"Mba Arum?" tanya salah satu karyawan perusahaan yang ia datangi hari ini. Sebuah perusahaan besar yang baru saja berkembang dan pertama kali bekerja sama dengan kantor akuntan publik milik Dani. Bos-nya menemani Arum sekalain ingin tahu bagaimana perkembangan kerja sama yang baru saja berlangsung ini. "Iya." "Bapak dan Ibu, ikut dengan saya," ajak pria berkacamata tebal dihadapannya. Mereka mengikuti langkah pria itu. Perusahaa yang tergolong baru ini lumayan sangat besar. Ruangan yang tidak sempit memudahkan mereka berlalu lalang. "Pak Dani, Bu Arum. Selamat datang," ucap pria bertubuh tambun dengan uban yang sudah memenuhi rambutnya. "Terima kasih, Pak Rudi. Ini Arum auditor terbaik saya. Dia yang akan menangani masalah audit di kantor ini. Saya hanya hari ini menemani dia, selanjutnya ia akan datang bersama partner." "Baik, sebentar saya perkenalkan dengan manajer keuangan kami." Pria itu menelepon sesorang dan tidak lama orang tersebut sudah berada di ruangan. "Bapak mangg
“benar nggak bisa datang acara ulang tahun Kaila nanti, Bay?” Arum bertanya pada Bayu lewat sambungan telepon. Wajah wanita yang kini terlihat masam itu mencoba berbicara setenang mungkin.“Iya, Rum. Maaf, ya, soalnya Pak Arga ngajak ketemuan ngomongin masalah kasusnya hari ini jam empat sore, belum lagi temennya adikku minta bantuan juga?”jawab pria itu kemudian.Arum menghela napas. “Nanti dia ngambek kalau kamu nggak hadir.”“Iya, kalau sudah selesai aku langsung kesana. Tapi nggak bisa jemput kamu dulu.”“Iya, aku tahu. Cikarang ke Jakarta, ‘kan jauh.” Kembali Arum menjawab. Namun, orang yang ditelepon di seberang sana tidak tahu jika wanita yang diteleponnya sudah mengerucutkan bibir dan memasang wajah masam.“Aku mau sarapan dulu, ya. Kamu jangan lupa makan siang.”“Iya.” Langsung saja ia menutup saluran telepon, kemudian kembali menatap layar laptop.Aroma kopi menyeruak di ruangan, Arum menatap Rani, wanita yang membawa kopi ke ruangannya. Rani menaruh di meja Arum dan mempers
Ada perih yang menjalar di dada. Ia mencoba meraup oksigen, tapi sepertinya sangat sulit. Embun itu sudah mengalir membasahi pipi, entah mengapa Arum merasakan begitu sakit kali ini. Tidak seperti biasanya, ia tak pernah menyesal menolak ayah dari anak-anaknya.“Aku juga sakit, Mas. Semoga, Mas, kembali menemukan wanita yang bisa membuat Mas nyaman. Maaf untuk kali ini, aku sudah memutuskan menikah dengan Bayu.” Ia menjeda ucapannya. Tak sanggup untuk meneruskannya, isak tangis masih membuatnya sulit untuk berbicara.“Mas sadar, Rum. Kamu berhak bahagia, Mas sudah ikhlas. Hanya saja, Mas mencoba siapa tahu Arum berubah pikiran. Kita bisa membesarkan mereka bersama-sama. Maafkan, Mas, ya,” ujar pria itu sembari mengusap pucuk kepala Arum.Bukan hanya Arum yang merasakan sesak di dada. Pria itu yang lebih merasakan betapa nelangsanya dia. Begitu bodohnya melepas kebahagiaan yang dulu ia punya. Kini ia hanya menatap orang yang ia sayang dan mengikhlaskannya untuk bahagia dengan pria lain
Semenjak pertengkaran kemarin, Bayu merasa tidak enak hati. Kenapa ia begitu cemburu pada Arum. Ia menyalahkan dirinya, kenapa harus cemburu buta? Gegas dirinya turun ke bawah. Kali ini dia pulang ke rumah orang tuanya untuk meminta izin untuk melamar dan menikahi Arum.“Tumben kamu ingat dengan rumah ini?” Cibiran penuh penekanan dari Maria, ibu sambungnya. Lalu, berderet pertanyaan darinya.Ia menghembuskan napas berat. “Aku mau menikah.”“Serius, Kak?” Semua aktivitas yang berada di meja makan mendadak terhenti.Mereka serius menatap wajah Bayu yang malah terlihat santai. Alia, adik tiri Bayu bangkit dan menghampiri sang Kakak.“Ka, serius?”“Apa aku kelihatan bercanda?”“Syukurlah, Kakakku ini normal.”“Aish.” Bayu menoyor kepala Alia sampai ia mengaduh.“Sudah, kalian tidak ada behentinya kalau sudah bertemu.”“Siapa dia?” Pria berambut memutih itu kini mengeluarkan suaranya. Sedari tadi ia hanya diam memerhatikan.“Dia seorang wanita yang sangat aku cintai. Enam tahun aku menant
Bayu duduk memerhatikan Arum yang kini terdiam menatap kolam renang. Pria itu mengajaknya duduk di tepi, agar suasananya kembali tenang. "Jadi, kamu kemarin ketemu klien itu dia?" tanyanya dengan luapan emosi. "I--iya." Bayu menjawab ragu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Arum memalingkan wajah. Hatinya kembali teriris jika mengingat wanita itu. Ia tidak ingin terjadi lagi hal serupa dengan pengalaman yang lalu. "Aku, kan nggal tahu. Tadi juga aku udah batalin kerja samanya." "Tetep aja sakit bayangin kamu kemarin berduaan sama dia!" Ingin rasanya merengkuh tubuh wanitanya. Namun, ia mengurungkan niat, tangannya hanya mencuil hidung pesek Arum. "Kak, kemarin Kak Bayu sama Alia kok. Nggak sendirian ketemu sama Renata. Maaf, ya Kak." Alia mengambil posisi duduk di samping Arum. "Maaf juga aku nggak tahu kalau dia begitu. Sekali lagi minta maaf. " "Iya, Alia." Senyum semringah dari bibir Alia. Gadis itu memeluk erat calon kakak iparnya.Rudi menghampiri mereka. “Saya ak
Arum terlihat cantik menggunakan kebaya berwarna putih susu. Wajah nampak cantik sempurna. Namun, beberapa kali ia mengusap embun di kelopak mata. Tak menyangka jika ia akhirnya menikah dengan Bayu. Pria yang sedari dulu mencintainya. Semesta membuat keindahn yang tak terluapkan."Mba, pengantin wanitanya sudah siap?" tanya seorang gadis yang tidak lain adalah EO acara tersebut."Sudah." Perias menggandeng penganti wanita ke tempat di mana dilangsungkan acara akad nikah pagi ini.Tatapan takjub beberapa pasang mata melihat sang pengantin wanita. Terlihat Naina, mantan mertuanya duduk bersama Kaila dan Nanda. Dia menyeka bulir yang memgalir di sudut mata. Senyum tipis terpancar di bibir Arum saat tatapan mereka saling bertemu. Hari ini adalah hari bahagia yang sangat ia tunggu. Setelah sekian banyak penderitaan akhirnya ia merasakan kembali suasana sakral untuk kedua kali.Sang pengantin pria sudah tidak sabar menunggu. Netranya tak henti memandang calon istri yang beberapa menit akan
“Siapa dia, Mas?” tanya wanita berbalut gamis dengan tubuh gempal pada pria di hadapannya. Dengan berlinang air mata netra tak henti menatap wanita yang mengapit lengan Surya, ayah dari kedua anaknya.“Dia Renata, istri keduaku.” Surya dengan bangga mengenalkan Renata pada Arum, istri pertamanya. Wanita muda itu tersenyum simpul menatap Arum yang terus mengalirkan bulir bening yang tak henti di pelupuk mata.Arum kini menangisi kehadiran orang ketiga dalam pernikahan yang terjalin selama enam tahun itu. Bening bulir tak hentinya mengalir deras, sesak pun menjalar di tubuh wanita gempal itu. Kembali ia menatap madunya dengan sorot mata tajam ingin rasa membunuh makhluk itu.“Tega kamu, Mas!” teriak Arum histeris. Ia memukul-mukul tubuh Surya suaminya. Pria berkulit hitam manis itu memang sangat gagah dan tampan walau kulitnya tidak putih seperti orang Korea. Namun, dia terlihat sangat mempesona bagi siapa saja yang melihatnya.“Dia sudah menjadi madumu. Setuju atau tidak, itu sudah ter
Surya berdecak kesal saat Arum masih mengenakan daster lusuh saat dia pulang. Rumah pun masih berantakan. Semua mainan milik Nanda dan Kaila masih berserakan di lantai. Ruang tamu pun seperti kapal pecah. Pria itu lalu menarik lengan istrinya dengan kasar."Ngapain aja kamu jam segini masih saja berdaster. Beda sekali kamu dengan Renata yang selalu tampil cantik dan wangi saat aku datang." Wajah bengis itu menatap tidak suka pada Arum."Mas, jangan bandingkan aku dengan dia! Wajar dia belum mempunyai anak, sedangkan aku harus mengurus anak juga rumah. Mana punya waktu untuk merawat diri," ujar Arum membela diri."Alah, alasan." Surya kembali masuk ke kamar tak mengiraukan Arum yang bersusah payah memasak untuknya.Hidangan Di meja makan sama sekali tidak tersentuh. Tidak lama Surya kembali dengan baju sangat rapi. Harum parfum membuat Arum cukup tahu hendak kemana suaminya akan pergi. Ia menggigit bibir bawah, menahan sesak saat diperlakukan tidak tidak layak sebagai seorang istri."M
Arum terlihat cantik menggunakan kebaya berwarna putih susu. Wajah nampak cantik sempurna. Namun, beberapa kali ia mengusap embun di kelopak mata. Tak menyangka jika ia akhirnya menikah dengan Bayu. Pria yang sedari dulu mencintainya. Semesta membuat keindahn yang tak terluapkan."Mba, pengantin wanitanya sudah siap?" tanya seorang gadis yang tidak lain adalah EO acara tersebut."Sudah." Perias menggandeng penganti wanita ke tempat di mana dilangsungkan acara akad nikah pagi ini.Tatapan takjub beberapa pasang mata melihat sang pengantin wanita. Terlihat Naina, mantan mertuanya duduk bersama Kaila dan Nanda. Dia menyeka bulir yang memgalir di sudut mata. Senyum tipis terpancar di bibir Arum saat tatapan mereka saling bertemu. Hari ini adalah hari bahagia yang sangat ia tunggu. Setelah sekian banyak penderitaan akhirnya ia merasakan kembali suasana sakral untuk kedua kali.Sang pengantin pria sudah tidak sabar menunggu. Netranya tak henti memandang calon istri yang beberapa menit akan
Bayu duduk memerhatikan Arum yang kini terdiam menatap kolam renang. Pria itu mengajaknya duduk di tepi, agar suasananya kembali tenang. "Jadi, kamu kemarin ketemu klien itu dia?" tanyanya dengan luapan emosi. "I--iya." Bayu menjawab ragu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Arum memalingkan wajah. Hatinya kembali teriris jika mengingat wanita itu. Ia tidak ingin terjadi lagi hal serupa dengan pengalaman yang lalu. "Aku, kan nggal tahu. Tadi juga aku udah batalin kerja samanya." "Tetep aja sakit bayangin kamu kemarin berduaan sama dia!" Ingin rasanya merengkuh tubuh wanitanya. Namun, ia mengurungkan niat, tangannya hanya mencuil hidung pesek Arum. "Kak, kemarin Kak Bayu sama Alia kok. Nggak sendirian ketemu sama Renata. Maaf, ya Kak." Alia mengambil posisi duduk di samping Arum. "Maaf juga aku nggak tahu kalau dia begitu. Sekali lagi minta maaf. " "Iya, Alia." Senyum semringah dari bibir Alia. Gadis itu memeluk erat calon kakak iparnya.Rudi menghampiri mereka. “Saya ak
Semenjak pertengkaran kemarin, Bayu merasa tidak enak hati. Kenapa ia begitu cemburu pada Arum. Ia menyalahkan dirinya, kenapa harus cemburu buta? Gegas dirinya turun ke bawah. Kali ini dia pulang ke rumah orang tuanya untuk meminta izin untuk melamar dan menikahi Arum.“Tumben kamu ingat dengan rumah ini?” Cibiran penuh penekanan dari Maria, ibu sambungnya. Lalu, berderet pertanyaan darinya.Ia menghembuskan napas berat. “Aku mau menikah.”“Serius, Kak?” Semua aktivitas yang berada di meja makan mendadak terhenti.Mereka serius menatap wajah Bayu yang malah terlihat santai. Alia, adik tiri Bayu bangkit dan menghampiri sang Kakak.“Ka, serius?”“Apa aku kelihatan bercanda?”“Syukurlah, Kakakku ini normal.”“Aish.” Bayu menoyor kepala Alia sampai ia mengaduh.“Sudah, kalian tidak ada behentinya kalau sudah bertemu.”“Siapa dia?” Pria berambut memutih itu kini mengeluarkan suaranya. Sedari tadi ia hanya diam memerhatikan.“Dia seorang wanita yang sangat aku cintai. Enam tahun aku menant
Ada perih yang menjalar di dada. Ia mencoba meraup oksigen, tapi sepertinya sangat sulit. Embun itu sudah mengalir membasahi pipi, entah mengapa Arum merasakan begitu sakit kali ini. Tidak seperti biasanya, ia tak pernah menyesal menolak ayah dari anak-anaknya.“Aku juga sakit, Mas. Semoga, Mas, kembali menemukan wanita yang bisa membuat Mas nyaman. Maaf untuk kali ini, aku sudah memutuskan menikah dengan Bayu.” Ia menjeda ucapannya. Tak sanggup untuk meneruskannya, isak tangis masih membuatnya sulit untuk berbicara.“Mas sadar, Rum. Kamu berhak bahagia, Mas sudah ikhlas. Hanya saja, Mas mencoba siapa tahu Arum berubah pikiran. Kita bisa membesarkan mereka bersama-sama. Maafkan, Mas, ya,” ujar pria itu sembari mengusap pucuk kepala Arum.Bukan hanya Arum yang merasakan sesak di dada. Pria itu yang lebih merasakan betapa nelangsanya dia. Begitu bodohnya melepas kebahagiaan yang dulu ia punya. Kini ia hanya menatap orang yang ia sayang dan mengikhlaskannya untuk bahagia dengan pria lain
“benar nggak bisa datang acara ulang tahun Kaila nanti, Bay?” Arum bertanya pada Bayu lewat sambungan telepon. Wajah wanita yang kini terlihat masam itu mencoba berbicara setenang mungkin.“Iya, Rum. Maaf, ya, soalnya Pak Arga ngajak ketemuan ngomongin masalah kasusnya hari ini jam empat sore, belum lagi temennya adikku minta bantuan juga?”jawab pria itu kemudian.Arum menghela napas. “Nanti dia ngambek kalau kamu nggak hadir.”“Iya, kalau sudah selesai aku langsung kesana. Tapi nggak bisa jemput kamu dulu.”“Iya, aku tahu. Cikarang ke Jakarta, ‘kan jauh.” Kembali Arum menjawab. Namun, orang yang ditelepon di seberang sana tidak tahu jika wanita yang diteleponnya sudah mengerucutkan bibir dan memasang wajah masam.“Aku mau sarapan dulu, ya. Kamu jangan lupa makan siang.”“Iya.” Langsung saja ia menutup saluran telepon, kemudian kembali menatap layar laptop.Aroma kopi menyeruak di ruangan, Arum menatap Rani, wanita yang membawa kopi ke ruangannya. Rani menaruh di meja Arum dan mempers
"Mba Arum?" tanya salah satu karyawan perusahaan yang ia datangi hari ini. Sebuah perusahaan besar yang baru saja berkembang dan pertama kali bekerja sama dengan kantor akuntan publik milik Dani. Bos-nya menemani Arum sekalain ingin tahu bagaimana perkembangan kerja sama yang baru saja berlangsung ini. "Iya." "Bapak dan Ibu, ikut dengan saya," ajak pria berkacamata tebal dihadapannya. Mereka mengikuti langkah pria itu. Perusahaa yang tergolong baru ini lumayan sangat besar. Ruangan yang tidak sempit memudahkan mereka berlalu lalang. "Pak Dani, Bu Arum. Selamat datang," ucap pria bertubuh tambun dengan uban yang sudah memenuhi rambutnya. "Terima kasih, Pak Rudi. Ini Arum auditor terbaik saya. Dia yang akan menangani masalah audit di kantor ini. Saya hanya hari ini menemani dia, selanjutnya ia akan datang bersama partner." "Baik, sebentar saya perkenalkan dengan manajer keuangan kami." Pria itu menelepon sesorang dan tidak lama orang tersebut sudah berada di ruangan. "Bapak mangg
Ia tertunduk lemas di hadapan sang ibu. Menceritakan nasib yang menimpanya. Sekilas ibunya hanya menatap iba, akan tetapi wanita tua itu berdecak kesal. Bahkan berulang kali mengelus dada. Lalu, menatap tajam pada anak semata wayangnya.“Lalu, kamu mau bagaimana?”“Aku nggak tahu, Bu.”“Apes banget kamu, Le. Udah jatoh ketimpa tangga pula. Udah Ibu bilang, hidup itu jangan neko-neko. Nikmati aja yang dikasih Gusti Allah, eh ini malah buat kesalahan fatal. Kehilangan berlian, eh sama kerikil juga ditendang. Sepertinya kamu kena karma dari perbuatan kamu sama mantan istrimu.” Wanita tua itu tak hentinya berbicara.“Bu, jangan menyudutkan aku.”“Loh, kenyataan. Untung Ibu kaya, kalau nggak, bisa gila Ibu tiba-tiba jatuh miskin.”“Bu.”“Yasudah, nanti Ibu hubungi Pamanmu. Kesempatan kedua pergunakan dengan baik. Awas aja kamu kalau sudah membaik perekonomian kembali sama Renata atau bersikap arogan lagi. Ibu sumpahin kere lagi kamu.”“Ibu, kok ngomong gitu?” Wajahnya memelas saat mendenga
Di rumah terpisah Surya terperangah menatap tudung nasi yang masih kosong. Sepulang kerja harusnya Renata sudah menyiapkan masakan. Namun, ia kembali harus menerima kenyataan jika wanita itu sama sekali tidak menyediakan makanan.Perutnya yang sudah minta di isi mulai terasa perih. Asam lambungnya juga mulai kambuh. Geram ia memanggil wanita yang sedari tadi hanya sibuk dengan kuku-kukunya. Apalagi sepulang sidang tadi, ia benar-benar tidak bisa berpikir jernih. "Renata!" teriaknya nyaring. Wajahnya terlihat pucat menahan perih yang mulai menggangu perutnya. Sekali ia memanggil, tapi istrinya tak juga datang meghampirinya. Kembali Surya memanggilnya. "Renata!" Suaranya kian meninggi. Namun, masih saja wanita berambut pirang itu tidak juga datang. Luapan emosinya tak tertahan lagi. Ia menghampiri dan mendapati Renata sedang asik mendengarkan aerophone di telinganya. Renata berbalik saat aerophone terasa di cabut dari telinganya. "Kamu apa-apaan sih, Mas?" tanyanya dengan perasaan
Jemarinya lincah menari di atas laptop. Matanya tak henti bergantian menatap data di lembar kerja dan kembali menatap leptopnya. Ia menghempaskan tubuh di kursi. Kali ini ia sangat lelah, mengapa sebuah data yang tahun lalu angkanya tidak sama dengan yang ada di lembar kerja. Berulang kali dia mengotak-atiknya, tapi tidak menemukan jawaban. "Argh!" "Kenapa, Mba?" tanya Delia yang sedari tadi memerhatikannya. "Data tahun lalu nggak sama. Siapa yang pegang perusaan ini tahun lalu?" tanyanya pada Delia. "Pak wanto, tapi sudah dikeluarkan Pak Dani karena tidak benar ngerjaiin laporan." Delia menjelaskan. "Pantas saja, semua ngaco," keluhnya. Dia mengayun langkah ke ruang Dani. Otaknya sudah mengebul dengan hasil kerja auditor sebelumnya yang membuat mata dan kepalanya sakit. Menyerah, lalu memilih berkonsultasi dengan bosnya."Mba Des, ada Pak Dani?" tanya Arum pada sekretaris Dani. "Ada, masuk aja. Lagi nggak sibuk kayanya," balas Desi sambil asik memainkan ponsel. Arum menggelen