Home / Romansa / Ambivalensi CEO / Bab 3 : Lelaki yang Diselimuti Emosi

Share

Bab 3 : Lelaki yang Diselimuti Emosi

Author: MA Marayna
last update Last Updated: 2021-08-26 12:32:23

“Mawar Anindita, permisi.” Kembali suara itu terdengar oleh Mawar yang masih menutupi wajah dengan selimut.

Melihat pergerakan dari tangan yang semakin mengeratkan tarikan, lelaki itu mengerti bahwa orang yang terbaring itu ketakutan.

“Saya bukan orang jahat,” ucapnya berhasil membuat gadis yang berbaring itu menurunkan selimutnya.

Mata cokelat dengan bulu mata yang lentik menyapa pandangan laki-laki yang tadi terus menyebutkan nama.

Tidak bisa dihindarkan, tatapan itu menghanyutkan mata si gadis yang terpesona dengan mata si laki-laki.

Semakin ia tatap, mata si laki-laki ternyata begitu menakutkan. Ia pun memilih mengalihkannya dengan cepat.

“Kamu, siapa?” tanyanya tak melihat ke arah laki-laki itu.

Lelaki itu menunjukkan senyum liciknya tanpa sepengetahuan Mawar. Ia mengulurkan tangan, membuat Mawar menoleh. “Perkenalkan, Izzan Madava. Owner sekaligus CEO Perusahaan Buana Dama.”

Mawar langsung menyipitkan mata mendengar nama perusahaan. Meski ragu, perlahan tangan gadis itu menyentuh tangan Izzan. Senyum datar gadis itu ditunjukkan. “Mawar.”

Tangannya tertahan, sebab lelaki yang mengulurkan tangan menahannya. Dengan mata yang membulat, Mawar memberi kode lewat matanya meminta untuk dilepaskan. Bukannya dilepaskan, laki-laki itu memperkuat tekanan yang ia berikan.

“Argh ... lepas,” ucapnya menahan sakit karena jari lelaki itu menekan jarum infus yang ada di punggung tangannya.

Izzan menyeringai melihat raut kesakitan dari wajah Mawar, mungkin ini pertama kalinya ia bahagia melihat orang lain merasakan sakit. Ia tidak mau melepas, bahkan menambah rasa sakit itu.

Cairan merah pun keluar, semakin membuat Mawar merasakan sakit yang luar biasa di tangannya.

“Arghh ... sakit. Apa mau kamu, hah?” Dengan rasa sakit yang semakin bertambah, Mawar mempertanyakan alasan laki-laki itu menyakitinya.

Ia menekan lebih kuat.

“Perempuan bergaun merah, yang kamu hilangkan nyawanya itu calon istriku!” Mata lelaki itu memerah, dengan tatapan menakutkan membuat gadis itu memberontak meski kalah kuat dengan tenaga laki-laki yang penuh emosi.

“To-long!” teriaknya.

“Kamu, sadar sudah membunuh orang lain?” tanyanya sengaja membuat gadis itu ketakutan.

Mawar menggeleng dengan mata yang berkaca-kaca. “Nggak! Perempuan itu pasti masih hidup, a-ku bukan pembunuh! Hiks ....” Mawar menangis, bukan karena rasa sakit dari Izzan tapi mengingat perempuan gaun merah yang tak sengaja ia tabrak.

“Aku yang membawanya ke rumah sakit, aku yang menyentuh darah segar yang keluar dari dahinya. Aku juga yang membantu menguburkan mayatnya!” Intonasi yang begitu menakutkan bagi Mawar.

“Argh ... Aku minta maaf, hiks ....” Ia meringis kemudian memohon ampunan sebab tekanan pada tangannya begitu sakit.

“Bagaimana, rasanya? Sakit hah? Apa menurut kamu, saya bahagia kehilangan dia di hari pernikahan kami hah?” Ia menyentak, sambil terus memperkuat tekanan pada tangan gadis itu.

“Hiks ... Argh. Mohon, aku mau lakukan apapun asal jangan ke penjara. To-long lepas, sakit.” Ia mengucapkan kalimat ini dengan penuh air mata, mengingat jika dirinya di kantor polisi siapa yang akan mengurus ayahnya yang jatuh sakit setelah ditinggal sang ibu.

“Wah, kenapa kamu takut?” Mata itu mendekat, membuat Mawar memundurkan wajahnya.

Seringai yang terbentuk, benar-benar jauh dari citra seorang Izzan yang begitu lembut di mata semua orang. “Tenang sayang, penjara itu terlalu indah untuk kamu.” Mendengar ini, ada sedikit rasa lega, tapi Mawar melihat sebuah hal yang begitu menakutkan di mata lelaki itu.

“Hiks ... Le-pas ...,” ringisnya karena Izzan belum juga mengakhiri tekanan pada punggung tangannya.

“Menikah, dengan saya itu adalah hukuman untuk kamu,” ucapnya dengan satu tangan membelai helai rambut yang terlepas dari tali pengikat rambutnya.

Mawar langsung menepis tangan itu, sakitnya masih terasa. Dengan tegas ia menolak, “Nggak! Aku gak mau nikah sama orang seperti kamu!” Meski lelaki itu adalah owner sekaligus CEO, ia belum mengenal laki-laki itu. Satu hal yang terpenting, ia tidak tau maksud laki-laki itu menjadikannya istri.

“Kenapa? Kamu mau tahu alasannya?” Tebakan yang begitu tepat.

Sedikit melepas tangannya yang sekarang berdenyut nyeri. Ia juga mulai menjauhkan wajahnya dengan tegak.

“Balas dendam. Itu yang akan dilakukan saya, caranya menikah dengan kamu. Saya harus kehilangan calon istri, maka kamu tidak pantas bahagia dengan pilihan kamu!”

Mawar menutup mata, tarikan napas membuatnya semakin menitikkan air mata. “Saya, sudah menikah.” Meski tidak terlalu yakin dengan alasan ini Mawar nekat mengatakannya.

“Haha ... Haha. Kamu pikir, saya orang bodoh?” Ia tersenyum smirk. “Semua hal tentang kamu, sudah saya kantongi. Termasuk ayah kamu yang sedang sakit, benar?” tanyanya membuat Mawar membulatkan mata.

Bodoh! Ia merutuki kebodohan, rasa takut dan terancam membuatnya tidak bisa mencari alasan untuk solusi masalah ini.

Brak.

Pintu terbuka, menampilkan seorang laki-laki berambut panjang yang diikat rendah. Ia langsung mendekat dengan napas yang memburu. Pandangan Izzan begitu santai, membuat Mawar menggigit bibir bawahnya takut jika itu adalah teman dari si lelaki kejam ini.

“Zan, kenapa gak mau denger perkataan gue sih?” tanyanya, kemudian melihat darah di tangan Izzan yang masih menekan punggung tangan si gadis.

“Lo, bisa bikin orang mati!” Langsung saja tangan itu terbebas dari tekanan, meski kini rasa denyutan perih terus menyerang.

Izzan menghela napasnya. “Kalo, gue diberi hak untuk membunuh, maka orang pertama itu harus dia!” Masih saja ia menatap kesal pada gadis yang sudah menjauhkan dirinya dengan Vilia.

“Zan sadar, kepergian Vilia memang tertabrak. Oke, semuanya bisa diselesaikan lewat jalur hukum. Gak usah menyakiti, kalo gini lo bisa kena hukuman juga bodoh!” Tio menyentak lelaki yang baru saja kehilangan belahan jiwanya.

“Gak perlu. Kalo jalur hukum dia hanya mendapat hukuman enam tahun di penjara, sedangkan gue harus kehilangan Vilia selama-lamanya!” Masih saja emosi mempengaruhi lelaki ini.

Tio mengernyit, ia bingung menawarkan apa lagi untuk membuat Izzan meredam emosinya. “Oke, jadi mau lo apa?” Pasrah, Tio mempertanyakan kemauan Izzan yang pastinya sadis.

“Menikahi si penghilang nyawa, itu keputusan gue.” Perkataan yang terlontar ini tentu saja membuat kedua bola mata sahabatnya keluar.

“Apa?”

“Gue gak bisa bersatu sama Vilia, dia juga gak akan pernah bisa bahagia dengan orang yang dia cinta!” Sekali lagi, sebuah intonasi yang penuh dengan keseriusan.

Tio menggaruk rambutnya, tidak habis pikir dengan jalan pikiran dari Izzan. “Lo bakal jebak dia terikat biar gak bisa sama orang lain?” Izzan mengangguk cepat.

“Wah, lo gila Zan! Balas dendam itu gak baik, bro!” Tio menggelengkan kepalanya, tidak setuju. “Gue, gak setuju.”

Izzan mengedikan bahu. “Orang tua lo juga pasti gak bakal merestui Zan,” kata Tio lagi.

“Gue bakal, buat mereka merestui. Lagi pula gue gak butuh restu resmi dari mereka, ini kan hanya sebuah pembalasan.” Ia menyeringai, memikirkan penderitaan gadis itu yang akan terjadi di tangannya.

“Inget dosa, menikah dengan tujuan tertentu apalagi balas dendam itu gak boleh Zan.” Tio berubah menjadi religius padahal ia hanya mengatakan apa yang ia baca di salah satu akun media sosial tentang pernikahan.

“Dosa gue, urusan sama Tuhan. Bukan sama lo,” ucapnya enteng.

Di antara perdebatan itu, Mawar sedang merasakan lemah dan pandangannya yang mulai memudar. Setiap perkataan yang dilontarkan oleh Izzan, berhasil membuat pikirannya kacau.

“Ayah ... Ibu ... Bantu aku,” lirihnya kemudian tak sadarkan diri.

Tio melihat perempuan yang terbaring dengan jarum infus yang sudah terlepas itu seperti berkata sesuatu, terlihat darah yang bertambah lelaki itu menyenggol sahabatnya. “Zan, dia ...,” ucapnya, langsung membuat Izzan menoleh.

Izzan langsung mendekat. “Panggil dokter cepat!” Mungkin ini seperti kalimat yang takut kehilangan, meski nyatanya tidak.

Tio langsung keluar untuk mencarikan dokter. Izzan terus mencoba membuat gadis itu terbangun tapi tidak ada pergerakan. “Bangun, kamu gak boleh mati sebelum aku membalaskan dendam!”

Izzan Madava bukan lagi, laki-laki yang lembut setelah kepergian Vilia. Tidak sepenuhnya, karena itu hanya berlaku kepada Mawar Anindita

Bersambung ...

Related chapters

  • Ambivalensi CEO   Bab 4 : Izin Menyatukan Hati yang Tak Satu

    “Dengan siapa?” Lelaki paruh baya dengan syal kusam melekat di leher, menjadi ciri bahwa lelaki itu tidak sehat. Sudah Mawar tebak, jika ayahnya akan mempertanyakan izinnya menikah. “Mawar, Ayah tahu kalo Danesh menghamili perempuan lain dan sudah menikah. Jadi, siapa lelaki yang begitu cepat menaklukkan hati kamu?” Kembali Wira—ayah dari Mawar itu memperjelas pertanyaan yang belum terjawab. Mawar menghela napasnya, ia sebenarnya ingin berbohong tapi tidak punya bahan untuk kebohongannya. Lagipula, ia butuh wali untuk menikah, bukan? “Loh, kok gak dijawab-jawab? Nah, ini nih. Sudah, tidak apa-apa. Kamu bisa mendapatkan yang lebih dari Danesh,” ucapnya menyangka bahwa izin yang ia pinta ini hanya untuk memperlihatkan pada Danesh bawa ia juga bahagia. Nyatanya, bukan itu. Mawar mengambil tangan Wira yang begitu kasar, sebuah tangan yang telah bekerja keras untuk memberi kelu

    Last Updated : 2021-08-26
  • Ambivalensi CEO   Bab 5 : Sentuhan Berakhir, Hukuman terjadi.

    Satu jangkauan lagi ... Ceklek. Suara langkah kaki mendekat, sedangkan dua insan yang hampir saling menempelkan bibir itu masih terpaku dan belum saling menjauh. “Oalah, kalo misalnya gak tahan mending langsung ke hotel saja daripada di kamar mandi. Ganggu, ya.” Dengan santainya, seorang wanita dengan lipstik merah darah itu berbicara lebih tepatnya berkomentar. “Ekhem ... Ekhem.” Izzan langsung mendorong tubuh Mawar, ia pun berdehem. Mawar juga langsung merapikan rambut dan lipstik yang tercoreng pada pipinya. Wanita yang sedang mencuci tangan di sebelah mereka pun, terkekeh pelan. Izzan masih menghadap tembok tak mau melihat ke arah suara yang sudah membuat pikirannya waras kembali. “Ya, sebenarnya lanjut saja tidak apa-apa. Lumayan tontonan gratis. Haha ... Haha ...,” ucapnya kemudian tertawa di akhir kalimatnya, membuat Izzan dongkol dan Mawar menelan

    Last Updated : 2021-08-26
  • Ambivalensi CEO   Bab 6 : Api yang Melembutkan

    Lelaki dengan jas abunya tengah berdiri di hadapan para stafnya. Seharusnya memang pekerjaan mereka selesai, namun lelaki yang berstatus sebagai owner sekaligus CEO memilih membuat lembur para staf sampai pukul 12 malam, dengan embel-embel bonus yang langsung dibayar tunai keesokan harinya. Meski lelah, tapi para staf itu memilih mengambil bonus yang dijanjikan, sebab Izzan Madava selalu memberikan bonus dengan nilai yang tinggi. “Baik, terima kasih atas penjelasannya. Pendapat saya, tidak ada salahnya menaikkan harga tapi ingat harus diimbangi dengan kualitas yang terbaik juga. Jadi, saya harap Anda meninjaunya kembali,” ucapnya pada salah satu manajer. “Baik, Tuan.” Manajer itu menganggukkan kepalanya. “Oke, lanjut.” Ia kembali duduk, bertepatan dengan berdirinya seorang wanita yang akan memberikan laporannya tentang perusahaan. Drtt ... Drtt ... Handphone di meja membua

    Last Updated : 2021-09-09
  • Ambivalensi CEO   Bab 7 : Keriuhan H-1 Pernikahan

    Lelaki yang masih menggunakan jas abunya itu membantu mendorong brankar yang dibawa para suster. Ia masih menepuk-nepuk pipi perempuan yang terbaring lemah.“Mohon, tunggu di luar saja.” Perawat rumah sakit itu menghentikan si lelaki yang ingin masuk, ke dalam ruang pemeriksaan.Tiba-tiba, Izzan memegang kepalanya yang terasa sakit. Ia menjangkau tembok kemudian duduk di kursi tunggu.Gemetar pun dirasakan Izzan, semua itu terjadi karena traumanya kembali.Ya, dua traumanya terjadi dalam waktu yang berdekatan. Pertama, api yang hampir membakarnya ketika kecil, akibat kelalaian pengasuhnya. Kedua, menunggu kecemasan hilang di rumah sakit.Mungkin, itu juga yang membuat si lelaki bersikap manis seakan melupakan balas dendamnya. Merasa sesuatu yang berbeda, Izzan langsung pergi dari depan ruang UGD.Membasuh wajah, seketika ia m

    Last Updated : 2021-09-12
  • Ambivalensi CEO   Bab 8 : Memilih Bertahan

    “Kamu, pikir aku mau ikut?” tanyanya dengan bibir melengkung bukan karena senyuman tapi ketidakpercayaan pada lawan bicaranya. Lelaki itu menghela napas. “Mawar, aku yakin kamu menerima pinangan CEO itu bukan karena cinta, ya kan?” Pertanyaan yang tepat sasaran. “Jangan sok tahu, ya.” Mawar jengkel, ia muak dengan mata menghanyutkan laki-laki itu. “Aku tahu ...,” ucapnya pelan langsung membuat Mawar mendelik. Melihat wajah gadis yang dicintainya sedikit berbeda, Izzan meraih tangan Mawar dan menggenggamnya. “Jadi, aku mohon jangan pernah korbankan hidup kamu hanya untuk menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kamu cintai.” “Apa yang kamu tahu?” Takut jika lelaki ini mengetahui sebuah rahasia dan tentunya ia akan mempertanyakan pada calon suaminya. “Mawar, aku tahu kalo kamu terpaksa kan menikah dengannya?” Matanya masih sama, begitu memikat.

    Last Updated : 2021-09-13
  • Ambivalensi CEO   Bab 9 : First Kiss Mawar

    Deg. Jantungnya bergemuruh ketika laki-laki itu mengucapkan kalimat yang membawanya pada satu hubungan. Dia, lelaki yang sudah mengambil tanggung jawab dari Ayahnya. Sungguh, meski ini hanya sebuah motif balas dendam tapi sudah membuatnya merasakan getaran aneh. Bukan cinta! Pengantin perempuan menggeleng, karena cinta sepertinya tidak akan tumbuh jika setiap hal yang dilakukan si lelaki itu hanya untuk menyakiti. “Mbak, senyumnya.” Suara fotografer membuat Mawar melengkungkan senyum terbaik yang ia punya meski tidak didukung oleh hati. Izzan sudah menikahi Mawar, gadis yang menjadi penyebab hilangnya nyawa sang calon istri. Kini mereka tengah diarahkan beberapa pose oleh fotografer yang di sewa. Selesai dengan itu, tiba saatnya bersalaman dengan para tamu undangan. Satu persatu pegawai kantor dan teman-temannya yang datang sekaligus bekerja sebagai wedding organizer pun me

    Last Updated : 2021-09-15
  • Ambivalensi CEO   Bab 10 : Setelah Malam Pertama

    Bulu mata yang begitu lentik menambah paras cantik seorang perempuan yang masih tertidur. Hingga, sinar mentari yang masuk melalui jendela kaca yang tertutup gorden itu membangunkannya. Perlahan matanya membuka, langit putih dengan lampu indah membuatnya langsung membulat seketika. Langsung ia menengok ke kanan dan kiri. Tempat tidur? Selimut putih? Tangan perempuan itu perlahan membuka selimut yang membalut tubuhnya. “Jangan-jangan?” Ia khawatir, mengingat bahwa kemarin adalah pesta pernikahannya dengan CEO Buana Dama. “Huh, syukurlah aman.” Bernapas lega ketika semua pakaian ganti yang semalam ia pakai itu masih utuh di badannya. Meski masih ingin bergulung dalam selimut, Mawar menurunkan kakinya dari atas ranjang hotel. Tok ... Tok ... Baru saja kaki gadis itu menginjak lantai, suara ketukan membuat dia diam terlebih dahulu. Matanya menyipi

    Last Updated : 2021-09-21
  • Ambivalensi CEO   Bab 11: Keluarga CEO

    Mawar masih tersedu, sedangkan suaminya tengah menerima panggilan. Ia hanya berharap segera pergi dari tempat yang begitu mengingatkannya tentang kesalahan. Izzan berdiri di hadapan Mawar refleks membuat si empu berdiri dan menggenggam lengan Izzan. Mata sang suami yang enggan di sentuh itu langsung membuat Mawar perlahan menjauhkan lengannya. "Ayo cepat, kita sudah di tunggu di sana." Tanpa menunggu, Izzan berjalan cepat meninggalkan MawarMenghela napas panjang, ia mencoba menyamai langkah Izzan namun tidak begitu takut jika akan ditinggal pergi. Akhirnya ia bisa menduduki jok mobil dengan tenang sampai kemudian mobil melaju meninggalkan tempat penyiksaannya. "Aku tahu ini kesalahan, aku akan coba untuk menebusnya." Mawar berkata dalam hati dengan mata menggenang. Sekitar setengah jam akhirnya mobil yang dikendarai Izzan berhenti. Ketika keluar, terlihat mobil yang sebelumnya bersama mereka terlihat diparkir di sebuah halaman yang begitu luas..Rumah sederhana dengan pekarangan

    Last Updated : 2023-05-14

Latest chapter

  • Ambivalensi CEO   Bab 14 Apakah Ini Hukuman?

    Jika harus menghukum dengan cara seperti ini, maka cukup dengan kamu saja yang lebih pantas bukan orang lain. -Mawar *** "Please, keluarkan saya dari sini. Hiks!" Tangisnya, tapi tidak membuat langkah Gena berhenti. Mawar sudah terpojok, ia pasrah. Jaket denimnya sudah tergeletak di atas lantai. "Hiks ...." Sekelebat bayangan ibunya menghampiri, sang ibu pernah mengatakan, "Jangan pernah kalah oleh keadaan, cari terus jalan ya." Entah kekuatan dari mana, Mawar mendorong lelaki yang jaraknya semakin dekat dengannya. Meski lolos, tapi ia bingung mencari jalan keluar. Pintu yang ia gedor untuk meminta bantuan tiba-tiba terdengar suara kunci yang membuka. Mengambil jaket denim Mawar berancang untuk keluar, hingga sosok yang tak disangka itu datang membuatnya lega. Izzan. Mawar menghambur ke pelukan Izzan meski ia tahu lelaki itu hanya diam. "Hiks ... Izzan please, tolong." Dengan air mata yang masih membasahi wajahnya, Mawar begitu erat memeluk seakan takut pelukan ini

  • Ambivalensi CEO   Bab 13 : Kebodohan Izzan

    Meski tidak punya rasa, bukan permainan seperti ini yang dirancang. -Izzan Madava***Aroma bumbu dan rempah-rempah menyeruak di dalam dapur, membuat siapa saja merasa lapar. Ketiga penghuni lama di rumah megah ini memang sering membagi tugas namun terkadang mereka mengerjakan tugas itu secara bersamaan. Mawar bukan seorang perempuan yang buta akan memasak, namun ia terkadang hanya memanfaatkan bahan yang ada lalu mengolahnya tanpa resep. Kali ini ia belajar masakan berat seperti pepes ikan, sayur lodeh dan beberapa masakan lainnya. "Gimana Mbok Yun, enak?" Mawar bertanya ketika Mbok Yun mencicipi sayur lodeh yang dibuatnya atas instruksi Yuhasanah. Wajah yang sudah mulai kendor itu sedikit mengernyitkan alis tanda yang membuat Mawar berdegup takut jika ia mengacaukan masakan. "So delicious!" Dengan logat khas sunda yang berpadu dengan bahasa asing. "Tuan Izzan pasti suka!" Uli langsung menimpali. Menarik senyum Mawar tahu harapan ini bisa saja hancur, tapi ia menikmati hal itu.

  • Ambivalensi CEO   Bab 12 : Pulang meski bukan Rumah

    Sedih, ketika ternyata tempat pulang mu bukanlah rumah. -Mawar Anindita***Kapan bisa kita hidup tenang, jika dipaksa hidup bersama orang yang berniat balas dendam? Kekasaran tentu bukan tipikal Izzan, namun tatapan yang tercipta sungguh memuakkan bagi Mawar. Ia ingin ditatap cinta tapi itu hanya tertawaan tentunya. "Hoh, niatnya apa pergi sama mereka, hah?" tanyanya dengan intimidasi. Mawar hanya menunduk bingung apa yang harus ia jawab. Namun, Izzan tetaplah dia yang pasti memerlukan jawaban. "Jawab!" Lengan lelaki itu sedikit mencengkeram bahu. Mawar mundur agar lengan suaminya menjauh, berhasil. Setelahnya ia menjawab, "Aku tidak punya maksud apapun, menurut kamu seorang menantu bisa menolak ajakan dari keluarga mertuanya?" Sedikit mendongakkan wajah, seakan berani menantang. Izzan masih melototkan matanya, seakan api yang ada di mata itu tidak akan padam. Keduanya menatap sampai Izzan memutuskan kontak mata."Kita pulang, dua jam dari sekarang!" Perintah yang tidak bisa di

  • Ambivalensi CEO   Bab 11: Keluarga CEO

    Mawar masih tersedu, sedangkan suaminya tengah menerima panggilan. Ia hanya berharap segera pergi dari tempat yang begitu mengingatkannya tentang kesalahan. Izzan berdiri di hadapan Mawar refleks membuat si empu berdiri dan menggenggam lengan Izzan. Mata sang suami yang enggan di sentuh itu langsung membuat Mawar perlahan menjauhkan lengannya. "Ayo cepat, kita sudah di tunggu di sana." Tanpa menunggu, Izzan berjalan cepat meninggalkan MawarMenghela napas panjang, ia mencoba menyamai langkah Izzan namun tidak begitu takut jika akan ditinggal pergi. Akhirnya ia bisa menduduki jok mobil dengan tenang sampai kemudian mobil melaju meninggalkan tempat penyiksaannya. "Aku tahu ini kesalahan, aku akan coba untuk menebusnya." Mawar berkata dalam hati dengan mata menggenang. Sekitar setengah jam akhirnya mobil yang dikendarai Izzan berhenti. Ketika keluar, terlihat mobil yang sebelumnya bersama mereka terlihat diparkir di sebuah halaman yang begitu luas..Rumah sederhana dengan pekarangan

  • Ambivalensi CEO   Bab 10 : Setelah Malam Pertama

    Bulu mata yang begitu lentik menambah paras cantik seorang perempuan yang masih tertidur. Hingga, sinar mentari yang masuk melalui jendela kaca yang tertutup gorden itu membangunkannya. Perlahan matanya membuka, langit putih dengan lampu indah membuatnya langsung membulat seketika. Langsung ia menengok ke kanan dan kiri. Tempat tidur? Selimut putih? Tangan perempuan itu perlahan membuka selimut yang membalut tubuhnya. “Jangan-jangan?” Ia khawatir, mengingat bahwa kemarin adalah pesta pernikahannya dengan CEO Buana Dama. “Huh, syukurlah aman.” Bernapas lega ketika semua pakaian ganti yang semalam ia pakai itu masih utuh di badannya. Meski masih ingin bergulung dalam selimut, Mawar menurunkan kakinya dari atas ranjang hotel. Tok ... Tok ... Baru saja kaki gadis itu menginjak lantai, suara ketukan membuat dia diam terlebih dahulu. Matanya menyipi

  • Ambivalensi CEO   Bab 9 : First Kiss Mawar

    Deg. Jantungnya bergemuruh ketika laki-laki itu mengucapkan kalimat yang membawanya pada satu hubungan. Dia, lelaki yang sudah mengambil tanggung jawab dari Ayahnya. Sungguh, meski ini hanya sebuah motif balas dendam tapi sudah membuatnya merasakan getaran aneh. Bukan cinta! Pengantin perempuan menggeleng, karena cinta sepertinya tidak akan tumbuh jika setiap hal yang dilakukan si lelaki itu hanya untuk menyakiti. “Mbak, senyumnya.” Suara fotografer membuat Mawar melengkungkan senyum terbaik yang ia punya meski tidak didukung oleh hati. Izzan sudah menikahi Mawar, gadis yang menjadi penyebab hilangnya nyawa sang calon istri. Kini mereka tengah diarahkan beberapa pose oleh fotografer yang di sewa. Selesai dengan itu, tiba saatnya bersalaman dengan para tamu undangan. Satu persatu pegawai kantor dan teman-temannya yang datang sekaligus bekerja sebagai wedding organizer pun me

  • Ambivalensi CEO   Bab 8 : Memilih Bertahan

    “Kamu, pikir aku mau ikut?” tanyanya dengan bibir melengkung bukan karena senyuman tapi ketidakpercayaan pada lawan bicaranya. Lelaki itu menghela napas. “Mawar, aku yakin kamu menerima pinangan CEO itu bukan karena cinta, ya kan?” Pertanyaan yang tepat sasaran. “Jangan sok tahu, ya.” Mawar jengkel, ia muak dengan mata menghanyutkan laki-laki itu. “Aku tahu ...,” ucapnya pelan langsung membuat Mawar mendelik. Melihat wajah gadis yang dicintainya sedikit berbeda, Izzan meraih tangan Mawar dan menggenggamnya. “Jadi, aku mohon jangan pernah korbankan hidup kamu hanya untuk menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kamu cintai.” “Apa yang kamu tahu?” Takut jika lelaki ini mengetahui sebuah rahasia dan tentunya ia akan mempertanyakan pada calon suaminya. “Mawar, aku tahu kalo kamu terpaksa kan menikah dengannya?” Matanya masih sama, begitu memikat.

  • Ambivalensi CEO   Bab 7 : Keriuhan H-1 Pernikahan

    Lelaki yang masih menggunakan jas abunya itu membantu mendorong brankar yang dibawa para suster. Ia masih menepuk-nepuk pipi perempuan yang terbaring lemah.“Mohon, tunggu di luar saja.” Perawat rumah sakit itu menghentikan si lelaki yang ingin masuk, ke dalam ruang pemeriksaan.Tiba-tiba, Izzan memegang kepalanya yang terasa sakit. Ia menjangkau tembok kemudian duduk di kursi tunggu.Gemetar pun dirasakan Izzan, semua itu terjadi karena traumanya kembali.Ya, dua traumanya terjadi dalam waktu yang berdekatan. Pertama, api yang hampir membakarnya ketika kecil, akibat kelalaian pengasuhnya. Kedua, menunggu kecemasan hilang di rumah sakit.Mungkin, itu juga yang membuat si lelaki bersikap manis seakan melupakan balas dendamnya. Merasa sesuatu yang berbeda, Izzan langsung pergi dari depan ruang UGD.Membasuh wajah, seketika ia m

  • Ambivalensi CEO   Bab 6 : Api yang Melembutkan

    Lelaki dengan jas abunya tengah berdiri di hadapan para stafnya. Seharusnya memang pekerjaan mereka selesai, namun lelaki yang berstatus sebagai owner sekaligus CEO memilih membuat lembur para staf sampai pukul 12 malam, dengan embel-embel bonus yang langsung dibayar tunai keesokan harinya. Meski lelah, tapi para staf itu memilih mengambil bonus yang dijanjikan, sebab Izzan Madava selalu memberikan bonus dengan nilai yang tinggi. “Baik, terima kasih atas penjelasannya. Pendapat saya, tidak ada salahnya menaikkan harga tapi ingat harus diimbangi dengan kualitas yang terbaik juga. Jadi, saya harap Anda meninjaunya kembali,” ucapnya pada salah satu manajer. “Baik, Tuan.” Manajer itu menganggukkan kepalanya. “Oke, lanjut.” Ia kembali duduk, bertepatan dengan berdirinya seorang wanita yang akan memberikan laporannya tentang perusahaan. Drtt ... Drtt ... Handphone di meja membua

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status