“Siapa dia, Mas?” tanya wanita berbalut gamis dengan tubuh gempal pada pria di hadapannya. Dengan berlinang air mata netra tak henti menatap wanita yang mengapit lengan Surya, ayah dari kedua anaknya.
“Dia Renata, istri keduaku.” Surya dengan bangga mengenalkan Renata pada Arum, istri pertamanya. Wanita muda itu tersenyum simpul menatap Arum yang terus mengalirkan bulir bening yang tak henti di pelupuk mata.
Arum kini menangisi kehadiran orang ketiga dalam pernikahan yang terjalin selama enam tahun itu. Bening bulir tak hentinya mengalir deras, sesak pun menjalar di tubuh wanita gempal itu. Kembali ia menatap madunya dengan sorot mata tajam ingin rasa membunuh makhluk itu.
“Tega kamu, Mas!” teriak Arum histeris. Ia memukul-mukul tubuh Surya suaminya. Pria berkulit hitam manis itu memang sangat gagah dan tampan walau kulitnya tidak putih seperti orang Korea. Namun, dia terlihat sangat mempesona bagi siapa saja yang melihatnya.
“Dia sudah menjadi madumu. Setuju atau tidak, itu sudah terjadi,” ucap Surya membuat wanita muda yang menjadi madu Arum semakin merasa besar kepala.
“Kenapa kamu tidak bicarakan denganku?”
“Untuk apa? Toh, kamu juga tidak akan pernah setuju. Biar kami istirahat, pergilah masak. Siapkan makanan enak untuk tamu kita. Kalau tidak pesan saja lewat online.” Tidak menjawab apa yang diperintah oleh Surya, Arum malah kembali memaki Renata.
“Dasar pelakor!” Kembali Arum berteriak histeris pada wanita yang dibawa suaminya malam ini. Dia tidak memedulikan Arum, hanya senyum kemenangan yang terlukis di bibir tipisnya.
“Aku bukan pelakor, sudah Mas Surya katakan kalau aku ini madumu, Mba. Aku sudah menikah dengan suamimu. Dasar, tidak bisa merawat diri. Makanya berdandan supaya suamimu betah di rumah dan tidak mencari yang lain.”
Arum mengepalkan tangan. Dengan napas memburu dia mendorong Renata hingga tersungkur. Surya langsung membantu Renata dan berbalik marah kemudian mendorong tubuh istri pertamanya dengan kasar.
“Madu atau pelakor sama saja! Perusak kebahagiaan seseorang. Kamu wanita tidak punya malu! Lihat saja karma pasti akan datang pada kalian berdua.”
Arum menangis sejadi-jadinya. Sedangkan mereka melangkah dengan senang memasuki kamar yang biasa digunakannya. Sedih dan hancur, itu perasaan yang dirasakan wanita itu. Tiba-tiba saja kebahagiaan yang dia rasakan selama ini runtuh. Rumah tangga diambang kehancuran.
Dia terduduk sambil menangisi takdir. Ucapan dari sang madu terasa sangat menyakitkan bagaikan teriris pisau. Bagaimana bisa dia tampi cantik, sedangkan dia sibuk mengurus kedua anaknya dan rumah yang selalu berantakan oleh anak-anak. Bahkan sampai lupa memoles diri. Seperti melihat sinetron ikan terbang dan kini terjadi pada dirinya sendiri. Dalam sekejap, kedatangan Renata sudah mengubah hidupnya. Dia terpuruk dalam sebuah kesedihan yang teramat dalam. Suaminya berbagi cinta, akan tetapi tidak bisa berlaku adil. Dalam beberapa bulan ini saja, dia mengurangi jatah bulan untuk masak dan kebutuhan sehari-hari.
**
“Arum!” Surya berteriak dari dapur memanggilnya.
Bergegas ia menemui Surya, lalu menutup pintu kamar agar anak-anak tidak mendengarkan hal yang seharusnya tidak mereka dengar.
“Ada apa, Mas?”
“Mana makanan untuk kami?”
“Aku tidak punya uang lagi untuk memasak. Uang bulan ini belum kamu kasihkan, Mas.”
Surya murka dan menarik kasar lengan Arum. “Seharusnya kamu pinter jadi istri, gimana caranya supaya bisa menyediakan aku makan. Kamu bodoh apa?” Seketika jantungnya berdegup sangat kencang. Perkataan yang sangat kasar membuat hatinya perih bagaikan teririris pisau. Wanita di sampinya kembali mengapit lengan Surya dan bergelayut manja.
“Sudahlah, Mas. Sudah tidak bisa berdanda, bodoh pula. Untung Mas Surya menikahi aku yang lebih segalanya dari kamu,” tutur Renata.
Renata sangat lancang berbicara. Kali ini Arum hanya bisa menahan pedih saat harga dirinya mereka injak-injak.
“Mas, tega, kamu!”
Tanpa memedulikan Arum, Surya merangkul Renata keluar rumah. Arum terdiam menatap kedua punggung itu hingga lenyap dari pandangan. Tubuhnya luruh ke lantai dan kembali menangis tergugu. Tangannya hanya bisa meremas daster lusuh yang ia kenakan.
Apa salahku, ya Allah? Hingga datang cobaan seperti ini.
Setelah puas memaki istri pertamanya, ia berlalu begitu saja. Pria itu akan menghabiskan waktu bersama madunya. Layaknya pasangan baru, mereka sedang hangat-hangatnya.
**
Suasana temaram kamar itu membuat dua pasang sejoli menikmati malam indah bersama. Hingga pagi Surya masih terlelap, harusnya hari ini dia pulang ke rumah Arum. Namun, berbagai cara Renata lakukan untuk mencegah Surya pulang pada istri pertamanya. Dari mulai bermanja-manja hingga terus memberikan pelayanan yang menggiurkan.
Sebuah dering pesan masuk dari ponsel Surya membuat wanita bergaun tipis di sampingnya mengambil untuk membaca.
Arum :
Mas, sudah dua hari kamu tidak pulang. Anak anak menayakanmu, bisa kamu pulang sebentar?
Renata tersenyum tipis, ia mengambil ponsel dan mengarahkan kamera pada Surya yang masih terlelap tidur. Dikirimkan foto pria itu pada istri pertamanya.
Mas Surya :
Lihat, Mas Surya masih terlelap Mbak. Sepertinya dia akan tinggal beberapa hari lagi
Pesan terkirim dan tanda ceklis dua sudah terbaca terlihat jelas.
Pasti dia sedang menangis meratapi nasibnya.
Dengan cekatan ia menghapus semua pesan masuk dan pesan terkirim yang ia kirim pada istri pertama suaminya. Lalu menaruh kembali ponsel Surya di nakas samping tempat tidur. Menikmati hidup mejadi istri muda sangat dinikmati Renata. Mulai dari uang yang selalu diberikan Surya bahkan liburan ke luar negeri yang dulu hanya angan kini menjadi nyata.
"Sayang," panggil Surya. Renata menghampiri suaminya, dengan manja dan baju tidur tipis yang membuat Surya tak berkedip.
"Jam berapa?"
"Masih pagi, sekitar jam 08.00. Ada apa?"
"Sudah dua hari aku tidak pulang. Apa ada telepon atau sms dari Arum?" tanyanya.
"Nggak ada Mas, sudah Mas istirahat lagi. Mungkin ia sudah ikhlas, Mas, aku masih kangen, loh." Renata kembali merayu dengan mengerlingkan mata membuat Surya kembali merengkuh tubuh istri keduanya.
**
Arum meremas ponsel yang digenggamnya, tidak ingin menangis saat membaca pesan masuk yang dikirim Renata. Ia mencoba menahan semua. Ia bangkit dan beralih pada ruang tamu yang sudah seperti kapal pecah. Di mana-mana berserakan mainan Nanda dan Kaila. Ia mengaduh saat tak sengaja menginjak mainan milik mereka. Ia meringis kesakitan. Kaila mendekat saat melihat wajah Arum pucat.
“Mama, kenapa?” tanya Kaila dengan bibir kecilnya.
“Nggak apa-apa. Kaila kalau habis main dirapikan kembali, ya. Sudah sore, sebentar lagi Papa pulang.” Arum membungkuk sambil memunguti mainan Kiala. Sedangkan, putri kecilnya kembali memainkan boneka frozennya.
Sudah berulang kali ia membereskan, tapi berulang kali pula anak-anak itu membuat berantakan lagi. Pekerjaan rumah itu memang tidak pernah habis. Arum menyeka keringat yang mengalir di dahi. Seperti biasa, ia sangat lelah setelah membersihkan lantai yang kotor. Kali ini dia menatap dompet yang isinya tinggal lima lembar lima ribuan.
Seperti mimpi, semua kebahagiaan begitu saja hilang. Keromantisan, kata-kata cinta, bahkan bermesraan di ranjang saja sudah tidak pernah suaminya lakukan. Kembali ia menyeka air mata yang tumpah di pipi.
Apa salahku? Apa karena menjadi ibu rumah tangga adalah hal yang buruk? Atau karena sebuah daster lusuh yang adem jika dipergunakan?
Wanita itu geram saat mengingat hinaan yang dilontarkan Surya di depan penggoda itu. Seakan ia tidak berarti apa pun untuk suaminya. Istri yang melayani dengan sepenuh hati tak pernah dianggap. Hanya ada nafsu sesaat yang kelak akan membuat pria itu menyesal.
“Ma, Nanda kok nggak pernah dibelikan mainan lagi?” tanya Nanda, anaknya yang berusia lima tahun itu berhasil membangunkan Arum dari lamunannya.
Ia menyeka air mata hingga tidak terlihat oleh Nanda. Arum mengelus pucuk rambut Nanda. Rasanya tidak kuat menahan pedih melihat dia meminta sesuatu, tapi tidak bisa ia berikan.
“Loh, mainan Nanda, kan sudah banyak. Lupa, ya?” Arumi mencoba mengalihkan pembicaraan agar Nanda melupakan pertanyaan yang dia lontarkan.
“Tapi, Ma. Nanda mau mainan yang baru,” ucap anak polos itu.
Bergetar hati Arum, ingin sekali ia keluar dari permasalahan ini. Namun, takdir berkata lain. Arum wanita lemah yang mencoba kuat untuk menghadapi semua permasalahan terutama masalah poligami ini.
“Iya nanti kalau Mama punya uang, ya, sayang.”
Anak itu mengangguk, lalu kembali bermain dengan maninannya.
**
Surya berdecak kesal saat Arum masih mengenakan daster lusuh saat dia pulang. Rumah pun masih berantakan. Semua mainan milik Nanda dan Kaila masih berserakan di lantai. Ruang tamu pun seperti kapal pecah. Pria itu lalu menarik lengan istrinya dengan kasar."Ngapain aja kamu jam segini masih saja berdaster. Beda sekali kamu dengan Renata yang selalu tampil cantik dan wangi saat aku datang." Wajah bengis itu menatap tidak suka pada Arum."Mas, jangan bandingkan aku dengan dia! Wajar dia belum mempunyai anak, sedangkan aku harus mengurus anak juga rumah. Mana punya waktu untuk merawat diri," ujar Arum membela diri."Alah, alasan." Surya kembali masuk ke kamar tak mengiraukan Arum yang bersusah payah memasak untuknya.Hidangan Di meja makan sama sekali tidak tersentuh. Tidak lama Surya kembali dengan baju sangat rapi. Harum parfum membuat Arum cukup tahu hendak kemana suaminya akan pergi. Ia menggigit bibir bawah, menahan sesak saat diperlakukan tidak tidak layak sebagai seorang istri."M
Sedangkan Surya merasa dirinya sudah benar. Ia berhasil menyingkirkan Arum, istri yang jelek. Senyum tipis menghias bibir. Segera ia mengambil ponsel dan siap ber-video call dengan Renata. Wajah cantik itu kini menghiasi layar ponsel miliknya."Lagi apa, sayang?" tanya Surya pelan."Lagi kangen, nih sama kamu, Mas."Wajah Surya memerah mendengar penuturan Wanita berwajah merona itu. Ia tak sabar ingin memeluk wanita yang menjadi istri keduanya. Senyum Renata sangat menggoda. Belum lagi baju tidur yang dia kenakan, buah dada yang menggiurkan membuat dirinya kembali menelan saliva. Bergegas ia pergi ke sana untuk menuntaskan hasrat.Pria itu tidak memedulikan anak dan istrinya yang tengah malam ia usir dari rumah. Ia hanya memikirkan nafsu semata saja. Pria itu tidak berpikir panjang dengan apa yang ia perbuat. Yang ada dipikirannya adalah keindahan semata. Suatu saat penyesalan bisa saja hinggap di hidupnya dan bila saat itu terjadi mungkin ia sudah tidak bisa mengubah semua menjadi se
Wiryo, Ayah Arum sudah mendengar cerita dari tetangga mereka tentang mertua anaknya yang datang dan mengambil kedua cucunya. Pria tua itu cemas, dan memilih menutup dagangan.di pasar lalu bergegas pulang ke rumah.Istri Wiryo, ibunya Arum juga ikut cemas dengan kabar yang baru saja didengar. Di tempat terpisah, wanita tua itu juga menutup dagangan.“Ayo, Bu,” ucap Wiryo saat bertemu dengan istrinya di parkiran.“Iya, Yah. Ibu cemas dengan Arum.” Dia sangat mengkhawatirkan keadaan Arum.Lalu Wiryo melajukan mobil pickup nya dengan kecepatan tinggi. Mobil yang sehari-hari mereka pergunakan untuk pergi berjualan sayur di pasar. Sesampainya di rumah, Arum berhamburan kepelukan sang ibu. Tangis pilu wanita itu sangat menyayat hati. Bagaimana dia diperlakukan tidak adil oleh keluarga Surya.“Kamu sudah obati luka kamu, Nak?” tanya Wiryo, ayahnya dengan cemas.Arum menggeleng, dia sudah tidak memedulikan luka di tubuhnya karena luka di hati wanita itu sudah sangat dalam. Sang ibu beranjak ke
Sejak kejadian beberapa hari lalu di rumah mertuanya, Arum pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Terlebih Naina, ibu mertua Arum mengancam akan merusak warung kedua orang tuanya di pasar. Ia sangat bingung apa yang akan dilakukan untuk membawa Nanda dan Kaila kembali kepelukannya. Arum terduduk lesu menghadapi semua cobaan hidup yang tiba-tiba saja datang.Pagi ini ia menemani ibunya berjualan di pasar. Namun, masih saja tidak fokus dengan dagangan. Pikiran Arum masih tertuju pada Nanda dan Kaila. Bagaimana mereka tanpa sang ibu di sana? Apa Kaila tidak menangis mencarinya? Sejumlah pertanyaan terngiang di benak wanita itu.Suasana pasar yang sangat ramai tidak juga membuat hatinya menjadi tenang. Ibu memandang pada Arum, ia sangat iba melihat keadaan yang sunggu membuat hati seorang ibu bersedih. Tatapannya kosong, harapan itu kini seperti hilang begitu saja.“Rum, lebih baik kamu pulang dulu. Tenangkan pikiranmu.”“Tidak, Bu.”“Ibu tidak apa-apa. Pulanglah, atau cari kesibukan lain.
Arum masih merasa geram setelah ia tidak sengaja bertemu dengan Renata. Wanita perebut suami orang, dia tidak layak bahagia di atas penderitaan orang lain. Terlebih menikmati harta yang bukan hak dia. Begitu percaya diri berbicara akan menikmati harta Surya.Sehebat apa pun seorang laki-laki, jika ia belum berkeluarga, pasti ada wanita hebat di belakangnya, yaitu seorang ibu. Jika ia sudah berkeluarga, pastilah akan ada doa istri yang menyertai dia kemana pun berada. Rezeki suami adalah rezeki istri, lewat doa-doanya yang mendatangkan rezeki untuk sang suami.Surya seakan lupa. Larena doa seorang istri rezekinya kini berlimpah. Sebelumnya, ia hanya karyawan biasa yang memegang jabatan staf akunting. Sedangkan setelah menikah dengan Arum, dua tahun kemudian ia diangkat menjadi Manager Keuangan. Arum mengehala napas panjang, dia kembali bergegas memasuki kantor Dani."Permisi, bisa saya bertemu dengan Pak Dani?" tanya Arum pada resepsionis."Sudah buat janji?" tanya wanita yang berada
Renata menyongsong Surya saat terdengar deru mobilnya memasuki halaman. Tak seperti biasa saat melihat wajah istri mudanya ia selalu bergairah. Namun, kali ini tidak. Bahkan ia tidak menyapanya dan langsung bergegas mandi. Dipikirannya kini hanya ibu dari kedua anaknya. Sepertinya ia sangat menyesali tindakannya yang tidak berpikir panjang kala itu. Dinginnya malam tidak membuat Renata mengurunkan niat menggunakan baju tidur tipis yang membuat tubuh putihnya terlihat menggoda. Surya tak bergeming saat dia mulai bergelayut manja pada dada bidang pria berparas hitam manis itu.Sedari tadi Surya tak bergeming. Pikirannya seperti tidak ada di sana. Berulang kali Renata mencari perhatiannya, tapi pria itu hanya terdiam tak merespon apa pun yang dilakukannya. Dikecupnya bibir suaminya, akan tetapi masih sama. Surya tak membalas panggutan dari Renata. “Aku lelah.”Renata terhenyak dengan sikap Surya. Ia mengguncangkan tubuh suaminya. Tidak seperti biasanya pria itu selalu mendominasi saat
Semilir angin berhembus sangat kencang, langit pun mendung. Dingin menusuk kulit, Arum duduk di taman kota dengan satu tangan memegangi dada. Sebuah penghinaan kembali terjadi pada dirinya. Netra cokelat itu menatap nanar, bulir bening yang sedari tadi ditahan kini tumpah mengalir deras di pipi.Sakit, perih, entah apalagi yang ia rasakan. Begitu getir hidup yang dijalaninya. Sebuah harapan yang nyatanya tidak sesuai dengan kenyataan. Hidup bahagia itu memang milik mereka yang mempunyai banyak uang. Beberapa kali menyeka air matanya, ia bangkit dengan sisa-sisa kekuatan.Kenapa sangat sakit, aku sudah terbiasa dengan penghinaan Mas Surya. Namun, kenapa lebih menyakitkan saat Bayu menghinaku?Dirinya kembali merasakan sesak di dada. Sekarang ia teringat kedua anaknya. Rindu itu sudah sangat membuncah mengingat begitu bahagianya saat mereka bersama. Peluk dan cium mereka yang selalu dirindukan wanita itu.Arum mengambil ponsel yang sedari tadi terus bergetar. Matanya terbelalak melihat
Arum menaruh ponsel di nakas, setelah ia menghubungi kedua orang tuanya. Takut mereka mencemaskan dirinya karena tidak pulang malam ini. Ia bangkit setelah memastikan Nanda tertidur. Sedangkan Kaila sudah terlelap sejak ia menggendongnya. Panas di tubuh gadis kecil itu pun sudah turun, memang benar anak itu rindu pada ibunya.Saat membuka lemari baju, ia menatap nanar baju tidur berbahan sutra hadiah pernikahannya dari Surya. Ia tersenyum getir saat mengingat kembali bayangan tentang kebahagiaannya empat tahun silam. Saat tubuh dan wajahnya masih di puja oleh sang suami."Apa ini, Mas?" tanya Arum saat Surya memberikan hadiah."Buka saja, setelah itu bisa kamu memakainya." Senyum mengembang pria itu membuat jantung Arum berdetak lebih kencang.Perlaham Arum membukanya. Ia menggulum senyum mendapati baju tidur yang begitu cantik. Bahan sutra membuat baju itu terlihat mewah.Surya berdecak kagum melihat tubuh Arum berbalut baju yang ia berikan. Sexy, kalimat itu yang pertama kali keluar
Arum terlihat cantik menggunakan kebaya berwarna putih susu. Wajah nampak cantik sempurna. Namun, beberapa kali ia mengusap embun di kelopak mata. Tak menyangka jika ia akhirnya menikah dengan Bayu. Pria yang sedari dulu mencintainya. Semesta membuat keindahn yang tak terluapkan."Mba, pengantin wanitanya sudah siap?" tanya seorang gadis yang tidak lain adalah EO acara tersebut."Sudah." Perias menggandeng penganti wanita ke tempat di mana dilangsungkan acara akad nikah pagi ini.Tatapan takjub beberapa pasang mata melihat sang pengantin wanita. Terlihat Naina, mantan mertuanya duduk bersama Kaila dan Nanda. Dia menyeka bulir yang memgalir di sudut mata. Senyum tipis terpancar di bibir Arum saat tatapan mereka saling bertemu. Hari ini adalah hari bahagia yang sangat ia tunggu. Setelah sekian banyak penderitaan akhirnya ia merasakan kembali suasana sakral untuk kedua kali.Sang pengantin pria sudah tidak sabar menunggu. Netranya tak henti memandang calon istri yang beberapa menit akan
Bayu duduk memerhatikan Arum yang kini terdiam menatap kolam renang. Pria itu mengajaknya duduk di tepi, agar suasananya kembali tenang. "Jadi, kamu kemarin ketemu klien itu dia?" tanyanya dengan luapan emosi. "I--iya." Bayu menjawab ragu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Arum memalingkan wajah. Hatinya kembali teriris jika mengingat wanita itu. Ia tidak ingin terjadi lagi hal serupa dengan pengalaman yang lalu. "Aku, kan nggal tahu. Tadi juga aku udah batalin kerja samanya." "Tetep aja sakit bayangin kamu kemarin berduaan sama dia!" Ingin rasanya merengkuh tubuh wanitanya. Namun, ia mengurungkan niat, tangannya hanya mencuil hidung pesek Arum. "Kak, kemarin Kak Bayu sama Alia kok. Nggak sendirian ketemu sama Renata. Maaf, ya Kak." Alia mengambil posisi duduk di samping Arum. "Maaf juga aku nggak tahu kalau dia begitu. Sekali lagi minta maaf. " "Iya, Alia." Senyum semringah dari bibir Alia. Gadis itu memeluk erat calon kakak iparnya.Rudi menghampiri mereka. “Saya ak
Semenjak pertengkaran kemarin, Bayu merasa tidak enak hati. Kenapa ia begitu cemburu pada Arum. Ia menyalahkan dirinya, kenapa harus cemburu buta? Gegas dirinya turun ke bawah. Kali ini dia pulang ke rumah orang tuanya untuk meminta izin untuk melamar dan menikahi Arum.“Tumben kamu ingat dengan rumah ini?” Cibiran penuh penekanan dari Maria, ibu sambungnya. Lalu, berderet pertanyaan darinya.Ia menghembuskan napas berat. “Aku mau menikah.”“Serius, Kak?” Semua aktivitas yang berada di meja makan mendadak terhenti.Mereka serius menatap wajah Bayu yang malah terlihat santai. Alia, adik tiri Bayu bangkit dan menghampiri sang Kakak.“Ka, serius?”“Apa aku kelihatan bercanda?”“Syukurlah, Kakakku ini normal.”“Aish.” Bayu menoyor kepala Alia sampai ia mengaduh.“Sudah, kalian tidak ada behentinya kalau sudah bertemu.”“Siapa dia?” Pria berambut memutih itu kini mengeluarkan suaranya. Sedari tadi ia hanya diam memerhatikan.“Dia seorang wanita yang sangat aku cintai. Enam tahun aku menant
Ada perih yang menjalar di dada. Ia mencoba meraup oksigen, tapi sepertinya sangat sulit. Embun itu sudah mengalir membasahi pipi, entah mengapa Arum merasakan begitu sakit kali ini. Tidak seperti biasanya, ia tak pernah menyesal menolak ayah dari anak-anaknya.“Aku juga sakit, Mas. Semoga, Mas, kembali menemukan wanita yang bisa membuat Mas nyaman. Maaf untuk kali ini, aku sudah memutuskan menikah dengan Bayu.” Ia menjeda ucapannya. Tak sanggup untuk meneruskannya, isak tangis masih membuatnya sulit untuk berbicara.“Mas sadar, Rum. Kamu berhak bahagia, Mas sudah ikhlas. Hanya saja, Mas mencoba siapa tahu Arum berubah pikiran. Kita bisa membesarkan mereka bersama-sama. Maafkan, Mas, ya,” ujar pria itu sembari mengusap pucuk kepala Arum.Bukan hanya Arum yang merasakan sesak di dada. Pria itu yang lebih merasakan betapa nelangsanya dia. Begitu bodohnya melepas kebahagiaan yang dulu ia punya. Kini ia hanya menatap orang yang ia sayang dan mengikhlaskannya untuk bahagia dengan pria lain
“benar nggak bisa datang acara ulang tahun Kaila nanti, Bay?” Arum bertanya pada Bayu lewat sambungan telepon. Wajah wanita yang kini terlihat masam itu mencoba berbicara setenang mungkin.“Iya, Rum. Maaf, ya, soalnya Pak Arga ngajak ketemuan ngomongin masalah kasusnya hari ini jam empat sore, belum lagi temennya adikku minta bantuan juga?”jawab pria itu kemudian.Arum menghela napas. “Nanti dia ngambek kalau kamu nggak hadir.”“Iya, kalau sudah selesai aku langsung kesana. Tapi nggak bisa jemput kamu dulu.”“Iya, aku tahu. Cikarang ke Jakarta, ‘kan jauh.” Kembali Arum menjawab. Namun, orang yang ditelepon di seberang sana tidak tahu jika wanita yang diteleponnya sudah mengerucutkan bibir dan memasang wajah masam.“Aku mau sarapan dulu, ya. Kamu jangan lupa makan siang.”“Iya.” Langsung saja ia menutup saluran telepon, kemudian kembali menatap layar laptop.Aroma kopi menyeruak di ruangan, Arum menatap Rani, wanita yang membawa kopi ke ruangannya. Rani menaruh di meja Arum dan mempers
"Mba Arum?" tanya salah satu karyawan perusahaan yang ia datangi hari ini. Sebuah perusahaan besar yang baru saja berkembang dan pertama kali bekerja sama dengan kantor akuntan publik milik Dani. Bos-nya menemani Arum sekalain ingin tahu bagaimana perkembangan kerja sama yang baru saja berlangsung ini. "Iya." "Bapak dan Ibu, ikut dengan saya," ajak pria berkacamata tebal dihadapannya. Mereka mengikuti langkah pria itu. Perusahaa yang tergolong baru ini lumayan sangat besar. Ruangan yang tidak sempit memudahkan mereka berlalu lalang. "Pak Dani, Bu Arum. Selamat datang," ucap pria bertubuh tambun dengan uban yang sudah memenuhi rambutnya. "Terima kasih, Pak Rudi. Ini Arum auditor terbaik saya. Dia yang akan menangani masalah audit di kantor ini. Saya hanya hari ini menemani dia, selanjutnya ia akan datang bersama partner." "Baik, sebentar saya perkenalkan dengan manajer keuangan kami." Pria itu menelepon sesorang dan tidak lama orang tersebut sudah berada di ruangan. "Bapak mangg
Ia tertunduk lemas di hadapan sang ibu. Menceritakan nasib yang menimpanya. Sekilas ibunya hanya menatap iba, akan tetapi wanita tua itu berdecak kesal. Bahkan berulang kali mengelus dada. Lalu, menatap tajam pada anak semata wayangnya.“Lalu, kamu mau bagaimana?”“Aku nggak tahu, Bu.”“Apes banget kamu, Le. Udah jatoh ketimpa tangga pula. Udah Ibu bilang, hidup itu jangan neko-neko. Nikmati aja yang dikasih Gusti Allah, eh ini malah buat kesalahan fatal. Kehilangan berlian, eh sama kerikil juga ditendang. Sepertinya kamu kena karma dari perbuatan kamu sama mantan istrimu.” Wanita tua itu tak hentinya berbicara.“Bu, jangan menyudutkan aku.”“Loh, kenyataan. Untung Ibu kaya, kalau nggak, bisa gila Ibu tiba-tiba jatuh miskin.”“Bu.”“Yasudah, nanti Ibu hubungi Pamanmu. Kesempatan kedua pergunakan dengan baik. Awas aja kamu kalau sudah membaik perekonomian kembali sama Renata atau bersikap arogan lagi. Ibu sumpahin kere lagi kamu.”“Ibu, kok ngomong gitu?” Wajahnya memelas saat mendenga
Di rumah terpisah Surya terperangah menatap tudung nasi yang masih kosong. Sepulang kerja harusnya Renata sudah menyiapkan masakan. Namun, ia kembali harus menerima kenyataan jika wanita itu sama sekali tidak menyediakan makanan.Perutnya yang sudah minta di isi mulai terasa perih. Asam lambungnya juga mulai kambuh. Geram ia memanggil wanita yang sedari tadi hanya sibuk dengan kuku-kukunya. Apalagi sepulang sidang tadi, ia benar-benar tidak bisa berpikir jernih. "Renata!" teriaknya nyaring. Wajahnya terlihat pucat menahan perih yang mulai menggangu perutnya. Sekali ia memanggil, tapi istrinya tak juga datang meghampirinya. Kembali Surya memanggilnya. "Renata!" Suaranya kian meninggi. Namun, masih saja wanita berambut pirang itu tidak juga datang. Luapan emosinya tak tertahan lagi. Ia menghampiri dan mendapati Renata sedang asik mendengarkan aerophone di telinganya. Renata berbalik saat aerophone terasa di cabut dari telinganya. "Kamu apa-apaan sih, Mas?" tanyanya dengan perasaan
Jemarinya lincah menari di atas laptop. Matanya tak henti bergantian menatap data di lembar kerja dan kembali menatap leptopnya. Ia menghempaskan tubuh di kursi. Kali ini ia sangat lelah, mengapa sebuah data yang tahun lalu angkanya tidak sama dengan yang ada di lembar kerja. Berulang kali dia mengotak-atiknya, tapi tidak menemukan jawaban. "Argh!" "Kenapa, Mba?" tanya Delia yang sedari tadi memerhatikannya. "Data tahun lalu nggak sama. Siapa yang pegang perusaan ini tahun lalu?" tanyanya pada Delia. "Pak wanto, tapi sudah dikeluarkan Pak Dani karena tidak benar ngerjaiin laporan." Delia menjelaskan. "Pantas saja, semua ngaco," keluhnya. Dia mengayun langkah ke ruang Dani. Otaknya sudah mengebul dengan hasil kerja auditor sebelumnya yang membuat mata dan kepalanya sakit. Menyerah, lalu memilih berkonsultasi dengan bosnya."Mba Des, ada Pak Dani?" tanya Arum pada sekretaris Dani. "Ada, masuk aja. Lagi nggak sibuk kayanya," balas Desi sambil asik memainkan ponsel. Arum menggelen