“Apa? Jangan sampai dia hangus terbakar!” tanpa penjelasan, CEO itu pergi meninggalkan ruang rapat.
Sekretarisnya mencoba menghentikan tapi tidak dihiraukan sama sekali.
“Tuan, rapatnya?” ucapnya tapi tidak membuat sang bos berhenti. Suara sepatu yang beradu dengan lantai menjadi jawaban, membuat para karyawannya menghela napas panjang. Mobil hitam itu melaju dengan cepat, sopir yang biasa menyetir itu ditinggalkan. Satu-satunya yang berada dipikirkan CEO itu adalah Mawar Anindita. Tin ... Bunyi klakson di malam hari menggema di jalan kota menuju sebuah restoran.para pengemudi memaki laki-laki yang mengendarai mobil mewahnya namun, tentu tidak dihiraukan.
Hingga akhirnya mobil hitam sang CEO itu melaju dengan bebas. Tak lama mobil dengan suara daruratnya pun, menerobos dan berhasil mendahului Izzan. Melihat itu, Izzan tidak berusaha menyalip, karena ia tahu itu akan menyelamatkan gedung yang tengah terbakar. Ia pun mengikuti mobil pemadam kebakaran di belakang. Mengambil ponsel, kemudian memasang earphone pada telinga. Ia mulai menghubungi seseorang. “Hallo.” “Iya, Zan kapan Ke sini?” Suara orang itu menggema di telinga si lelaki. “Gimana, bisa cek keadaan Mawar? Sekarang, dia udah keluar kan?” Ingin mengonfirmasi bahwa gadis yang merupakan calon istrinya itu aman. “Duh Izzan, ini yang mau gue kasih tahu. Kita gak bisa turun ke bawah, apinya besar banget,” ucapnya was-was. Laki-laki yang tengah mengemudi itu berdecak menanggapi informasi yang diberikan. Ia pun menutup panggilan yang berlangsung. Restoran Violet. Sebuah nama restoran yang menjadi tujuannya, ketika nama itu terlihat oleh bola matanya Izzan pun membelokkan setir untuk masuk ke area restoran. Citt ... Mobil itu berhenti dengan cepat. Terlihat beberapa orang sudah keluar dari gedung, karena takut api itu naik ke tempat para tamu. Suara air dengan volume besar, menyiram bara api yang sudah terlihat di luar. Suara teriakan komando dari pemimpin, pemadam kebakaran pun menggema. Izzan melihat api yang membesar, tiba-tiba matanya begitu takut. Kejadian yang pernah ia alami harusnya dihindari, sayangnya ia harus membawa gadis yang dikuncinya itu kembali. Tio berlari ke arah Izzan. “Jangan mendekati api,” ucapnya mengetahui ada sedikit trauma pada sahabatnya mengenai api. Entah apa yang dirasakan Izzan. Sekarang, keringat mengucur dari pelipisnya. Matanya juga mulai berair.“Izzan, ikut gue.” Tio membawa tangan sahabatnya tapi dihempaskan langsung oleh si empunya. “Mawar bro, harus diselamatkan!” Setelah mengatakan ini, lelaki yang memakai jas kerjanya berlari ke arah ruangan, di mana ia mengunci calon istrinya. Tio berteriak, tapi tentunya tidak menghentikan laki-laki itu. “Izzan!” Tio langsung menyusul dengan beberapa pemadam agar tetap aman dari kawalan. Masuk ke sebuah dapur, sekarang ia sudah berada di tempat parkiran. Izzan menghela napasnya sedikit lega ketika area parkir masih aman dari api. Berjalan sedikit ke arah utara, laki-laki itu terkejut karena api yang ada di dalam gedung tempatnya menyekap Mawar itu sudah menumbangkan satu kayu, yang beberapa jam lalu ia gunakan untuk menutup. Napas laki-laki itu memburu ketika api mulai menguasai matanya. Tak kuat, ia pun mulai terduduk karena kakinya begitu lemas. Kejadian yang membuatnya sedikit trauma pada api pun berputar kembali. “Huh ... Arghh!” Matanya memerah, tatapan dengan napas yang menggebu itu terarah pada bangunan yang kini mulai terdengar suara. Tok ... Tok ... “To-long! Hiks ... Ada api,” ucapnya sambil menangis berharap masih ada yang menyelamatkannya. “Ayah, to-long Mawar.” Ia menyerah, selama beberapa menit ia menggedor pintu tapi hasilnya tidak ada yang mendengarnya. Air mata terus membanjiri wajah, tangannya menggenggam kedua bahu karena takut api semakin mendekat. Namun, panas mulai terasa di wajahnya. Api mulai menjalar memakan kayu dari kursi yang sudah tidak layak pakai. Bugh. “Akhh!” Sontak saja Mawar berteriak ketika kayu yang sudah terbakar api jatuh di hadapannya, semakin luruh air mata gadis itu. “Mawar ....” Mendengar itu, lelaki yang tengah merasakan pusing akibat api yang dilihatnya pun langsung berdiri dan menghampiri pintu yang ia kunci.
Dengan keringat yang membasahi tubuh si lelaki diikuti dengan urat kepala dan lehernya yang mengeras. Ia mengambil kunci di saku celananya, tapi ia tidak menemukan kunci itu. Tak ambil pusing, ia menjaga jarak degan pintu. Berancang-ancang, ia langsung menghantamkan badannya ke pintu dengan keras. Brak! Pintu itu terbuka, tubuh Izzan sedikit terdorong ke dalam. Langsung saja ia mencari sosok yang ia kunci. Menoleh, akhirnya ia menemukan gadis yang tengah menatap matanya dengan air bening yang mengumpul. Mawar syok, bahkan ketika ada seseorang yang membuka pintu. Ia malah termangu memandang si lelaki. Langsung, Izzan memeluk Mawar sebagai responsnya ketika melihat gadis itu masih baik-baik saja. Entah kenapa, Izzan tidak memikirkan balas dendam, mungkin fokusnya ada untuk menyelamatkan gadis yang ia kunci di gudang ini.
Meski dingin, sikap yang tercipta ketika kepergian sang kekasih. Izzan tetaplah manusia yang masih memiliki naluri hati.
Ia juga tidak ingin membunuh seseorang. Tersadar, bahwa ia sudah aman. Mawar langsung membalas pelukan itu, menenggelamkan wajahnya untuk menangis lebih dalam meski ia tahu jika sosok yang tengah memeluknya adalah lelaki yang membenci dirinya. Mengurai pelukan. Tanpa kata, Izzan mengangkat tubuh gadis itu ala bridal style. Meski sedikit terkejut karena sikap si lelaki yang begitu kembut, Mawar juga merespons baik dengan mengalungkan lengannya di leher sang calon suami. Membawa Mawar keluar dari ruangan tentu bukan hal yang mudah. Sesekali beberapa kayu yang rapuh oleh api, hampir menghantam kepala keduanya. Bugh! Sebuah benda menghantam kepala gadis dalam gendongan. Meski masih membuka matanya, Mawar memegangi kepalanya yang sedikit berdenyut.“Akhh.” Mawar meringis, membuat Izzan menoleh.
“Tahan, sebentar lagi kita keluar.” Izzan berlari sambil menggendong Mawar dengan cepat, sebab pintu hampir terhalang oleh asap dan api yang begitu besar. Tidak kuat, Izzan tersungkur sambil memeluk gadis dalam gendongannya. Mereka sudah berada di luar gedung, sehingga banyak yang kemudian menghampiri. “Pusing ...,” lirihnya membuat Izzan memperhatikan wajah si gadis. Matanya menutup kemudian membuka lagi, sampai akhirnya mata yang memiliki bulu mata yang indah itu terpejam. “Mawar ... Mawar!” Izzan berteriak, menepuk-nepuk pipi si gadis.Beberapa petugas kesehatan pun mulai mendatangi, mencoba memberikan pemeriksaan pada gadis yang hampir mati terpanggang. “Cepat, dia tidak boleh mati!” Bersambung ...Hallo, terima kasih sudah berkenan membaca. Jangan lupa beri komentarnya ya, supaya jejak kalian ada. See you next part!
Lelaki yang masih menggunakan jas abunya itu membantu mendorong brankar yang dibawa para suster. Ia masih menepuk-nepuk pipi perempuan yang terbaring lemah.“Mohon, tunggu di luar saja.” Perawat rumah sakit itu menghentikan si lelaki yang ingin masuk, ke dalam ruang pemeriksaan.Tiba-tiba, Izzan memegang kepalanya yang terasa sakit. Ia menjangkau tembok kemudian duduk di kursi tunggu.Gemetar pun dirasakan Izzan, semua itu terjadi karena traumanya kembali.Ya, dua traumanya terjadi dalam waktu yang berdekatan. Pertama, api yang hampir membakarnya ketika kecil, akibat kelalaian pengasuhnya. Kedua, menunggu kecemasan hilang di rumah sakit.Mungkin, itu juga yang membuat si lelaki bersikap manis seakan melupakan balas dendamnya. Merasa sesuatu yang berbeda, Izzan langsung pergi dari depan ruang UGD.Membasuh wajah, seketika ia m
“Kamu, pikir aku mau ikut?” tanyanya dengan bibir melengkung bukan karena senyuman tapi ketidakpercayaan pada lawan bicaranya. Lelaki itu menghela napas. “Mawar, aku yakin kamu menerima pinangan CEO itu bukan karena cinta, ya kan?” Pertanyaan yang tepat sasaran. “Jangan sok tahu, ya.” Mawar jengkel, ia muak dengan mata menghanyutkan laki-laki itu. “Aku tahu ...,” ucapnya pelan langsung membuat Mawar mendelik. Melihat wajah gadis yang dicintainya sedikit berbeda, Izzan meraih tangan Mawar dan menggenggamnya. “Jadi, aku mohon jangan pernah korbankan hidup kamu hanya untuk menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kamu cintai.” “Apa yang kamu tahu?” Takut jika lelaki ini mengetahui sebuah rahasia dan tentunya ia akan mempertanyakan pada calon suaminya. “Mawar, aku tahu kalo kamu terpaksa kan menikah dengannya?” Matanya masih sama, begitu memikat.
Deg. Jantungnya bergemuruh ketika laki-laki itu mengucapkan kalimat yang membawanya pada satu hubungan. Dia, lelaki yang sudah mengambil tanggung jawab dari Ayahnya. Sungguh, meski ini hanya sebuah motif balas dendam tapi sudah membuatnya merasakan getaran aneh. Bukan cinta! Pengantin perempuan menggeleng, karena cinta sepertinya tidak akan tumbuh jika setiap hal yang dilakukan si lelaki itu hanya untuk menyakiti. “Mbak, senyumnya.” Suara fotografer membuat Mawar melengkungkan senyum terbaik yang ia punya meski tidak didukung oleh hati. Izzan sudah menikahi Mawar, gadis yang menjadi penyebab hilangnya nyawa sang calon istri. Kini mereka tengah diarahkan beberapa pose oleh fotografer yang di sewa. Selesai dengan itu, tiba saatnya bersalaman dengan para tamu undangan. Satu persatu pegawai kantor dan teman-temannya yang datang sekaligus bekerja sebagai wedding organizer pun me
Bulu mata yang begitu lentik menambah paras cantik seorang perempuan yang masih tertidur. Hingga, sinar mentari yang masuk melalui jendela kaca yang tertutup gorden itu membangunkannya. Perlahan matanya membuka, langit putih dengan lampu indah membuatnya langsung membulat seketika. Langsung ia menengok ke kanan dan kiri. Tempat tidur? Selimut putih? Tangan perempuan itu perlahan membuka selimut yang membalut tubuhnya. “Jangan-jangan?” Ia khawatir, mengingat bahwa kemarin adalah pesta pernikahannya dengan CEO Buana Dama. “Huh, syukurlah aman.” Bernapas lega ketika semua pakaian ganti yang semalam ia pakai itu masih utuh di badannya. Meski masih ingin bergulung dalam selimut, Mawar menurunkan kakinya dari atas ranjang hotel. Tok ... Tok ... Baru saja kaki gadis itu menginjak lantai, suara ketukan membuat dia diam terlebih dahulu. Matanya menyipi
Mawar masih tersedu, sedangkan suaminya tengah menerima panggilan. Ia hanya berharap segera pergi dari tempat yang begitu mengingatkannya tentang kesalahan. Izzan berdiri di hadapan Mawar refleks membuat si empu berdiri dan menggenggam lengan Izzan. Mata sang suami yang enggan di sentuh itu langsung membuat Mawar perlahan menjauhkan lengannya. "Ayo cepat, kita sudah di tunggu di sana." Tanpa menunggu, Izzan berjalan cepat meninggalkan MawarMenghela napas panjang, ia mencoba menyamai langkah Izzan namun tidak begitu takut jika akan ditinggal pergi. Akhirnya ia bisa menduduki jok mobil dengan tenang sampai kemudian mobil melaju meninggalkan tempat penyiksaannya. "Aku tahu ini kesalahan, aku akan coba untuk menebusnya." Mawar berkata dalam hati dengan mata menggenang. Sekitar setengah jam akhirnya mobil yang dikendarai Izzan berhenti. Ketika keluar, terlihat mobil yang sebelumnya bersama mereka terlihat diparkir di sebuah halaman yang begitu luas..Rumah sederhana dengan pekarangan
Sedih, ketika ternyata tempat pulang mu bukanlah rumah. -Mawar Anindita***Kapan bisa kita hidup tenang, jika dipaksa hidup bersama orang yang berniat balas dendam? Kekasaran tentu bukan tipikal Izzan, namun tatapan yang tercipta sungguh memuakkan bagi Mawar. Ia ingin ditatap cinta tapi itu hanya tertawaan tentunya. "Hoh, niatnya apa pergi sama mereka, hah?" tanyanya dengan intimidasi. Mawar hanya menunduk bingung apa yang harus ia jawab. Namun, Izzan tetaplah dia yang pasti memerlukan jawaban. "Jawab!" Lengan lelaki itu sedikit mencengkeram bahu. Mawar mundur agar lengan suaminya menjauh, berhasil. Setelahnya ia menjawab, "Aku tidak punya maksud apapun, menurut kamu seorang menantu bisa menolak ajakan dari keluarga mertuanya?" Sedikit mendongakkan wajah, seakan berani menantang. Izzan masih melototkan matanya, seakan api yang ada di mata itu tidak akan padam. Keduanya menatap sampai Izzan memutuskan kontak mata."Kita pulang, dua jam dari sekarang!" Perintah yang tidak bisa di
Meski tidak punya rasa, bukan permainan seperti ini yang dirancang. -Izzan Madava***Aroma bumbu dan rempah-rempah menyeruak di dalam dapur, membuat siapa saja merasa lapar. Ketiga penghuni lama di rumah megah ini memang sering membagi tugas namun terkadang mereka mengerjakan tugas itu secara bersamaan. Mawar bukan seorang perempuan yang buta akan memasak, namun ia terkadang hanya memanfaatkan bahan yang ada lalu mengolahnya tanpa resep. Kali ini ia belajar masakan berat seperti pepes ikan, sayur lodeh dan beberapa masakan lainnya. "Gimana Mbok Yun, enak?" Mawar bertanya ketika Mbok Yun mencicipi sayur lodeh yang dibuatnya atas instruksi Yuhasanah. Wajah yang sudah mulai kendor itu sedikit mengernyitkan alis tanda yang membuat Mawar berdegup takut jika ia mengacaukan masakan. "So delicious!" Dengan logat khas sunda yang berpadu dengan bahasa asing. "Tuan Izzan pasti suka!" Uli langsung menimpali. Menarik senyum Mawar tahu harapan ini bisa saja hancur, tapi ia menikmati hal itu.
Jika harus menghukum dengan cara seperti ini, maka cukup dengan kamu saja yang lebih pantas bukan orang lain. -Mawar *** "Please, keluarkan saya dari sini. Hiks!" Tangisnya, tapi tidak membuat langkah Gena berhenti. Mawar sudah terpojok, ia pasrah. Jaket denimnya sudah tergeletak di atas lantai. "Hiks ...." Sekelebat bayangan ibunya menghampiri, sang ibu pernah mengatakan, "Jangan pernah kalah oleh keadaan, cari terus jalan ya." Entah kekuatan dari mana, Mawar mendorong lelaki yang jaraknya semakin dekat dengannya. Meski lolos, tapi ia bingung mencari jalan keluar. Pintu yang ia gedor untuk meminta bantuan tiba-tiba terdengar suara kunci yang membuka. Mengambil jaket denim Mawar berancang untuk keluar, hingga sosok yang tak disangka itu datang membuatnya lega. Izzan. Mawar menghambur ke pelukan Izzan meski ia tahu lelaki itu hanya diam. "Hiks ... Izzan please, tolong." Dengan air mata yang masih membasahi wajahnya, Mawar begitu erat memeluk seakan takut pelukan ini
Jika harus menghukum dengan cara seperti ini, maka cukup dengan kamu saja yang lebih pantas bukan orang lain. -Mawar *** "Please, keluarkan saya dari sini. Hiks!" Tangisnya, tapi tidak membuat langkah Gena berhenti. Mawar sudah terpojok, ia pasrah. Jaket denimnya sudah tergeletak di atas lantai. "Hiks ...." Sekelebat bayangan ibunya menghampiri, sang ibu pernah mengatakan, "Jangan pernah kalah oleh keadaan, cari terus jalan ya." Entah kekuatan dari mana, Mawar mendorong lelaki yang jaraknya semakin dekat dengannya. Meski lolos, tapi ia bingung mencari jalan keluar. Pintu yang ia gedor untuk meminta bantuan tiba-tiba terdengar suara kunci yang membuka. Mengambil jaket denim Mawar berancang untuk keluar, hingga sosok yang tak disangka itu datang membuatnya lega. Izzan. Mawar menghambur ke pelukan Izzan meski ia tahu lelaki itu hanya diam. "Hiks ... Izzan please, tolong." Dengan air mata yang masih membasahi wajahnya, Mawar begitu erat memeluk seakan takut pelukan ini
Meski tidak punya rasa, bukan permainan seperti ini yang dirancang. -Izzan Madava***Aroma bumbu dan rempah-rempah menyeruak di dalam dapur, membuat siapa saja merasa lapar. Ketiga penghuni lama di rumah megah ini memang sering membagi tugas namun terkadang mereka mengerjakan tugas itu secara bersamaan. Mawar bukan seorang perempuan yang buta akan memasak, namun ia terkadang hanya memanfaatkan bahan yang ada lalu mengolahnya tanpa resep. Kali ini ia belajar masakan berat seperti pepes ikan, sayur lodeh dan beberapa masakan lainnya. "Gimana Mbok Yun, enak?" Mawar bertanya ketika Mbok Yun mencicipi sayur lodeh yang dibuatnya atas instruksi Yuhasanah. Wajah yang sudah mulai kendor itu sedikit mengernyitkan alis tanda yang membuat Mawar berdegup takut jika ia mengacaukan masakan. "So delicious!" Dengan logat khas sunda yang berpadu dengan bahasa asing. "Tuan Izzan pasti suka!" Uli langsung menimpali. Menarik senyum Mawar tahu harapan ini bisa saja hancur, tapi ia menikmati hal itu.
Sedih, ketika ternyata tempat pulang mu bukanlah rumah. -Mawar Anindita***Kapan bisa kita hidup tenang, jika dipaksa hidup bersama orang yang berniat balas dendam? Kekasaran tentu bukan tipikal Izzan, namun tatapan yang tercipta sungguh memuakkan bagi Mawar. Ia ingin ditatap cinta tapi itu hanya tertawaan tentunya. "Hoh, niatnya apa pergi sama mereka, hah?" tanyanya dengan intimidasi. Mawar hanya menunduk bingung apa yang harus ia jawab. Namun, Izzan tetaplah dia yang pasti memerlukan jawaban. "Jawab!" Lengan lelaki itu sedikit mencengkeram bahu. Mawar mundur agar lengan suaminya menjauh, berhasil. Setelahnya ia menjawab, "Aku tidak punya maksud apapun, menurut kamu seorang menantu bisa menolak ajakan dari keluarga mertuanya?" Sedikit mendongakkan wajah, seakan berani menantang. Izzan masih melototkan matanya, seakan api yang ada di mata itu tidak akan padam. Keduanya menatap sampai Izzan memutuskan kontak mata."Kita pulang, dua jam dari sekarang!" Perintah yang tidak bisa di
Mawar masih tersedu, sedangkan suaminya tengah menerima panggilan. Ia hanya berharap segera pergi dari tempat yang begitu mengingatkannya tentang kesalahan. Izzan berdiri di hadapan Mawar refleks membuat si empu berdiri dan menggenggam lengan Izzan. Mata sang suami yang enggan di sentuh itu langsung membuat Mawar perlahan menjauhkan lengannya. "Ayo cepat, kita sudah di tunggu di sana." Tanpa menunggu, Izzan berjalan cepat meninggalkan MawarMenghela napas panjang, ia mencoba menyamai langkah Izzan namun tidak begitu takut jika akan ditinggal pergi. Akhirnya ia bisa menduduki jok mobil dengan tenang sampai kemudian mobil melaju meninggalkan tempat penyiksaannya. "Aku tahu ini kesalahan, aku akan coba untuk menebusnya." Mawar berkata dalam hati dengan mata menggenang. Sekitar setengah jam akhirnya mobil yang dikendarai Izzan berhenti. Ketika keluar, terlihat mobil yang sebelumnya bersama mereka terlihat diparkir di sebuah halaman yang begitu luas..Rumah sederhana dengan pekarangan
Bulu mata yang begitu lentik menambah paras cantik seorang perempuan yang masih tertidur. Hingga, sinar mentari yang masuk melalui jendela kaca yang tertutup gorden itu membangunkannya. Perlahan matanya membuka, langit putih dengan lampu indah membuatnya langsung membulat seketika. Langsung ia menengok ke kanan dan kiri. Tempat tidur? Selimut putih? Tangan perempuan itu perlahan membuka selimut yang membalut tubuhnya. “Jangan-jangan?” Ia khawatir, mengingat bahwa kemarin adalah pesta pernikahannya dengan CEO Buana Dama. “Huh, syukurlah aman.” Bernapas lega ketika semua pakaian ganti yang semalam ia pakai itu masih utuh di badannya. Meski masih ingin bergulung dalam selimut, Mawar menurunkan kakinya dari atas ranjang hotel. Tok ... Tok ... Baru saja kaki gadis itu menginjak lantai, suara ketukan membuat dia diam terlebih dahulu. Matanya menyipi
Deg. Jantungnya bergemuruh ketika laki-laki itu mengucapkan kalimat yang membawanya pada satu hubungan. Dia, lelaki yang sudah mengambil tanggung jawab dari Ayahnya. Sungguh, meski ini hanya sebuah motif balas dendam tapi sudah membuatnya merasakan getaran aneh. Bukan cinta! Pengantin perempuan menggeleng, karena cinta sepertinya tidak akan tumbuh jika setiap hal yang dilakukan si lelaki itu hanya untuk menyakiti. “Mbak, senyumnya.” Suara fotografer membuat Mawar melengkungkan senyum terbaik yang ia punya meski tidak didukung oleh hati. Izzan sudah menikahi Mawar, gadis yang menjadi penyebab hilangnya nyawa sang calon istri. Kini mereka tengah diarahkan beberapa pose oleh fotografer yang di sewa. Selesai dengan itu, tiba saatnya bersalaman dengan para tamu undangan. Satu persatu pegawai kantor dan teman-temannya yang datang sekaligus bekerja sebagai wedding organizer pun me
“Kamu, pikir aku mau ikut?” tanyanya dengan bibir melengkung bukan karena senyuman tapi ketidakpercayaan pada lawan bicaranya. Lelaki itu menghela napas. “Mawar, aku yakin kamu menerima pinangan CEO itu bukan karena cinta, ya kan?” Pertanyaan yang tepat sasaran. “Jangan sok tahu, ya.” Mawar jengkel, ia muak dengan mata menghanyutkan laki-laki itu. “Aku tahu ...,” ucapnya pelan langsung membuat Mawar mendelik. Melihat wajah gadis yang dicintainya sedikit berbeda, Izzan meraih tangan Mawar dan menggenggamnya. “Jadi, aku mohon jangan pernah korbankan hidup kamu hanya untuk menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kamu cintai.” “Apa yang kamu tahu?” Takut jika lelaki ini mengetahui sebuah rahasia dan tentunya ia akan mempertanyakan pada calon suaminya. “Mawar, aku tahu kalo kamu terpaksa kan menikah dengannya?” Matanya masih sama, begitu memikat.
Lelaki yang masih menggunakan jas abunya itu membantu mendorong brankar yang dibawa para suster. Ia masih menepuk-nepuk pipi perempuan yang terbaring lemah.“Mohon, tunggu di luar saja.” Perawat rumah sakit itu menghentikan si lelaki yang ingin masuk, ke dalam ruang pemeriksaan.Tiba-tiba, Izzan memegang kepalanya yang terasa sakit. Ia menjangkau tembok kemudian duduk di kursi tunggu.Gemetar pun dirasakan Izzan, semua itu terjadi karena traumanya kembali.Ya, dua traumanya terjadi dalam waktu yang berdekatan. Pertama, api yang hampir membakarnya ketika kecil, akibat kelalaian pengasuhnya. Kedua, menunggu kecemasan hilang di rumah sakit.Mungkin, itu juga yang membuat si lelaki bersikap manis seakan melupakan balas dendamnya. Merasa sesuatu yang berbeda, Izzan langsung pergi dari depan ruang UGD.Membasuh wajah, seketika ia m
Lelaki dengan jas abunya tengah berdiri di hadapan para stafnya. Seharusnya memang pekerjaan mereka selesai, namun lelaki yang berstatus sebagai owner sekaligus CEO memilih membuat lembur para staf sampai pukul 12 malam, dengan embel-embel bonus yang langsung dibayar tunai keesokan harinya. Meski lelah, tapi para staf itu memilih mengambil bonus yang dijanjikan, sebab Izzan Madava selalu memberikan bonus dengan nilai yang tinggi. “Baik, terima kasih atas penjelasannya. Pendapat saya, tidak ada salahnya menaikkan harga tapi ingat harus diimbangi dengan kualitas yang terbaik juga. Jadi, saya harap Anda meninjaunya kembali,” ucapnya pada salah satu manajer. “Baik, Tuan.” Manajer itu menganggukkan kepalanya. “Oke, lanjut.” Ia kembali duduk, bertepatan dengan berdirinya seorang wanita yang akan memberikan laporannya tentang perusahaan. Drtt ... Drtt ... Handphone di meja membua