mengatakan, "Jangan pernah kalah oleh keadaan, cari terus jalan ya." Entah kekuatan dari mana, Mawar mendorong lelaki yang jaraknya semakin dekat dengannya. Meski lolos, tapi ia bingung mencari jalan keluar. Pintu yang ia gedor untuk meminta bantuan tiba-tiba terdengar suara kunci yang membuka. Mengambil jaket denim Mawar berancang untuk keluar, hingga sosok yang tak disangka itu datang membuatnya lega. Izzan. Mawar menghambur ke pelukan Izzan meski ia tahu lelaki itu hanya diam. "Hiks ... Izzan please, tolong." Dengan air mata yang masih membasahi wajahnya, Mawar begitu erat memeluk seakan takut pelukan ini
Plak!Satu tamparan ia layangkan pada seorang laki-laki yang telah menghancurkan perasaannya, menghancurkan kepercayaan yang sudah ia bangun dalam hubungan ini.“Dasar bajingan! Gak tau malu!” Ia terus memukul-mukul dada cowok itu.Lelaki itu terduduk, ia bersimpuh di kaki gadis yang telah ia sakiti.“A-ku minta maaf Mawar, aku khilaf.” Gadis yang tadi menampar si lelaki itu, enggan di sentuh bahkan di kaki sekalipun.Laki-laki itu tak tinggal diam, ia meraih kembali kaki si gadis dan memeluknya untuk mendapatkan pengampunan.Gadis bernama Mawar itu berusaha menahan tangis dalam dirinya, tapi tetap saja air mata berhasil membobol pertahanan yang ia bangun.“Aku gak pernah masalah, kamu gak kabarin aku gara-gara game. Sama sekali gak keberatan ....” Lagi, ia memukul lelaki yang
Jika harus menghukum dengan cara seperti ini, maka cukup dengan kamu saja yang lebih pantas bukan orang lain. -Mawar *** "Please, keluarkan saya dari sini. Hiks!" Tangisnya, tapi tidak membuat langkah Gena berhenti. Mawar sudah terpojok, ia pasrah. Jaket denimnya sudah tergeletak di atas lantai. "Hiks ...." Sekelebat bayangan ibunya menghampiri, sang ibu pernah mengatakan, "Jangan pernah kalah oleh keadaan, cari terus jalan ya." Entah kekuatan dari mana, Mawar mendorong lelaki yang jaraknya semakin dekat dengannya. Meski lolos, tapi ia bingung mencari jalan keluar. Pintu yang ia gedor untuk meminta bantuan tiba-tiba terdengar suara kunci yang membuka. Mengambil jaket denim Mawar berancang untuk keluar, hingga sosok yang tak disangka itu datang membuatnya lega. Izzan. Mawar menghambur ke pelukan Izzan meski ia tahu lelaki itu hanya diam. "Hiks ... Izzan please, tolong." Dengan air mata yang masih membasahi wajahnya, Mawar begitu erat memeluk seakan takut pelukan ini
Meski tidak punya rasa, bukan permainan seperti ini yang dirancang. -Izzan Madava***Aroma bumbu dan rempah-rempah menyeruak di dalam dapur, membuat siapa saja merasa lapar. Ketiga penghuni lama di rumah megah ini memang sering membagi tugas namun terkadang mereka mengerjakan tugas itu secara bersamaan. Mawar bukan seorang perempuan yang buta akan memasak, namun ia terkadang hanya memanfaatkan bahan yang ada lalu mengolahnya tanpa resep. Kali ini ia belajar masakan berat seperti pepes ikan, sayur lodeh dan beberapa masakan lainnya. "Gimana Mbok Yun, enak?" Mawar bertanya ketika Mbok Yun mencicipi sayur lodeh yang dibuatnya atas instruksi Yuhasanah. Wajah yang sudah mulai kendor itu sedikit mengernyitkan alis tanda yang membuat Mawar berdegup takut jika ia mengacaukan masakan. "So delicious!" Dengan logat khas sunda yang berpadu dengan bahasa asing. "Tuan Izzan pasti suka!" Uli langsung menimpali. Menarik senyum Mawar tahu harapan ini bisa saja hancur, tapi ia menikmati hal itu.
Sedih, ketika ternyata tempat pulang mu bukanlah rumah. -Mawar Anindita***Kapan bisa kita hidup tenang, jika dipaksa hidup bersama orang yang berniat balas dendam? Kekasaran tentu bukan tipikal Izzan, namun tatapan yang tercipta sungguh memuakkan bagi Mawar. Ia ingin ditatap cinta tapi itu hanya tertawaan tentunya. "Hoh, niatnya apa pergi sama mereka, hah?" tanyanya dengan intimidasi. Mawar hanya menunduk bingung apa yang harus ia jawab. Namun, Izzan tetaplah dia yang pasti memerlukan jawaban. "Jawab!" Lengan lelaki itu sedikit mencengkeram bahu. Mawar mundur agar lengan suaminya menjauh, berhasil. Setelahnya ia menjawab, "Aku tidak punya maksud apapun, menurut kamu seorang menantu bisa menolak ajakan dari keluarga mertuanya?" Sedikit mendongakkan wajah, seakan berani menantang. Izzan masih melototkan matanya, seakan api yang ada di mata itu tidak akan padam. Keduanya menatap sampai Izzan memutuskan kontak mata."Kita pulang, dua jam dari sekarang!" Perintah yang tidak bisa di
Mawar masih tersedu, sedangkan suaminya tengah menerima panggilan. Ia hanya berharap segera pergi dari tempat yang begitu mengingatkannya tentang kesalahan. Izzan berdiri di hadapan Mawar refleks membuat si empu berdiri dan menggenggam lengan Izzan. Mata sang suami yang enggan di sentuh itu langsung membuat Mawar perlahan menjauhkan lengannya. "Ayo cepat, kita sudah di tunggu di sana." Tanpa menunggu, Izzan berjalan cepat meninggalkan MawarMenghela napas panjang, ia mencoba menyamai langkah Izzan namun tidak begitu takut jika akan ditinggal pergi. Akhirnya ia bisa menduduki jok mobil dengan tenang sampai kemudian mobil melaju meninggalkan tempat penyiksaannya. "Aku tahu ini kesalahan, aku akan coba untuk menebusnya." Mawar berkata dalam hati dengan mata menggenang. Sekitar setengah jam akhirnya mobil yang dikendarai Izzan berhenti. Ketika keluar, terlihat mobil yang sebelumnya bersama mereka terlihat diparkir di sebuah halaman yang begitu luas..Rumah sederhana dengan pekarangan
Bulu mata yang begitu lentik menambah paras cantik seorang perempuan yang masih tertidur. Hingga, sinar mentari yang masuk melalui jendela kaca yang tertutup gorden itu membangunkannya. Perlahan matanya membuka, langit putih dengan lampu indah membuatnya langsung membulat seketika. Langsung ia menengok ke kanan dan kiri. Tempat tidur? Selimut putih? Tangan perempuan itu perlahan membuka selimut yang membalut tubuhnya. “Jangan-jangan?” Ia khawatir, mengingat bahwa kemarin adalah pesta pernikahannya dengan CEO Buana Dama. “Huh, syukurlah aman.” Bernapas lega ketika semua pakaian ganti yang semalam ia pakai itu masih utuh di badannya. Meski masih ingin bergulung dalam selimut, Mawar menurunkan kakinya dari atas ranjang hotel. Tok ... Tok ... Baru saja kaki gadis itu menginjak lantai, suara ketukan membuat dia diam terlebih dahulu. Matanya menyipi
Deg. Jantungnya bergemuruh ketika laki-laki itu mengucapkan kalimat yang membawanya pada satu hubungan. Dia, lelaki yang sudah mengambil tanggung jawab dari Ayahnya. Sungguh, meski ini hanya sebuah motif balas dendam tapi sudah membuatnya merasakan getaran aneh. Bukan cinta! Pengantin perempuan menggeleng, karena cinta sepertinya tidak akan tumbuh jika setiap hal yang dilakukan si lelaki itu hanya untuk menyakiti. “Mbak, senyumnya.” Suara fotografer membuat Mawar melengkungkan senyum terbaik yang ia punya meski tidak didukung oleh hati. Izzan sudah menikahi Mawar, gadis yang menjadi penyebab hilangnya nyawa sang calon istri. Kini mereka tengah diarahkan beberapa pose oleh fotografer yang di sewa. Selesai dengan itu, tiba saatnya bersalaman dengan para tamu undangan. Satu persatu pegawai kantor dan teman-temannya yang datang sekaligus bekerja sebagai wedding organizer pun me
“Kamu, pikir aku mau ikut?” tanyanya dengan bibir melengkung bukan karena senyuman tapi ketidakpercayaan pada lawan bicaranya. Lelaki itu menghela napas. “Mawar, aku yakin kamu menerima pinangan CEO itu bukan karena cinta, ya kan?” Pertanyaan yang tepat sasaran. “Jangan sok tahu, ya.” Mawar jengkel, ia muak dengan mata menghanyutkan laki-laki itu. “Aku tahu ...,” ucapnya pelan langsung membuat Mawar mendelik. Melihat wajah gadis yang dicintainya sedikit berbeda, Izzan meraih tangan Mawar dan menggenggamnya. “Jadi, aku mohon jangan pernah korbankan hidup kamu hanya untuk menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kamu cintai.” “Apa yang kamu tahu?” Takut jika lelaki ini mengetahui sebuah rahasia dan tentunya ia akan mempertanyakan pada calon suaminya. “Mawar, aku tahu kalo kamu terpaksa kan menikah dengannya?” Matanya masih sama, begitu memikat.
Lelaki yang masih menggunakan jas abunya itu membantu mendorong brankar yang dibawa para suster. Ia masih menepuk-nepuk pipi perempuan yang terbaring lemah.“Mohon, tunggu di luar saja.” Perawat rumah sakit itu menghentikan si lelaki yang ingin masuk, ke dalam ruang pemeriksaan.Tiba-tiba, Izzan memegang kepalanya yang terasa sakit. Ia menjangkau tembok kemudian duduk di kursi tunggu.Gemetar pun dirasakan Izzan, semua itu terjadi karena traumanya kembali.Ya, dua traumanya terjadi dalam waktu yang berdekatan. Pertama, api yang hampir membakarnya ketika kecil, akibat kelalaian pengasuhnya. Kedua, menunggu kecemasan hilang di rumah sakit.Mungkin, itu juga yang membuat si lelaki bersikap manis seakan melupakan balas dendamnya. Merasa sesuatu yang berbeda, Izzan langsung pergi dari depan ruang UGD.Membasuh wajah, seketika ia m
Lelaki dengan jas abunya tengah berdiri di hadapan para stafnya. Seharusnya memang pekerjaan mereka selesai, namun lelaki yang berstatus sebagai owner sekaligus CEO memilih membuat lembur para staf sampai pukul 12 malam, dengan embel-embel bonus yang langsung dibayar tunai keesokan harinya. Meski lelah, tapi para staf itu memilih mengambil bonus yang dijanjikan, sebab Izzan Madava selalu memberikan bonus dengan nilai yang tinggi. “Baik, terima kasih atas penjelasannya. Pendapat saya, tidak ada salahnya menaikkan harga tapi ingat harus diimbangi dengan kualitas yang terbaik juga. Jadi, saya harap Anda meninjaunya kembali,” ucapnya pada salah satu manajer. “Baik, Tuan.” Manajer itu menganggukkan kepalanya. “Oke, lanjut.” Ia kembali duduk, bertepatan dengan berdirinya seorang wanita yang akan memberikan laporannya tentang perusahaan. Drtt ... Drtt ... Handphone di meja membua